Vote dan komen oghey😉
Malam ini, entah sampai kapan hujan akan mengguyur kota. Membuat jalanan becek dan aktivitas-aktivitas di luar sana tertahan sementara. Sama dengan tertahannya seorang pria yang sedang menyesap kopi sambil duduk menaikkan satu lutut di sofa ruang keluarga.
Bian meniup-niup sembari sesekali menyesap secangkir kopi di tangannya. Tubuhnya berbalut selimut abu tebal berbahan wol, sedangkan matanya fokus menonton drama action dari TV layar lebar yang menyala di depannya.
Ya sebenarnya Bian sadar tingkahnya kelewat santai sebagai tamu. Namun ia terlanjur nyaman dengan posisi ini. Peduli setan gue sama Anjani. Haha, gumamnya.
Tapi ngomong-ngomong, dimana wanita itu? Kenapa lama tidak muncul setelah memberikan kopi?
Ah, Bian jadi merasa kurang asik kalau harus sendirian di ruangan sebesar ini. Padahal kan niatnya bertamu tidak lain ag
Anjani baru belanja kebutuhan pangan, ia akan memasuki dapur untuk menaruh semua sayurannya, tetapi langkahnya berhenti saat samar-samar terdengar suara minta tolong dari arah kolam renang. Sontak wanita itu termangu dan menjatuhkan plastik belanjaan ke lantai. Ia ingat pagi tadi, bi Ratih sempat mengatakan padanya bahwa Clara ingin berenang."Anakku?" gumamnya cemas.Buru-buru wanita yang mengenakan dress tunik putih itu menggerakan tongkat menuju kolam, setibanya Anjani terkejut bukan main karena yang ditemukannya adalah Bian."Astaga Pak Bian!"Anjani lihat pria itu kesulitan muncul ke permukaan, atau ralat, Bian mungkin tidak bisa berenang."To-tolong akh--"Anjani menggigit bibir bawahnya cemas. "Coba berenang ke tepi pak.""Ti-tidak. Hmpph. Tolong Anjani." Pria itu berulang kali nyaris tenggelam, berulang kali pula muncul ke permukaan
"Saya ingin mendengar kejujuran dari mulut kamu," ucap Bian memegang lengan Anjani. Menahan wanita itu untuk tidak menghindar dari tatapan matanya. Ia heran kenapa wanita itu lebih memilih berbohong, ketimbang jujur. Toh, apa masalahnya? Ia malah senang mengetahui Anjani rela melakukan hal tersebut untuknya. "Itu... tadi saya jujur kok. Hehe." Anjani menyengir, menggaruk tengkuk salah tingkah. "Benarkah?" Bian menarik kursi roda Anjani lebih mepet ke ranjangnya. Anjani tergelak. Tubuh Bian bergeser 90 derajat menghadap wanita itu. "Coba katakan lagi sambil menatap mataku." "Saya ... " Anjani terdiam menatap ke bawah, merasa sangat ragu mengatakannya. Bian menaikkan dagu wanita itu hingga tatapan mereka bertemu, "Kamu memberiku napas buatan hm?" "Hah? Ba-bapak tau darimana?" "Wanita tua itu. Dia yang memberitahuku." Bian mengernyitkan kening seraya bersedekap.
Anjani kaget mendengar pengakuan Bian, ia menatap pria itu dengan alis bertaut. Tidak mengherankan sebenarnya jika seseorang tidak bisa berenang, tapi mendengar kata 'takut kedalaman air' sangat jarang Anjani temui.Dan Bian jadi orang pertama yang Anjani ketahui mengenai kondisi trauma seperti itu. Baginya ini langka."Saya takut, cemas, dan gemetaran ketika melihat kolam, danau, atau sejenisnya yang punya kedalaman," aku Bian dengan wajah sendu. Tersirat kesedihan dari matanya. "Lalu kalau saya memaksakan diri untuk berenang, saya akan sulit bernapas."Dulu Anjani tak pernah sekasihan ini pada pria itu. Kiranya pria seukuran Bian terlampau mustahil memiliki masalah yang rumit, mengingat Bian punya segalanya; wajah tampan, cerdas, dan harta yang sepertinya tak akan habis hingga tujuh turunan."Kamu tahu kenapa?" Pula Bian rasanya tak pernah seingin ini menceritakan beban hidupnya kepada seseorang. Ia sela
Laura memicingkan mata ke mobil yang ditunjuk Hani, pria itu mengatakan kebenaran, setelah Laura melihat plat nomor mobilnya ternyata persis seperti punya Bian. Bahkan bukan persis lagi, itu mobil nyata adalah milik Bian. "Sialan! Lo bener Han, itu mobil My Prince gue kenapa bisa disitu sih?! Ngapain Bian di rumah Anjani?" gumam Laura kesal. Ia menggebrak setir dengan kuat menyalurkan amarahnya.Ketika amarah majikannya mode on begini, biasanya Hani lebih berhati-hati, "Eike juga nggak tau nyonya, baru nyadar.""Apa jangan-jangan..." Hani menggantung ucapannya membuat Laura memicing kesal pada pria itu."Apa?! Lo mau ngomong apa?!""Eh enggak-enggak," elak Hani."Pantesan dari kemarin Bian nggak keliatan! Gue bakal kasih pelajaran itu si wanita lumpuh. Beraninya dia ngurung My Prince gue di gubuk ini." Laura sudah akan membuka pintu mobil
Mata Bian melebar mendengar penuturan Anjani, bukannya membela wanita itu malah membuka jalan lebar untuk Laura membawanya pergi. Apalagi sampai membeberkan bahwa dia sering numpang makan di rumah ini."Baguslah, ayo kita pergi Bi." Laura sudah menggenggam pergelangan Bian tetapi dihempaskan kasar oleh pria itu."Lepaskan saya Laura!" perintah Bian tegas. Laura bahkan sedikit tertunduk karna Bian menghempas tangannya barusan. "Saya nggak mau ikut dengan kamu. Lagipula siapa kamu berani memaksa saya?""Tapi Bi--""Loh bukannya ini pacar bapak?" Anjani menatap bingung keduanya."Ya bukanlah," Bian mengusap wajah gusar. Gusar karena Anjani selalu saja tak peka pada keadaan."Kamu ini nggak bisa membaca situasi apa? Kamu nggak lihat saya risih di dekat dia?" tunjuk Bian pada Laura. Wanita itu menghentakan kaki geram."Aduh saya makin bingung." Anjani dibuat ge
Nyaris seminggu tdk up😥 huhu. Author udh mulai sibuk, maaf yaa. ***Setelah mendapatkan telpon dari rumah sakit Anjani bergegas menuju ruang tempat Clara dirawat. Dan setibanya air mata wanita itu mengalir deras mendapati putrinya terbaring lemas di ranjang putih dengan perban melilit kepala dan impus yang melekat di punggung tangan."Clara..." Anjani melirih, di balik jendela kaca ia menatap putrinya yang ditangani oleh dokter, dapat ia lihat Clara mengalami cukup banyak luka di bagian tangan serta kaki.Bian yang sedari tadi mengekor akhirnya mendekat lalu berdiri di samping wanita itu. Ia hanya terdiam menatap ke dalam ruangan. Entah kenapa rasa kasihan, gelisah, dan sedih juga pria itu rasakan sekarang.Bian mencoba menyentuh pundak Anjani, "An--""Ini bukan waktu yang tepat untuk membuat masalah sama saya pak."
Beberapa jam kemudian Anjani diperbolehkan dokter menemui Clara. Wanita itu lantas masuk ke ruang rawat dengan langkah tergesa-gesa dan langsung mengecup dahi putrinya sambil berlinang air mata.Hati Anjani seperti teriris pisau tajam melihat banyak perban menutupi permukaan tangan serta kaki anaknya itu. Ia sungguh tak sanggup menerima semua ini.Memori kecelakaan dua tahun lalu pun seakan berputar kembali di benaknya. Membuat rasa trauma kehilangan menguak lagi ke permukaan. Anjani takut kehilangan satu orang lagi yang ia cintai, oleh karenanya dengan cara apa pun Anjani berusaha menjaga Clara.Tapi karena kejadian ini Anjani merasa dirinya tidaklah becus menjadi seorang ibu."Cepat sadar ya sayang." Anjani menggenggam tangan Clara, sesaat sebelum kemudian seorang suster memasuki ruangan dengan wajah paniknya."Nyonya mohon keluar. Seorang pria yang bersama nyonya tadi membuat keributan
"Bapak nggak perlu melakukannya, ruangan ini sudah cukup nyaman untuk Clara," ujar Anjani pada Bian. Pria itu menawarkan agar Clara pindah ke ruang VVIP. Dan tentu saja Anjani menolak sebab namanya ruang VVIP, biayanya pasti akan sangat mahal.Clara yang berbaring mengganguk, menatap Bian yang berdiri di samping Anjani yang duduk, "Iya Om. Di sini enak kok ada TV-nya.""Televisi mana cukup," Bian bersikukuh, "Lagipula di ruangan VVIP nanti bukan hanya ada fasilitas TV, tapi juga ada AC, Kamar mandi, sofa bed untuk Anjani, kursi penunggu pasien, Lemari pakaian, kulkas, dan lemari mainan. Kamu akan betah di sana.""Pak biayanya pasti lebih mahal. Sebaiknya Clara di sini saja." Anjani menolak lagi."Ck, kamu tidak tahu siapa saya?" Bian membuang udara dari mulut, pria itu mulai menunjukan kesombongan. "Tolong sekali ini kamu menurut, toh, masalah biaya paling gampang buat saya."Memutar bola