Share

Susunya Mbak Dian

Janda Lugu Tetanggaku 5

Bab 5

Susunya Mbak Dian

Hari Sabtu dan Minggu adalah hari weekend buat aku dan Mas Azka. Kami berdua libur bekerja. Setelah sarapan pagi berdua, aku dan suami duduk santai di rua g tamu sambil menunggu kedatangan Mama Mertua.

Kemaren Mama sudah telepon mau datang. Seperti biasa kalau habis mengambil uang pensiun, Mama pasti berkunjung ke mari dengan membawa segudang oleh-oleh. Utamanya sembako sama berbagai makanan enak atau kudapan masakan tangan Mama sendiri.

“Lihat apa, Mas?” Aku mengawasi Mas Azka yang matanya melihat ke luar jendela kaca. Akupun menoleh ke belakang punggungku. Menyibakkan sedikit korden putih tipis transparan, aku melihat Mbak Dian sedang berada di depan rumahnya. Tepatnya di bawah pohon mangga dengan tangan yang membawa botol semprotan. Rupanya, Mbak Dian sedang merawat tanaman hidroponik miliknya dengan menyemprotkan air.

“Lihatin Mbak Dian, ya?” Tanyaku pada Mas Azka. Suamiku menggeleng cepat.

“Nggak,” sahutnya ketus.

“Terus, lihat apa?”

“Itu lho, buah mangganya udah besar-besar.” tunjuk Mas Azka pada buah mangga yang bergelantungan di pohon milik Mbak Dian. Aku langsung melihat apa yang ditunjuk suamiku. Memang buah mangganya sudah besar dan ranum.

“Mau?” Tanyaku sambil melihat Suami.

“Nggak,” katanya.

“Gapapa, biar aku mintain,” ujarku memaksa.

“Aku tuh cuma lihat, nggak kepingin.” Mas Azka melebarkan mata.

“Kepingin juga gapapa, Mas. Aku ke sana dulu, ya!” Berdiri, membuka pintu, akupun berjalan cepat ke depan.

“Hei, Laras!” Terdengar suara Mas Azka memanggil tapi, aku pura-pura nggak denger.

“Mbak Dian?” Aku berjalan sambil memanggil.

“Eh, Laras … kirain jalan-jalan hari Sabtu.” senyum Mbak Dian mengembang menyambutku.

“Nanti, nunggu Mama dulu,” jawabku mendekat. Mataku mencari baby Lova. Oh, itu dia lagi duduk di stroller.

“Halo, sayangku, cantikku. Lagi ngapain?” Aku berjongkok melihat bayi mungil yang tertawa-tawa menggemaskan. Aku mengusap lembut pipinya yang montok.

“Main tempat Tante, yuk, ada Om Azka,” ujarku dengan wajah menggoda bayi. Lova sepertinya mau kuajak ke rumah, tuh dia menjerit-jerit sambil mengulurkan tangan. Akupun mengambilnya dari stroller dan menggendong Lova berdiri di bahuku.

“Mbak, aku bawa Lova ke rumah, ya?”

Mbak Dian mengangguk, “kebetulan, Ras, aku juga mau bersih-bersih rumah sama mandi.” Mbak Dian tertawa.

“Ok!” Jawabku sambil berlalu.

“Halo, Om Azka ….” Aku memanggil Mas A ka dengan menirukan suara anak-anak. Suamiku yang masih duduk di ruang tamu dan sibuk dengan ponsel melihat kedatanganku bersama Lova. Segera aku duduk di sampingnya.

“Mas, lihat, cantik ya, Lova pakai baju pink,” kataku. Mas Azka menaruh ponsel di sebelahnya lalu memegang tangan mungil Lova. Baby itu tertawa kegirangan. Saat sedang asyik bercengkerama dengan Lova, ada sebuah mobil hitam memasuki halaman rumah.

“Itu, Mama dah datang.” Mas Azka berdiri dan berjalan ke pintu. Sambil menggendong Lova, aku juga ikut keluar menyambut Mama Mertua.

Pak Hasan, supir tua Mama membukakan pintu belakang untuk Mama. Senyumku mengembang melihat perempuan yang sudah berumur tapi masih cantik dan modis itu.

“Halo, Oma,” kembali aku menirukan suara anak-anak menyapa Mama. Mas Azka mencium punggung tangan Mama. Aku cipika cipiki dengan Mertua.

“Anak siapa?” Mama bertanya sambil duduk di sofa, dia menaruh tas jinjingnya di meja. Pak Hasan dan Mas Azka sibuk memasukkan barang-barang bawaan Mama ke belakang.

“Anaknya Mbak Dian.” Dengan menggerakkan kepala, aku menunjuk depan rumah.

“Cantik, ya?” Kata Mama sambil memegang jemari Lova.

“Mamanya juga cantik,” sahutku.

Mas Azka bergabung, dia duduk di sofa tunggal depanku sedangkan aku, Lova, dan Mama duduk di sofa panjang.

“Azka, itu Mama bawain es krim buatan sendiri, masukin freezer,” kata Mama. Mas Azka kembali ke dapur untuk mencari es krim yang dimaksud Mama.

“Assalamualaikum.”

Suara lembut mengucapkan salam.

“WaalaikumSalaam.”

Aku dan Mama menjawab bersamaan. Rupanya Mbak Dian yang datang.

“Masuk, Mbak,” kataku. Mbak Dian. Melangkah masuk dan tersenyum pada Mama. Mengenakan kemeja gombang bergaris-garis halus berwarna soft pink dengan dalaman hitam, mbak Dian terlihat fresh. Habis mandi keknya.

“Ini Mbak Dian. Ma. Mama ya Lova.” aku memperkenalkan tetanggaku pada Mertua.

“Oh, ya, pantesan Lova cantik, Mamanya juga cantik,” ucap Mama basa-basi.

“Ini Mama Mertua aku, Mbak Dian.”

“Salam Tante,” ucap Mbak Dian membungkuk sopan. Beneran, aku kagum sama Mbak Dian, cantik, kalem, sopan, baik. Kenapa bisa jadi Janda?

Melihat Mamanya datang, baby Lova merengek, dia mau sama Mbak Dian.

“Ooh, denger ada Mama, ya?” Aku tertawa. Mbak Dian menghampiri dan mengambil Lova dariku.

Tap tap tap

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku menoleh, Mas Azka sedang menuju kemari. Melihat ada Mbak Dian, suamiku hampir balik kanan.

“Mas, mau ke mana?” Aku memanggil. Mas Azka urung pergi, dia kemudian mendekat. Wajahnya langsung surem. Dasar Mas Azka, nggak ada sopan-sopannya sama Mbak Dian.

“Dian aslinya mana?” Tanya Mama.

“Semarang, Tan,”sahut Mbak Dian.

“Oh, Semarang? Itu Azka dulu juga sempat tinggal di Semarang waktu kuliah,” ujar Mama gembira.

“Iya, Tante, kami satu kampus.” Mbak Dian menjawab sambil melihat Mas Azka. Suamiku mengerutkan dahi, dia juga melihat Mbak Dian.

“Lho, Mas, ternyata satu kampus, to, kok nggak pernah cerita, sih?” Seruku dengan menabok lengan Mas Azka. Mas Azka melotot padaku sambil mengelus lengannya.

“Aku nggak tahu, aku nggak kenal sama Dian.” Mas Azka membantah.

“Kenal juga gapapa ‘kali, Mas.” aku menggoda Mas Azka dengan mengedipkan mata. Suamiku malah jengkel sepertinya.

“Apaan sih, Ras, aku nggak kenal, sumpah!” Jawab mas Azka.

“Beda fakultas kok, Ras, cuma aku sering lihat Azka di kampus,” kata Mbak Dian tersenyum.

“Ciee, yang beken di kampus, ahaha.” aku tertawa sendirian. Mas Azka memamerkan wajah asem.

“Aaa, aaa.” Lova menunjuk nunjuk suamiku. Aku menoleh pada bayi berusia delapan bulan itu.

“Mau ikut Om Azka?” Tanyaku. Mataku tak lepas memandang wajah lucu Lova.

“Uh, uh,” baby Lova semakin bersemangat menunjuk Mas Azka, dia sampai melonjak.

“Keknya mau ikut kamu, deh, Mas.” aku menyenggol kaki suamiku yang tak ada reaksi. Dasar nggak peka.

“Ambil Lova, tuh, Mas,” kataku.

“Nggak.” Mas Azka menjawab pelan. Mataku melotot padanya.

“Kasihan itu, nunjuk-nunjuk terus!” Berbisik. Suamiku bergeming.

“Azka, coba gendong Lova itu, kasihan. Sepertinya pingin sama kamu,” kata Mama. Aku menoleh suamiku dan dengan gerakan kepala, aku menyuruh mas Azka mengambil Lova.

Dengan malas Mas Azka beranjak menghampiri Lova yang ada di pangkuan Mbak Dian. Membu gemuk sedikit, Mas Azka bermaksud menggendong Lova. Sekonyong-konyong-konyong, suamiku membuang muka dan berpaling dari wajah Mbak Dian. Wajah Mas Azka memerah san seperti terkejut. Dahiku mengerut sedikit, kenapa Mas Azka.

Setelah mengambil Lova, Mas Azka memberikannya padaku.

“Nih, aku mau ke belakang!” Mas Azka seperti marah. Lho, kenapa? Aku nggak paham.

Mama menatap lurus Mbak Dian yang tersipu-sipu malu dan agak menunduk. Lantas, akupun jadi memperhatikan Mbak Dian.

Dua kancing bagian atas kemeja yang dikenakan Mbak Dian terbuka, atau sengaja nggak dikancingkan. Aku nggak tahu pasti soalnya nggak begitu memperhatikan. Belahan dada Mbak Dian terlihat menyembul di antara baju dalaman tanktop hitam model dada rendah yang dia kenakan. Kontras warna hitam dan kulit putih Mbak Dian menjadikan belahan itu terlihat lebih sensu-al.

Apa Mas Azka tadi melihat itu ya, susunya Mbak Dian?

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status