"Lebay banget, sih, baru mau diceraikan saja sudah segitunya," decak Sofia seraya menghentak-hentakkan kedua kakinya menuju keluar. Ia melihat persis bagaimana Thalisa memarahi Wira dan juga aksinya memegang cutter untuk mengakhiri hidup. Menurut Sofia hal itu sangat menggelikan, terlalu drama.
Saat Sofia sedang duduk di kursi luar, tiba-tiba ada perempuan yang sebaya dengannya datang menghampiri. Ia langsung berdecak sebal, di saat-saat seperti ini, ia sangat tidak ingin diganggu."Permisi, Mbak," ucap perempuan itu dengan sopan dan senyum yang ramah."Iya, ada apa?" ketus Sofia dengan tatapan tidak suka."Thalisanya ada, Mbak?" tanya Lastri -teman sekolah Thalisa sewaktu SMA. "Soalnya yang saya dengar Thalisa sudah pulang ke sini," imbuhnya."Ada, lagi drama! Ada apa, sih? Nggak usah bertele-tele," kata Sofia dengan kedua tangan berada di depan dada.Lastri terpaku dan langsung tersenyum kikuk, ia menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, ia jadi merasa tidak enak hati karena sikap Sofia yang sangat acuh terhadapnya."Mmm ... nganu, Mbak, kalo gitu saya pulang aja dulu, ya, nanti saya ke sini lagi." Pamit Lastri yang langsung berjalan cepat menuju rumahnya yang berbeda beberapa atap saja dengan rumah Thalisa."Dasar kampung! Nggak jelas!"***
"Kak Thalisa!" teriak Dafa seraya berlari menghampiri Thalisa yang hendak menyayat pergelangan tangannya.Mendengar suara Dafa berteriak, Bapak dan Ibu pun langsung menghampiri Thalisa ke kamarnya. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat anak perempuannya sudah acak-acakan, dengan memegang cutter di tangan sebelah kanannya.Bapak yang melihat pun langsung menepis tangan Thalisa hingga benda tajam yang semula ia pegang terlepas dan jatuh ke lantai. Bapak langsung memeluk Thalisa dengan erat, menghapus air mata anaknya dengan usapan lembut. Jadi seperti ini yang dirasakan oleh Thalisa, anak perempuan satu-satunya yang sangat Bapak cintai dan perjuangkan kehadirannya?Apa yang dilakukan oleh Wira ketika melihat Thalisa yang masih berstatus menjadi istri sahnya ingin melakukan percobaan bunuh diri? Hanya sebagai penonton, tidak melakukan apapun, tidak menghentikan Thalisa untuk bunuh diri, bahkan tidak berkata apa pun untuk mencegahnya.Sudah jelas dan terbukti, bahwa Thalisa bukanlah prioritas Wira, ia sudah tidak menyayangi dan mencintai Thalisa. Hal itu membuat Bapak menjadi sangat marah dan emosi.Setelah menenangkan Thalisa bersama dengan Dafa, Bapak langsung mengusir Wira dan juga Sofia dari rumahnya. Menyeretnya untuk keluar dari kamar Thalisa.Bapak mendorong Wira hingga ia terjatuh di teras depan rumah, suara Bapak yang sedang marah dengan teriak-teriak langsung mengundang perhatian banyak orang."PERGI KAMU DARI SINI!!" murka Bapak dengan tangan yang terulur menunjuk udara."Jangan pernah kembali lagi ke sini, dan ceraikan anak saya sekarang juga!!" Mata Bapak menyalang, amarahnya sudah berkobar seperti api yang disiram dengan bahan bakar."Saya memang akan menceraikan anak Bapak yang mandul itu! Secepatnya!" teriak Wira dengan suara lantang, tanpa malu menyatakan kenyataan tentang Thalisa.Para tetangga yang mendengar pertengkaran Wira dengan Bapak langsung saling berbisik satu sama lain. Hal yang ditutupi oleh Imas nyatanya terkuak karena ulah menantunya sendiri."Oooohhh ... Jadi si Thalisa itu mandul, Bu," ujar Sri ibu dari Lastri."Iya, Sri. Kasihan, ya, suaminya malah mau menceraikan Thalisa," jawab Gendis selaku tetangga dari Imas."Ya biarin lah, Bu, lagi juga laki-laki mana yang mau menikah sama perempuan mandul," ketus Siti seraya memanyunkan bibirnya. Seperti Bu Tejo yang sedang viral belakangan ini, Siti ini adalah tetangga yang paling senang mengompor-ngompori yang lainnya."Husss ... Mbak Siti nggak boleh ngomong gitu, Mbak Siti juga kan punya anak, kalau anak Mbak mandul juga, gimana, hayooo?" bela Sumi yang memang tidak pernah terpengaruh oleh omongan Bu Siti."Anak saya itu sudah punya anak semua, mana mungkin mandul," elak Siti seraya memangku tangannya di atas lutut."Sudah-sudah, kenapa jadi Mbak yang pada ribut, sih?" ujar Gendis seraya meletakkan jari telunjuknya tepat di depan mulut.Imas yang berdiri di depan pintu menatap tetangganya yang sedang bergosip dengan wajah yang merah padam akibat rasa malu yang ia dapatkan dari Wira. Seharusnya tetangga di sini tidak mengetahui kabar perceraian Thalisa dengan Wira kalau suaminya tidak mengusir Wira dari rumah dan berteriak-teriak memarahi lelaki durjana itu."Bapak nggak peduli tetangga tahu hal ini! Asal kamu tidak jadi menantu Bapak lagi, karena itu lebih memalukan daripada mengetahui kalau anak Bapak tidak bisa memiliki keturunan!"Wira tertawa sengit, terlintas ide gila di pikirannya. Ia pun langsung menggandeng tangan Sofia yang berada di belakangnya, berjalan ke tengah halaman rumah sang bapak mertuanya."Ibu-Ibu, saya adalah Wira Wijaya, datang ke sini bermaksud untuk menceraikan Thalisa Revina Johan. Ibu-Ibu juga pasti sudah tahu alasan saya ingin berpisah dengan anak dari Bapak Johan tercinta ini, karena Thalisa mandul! Thalisa tidak bisa memberikan saya anak! Tidak sempurna sebagai seorang wanita pada hakikatnya!!" teriak Wira sambil tersenyum puas."Saya juga sekaligus ingin memperkenalkan calon istri saya yang baru pada keluarga Bapak Johan. Calon istri yang sehat badan dan juga rahimnya." Wira menjeda kalimatnya sebentar sembari merangkul Sofia ke dalam peluknya."Kalian akan menjadi saksi saya melamar Sofia, calon istri saya.""WIRA!!!!" teriak Dafa dari arah dalam sambil berlari keluar menghampiri Wira yang sudah bersiap untuk berlutut di hadapan Sofia.Dafa langsung melayangkan pukulannya pada wajah Wira dengan membabi buta, berkali-kali menghantam rahang Wira dengan tinjuan yang lumayan kencang. Tidak ada siapapun yang berani memisahkan Dafa yang seperti orang kerasukan, hanya terdengar suara teriakan dari Sofia yang meminta Dafa untuk berhenti memukuli calon suaminya.Mendengar Sofia berteriak histeris sambil menangis, Dafa langsung menghentikan aksinya yang benar-benar di luar dugaan."Ini terakhir kalinya gue liat wajah lo ada di sini! Jangan pernah tampakkin wajah lo di depan keluarga gue lagi!" bentak Dafa seraya merapikan bajunya yang berantakan akibat tertarik oleh Wira."Buat lo, perempuan gatel! Setelah ini, gue jamin hidup lo nggak akan bahagia tinggal sama Laki-laki sinting ini!!" Dafa pun langsung pergi meninggalkan mereka berdua, mengajak kedua orang tuanya untuk masuk. Dafa akan selalu melindungi Thalisa sebagai kakaknya, tidak peduli dengan omongan orang lain terhadap apa yang menimpa Thalisa. Dafa akan selalu berada di sisinya.Sofia dan Wira pun langsung pergi dari rumah Thalisa. Sofia menggantikan Wira untuk mengemudikan mobil karena Wira sudah tidak berdaya akibat pukulan yang diberikan Dafa untuknya, hingga membuat mulut dan hidungnya mengeluarkan darah segar, dan juga pipinya yang memar.Thalisa yang masih berada di dalam kamar, tidak berniat untuk keluar melihat situasi yang menegangkan. Ia sudah pasrah dengan takdir yang saat ini sedang mempermainkan hidupnya.Perasaannya sudah tidak bisa dijabarkan, hatinya sudah tidak berbentuk karena sudah dihancurkan berkeping-keping. Merasa bahwa sudah tidak ada lagi masa depan yang cerah untuknya saat ini.***
To be continue,"Apa kabar?" tanya seseorang dengan perawakan tinggi besar itu dengan senyum yang mengembang. "K-alandra?" Thalisa menyebutkan nama teman sekolah SMA-nya itu dengan ragu-ragu. Ia ingat namanya. Namun, sepertinya ia lupa dengan pemilik wajah tampan yang saat ini sedang ia pandang. Melihat Thalisa yang tampak ragu itu pun membuat lelaki tersebut tertawa dengan girangnya. "Kamu masih mengingatku rupanya, Thalisa," kelakarnya dengan wajah memerah karena tawanya. "Ternyata benar? Kamu Kalandra?" Thalisa meyakinkan kembali tebakannya seraya meraih tangan teman lamanya itu dengan reflek. "Ya. Kalandra si cupu yang selalu kamu bela saat ada yang mencoba untuk merundungku," ungkap Kalandra dengan sumringah. Ia menjabat tangan Thalisa dengan lembut, memperkenalkan kembali wajah barunya yang lebih gentle. "Oh Tuhan ... Kalandra, sudah lama kita tidak bertemu
"Bunda, hari ini aku ingin berkunjung ke rumah Mama Windy bersama Mas Wira." Shofia menghadang Arasya yang sedang memasak di dapur bersama Bibi Erna. Arasya tidak menjawab atau pun menanggapi perkataan Shofia padanya. Lebih tepatnya, Arasya mengabaikan Shofia."Bunda dengerin aku, nggak, sih?" bentak Shofia dengan kesal. Ia sangat marah karena sejak keributan tadi malam, Arasya mulai mendiamkannya. Tidak menjawab sepatah kata pun perkataan Shofia.Arasya menarik napasnya dengan berat. Masih tidak menjawab, Arasya hanya menyuruh Bibi Erna untuk memotong sayuran. Sedangkan Arasya melanjutkan kembali kegiatannya yang sedang menumis cabai dan bawang yang sudah berada di atas wajan."Bi, jangan lupa untuk mengiris tomat dan mencuci seladanya, ya. Saya mau membawakan Thalisa salad untuk sarapan," perintah Arasya dengan wajah datarnya.Mendengar sang ibu menyebut nama wanita sialan itu, Shofia mengepalkan kedua tangannya s
"Tunggu!" teriak Arden dengan suara yang terdengar menggelegar hingga seisi halaman rumah Thalisa.Ibu-ibu komplek yang semula menarik paksa Thalisa langsung berhenti dan melepaskan genggamannya dari tangan Thalisa."Apa-apaan ini? Kenapa kalian kasar sekali?" sambung Arden."Alah, kamu itu nggak tahu apa-apa, mending diam dan ikuti saja perkataan kami!" teriak salah satu ibu-ibu yang ikutserta meramaikan rumah Thalisa."Dasar wanita jalang! Lelaki siapa yang kau ajak ke rumah ini? Hah?" hardik Ibu Ratri yang rumahnya tepat bersampingan dengan Thalisa. Ibu yang pertama kali Thalisa kenal dengan keramahannya, kini berubah menjadi ganas. Penuh amarah."Tunggu sebentar! Biar saya jelaskan." Thalisa menarik napasnya dalam dan mengembuskannya perlahan sebelum membuka suara kembali. "Arden ini adalah atasan saya di kantor. Kami tidak memiliki hubungan apa pun selain rekan kerja!"
Hayooo, pada nungguin, ya? HeheMadam datang lagi, nih. Membawakan cerita yang membuat darah kalian mendidih! AhaaayHappy reading yaay! 💃💃**"Kamu gimana, sih? Kenapa bodoh banget!" bentak Wira dengan emosi yang meninggi. Ia tidak peduli jika citranya di depan Shofia menjadi buruk. Bagaimana Wira tidak kesal dengan istrinya, kerjasama yang seharusnya berjalan dengan lancar harus gagal hanya karena Shofia yang melihat Thalisa pada acara pertemuan itu."Ya, aku minta maaf, Mas. Aku tuh paling nggak bisa lihat dia! Bawaannya emosi terus, kamu tahu sendiri kan kalau aku benci banget sama dia?" kilah Shofia. Wajahnya terlihat ketakutan. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang karena bentakan Wira yang mengejutkannya."Kalau sudah hancur kayak gini, siapa yang mau tanggungjawab?! Dengan kerjasama dengan Zac Company kita bisa mendapatkan keuntungan besar!"
"Asal apa?" ketus Arden dengan wajah yang sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Bisakah mereka menyelesaikan urusan pribadi mereka di luar pekerjaan?"Asal ... Thalisa tidak ikutserta dalam meeting siang ini," ucap Shofia dengan ujung bibirnya yang sedikit ditarik ke atas menampakkan senyuman licik di wajahnya yang cantik.Arden semakin geram. Mana bisa ia menjalankan meeting ini jika tidak ada Thalisa? Thalisa adalah manager keuangan di perusahaannya. Dalam masalah ini, Thalisa harus ikutserta karena ini juga menyangkut keuangan perusahaan."Saya tidak setuju, Nona Shofia." Arden menolak mentah-mentah permintaan Shofia yang terbilang sangat kekanak-kanakan.Shofia mengangkat kedua tangannya di atas meja, menautkan jemarinya satu sama lain."Kalau begitu, aku tidak bisa melanjutkan kerjasama ini, Tuan Arden," tolak Shofia."Tidak masalah. Saya pun tidak bisa be
Setelah menyelesaikan makan siangnya Thalisa langsung pamit meninggalkan meja makan kantin untuk pergi ke ruangan kerjanya. Thalisa bingung harus berbuat apa, ia takut jika nanti yang meeting bersamanya adalah mantan suami yang selalu menghantui dirinya selama ini. Ia merasa belum siap untuk kembali bertemu dengan lelaki itu.Pada langkah kakinya menuju lift Thalisa terus saja menggigit kuku jarinya, ia merasa gugup. Apa yang harus ia lakukan jika itu adalah Wira? Haruskah ia mengundurkan diri dari meetingnya siang ini? Ah tidak, itu sangat tidak profesional sekali dan Thalisa pun tidak mungkin dengan tiba-tiba mengundurkan diri dari rapat yang akan diselenggarakan sebentar lagi.Thalisa menaiki lift dan menekan angka dua puluh tanpa disadari. Ia melewati lantai yang seharusnya ia datangi. Begitu suara lift berdenting dan pintu terbuka, Thalisa keluar dan berjalan ke arah pintu ruangan, saat Thalisa melihat tata letak ruangan dan juga vas bunga yang biasa ada di