Mata Sofia perlahan terbuka. Pandangannya buram, kepalanya terasa berat dan berdenyut. Sesaat ia hanya terbaring, berusaha menenangkan diri, sampai akhirnya ingatan-ingatan sebelumnya menyelinap kembali. Wajahnya menegang, napasnya mulai memburu. Panik itu datang lagi. Ia refleks bangkit dan duduk tegak, matanya mengedar menatap sekeliling. Ruangan ini… berbeda. Bukan kamar yang tadi. Bukan tempat asing yang penuh ketakutan itu. Sofia menggenggam selimut yang menutupi tubuhnya, jantungnya berdegup kencang. Ia mencoba mengingat. Terakhir, Aldi… ya, Aldi yang menjualnya pada pria asing. Lalu… ada seseorang masuk, wajahnya samar, tapi seolah Bima… Apakah benar? Apakah Bima datang menolongnya, atau hanya bayangan semu di tengah ketakutannya? Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia tak bisa memastikan lagi. Yang jelas, tubuhnya terasa berbeda, ada sesuatu yang membuatnya bingung. Dan yang paling menakutkan: apakah benar Bima yang akhirnya… menyentuhnya? Sofia menunduk, perlaha
Sofia merasa tubuhnya mulai berkhianat. Rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke ujung jemari, membuatnya gelisah tanpa alasan. Nafasnya tersengal, jantungnya berpacu lebih cepat, sementara pikirannya berteriak menolak. Semakin ia berusaha melawan, semakin tubuhnya terasa asing—seakan bukan lagi miliknya sendiri. "Sssstttt!!!" Sofia berdesis, tubuhnya makin tak karuan. "Tolong turunkan aku," pintanya putus asa. Ia berlari kembali masuk ke kamar mandi, langkahnya terseok karena tenaga hampir habis. Dengan panik, ia mengguyur tubuhnya di bawah air dingin. "Ahhh!!!" teriakannya pecah, tak sanggup menahan rasa yang melanda. Bahkan kepalanya sampai dibenturkan ke dinding, berharap sensasi itu segera hilang. "Sofia, apa yang kau lakukan?" tanya Bima panik, buru-buru mematikan air. "Nyalakan lagi! Aku mohon… aku bisa mati!!!" teriaknya kalut. Bima bingung, matanya menangkap lebam-lebam di wajah Sofia yang membuat hatinya semakin hancur. "Nyalakan airnya!" Sofia terjatuh lemas
Aran memarkirkan mobil di depan sebuah rumah bergaya minimalis, sesuai alamat yang sudah mereka lacak. “Kau yakin?” tanya Bima, suaranya berat penuh tekanan. “Selama ini Anda tidak pernah kecewa dengan pekerjaanku, Bos. Aku yakin begitu juga kali ini,” jawab Aran mantap. Bima mengangguk singkat lalu turun dari mobil. Matanya langsung menyapu halaman rumah—ada beberapa mobil terparkir rapi. Ia melangkah cepat masuk ke dalam, Aran setia mengikutinya dari belakang. Begitu memasuki ruang tamu, beberapa pria yang duduk di sofa sontak menoleh. Mereka menatap Bima penuh tanya, sebagian ragu, sebagian lagi seperti mengenali sosoknya. Bima yang sering muncul di berita sebagai pewaris keluarga konglomerat tentu bukan sosok yang mudah ditemui orang biasa. “Ini rumah Aldi?” tanya Bima dingin, tatapannya bergantian menyapu mereka satu per satu. “Benar… tapi dia baru saja pergi buru-buru,” jawab salah satu dari mereka hati-hati. Bima menoleh sekilas ke Aran. Pandangan keduanya bertemu
Sofia masih berusaha menenangkan diri setelah gagal memuntahkan cairan yang dipaksa masuk ke tenggorokannya. Nafasnya berat, tubuhnya gelisah, dan ada sensasi aneh yang semakin sulit dia kendalikan. 'Apa yang sebenarnya diminumkan padaku?' pikirnya panik. Ketika pintu kamar terbuka, harapannya sempat muncul—mungkin ada pertolongan. Namun segera runtuh begitu seorang pria asing masuk dengan senyum puas. “Hay, cantik…” suaranya rendah, penuh nafsu. “Aslinya jauh lebih cantik daripada fotomu.” Sofia menegang, jantungnya seperti mau pecah. Ia buru-buru turun dari ranjang, berjalan mundur sampai punggungnya menempel ke dinding. “Tuan, aku mohon… jangan,” suaranya bergetar, penuh ketakutan. Pria itu malah tertawa pelan, melepaskan kancing kemejanya satu per satu tanpa ragu. “Jangan? Lucu sekali… gadis semanis ini malah merajuk. Ayo kemari.” Sofia menggeleng cepat. Air liurnya terasa pahit saat ia menelannya. Tubuhnya semakin tak karuan—panas, gemetar, dan anehnya seolah tak
“Sudah, Bos,” lapor salah satu anak buahnya. Aldi menyeringai puas. Semua benda yang bisa dipakai Sofia untuk melawan sudah disingkirkan dari kamar. Kali ini, tidak ada lagi kesempatan baginya untuk melukai siapa pun. Dengan hati-hati, Aldi menuangkan bubuk obat perangsang ke dalam segelas air mineral. Ia mengaduk hingga larut, lalu melangkah masuk ke kamar bersama beberapa anak buahnya. Sofia yang duduk di tepi ranjang langsung tersentak dan berlari ke arah pintu. Namun, tubuhnya dengan cepat ditangkap dan dibekap oleh dua pria kekar. “Lepaskan aku!” teriaknya, berjuang sekuat tenaga. Aldi mendekat dengan senyum licik. Tangannya mencengkeram rahang Sofia, memaksanya meneguk cairan itu meski ia berusaha menolak. “Bagus,” bisiknya puas, melihat Sofia akhirnya menelan minuman tersebut. Tubuh Sofia didorong kasar ke ranjang hingga terhempas. Nafasnya terengah, matanya berkaca-kaca. “Kali ini kau tidak akan bisa lolos,” ujar Aldi dengan nada penuh kemenangan. “Keangkuhanmu
*** Aran menekan bel, tak lama pintu apartemen pun terbuka. Lusi muncul di ambang pintu. Ia sempat terkejut melihat Aran berdiri di sana, bingung apa yang membuat pria itu datang ke tempatnya. Namun, keterkejutannya berubah saat pandangannya melewati bahu Aran. Di sana berdiri Bima. “Mas… Bima?” ucap Lusi dengan suara tercekat, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Untuk sesaat tubuhnya kaku, namun senyum perlahan merekah di bibirnya. Matanya berbinar penuh rasa kagum dan bahagia, seakan mimpi lamanya kini benar-benar hadir di depan mata. “Masuk, Mas… masuk,” ucap Lusi antusias, matanya tak lepas dari sosok Bima. Aran melangkah lebih dulu ke dalam, lalu Bima menyusul. Begitu pintu ditutup, Lusi masih tersenyum bahagia, langkahnya ringan saat mendekati Bima. “Mas Bima, mau Lusi bikinin minum apa? Atau makan? Lusi bisa masak kok—” “Sofia!” potong Bima tajam. Suara itu langsung menghentikan langkah dan kata-kata Lusi. Degh! Jantungnya berdegup keras, tubuh