Mampus, Bian terciduk oleh karyawannya sendiri, dan dia adalah seorang wanita. Bian pun reflek melepaskan tautan bibir mereka dan dengan tenang serta pelan-pelan mendudukan kembali Anjani ke kursi.
Sedangkan Anjani malu bukan main, ia menunduk dalam dan tak mau menatap wajah wanita yang juga menunduk, mungkin sekarang dia sedang berpikiran negatif tentangnya.
Bian menghampiri wanita itu dengan wajah datar, berusaha bersikap tenang dan menyembunyikan rasa malunya. Bian bersedekap lalu wanita berkemeja abu-abu itu segera meminta maaf.
"Maaf pak. Maaf. Sungguh, saya tidak berniat mengintip kalian. Jangan pecat saya pak," ujarnya penuh rasa bersalah.
"Kenapa tidak mengetuk pintu dulu sebelumnya? Bukankah itu tata tertib yang sudah lama diterapkan di kantor ini hah?" tanya Bian marah.
"Sa-saya sudah mengetuk pak. Tapi tidak ada sahutan dari bapak. Jadi, saya berinisiatif masuk
Langit cerah kini berganti nama menjadi senja, matahari pun sudah bersiap tenggelam untuk digantikan oleh bulan.Seharian ini, Anjani dan Bian disibukkan oleh persiapan pernikahan mereka, bahkan Clara pun ikut ambil andil sebagai orang yang begitu antusias, yah antusias dalam mencoba semua makanan serta kue-kue yang dibuat khusus oleh chef sewaan Bian. "Clara ayo ke sini. Jangan gangguin mereka dong sayang," panggil Anjani melihat Clara sedang berjinjit lalu mencoleki satu persatu adonan kue kemudian mencicipinya tanpa dosa. Mereka tengah berada di mansion Bian, tepatnya di dapur mewah nan luas milik pria itu. Anjani menggelengkan kepalanya sembari mendengus lelah, kelakuan Clara itu pasti menganggu pekerjaan para chef tersebut. Hanya mungkin, mereka enggan menegur Clara dan memilih diam saja.Anjani pun menghampiri putri kesayangannya itu dan meraih bahu Clara agar anak itu mundur menjauhi meja adonan. Seketika Clara tergelak dan menyengir lebar pada Anjani dengan jari dan sudut bi
Sungguh, Bian tidak menyangka akan bertemu Bram di tempat ini. Lagipula, ada sekitar dua minggu mereka tidak bertemu.Mereka saling memandang dengan terkejut selama beberapa saat, sebelum kemudian Bram berdehem singkat lalu membuang pandangannya ke arah lain.Sedangkan Bian menaikan alis lalu tersenyum smirk pada pria itu. Bram tampak malu, pikirnya. Entah kenapa rekan bisnisnya itu tiba-tiba saja mengalihkan pandangan darinya.Oh ya, Bian berpikir ini juga saat yang paling tepat untuk memberitahu pria itu, bahwa dia dan Anjani akan segera melangsungkan pernikahan. Atau apa sebenarnya Bram sudah tau duluan? Sehingga menatapnya pun Bram merasa sungkan. Jika benar, Bian pikir ini mungkin adalah titik kemenangannya. Dimana ia akhirnya berhasil membuat Bram sadar bahwa Anjani tidak mungkin jatuh dalam pelukan pria duda itu. Hahaha.Oke, karena sekarang dia sedang bahagia, Bian tidak ingin mencari masalah, maka dari itu usai mengulas senyum tipis sekali
Tiga hari kemudian...Anjani dan Bian akhirnya melangsungkan pernikahan, bertempat di mansion mewah milik Bian yang sudah ditata sedemikian rupa layaknya sebuah hotel mewah berbintang yang sanggup menampung ribuan orang.Menginjak pukul delapan, tamu-tamu pun mulai banyak berdatangan, mulai dari keluarga dekat maupun keluarga jauh, teman, para karyawan kantornya hingga yang paling penting adalah kedatangan semua kolega bisnisnya.Bian ingin pernikahan perdananya hari ini disaksikan oleh banyak orang, agar mereka tahu, bahwa dia sudah menemukan seorang wanita yang tepat untuk melengkapi kehidupannya.Yah sekalipun Bian mengerti dan sadar akan banyaknya asumsi mengenai Anjani, namun, itu sama sekali tidak menggoyahkan komitmen Bian untuk meminang wanita cantik bertongkat itu. Ia tidak peduli lagi seburuk apa pikiran mereka tentang Anjani atau sesusah apa rumah tangga mereka nanti karena Anjani menggunakan tongkat. Bian rasa itu sama sekali tidak
Suara tembakan nyaring tersebut ternyata terdengar tak jauh dari tempat duduk kedua mempelai, yang tak lain dan tak bukan adalah tempat duduk seorang penghulu di depan mereka.Seluruh tamu undangan pun berteriak histeris, panik, serta ketakutan melihat tragedi yang tidak pernah diduga tersebut. Apalagi ini di sebuah acara pernikahan seorang pengusaha ternama, Bian Pradipta.Penghulu tersebut tertembak tepat di bagian pinggangnya. Lantas dia terkulai kesakitan dan Bian langsung menjatuhkan cincin yang belum terpasang di jari Anjani itu, untuk membantu penghulu tersebut."Argh," ringisnya. Anjani shok berat dan matanya pun berkaca-kaca melihat banyak sekali darah berucucuran membasahi lantai mansion ini."Ya Tuhan, bertahan pak," ucap Bian memangku penghulu tersebut."Arghh, sa-kit Nak," ujarnya membuat hati Bian terasa tercabik-cabik, ia tak tega melihat pria paruhbaya ini kesakitan.""Brengsek, siapa yang berani
"Tembakannya meleset Tuan," ungkap seorang pria kepada Bram. Pria itu tak lain adalah anak buah Bram yang menjadi pelaku penembakan penghulu di pernikahan Bian. Dia bersimpuh di kaki Bram sebab dia gagal melaksanakan tugasnya.Bram meraih kerah pria itu hingga dia terpaksa berdiri dengan wajah ketakutan. Kemudian Bram menamparnya dengan kencang.Plak."Dasar bodoh dan tidak becus, jadi ini balasanmu saat aku sudah membayarmu hah?!""Ma-maaf Tuan. Saya tidak sengaja. Saya ingin menembak Tuan Bian, tapi saya tidak tahu kenapa pelurunya malah melesat, Tuan. Ampuni saya. Jangan bunuh saya Tuan," sahutnya dengan nada bergetar dan pipi memerah, sekuat tenaga ia menahan sakit atas tamparan Bram. Sungguh, sebenarnya dia tidak tega melakukan penembakan ini. Karena dilandasi akan keperluannya terhadap uang demi anak dan istri, dia terpaksa menuruti perintah Bram."Argh sudahlah."
Pagi pun tiba, tak terasa sembilan jam sudah Anjani dan Bian melewati malam dalam tidur mereka. Anjani terlihat sangat nyenyak lain halnya dengan Bian, dia sesekali terbangun sebab pikirannya kadang terbayang masalah penembakan kemarin yang belum kelar. Namun, itu tak penuh membuatnya terjaga sepanjang malam. Bian tetap tidur dengan porsi waktu seperti biasa yang telah dia atur.Saat bangun, Bian tersenyum kecil mendapati Anjani merebahkan kepala di dadanya. Meski tangannya jadi terasa sedikit pegal Bian tetap enggan menjauh, atau nanti istrinya terbangun dan jadilah Bian merasa bersalah. Anjani tampaknya juga nyaman dalam posisi seperti ini. Entah berapa lama sudah, dia sangat menikmati."Selamat pagi, istriku," bisik Bian di telinga Anjani. Membuat wanita itu melenguh entah karena mendengar suaranya atau karena hal yang lain.Dan yah, lagi-lagi wanita yang mengenakan piyama putih itu akhirnya terjaga. Anjani menggeliat sebentar, perlahan membuka mata sembari m
Mereka masih menikmati masa-masa pernikahan, dan untuk dua minggu ke depan, Bian stay di rumah menghabiskan waktu bersama Anjani dan Clara. Meski begitu, dia tetap memantau kinerja perusahaannya dengan sesekali datang ke kantor Pradipta.Begitu pula untuk masalah penembakan yang terjadi tempo hari pada penghulunya, Bian tidak mungkin lupa, sebab itu dia datang menjenguk beliau ke rumah sakit. Memberikan beberapa oleh-oleh dan santunan lain sebagai rasa tanggung jawab atas apa yang terjadi.Anjani tidak ikut, Bian hanya sendiri, itu pun dia dijaga oleh beberapa pengawal sebagai antisipasi jika saja pelaku itu nekat melakukan penembakan lagi."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Bian pada seorang dokter laki-laki, kebetulan pas dia datang dokter itu sedang memeriksa kondisi pak Jaka, penghulunya. Bian menaruh oleh-oleh yang dia bawa ke atas nakas di samping brankar pak Jaka.Dokter Ares menurunkan stetoskopnya lalu menghampiri Bian dan tersenyum tipis. "Alham
Anjani menunggu dengan cemas kepulangan Bian, dia duduk di sofa ruang tamu dengan mata yang tak lepas menyorot pintu. Berharap pria yang sangat dicintainya itu pulang dengan keadaan baik-baik saja. Bukan Anjani terus-terusan berpikir negatif, dia tahu Bian memiliki banyak perlindungan dari bodygard-bodygardnya, dia tahu Bian adalah pria yang kuat yang bisa melindungi dirinya sendiri bahkan orang-orang sekitar. Namun, pikiran khawatir dan rasa sangsi sangatlah sulit Anjani tahan dalam keadaan seperti ini.Dia merasa bahaya masih saja mengintai Bian dan entah kapan kekhawatirannya ini akan berlangsung, mungkin setelah pelaku itu ditemukan baru dia bisa tenang."Bu Ani, ayo makan siang. Bibi udah masak loh masakan kesukaan ibu," ajak Bi Ratih. Anjani menggeleng pelan dan tersenyum tipis."Nanti aja ya, Bi. Aku nunggu mas Bian pulang," jawabnya.Bi Ratih mengangguk paham. Dia mengerti mereka adalah pengantin baru, pasti maunya berduaan terus