Share

Antara Ibu dan Bapak

"IMAS!!" pekik Johan dengan mata yang membelalak tajam. Ia menghampiri Imas dan menarik tangannya untuk meninggalkan Thalisa yang masih mematung di ruang tamu.

Imas hanya diam saja tak bersuara, ia sudah tahu jika suaminya pasti sudah mendengar apa yang ia katakan pada Thalisa dan akan segera memarahinya.

"Nggak usah marah-marah, apa yang Ibu bilang juga benar, kan?" bela Imas dengan jari-jari yang menggulung kain yang dipakainya menjadi kecil.

"Istigfar, Bu! Thalisa anak kita sendiri, kenapa Ibu tega bicara seperti itu pada Thalisa? Apa Ibu nggak berpikir kalau kata-kata Ibu bisa saja menyinggung perasaannya?" protes Johan. Ia menangkupkan kedua pipi istrinya itu dengan cukup kencang.

"Lho, memang benar, kan? Dalam keadaan Thalisa yang nggak bisa punya anak terus jadi janda, apa orang-orang sini nggak akan menjadikan Thalisa bahan gosip, Pak? Ibu malu!"

"Nggak usah pikirin apa kata orang, Bu, tapi pikirin perasaan anak kamu sendiri. Thalisa sedang tersiksa batinnya, Ibu jangan malah menambah beban untuk Thalisa!" Amarah Johan sudah tidak bisa dibendung lagi, ia merasa kecewa dengan istrinya yang sudah membuat Thalisa kembali mengeluarkan air mata yang paling berharga.

"Pokoknya Ibu nggak sudi kalau anak Ibu jadi janda!!" pungkas Imas dan langsung melenggang pergi meninggalkan Johan sendiri.

***

Di kamar, ada Thalisa yang sedang berbaring menghadap ke jendela kamar. Hatinya masih terasa tersayat begitu mendengar penuturan yang sangat menyakitkan dari sang ibu. Seharusnya Thalisa tidak perlu kembali ke rumah jika kehadirannya hanya menambah rasa malu untuk keluarganya.

Thalisa tidak menangis, tidak sedikit pun. Mungkin air matanya sudah mengering karena terus saja menangisi nasibnya yang kurang beruntung. Menangisi kekurangannya sebagai wanita yang tidak bisa memiliki anak, menangisi suami yang berselingkuh, dan membatin tentang ibunya yang tidak menerima perceraian Thalisa dan juga Wira.

Jika bunuh diri tidak dosa, mungkin sudah sejak awal Thalisa mengakhiri hidupnya yang malang ini. Sandaran tempatnya untuk mengadu dan berkeluh kesah seperti tidak bisa diharapkan.

Apa Thalisa membutuhkan uluran tangan untuk menghapus semua gundah gulana di hatinya? Jawabannya, ya. Thalisa membutuhkannya saat ini.

Tok..Tokk..Tokkk..

Terdengar suara ketukan pintu kamarnya, Thalisa tidak berniat untuk membukanya. Ia membutuhkan waktu sendiri untuk mengobati luka hatinya yang menganga lalu diberikan perasan jeruk nipis, sangat perih!

"Nduk, ini Bapak," ucap Johan dengan suara yang berdayuh.

Begitu mendengar suara sang ayah yang berbicara, tanpa berpikir lagi Thalisa langsung bangkit dari baringannya dan membuka pintu.

"Ada apa, Pak?" tanya Thalisa pelan.

"Bapak mau ajak kamu ke sawah, temani Bapak mandiin kerbau," ajak Bapak seraya tersenyum. Thalisa pun langsung mengiyakan ajakan sang ayah, mereka pun langsung pergi membawa kerbau-kerbaunya yang berada di halaman belakang menuju sawah.

Di sepanjang perjalanan, Thalisa tidak berhenti mengoceh tentang masa kecilnya bersama Dafa yang sering menyusul ayahnya ke sawah. Dafa yang terjatuh ke lumpur, Thalisa yang diseruduk oleh sapi jantan milik Pak Lurah, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Hal itu membuat Bapak tersenyum, setidaknya rencana ia membawa Thalisa ke sawah sudah menghilangkan sedikit rasa sedih yang terpancar di wajahnya.

"Nduk, banyak orang yang mengatakan bahwa seorang Bapak adalah cinta pertama anak perempuannya yang tidak pernah menyakiti. Apa itu benar?"

Pertanyaan dari Bapak membuat Thalisa menghentikan langkahnya, ia menatap ke arah Bapak dengan banyak sekali pertanyaan di kepalanya. Sedikit ia mengangguk untuk menjawab pertanyaan Bapak.

"Kamu tahu, Nduk, Bapak nggak pernah rela siapa pun nyakitin kamu dan juga Dafa, termasuk Ibumu. Bapak nggak pernah nyangka kalau Ibumu itu bisa termakan omongan orang-orang," jelas Bapak seraya kembali berjalan memboyong kerbau.

"Pak," lirih Thalisa.

"Waktu pertama kali Bapak lihat kalian lahir, Bapak sudah jatuh cinta sama kamu dan juga Dafa, Nduk. Bapak nggak rela anak-anak Bapak disakiti sama orang lain, apalagi yang cuma suami," lengang sejenak, Bapak menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan sebelum melanjutkan kembali kalimatnya. "Bapak membesarkan kalian dengan cinta dan perjuangan, Bapak nggak rela siapa pun orangnya yang nyakitin kalian, karena hanya kalian kekuatan Bapak untuk bertahan selama ini."

Tanpa berkata-kata Thalisa langsung menghampiri sang ayah yang berada tepat di depannya, memeluk dan menumpahkan semua rasa sakit hati dan keputusasaannya terhadap dunia. Kembali menangis dengan menempatkan perasaan terlukanya pada hati yang paling dasar. Sungguh, hanya Bapak yang bisa mengerti hidupnya saat ini.

***

"Tadi Dafa dengar pembicaraan Ibu sama Bapak," ungkap Dafa. Ia berjalan menuju ruang tamu, menghampiri sang Ibu yang sedang asyik mengiris daun bawang tanpa mempedulikan perkataan Dafa.

"Ibu?" Lagi, Dafa memanggil sang Ibu untuk meminta jawaban atas ucapan yang tadi membuat sang kakak kembali bersedih.

"Apa, sih?" jawab Ibu acuh, tidak menoleh sedikit pun pada Dafa -anak bungsunya.

"Ibu kenapa ngomong kayak gitu ke Kak Thalisa?" tanya Dafa.

Hening, Ibu tidak menjawab pertanyaan Dafa dan malah bersenandung. Merasa kesal karena diabaikan, Dafa langsung merebut pisau dan juga daun bawang yang sedang dipegang oleh Ibu.

"Kenapa, sih, Dafa punya Ibu jahat banget?!" bentak Dafa dengan suara yang agak meninggi.

"Siapa yang kamu maksud jahat? Ibu cuma nggak mau Kakakmu itu semakin sakit hati karena mulut tetangga yang pedaaaasnya naudzubillah, Dafa!!" tutur Ibu yang langsung berdiri hingga membuat Dafa harus mendongak untuk melihat Ibunya.

"Apa kamu tahu? Si Hanum, suaminya merantau ke Jakarta nggak pulang-pulang dan sekarang jadi apa? Jadi janda, Dafa! Apa yang Hanum dapat dari dia tinggal disini? Jawab Ibu!"

Dafa terdiam, ia berpikir sejenak. Selama Hanum menjadi janda, memang banyak ibu-ibu di kampung ini membicarakan dia hingga sampai ke kampung sebelah berita tentang Hanum yang ditinggalkan karena suaminya mendapatkan istri baru di Jakarta.

"Kenapa diam?! Kamu nggak bisa jawab, kan?!" seru Ibu seraya berkacak pinggang.

"Tapi Kak Thalisa itu anak Ibu! Dafa yakin, Kak Thalisa juga nggak mau jadi janda dan mandul! Tapi, kalau Kak Thalisa terus bertahan dengan suami yang nggak bertanggungjawab itu, apa Ibu bisa jamin kalau Kak Thalisa akan bahagia?" papar Dafa. Emosinya sudah tersulut mendengar ucapan sang Ibu yang mebandingkan kakaknya dengan anak tetangga.

"Alah! Kamu itu masih kecil, kamu nggak akan ngerti apa yang Ibu maksud!" tampik Imas seraya merebut kembali pisau dan daun bawang yang semula diambil oleh Dafa.

"Hati Ibu terbuat dari apa, sih? Kenapa nggak ada rasa iba sama sekali sama Kak Thalisa?" cetus Dafa. Ia menghela napas dalam, tidak disangka ternyata ibunya sangat kejam. "Seharusnya Ibu bisa lebih membuat Kak Thalisa nyaman, karena beban hidupnya berat, tapi Ibu malah mikirin rasa malu Ibu karena seorang janda." Dafa langsung bangkit menuju kamarnya, membanting pintu dengan keras hingga membuat sang ibu terlonjak kaget.

"Dafa! Kamu itu benar-benar, ya!" murka Imas dengan suara teriakan yang menggema di dalam rumah.

***

Thalisa dan Bapak baru saja sampai di rumah. Thalisa langsung masuk mengambilkan minum untuk Bapak, seharian bersama Bapak ini membuat Thalisa melupakan rasa sedihnya terhadap sang ibu. Berkat Bapak, mood Thalisa seratus persen kembali seperti semula.

Saat hendak memberikan teh hangat kepada Bapak, tiba-tiba Ibu memanggil Thalisa, mengajaknya untuk duduk di ruang tamu.

"Ada apa, Bu?" tanya Thalisa pelan. Sebenarnya Thalisa sedang tidak ingin bicara pada Imas, karena ia masih merasa bahwa ibunya itu belum bisa menerima kenyataan.

"Sudah telepon Masmu? Kapan dia datang?" ketus Ibu.

"Mungkin besok, Bu."

"Jangan tinggal di sini kalau kamu mau jadi janda," ucap Ibu tiba-tiba membuat hati Thalisa kembali merasakan sakit. Seperti tombak yang sengaja ditusukkan pada seluruh tubuhnya, sakit dan juga pedih.

Seperti terbunuh, namun tidak mati. Itulah yang Thalisa rasakan saat ini. Ia berharap Tuhan segera mencabut nyawanya sekarang juga.

"Jangan marah sama Thalisa, Bu, Thalisa janji akan pergi dari sini supaya Ibu nggak malu punya anak janda yang mandul. Thalisa nggak masalah, asal Ibu nggak marah sama Thalisa, ya, Bu," pinta Thalisa dengan suara yang lirih. Berat jika harus hidup tanpa orang tua yang mendukung. Tetapi, mau bagaimana pun Thalisa harus menuruti kemauan sang ibu.

"Bagus kalau begitu. Setelah kamu ke Jakarta untuk menghadiri sidang cerai, jangan pernah kembali lagi ke sini!" jawab Ibu dengan ketus dan langsung pergi meninggalkan Thalisa sendiri di ruang tamu.

Teh yang tadinya ingin Thalisa berikan pada Bapak, ia tinggal begitu saja di atas meja. Thalisa berlari ke kamar dan mengunci pintu. Sesulit inikah perjalanan hidupnya menjadi janda?

Tidakkah seorang Ibu seharusnya mendukung sang anak hingga bangkit kembali menjadi wanita yang kuat dan mandiri?

"Sesakit inikah rasanya, Tuhan?" lirih Thalia.

***

To be continue,

Selamat membaca, sayangnya Madam ❤❤

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status