Share

Teman Lama

Janda Lugu Tetanggaku 6

Bab 6

Teman lama

“Mbak Dian, itu kancing bajunya yang atas lepas,” kataku menunjuk baju yang dikenakan Mbak Dian. Seketika Mbak Dian melihat padaku lalu menunduk melihat dadanya.

“Oh, iya, maaf.” Perempuan itu lalu mengancingkan kemejanya dengan benar. Wajahnya agak gimana, gitu.

Nah, kan, Mbak Dian itu nggak sengaja. Masak iya, dia mau pamer susu, kan nggak sopan. Mungkin, mbak Dian tadi tergesa-gesa mau jemput Lova jadi nggak sempat ngancingin baju dengan benar. Semoga suamiku nggak salah mengartikannya. Jangan sampai Mas Azka kebablasan menganggap Mbak Dian murahan.

Mata Mama mengerjap melihat Mbak Dian mengancingkan kemejanya. Selanjutnya kami mengobrol hal yang ringan-ringan. Sesekali mataku melihat ke dalam, semenjak kejadian tadi, Mas Azka nggak keluar dari kamar. Malu aku sama Mbak Dian, Mas Azka emang kadang-kadang.

Setelah Mbak Dian dan Lova pulang, aku bersama Mama Mertua dan Mas Azka berkumpul di ruang makan. Aku dan suami berebut es krim lezat buatan Mama yang rasanya enak banget.

“Jangan dihabisin.” Kataku pada Maz Azka yang seperti lupa diri menyendok es krim terus.

“Itu si Dian kerjanya apa?” Tanya Mama sambil berjongkok menata sayuran di kulkas. Maaf ya, Mamaku emang suka begitu, dia rajin dan rapih orangnya. Kalau melihat barang berantakan segera diberesin. Jadi aku nggak menyuruh lho, ya.

“Jadi Kasir di minimarket depan,” jawabku.

“Jadi Kasir? Bukannya tadi bilang pernah kuliah, kenapa nggak kerja di kantornya?” Mama menoleh.

“Laras udah tanya sih, tapi katanya belum ada lowongan.”

“Oh …” bibir Mama membulat.

Aku berdiri dan membawa gelas bekas es krim ke dapur untuk dicuci.

“Nanti kalau di kantor Laras ada lowongan biar aku suruh Mbak Dian melamar,” kataku sambil menaruh sendok bersih di tempatnya.

“Baik banget, lo.” Mas Azka nyeletuk.

“Ya gapapa, namanya juga menolong, ya, kan, Ma?” Jawabku sambil meminta pendapat Mama. Tanganku meraih lap yang menggantung dan mengelap tangan sampai kering.

“Baik boleh tapi, jangan sampai merugikan diri sendiri,” sahut Mama sambil berdiri. Mama sudah selesai merapikan isi kulkas.

“Nggak kok, Ma, Mbak dian itu baik dan lugu. Dia orangnya nggak mengambil kesempatan,” jawabku mengangguk.

“Sudah siang nih, Mama mau pulang,” kata Mama sembari merapikan dress yang dipakainya.

“Nggak makan dulu, Ma?” Aku menatap.

“Emang kamu udah masak?” Mas Azka melihatku dengan senyum meledek.

“Makan di luar maksud aku. Wekk!” aku balik mengejek suamiku. Mama tersenyum melihat aku dan Mas Azka saling meledek.

“Nggak usah, kapan-kapan saja.” Mama berjalan ke depan diikuti aku dan Mas Azka.

“Pulang dulu, ya.” pamit Mama sembari mencium kedua pipiku.

“Makasih, ya, Ma.” Aku tersenyum senang.

Mas Azka melirik genit padaku. Akupun mengerlingkan mata.

“Masuk, yuk!” Serta merta lelakiku ini merangkul pundak dan mengajak masuk rumah.

Aaaa, mau apa?

**

Sore itu pulang kerja aku tidak mampir ke rumah Mbak Dian. Turun dari taksi online aku berlari kecil memasuki halaman rumah. Mbak Dian terlihat berdiri memegang pegangan stroller. Sepertinya dia sedang menyuapi Lova mpasi.

“Tante Laras!” Mbak Dian memanggil untuk Lova. Aku menoleh sekilas, “ntar, ya, Tante kebelet pipis.” aku berteriak sembari membuka kunci pintu lalu dengan cepat masuk ke rumah. Pintu aku biarkan terbuka, mungkin Mbak Dian dan Lova mau masuk. Biarin aja.

Setelah menuntaskan hajat kecil, aku tak segera keluar dari kamar. Membuka baju kerja, aku ingin segera berganti baju rumahan. Mandinya nanti saja bareng Mas Azka, paling bentar lagi suamiku juga pulang.

“Aku tidak mengenalmu, jangan memaksa!”

“Coba kamu ingat-ingat.”

“Aku tidak ingat apapun karena aku tidak pernah bertemu denganmu sebelumnya!”

Apa, sih? Seperti suara ribut-ribut? Gegas aku membuka pintu dan keluar kamar. Benar saja. Di ruang tamu rumahku ada Mas Azka yang sedang bercakap dengan Mbak Dian. Aku menghampiri.

Mendengar langkahku, Mas Azka segera berbalik badan dengan wajah cemberut. Tangannya mengendorkan dasi di lehernya dan ia berjalan masuk tanpa menghiraukan aku. Dahiku melipat segera.

“Ada apa, Mbak Dian?” Tanyaku pada perempuan tang duduk di sofa ruang tamuku.

“Ngga ada apa-apa. Aku hanya menyapa Azka sebagai teman lama dan bertanya apakah ia masih mengenaliku?”

“Terus kenapa suamiku seperti kesal, Mbak?” aku menemani duduk Mbak Dian.

Kedua bahu Mbak Dian bergerak ke atas, “aku juga tidak tahu kenapa Azka jadi naik darah,” ucap Mbak Dian dengan wajah sendu.

Ck! Bibirku berdecak. Mas Azka ini lama-lama tambah kasar sama Mbak Dian. Cuma ditanya begitu saja marah. Padahal aku tuh nggak cemburuan lho, kenapa Mas Azka takut sekali berinteraksi dengan Mbak Dian.

“Ya sudah, Ras, aku pulang dulu.” Mbak Dian berjalan ke luar dengan menggendong Lova.

“Maafin Mas Azka, ya, Mbak?”

“Gapapa, kok, santai aja.” Mbak Dian tersenyum manis. Duh, sabarnya Mbak Dian … salut aku.

“Mas, kamu apain Mbak Dian sampai mau nangis begitu?” Tanyaku sama Mas Azka yang baru keluar dari kamar mandi.

Suamiku melirik lalu berjalan melewatiku begitu saja.

“Mas?” Bola mataku mengikuti langkah Mas Azka.

“Dian itu aneh,” jawab Mas Azka sambil menarik kursi dan duduk di kursi ruang makan. Aku sudah membuatkan teh hangat untuknya.

“Aneh bagaimana?” Kedua alisku menaut.

“Aku tidak mengenalnya tapi, dia memaksaku mengingat,” ujar Mas Azka dengan wajah tak senang. Aku mengulum senyum, begitu saja marah.

“Yang sabar dong, kan Mbak Dian cuma tanya.”

“Dia itu nggak sekedar tanya tapi memaksa.” Mas Azka mulai menaikkkan oktaf.

“Tinggal diiyain napa?”

“Ck! Kamu ini, bisa nggak sih nggak belain Dian terus? Dia itu nggak sebaik yang kamu kira.”

“Kok tahu?” Aku menatap.

“Feeling aja.”

Hahaha aku tertawa mendengar jawaban Mas Azka. Menilai orang hanya berdasarkan feeling, kan bisa aja meleset.

**

“Ras, nanti sore mau ada temanku datang ke rumah,” kata Mas Azka via telepon siang ini.

“Berapa orang?” Tanyaku.

“Dua orang aja.”

“Ok.”

Menutup sambungan telepon, aku lalu melanjutkan makan siang bersama rekanku Maretta yang biasa disapa Reta.

“Ada apa, Ras?” Tanya Reta setelah aku menaruh ponsel di meja samping piring makanku.

“Temannya Azka mau ke rumah.”

“Oh … teman kerja?”

Aku menggeleng,”temen lawas pas masih kuliah,”jawabku. Azka punya grup yang isinya mantan teman kuliahnya yang saat ini tinggal satu kota dengannya. Bukan yang pertama kalinya teman Azka berkunjung tapi, sudah beberapa kali. Tapi, ini sudah agak lama juga nggak ada yang main.

“Re, ada lowongan nggak sih di divisi kita?” aku bertanya sembari melihat cewek cantik yang duduk di hadapanku. Gadis itu diam sejenak dengan kening berlipat.

“Grace keknya mau resign deh, tapi, aku nggak tahu persisnya kapan,” sahut Reta.

Ah ya, Grace temanku satu divisi barusan menikah. Suaminya TNI dan ditugaskan ke luar Jawa. Mungkin dia mau resign karena mau mengikuti suaminya.

“Emang kenapa, Ras?”

“Aku ada teman, dia Janda, butuh kerjaan. Kasihan punya anak soalnya.” Pikiranku melayang ke Mbak Dian. Seandainya dia dapat bekerja di perusahaan tempatku bekerja kan lebih enak. Kerjanya office hour dan gajinya lumayan, masih ada bonus juga kalau mencapai target. Tujuanku sih, mau menolong aja, siapa tahu Mbak Dian bersedia kerja dan satu divisi denganku.

“Coba aja tanya Grace.”

Aku mengangguk.

Aku sampai rumah duluan dari pada Mas Azka. Mbok Wati sudah aku suruh nyiapin minuman sama camilan untuk teman-teman Azka nanti.

“Non Laras, Mbok pulang dulu, ya?” Pamit Mbok Wati padaku.

“Iya, Mbok, makasih, ya.”

Sepeninggal Mbok Laras, mas Azka pulang. Ada sebuah mobil lain mengikuti mobil suamiku dari belakang. Itu pasti temannya.

“Hai, Ras, apa kabar?”

Aku tersenyum pada Fahri dan Pupung, dua teman Mas Azka.

“Baik,” jawabku tersenyum. Aku mengenal teman-teman Mas Azka meskipun tidak akrab. Mereka dulu hadir di resepsi pernikahanku.

Mas Azka memilih duduk di teras luar bersama teman-temannya. Setelah menyapa dan mengeluarkan minuman, aku masuk ke kamar. Kebetulan, kamarku ada di depan, tepatnya di samping teras. Ada jendela kaca juga yang menghadap ke jalan.

Sambil rebahan, telingaku juga mendengar obrolan seru para lelaki. Candaan mereka kadang menjurus, membuat aku ikut mengulum senyum.

Suara sepeda motor seperti berhenti di depan rumah. Aku melihat ke luar jendela. Itu Mbak Dian pulang kerja naik ojol, ia masih mengenakan seragam minimarket. Suara canda dan tawa suamiku dan dua temannya mendadak berhenti. Bibirku mengulas senyum, biasa lah lelaki kalau lihat perempuan cantik suka langsung kicep. Gantian matanya yang bekerja.

“Siapa tuh, Ka?” Suara Fahri bertanya pada Mas Azka. Nah kan, benar. Langsung gercep.

“Nggak kenal gue,” sahut Mas Azka. Dih! Mas Azka segitunya, pakai bilang nggak kenal Mbak Dian. Sombong.

“Kek pernah lihat mukanya.” Suara Pungky yang akrab dipanggil Pupung.

“Gue juga lagi mikir gitu,” ujar Fahri.

“Itu si Nana keknya!” Suara Pupung girang, seperti orang yang berhasil menebak teka-teki.

“Weh, iya, lho! Itu Nana. Lo ingat nggak, Ka?”

“Masak sih, kok penampilannya beda jauh?” suara yang ini agak pelan.

Bola mataku bergerak ke samping, itu suara Mas Azka. Apakah dia sudah mengingat kembali siapa mbak Dian?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status