Home / Romansa / Janda Kembang / Patah Hati Kedua

Share

Patah Hati Kedua

Author: madamkey
last update Huling Na-update: 2021-03-18 21:50:50

"Halo, Mas, aku mau bicara sebentar," ucap Thalisa saat nada tersambung dengan Wira.

"Ada apa? Aku nggak punya waktu, sebentar lagi aku mau ketemu sama Sofia," pungkas Wira tanpa rasa bersalah.

Thalisa diam sejenak, ia mengembuskan napasnya dengan kasar, berusaha untuk menetralkan rasa jengkelnya terhadap sang suami yang semakin lama semakin tidak bisa didiamkan.

"Halo? Masih mau bicara atau nggak?" sarkas Wira, seketika membuat Thalisa sadar dari lamunannya.

"A-ah iya, Mas, aku cuma mau sampaikan amanah Bapak, kalau Mas harus datang ke sini. Ada yang mau Bapak bicarakan sama Mas," jelas Thalisa.

"Mau apa lagi? Memang kamu belum bilang kalau kita sudah mau cerai? Nggak bisa, aku nggak ada waktu untuk datang ke sana!"

"Mas, kamu nikahin aku itu minta restu baik-baik sama orang tua aku, jadi sekarang kalau Bapak minta kamu ke sini, harusnya bisa dong?" sahut Thalisa dengan kesal, ia sangat tidak menyukai perkataan Wira yang terkesan lari dari tanggungjawab.

"Kamu tuh ribet, ya?! Aku sibuk, harus cari-cari gedung untuk pernikahan aku nanti sama Sofia!"

"Astagfirullah, Mas!! Perceraian kita aja belum resmi sah di mata hukum dan agama, kamu malah mikirin pernikahan lain, apa kamu nggak mikirin perasaan aku? Perasaan Ibu sama Bapak aku?!" geram Thalisa dengan suara yang tertahan karena takut orang tuanya mendengar percakapan mereka.

"Kamu berisik banget, sih! Iya dua hari lagi aku ke sana, puas kamu!" Wira pun langsung mematikan sambungan teleponnya, membuat Thalisa memaki tertahan.

"Jahat banget kamu, Mas, aku salah apa sama kamu?" lirih Thalisa. Ia menempelkan tubuhnya pada dinding kamar dan menjatuhkan dirinya di lantai hingga terduduk lemah. Air matanya terus mengalir tanpa henti.

Saat Thalisa sedang menangis, terdengar ketukan pintu di kamarnya, ia pun segera menghapus air mata dan bangun dari duduknya. Thalisa membukakan pintu kamarnya, ia sangat gugup ketika Dafa langsung masuk dan duduk di kursi riasnya.

"Kakak, kenapa?" tanya Dafa tanpa basa-basi. Ia sudah mendengar cerita dari orang tuanya tentang Thalisa yang tidak bisa memiliki anak, namun Dafa belum mengetahui bahwa kakaknya itu akan segera bercerai dengan Wira.

Thalisa tersenyum sendu menatap Dafa, dari dulu memang Dafa lah tempat Thalisa untuk menumpahkan segala keluh kesahnya. Walaupun Dafa adalah adik namun, ia yang paling bisa mengerti keadaan Thalisa.

"Ini sudah malam, lho, Daf, kenapa kamu belum tidur?" ucap Thalisa, ia sengaja tidak menjawab pertanyaan Dafa karena tidak ingin membuat adiknya itu merasa cemas dengan keadaannya saat ini.

"Nggak usah mengalihkan pembicaraan deh, Kak, Dafa sudah tahu kok dari Ibu sama Bapak."

Dafa mengajak Thalisa untuk duduk di karpet berbahan katun berwarna merah yang ada di kamar kakaknya. Ia merindukan sang kakak yang selama ini selalu membuatnya nyaman, kakak satu-satunya yang paling Dafa sayangi.

"Kalau kamu udah tahu dari Ibu dan Bapak, terus kamu ngapain tanya lagi sama Kakak?" ledek Thalisa seraya menjewer telinga Dafa, hal yang paling Thalisa senangi.

"Aww, sakit, Kak!" teriak Dafa dengan kedua tangan mengusap-usap telinganya yang terlihat merah akibat serangan maut yang diberikan oleh Thalisa.

Tanpa disadari Thalisa sudah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi wajah Dafa yang menggemaskan. Dafa adalah adik laki-laki Thalisa, berwajah tampan dengan kumis tipis yang membuatnya semakin terlihat manis. Rambutnya yang dibiarkan gondrong menambah kesan gemas pada dirinya.

Dafa yang melihat tawa sang kakak pun ikut tersenyum bahagia, ia mengusap air mata sang kakak yang masih tersisa di bawah matanya.

"Kakak boleh bohongin Dafa, tapi mata Kakak nggak bisa bohong sama Dafa. Dia bicara walaupun mulut Kakak nggak bersuara," ujar Dafa dengan senyum simpul di wajahnya. Mendengar sang adik berkata seperti itu, Thalisa langsung terdiam, ia tidak menyangka jika adiknya sudah cepat tumbuh dewasa dengan pemikiran yang matang.

"Kita nggak ada yang tahu ada apa dibalik semua ini tapi, kita harus yakin, kalau semua ini sudah menjadi skenario terbaik dari Tuhan buat Kakak, dan buat Mas Wira," kata Dafa dengan mata yang mengarah pada langit-langit kamar. Dafa menoleh sebentar ke arah Thalisa dan tersenyum.

"Dafa yakin, suatu saat Kakak pasti bisa punya anak. Kita cuma perlu berikhtiar dan selalu tawakal sama Tuhan, karena cuma Tuhan yang bisa memberikan keajaiban untuk hidup kita," sambung Dafa. Thalisa yang yang mendengar kata-kata dari adiknya langsung tersenyum bangga tetapi juga ... Ia merasa sedih. Andai saja Tuhan tidak memberikan cobaan ini, mungkin saja orang tuanya tidak akan sesedih ini.

Thalisa sedikit malu, karena ia sempat meragukan cobaan dari yang Maha Kuasa. Memang Dafa dan orang tuanya adalah penyemangat Thalisa untuk terus bertahan.

"Kamu adiknya siapa, sih? Tua banget bahasanya," ejek Thalisa seraya tertawa.

"Kakak pasti kangen, kan, sama aku? Ayo ngakuuu," balas Dafa dengan jari telunjuk yang mengarah ke wajah Thalisa.

Mereka pun berbicara dan bercanda bersama, saling bertukar cerita sampai larut malam.

***

Matahari pagi mulai menelusup memasuki kamar Thalisa melalui sela-sela jendela, tirai yang tadinya tertutup terlihat setengah terbuka. Pasti Ibu yang menggeser tirainya agar ia terbangun karena sinar matahari, pikir Thalisa.

Thalisa menguap beberapa kali, menyandarkan punggungnya pada kayu tempat tidur sambil memejamkan kedua matanya yang masih terasa berat untuk terbuka.

Selagi mengumpulkan nyawa-nyawa yang masih berkeliaran entah di mana, Thalisa mendengar suara ramai-ramai di samping rumah yang bertepatan di samping kamar tidurnya, Thalisa terkejut dan langsung bangkit dari duduknya ia pun berlari keluar kamar menuju sumber suara.

"Saya lihat Thalisa pulang kemarin, Thalisa kenapa pulang sendiri, Mbak? Memang suaminya kemana?" tanya salah satu tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah orang tua Thalisa.

Imas yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya diam saja seraya tersenyum kikuk.

"Apa jangan-jangan Thalisa lagi berantem, Mbak, sama suaminya?" sambung tetangganya lagi.

Imas menghela napasnya panjang, rasanya kesal sekali mendapatkan pertanyaan yang seharusnya tidak perlu ditanyakan oleh tetangga. Thalisa yang mendengar perbincangan sang ibu dengan ketiga tetangga itu tidak dapat berkata-kata lagi. Ia semakin takut dengan status janda yang sebentar lagi akan menjadi gelarnya di kampung ini.

"Suami Thalisa itu sedang sibuk, kerjanya di luar kota. Jadi Thalisa menginap dulu di sini sampai suaminya pulang dinas," ketus Imas. Ia pun berpamitan pada ketiga tetangganya itu untuk masuk ke dalam rumah.

Saat hendak masuk, Imas dikejutkan dengan keberadaan Thalisa di balik bilik yang menjadi sekat dapur dan teras samping.

"Allahuakbar, kamu kagetin Ibu aja, Nduk," ucap Imas yang tiba-tiba jantungnya berdetak menjadi lebih cepat, seperti habis lari marathon, ia khawatir Thalisa mendengar percakapannya dengan tetangga tadi.

"Seharusnya Ibu nggak perlu ngomong kayak gitu ke tetangga-tetangga, Bu," keluh Thalisa seraya berjalan gontai mendahului Ibunya.

"Lho, memangnya Ibu ngomong apa, Nduk?" sangkal Imas seraya menyusul langkah kaki anaknya menuju ruang tamu.

"Bilang aja kalau aku dan Mas Wira itu sudah mau cerai."

"Nggak, Ibu nggak akan izinin kamu bercerai dengan Wira!" larang Imas sambil memegang bakul yang berisi beras untuk dicuci.

Thalisa melotot seketika, ia terkejut mendengar perkataan sang ibu. Apa ibunya ini tidak berpikir bahwa Thalisa sudah diselingkuhi dan ingin diceraikan?

"Bu, Thalisa nggak salah dengar?" tanya Thalisa memastikan. Mungkin saja telinganya sudah sedikit terganggu.

"Kamu pikir jadi janda itu enak? Nggak, Nduk! Kamu pikir jadi janda apalagi dalam keadaan kamu mandul kayak gini, kamu nggak akan diomongin sama para tetangga?" bentak sang ibu dengan suara tinggi. Thalisa pun tersentak dan merasa jika yang ada di hadapannya saat ini bukanlah ibunya. Mana mungkin ibu yang selama ini menjadi kekuatan bagi Thalisa, justru malah membuat Thalisa semakin terpuruk?

"IMAS!!"

***

To be continue,

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Janda Kembang   Kejutan Tak Terduga...

    "Apa kabar?" tanya seseorang dengan perawakan tinggi besar itu dengan senyum yang mengembang. "K-alandra?" Thalisa menyebutkan nama teman sekolah SMA-nya itu dengan ragu-ragu. Ia ingat namanya. Namun, sepertinya ia lupa dengan pemilik wajah tampan yang saat ini sedang ia pandang. Melihat Thalisa yang tampak ragu itu pun membuat lelaki tersebut tertawa dengan girangnya. "Kamu masih mengingatku rupanya, Thalisa," kelakarnya dengan wajah memerah karena tawanya. "Ternyata benar? Kamu Kalandra?" Thalisa meyakinkan kembali tebakannya seraya meraih tangan teman lamanya itu dengan reflek. "Ya. Kalandra si cupu yang selalu kamu bela saat ada yang mencoba untuk merundungku," ungkap Kalandra dengan sumringah. Ia menjabat tangan Thalisa dengan lembut, memperkenalkan kembali wajah barunya yang lebih gentle. "Oh Tuhan ... Kalandra, sudah lama kita tidak bertemu

  • Janda Kembang   Melampiaskan Kemarahan

    "Bunda, hari ini aku ingin berkunjung ke rumah Mama Windy bersama Mas Wira." Shofia menghadang Arasya yang sedang memasak di dapur bersama Bibi Erna. Arasya tidak menjawab atau pun menanggapi perkataan Shofia padanya. Lebih tepatnya, Arasya mengabaikan Shofia."Bunda dengerin aku, nggak, sih?" bentak Shofia dengan kesal. Ia sangat marah karena sejak keributan tadi malam, Arasya mulai mendiamkannya. Tidak menjawab sepatah kata pun perkataan Shofia.Arasya menarik napasnya dengan berat. Masih tidak menjawab, Arasya hanya menyuruh Bibi Erna untuk memotong sayuran. Sedangkan Arasya melanjutkan kembali kegiatannya yang sedang menumis cabai dan bawang yang sudah berada di atas wajan."Bi, jangan lupa untuk mengiris tomat dan mencuci seladanya, ya. Saya mau membawakan Thalisa salad untuk sarapan," perintah Arasya dengan wajah datarnya.Mendengar sang ibu menyebut nama wanita sialan itu, Shofia mengepalkan kedua tangannya s

  • Janda Kembang   Membohongi Bunda Arasya

    "Tunggu!" teriak Arden dengan suara yang terdengar menggelegar hingga seisi halaman rumah Thalisa.Ibu-ibu komplek yang semula menarik paksa Thalisa langsung berhenti dan melepaskan genggamannya dari tangan Thalisa."Apa-apaan ini? Kenapa kalian kasar sekali?" sambung Arden."Alah, kamu itu nggak tahu apa-apa, mending diam dan ikuti saja perkataan kami!" teriak salah satu ibu-ibu yang ikutserta meramaikan rumah Thalisa."Dasar wanita jalang! Lelaki siapa yang kau ajak ke rumah ini? Hah?" hardik Ibu Ratri yang rumahnya tepat bersampingan dengan Thalisa. Ibu yang pertama kali Thalisa kenal dengan keramahannya, kini berubah menjadi ganas. Penuh amarah."Tunggu sebentar! Biar saya jelaskan." Thalisa menarik napasnya dalam dan mengembuskannya perlahan sebelum membuka suara kembali. "Arden ini adalah atasan saya di kantor. Kami tidak memiliki hubungan apa pun selain rekan kerja!"

  • Janda Kembang   Fitnah Keji

    Hayooo, pada nungguin, ya? HeheMadam datang lagi, nih. Membawakan cerita yang membuat darah kalian mendidih! AhaaayHappy reading yaay! 💃💃**"Kamu gimana, sih? Kenapa bodoh banget!" bentak Wira dengan emosi yang meninggi. Ia tidak peduli jika citranya di depan Shofia menjadi buruk. Bagaimana Wira tidak kesal dengan istrinya, kerjasama yang seharusnya berjalan dengan lancar harus gagal hanya karena Shofia yang melihat Thalisa pada acara pertemuan itu."Ya, aku minta maaf, Mas. Aku tuh paling nggak bisa lihat dia! Bawaannya emosi terus, kamu tahu sendiri kan kalau aku benci banget sama dia?" kilah Shofia. Wajahnya terlihat ketakutan. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang karena bentakan Wira yang mengejutkannya."Kalau sudah hancur kayak gini, siapa yang mau tanggungjawab?! Dengan kerjasama dengan Zac Company kita bisa mendapatkan keuntungan besar!"

  • Janda Kembang   Meeting yang Gagal

    "Asal apa?" ketus Arden dengan wajah yang sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Bisakah mereka menyelesaikan urusan pribadi mereka di luar pekerjaan?"Asal ... Thalisa tidak ikutserta dalam meeting siang ini," ucap Shofia dengan ujung bibirnya yang sedikit ditarik ke atas menampakkan senyuman licik di wajahnya yang cantik.Arden semakin geram. Mana bisa ia menjalankan meeting ini jika tidak ada Thalisa? Thalisa adalah manager keuangan di perusahaannya. Dalam masalah ini, Thalisa harus ikutserta karena ini juga menyangkut keuangan perusahaan."Saya tidak setuju, Nona Shofia." Arden menolak mentah-mentah permintaan Shofia yang terbilang sangat kekanak-kanakan.Shofia mengangkat kedua tangannya di atas meja, menautkan jemarinya satu sama lain."Kalau begitu, aku tidak bisa melanjutkan kerjasama ini, Tuan Arden," tolak Shofia."Tidak masalah. Saya pun tidak bisa be

  • Janda Kembang   Permintaan Arden

    Setelah menyelesaikan makan siangnya Thalisa langsung pamit meninggalkan meja makan kantin untuk pergi ke ruangan kerjanya. Thalisa bingung harus berbuat apa, ia takut jika nanti yang meeting bersamanya adalah mantan suami yang selalu menghantui dirinya selama ini. Ia merasa belum siap untuk kembali bertemu dengan lelaki itu.Pada langkah kakinya menuju lift Thalisa terus saja menggigit kuku jarinya, ia merasa gugup. Apa yang harus ia lakukan jika itu adalah Wira? Haruskah ia mengundurkan diri dari meetingnya siang ini? Ah tidak, itu sangat tidak profesional sekali dan Thalisa pun tidak mungkin dengan tiba-tiba mengundurkan diri dari rapat yang akan diselenggarakan sebentar lagi.Thalisa menaiki lift dan menekan angka dua puluh tanpa disadari. Ia melewati lantai yang seharusnya ia datangi. Begitu suara lift berdenting dan pintu terbuka, Thalisa keluar dan berjalan ke arah pintu ruangan, saat Thalisa melihat tata letak ruangan dan juga vas bunga yang biasa ada di

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status