Share

05. Bertemu Pria Aneh

Author: Nongnanna
last update Last Updated: 2025-09-16 20:59:01

Suara roda koper kecil menyeret di jalan berbatu menemani langkah Gavya. Rumah peninggalan neneknya berdiri sederhana di ujung gang, dindingnya kusam tapi taman kecilnya masih dipenuhi bunga liar.

Pak Wisnu menurunkan koper ke teras, sementara Bu Mina merapikan anak rambut di pelipis Gavya. “Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan khawatir, rumah bibimu tidak jauh dari sini. Kalau butuh apa-apa, datang saja padanya.”

Pak Wisnu menambahkan dengan suara lembut, “Rumah ini sudah kami perbaiki dan bersihkan. Jadi kamu tidak usah capek-capek membenahi banyak hal. Beberapa barang keperluan juga sudah kami siapkan di dalam, jadi tinggal dipakai saja.”

Gavya menunduk, menahan haru, lalu berbisik, “Terima kasih, Ayah, Ibu.”

Setelah memastikan semuanya, kedua orang tuanya pamit. Gavya berdiri di depan pintu, melihat mobil mereka menjauh, lalu masuk ke rumah barunya, tempat ia harus belajar menata hidup lagi.

Sore itu hujan rintik turun. Lemari dapur kosong membuat Gavya akhirnya keluar mencari tempat sekadar mengisi perut dan menenangkan hati. Payung di tangannya menuntunnya sampai ke sebuah kedai kopi kecil dekat alun-alun. Dari luar, cahaya kuning hangat tampak memantul di kaca berembun.

Begitu masuk, aroma kopi langsung menyambutnya. Ia duduk di sudut, hanya ingin secangkir hangat untuk menenangkan pikiran. Tak lama, pintu berdenting. Seorang pria tinggi dengan rambut cokelat berantakan melangkah masuk.

Pria itu melepas jaket tipisnya, lalu menyapa pelayan dengan suara tenang, “Satu Americano, jangan terlalu manis.”

Gavya menunduk, mencoba mengabaikan sekitar sambil menatap ponsel di tangannya. Hujan di luar membuat kedai cepat penuh, kursi-kursi hampir terisi semua.

Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar di sampingnya.

“Permisi,” pria itu menunduk sedikit dengan sopan, “sepertinya semua meja sudah penuh. Boleh saya duduk di sini?”

Gavya mendongak, sedikit kaget menatap sosoknya. Ia sempat ragu sejenak, lalu mengangguk pelan. “Silakan.”

Pria itu menarik kursi dengan gerakan santai, lalu duduk berhadapan. Senyumnya tipis, tidak mengusik, seolah kehadirannya hanya sekadar melengkapi ruang yang semula kosong.

“Aku Zeen,” ucapnya kemudian, sekadar memperkenalkan diri.

Gavya sempat ragu, tapi akhirnya menjawab lirih, “Gavya.”

Zeen mengangguk pelan, seolah itu cukup. Tidak ada pertanyaan lanjutan yang berlebihan, hanya keheningan yang nyaman.

Beberapa menit berlalu. Kedai itu semakin ramai, tapi justru membuat meja Gavya dan Zeen terasa lebih tenang di sudut. Hujan di luar menetes lembut di kaca.

“Apa kau pendatang?” tanyanya kemudian memecah keheningan di antara mereka.

“Aku baru datang hari ini,” jawab Gavya.

Zeen menoleh sebentar, menatapnya dengan mata yang teduh. “Aku juga. Baru beberapa bulan, sebenarnya.”

“Oh.” Gavya mengangguk. Ia menyesap kopi panasnya.

Zeen menunggu pelayan meletakkan cangkir kopinya sebelum menoleh sekilas pada Gavya.

“Kalau boleh tahu, kamu suka ngopi di tempat kedai kecil seperti ini juga?”

Gavya menggeleng kecil. “Baru pertama kali, sebenarnya. Hanya, tidak punya persediaan di rumah baru. Jadi kupikir, tidak ada salahnya mencoba tempat ini”

Zeen mengangguk pelan, matanya menatap uap tipis yang naik dari minuman. “Kupikir hanya aku yang betah duduk lama di sini. Biasanya orang memilih kedai besar di alun-alun.”

“Tempatnya terlalu ramai,” sahut Gavya lirih, lalu menyesap sedikit kopi. Wajahnya menegang sesaat karena pahit yang menusuk, tapi ia segera menghela napas panjang. “Aku lebih suka rasa kopi yang sederhana, tidak bercampur macam-macam.”

Senyum Zeen melebar, kali ini tampak tulus. “Americano? Wah, aku tidak menyangka. Biasanya wanita lebih memilih cappuccino atau latte.”

“Kenapa?” Gavya balik bertanya, sedikit mengangkat alis.

“Entah,” jawab Zeen sambil menyandarkan punggung, suaranya santai. “Bagi kebanyakan orang, kopi pahit itu terlalu jujur. Tidak semua bisa menerimanya.”

Ada jeda singkat sebelum Gavya terkekeh lirih, tawa yang bahkan membuatnya sendiri kaget. “Mungkin aku hanya butuh sesuatu yang jujur saat ini.”

Zeen menatapnya sejenak, sorot matanya teduh, tapi ia tidak bertanya lebih jauh. Hanya mengangkat cangkirnya, memberi anggukan kecil.

“Pindah karena pekerjaan?” tanya Zeen, dia berusaha mencari topik pembicaraan agar tidak canggung.

Gavya terdiam. Pertanyaan sederhana itu membuat dadanya kembali sesak. Ia tidak ingin membuka luka, tapi juga tidak ingin terus berbohong. “Hanya ingin cari suasana baru.”

Zeen tidak buru-buru menanggapi. Ia hanya mengangguk sekali, lalu menatap cangkirnya. “Kadang memang perlu begitu, aku juga suka seperti itu,” katanya tenang.

Kalimat itu membuat Gavya menoleh. “Kamu juga begitu?” tanyanya pelan.

Zeen menatap keluar jendela sebentar, sebelum menjawab, “Ya. Semua orang punya hal yang ingin mereka tinggalkan.”

Jawaban singkat itu terasa penuh arti, tapi Zeen tidak terlihat ingin menjelaskan lebih jauh. Gavya bisa merasakan, pria itu memilih untuk tidak mengorek-ngorek, hanya memberi ruang.

Beberapa kali, pelayan datang dan pergi. Obrolan kecil muncul tanpa paksaan. Tentang rasa kopi, tentang kota kecil yang menurut Zeen ‘lebih jujur’ daripada kota besar, tentang taman di alun-alun yang katanya indah saat senja.

“Aku suka cara penduduk di kota ini tidak terburu-buru,” ujar Zeen sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Orang-orangnya berjalan lebih lambat, langitnya juga lebih luas.”

Gavya mengangguk, sedikit tersenyum untuk pertama kalinya. “Aku pikir aku perlu itu. Tempat yang lebih lambat.”

Zeen menoleh, matanya hangat. “Sepertinya kamu memang perlu ruang untuk bernapas.”

Beberapa menit hening. Zeen kembali sibuk dengan tabletnya. Gavya pura-pura membaca ponselnya, namun sesekali matanya mencuri pandang. Wajah Zeen tampak serius tapi tidak tegang, seolah ia terbiasa menyelesaikan banyak hal sendirian.

Mendadak, tanpa menoleh, Zeen berkata, “Kalau boleh tahu, dimana kamu tinggal?”

Gavya ragu sejenak. “Tidak jauh, sekitar sepuluh menit jalan kaki ke kedai ini.”

“Oh begitu.” Zeen mengangguk kecil, meletakkan tabletnya. “Biasanya orang pindah ke kota kecil seperti ini punya alasan tertentu. Apa kamu ada rencana buka usaha, mungkin? Banyak yang begitu. Pindah untuk memulai dari nol.”

Pertanyaan itu membuat Gavya diam lama. Matanya jatuh ke cangkir kopinya, jari-jarinya menggenggam gagang dengan erat. “Tidak, aku belum memikirkan apa pun. Aku hanya ingin tenang dulu.”

Zeen menatapnya dengan cara yang tidak menghakimi, hanya penuh pengertian. “Itu juga sebuah awal,” katanya pelan, “Kadang, berhenti sejenak jauh lebih penting daripada langsung berlari.”

Kata-kata itu menembus sesuatu di dada Gavya. Ia hampir ingin menunduk lebih dalam, tapi justru malah tersenyum samar, senyum kecil yang bahkan ia sendiri tidak sadari.

“Terima kasih,” kata Gavya pelan.

Zeen menggeleng. “Bukan apa-apa. Aku pernah juga merasa begitu.”

Hening sesaat, lalu Gavya memberanikan diri bertanya, “Kalau kamu sendiri? Sering ke sini?”

“Tidak terlalu,” jawab Zeen sambil merapikan tabletnya. “Aku lebih sering bekerja di luar. Tapi sesekali mampir untuk ingat bahwa dunia masih punya sisi sederhana. Seperti kopi hitam dan hujan sore.”

Gavya terkekeh kecil, matanya terangkat sebentar. “Kamu terdengar seperti penyair.”

“Aku?” Zeen mengangkat alis sambil tersenyum. “Percayalah, aku jauh sekali dari itu. Hanya orang biasa yang suka memperhatikan hal-hal kecil.”

Percakapan itu membuat waktu berjalan tanpa terasa. Hujan di luar sudah benar-benar berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang segar.

Zeen menutup tabletnya, lalu berdiri sambil menyampirkan jaket ke lengannya. “Aku pamit dulu. Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan.”

Gavya mengangguk cepat. “Oh, iya.”

Sebelum pergi, Zeen menatapnya lekat. Senyumnya tipis, suaranya tenang.

“Semoga kita bisa bertemu lagi di sini.”

Gavya mengangguk kecil, hendak membalas, tapi Zeen menambahkan dengan nada lebih pelan, “Rasanya, bukan suatu kebetulan aku bertemu kau hari ini.”

Gavya terdiam, jantungnya berdebar tanpa alasan. Ia menunduk, pura-pura sibuk dengan ponsel, sementara langkah Zeen menjauh, meninggalkan kata-kata yang terus terngiang.

 

 

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janda Tanpa Malam Pertama    08. Pelukan Hangat Menenangkan

    Sudah sebulan berlalu, sejak pertemuan Gavya dan Zeen di toko buku mereka tak lagi bertemu bahkan berinteraksi di sosial media. Suasana kota terpencil tempat Gavya tinggal tetap tenang, namun tidak memberi kemudahan bagi siapa pun yang mencari pekerjaan. Jalanan yang sepi, toko-toko kecil yang tutup lebih awal, dan peluang kerja yang terbatas membuat hari-hari Gavya terasa berat.Ia duduk di meja kecil ruang tamunya, menatap layar ponsel yang tak kunjung menampilkan hasil positif. Setiap lamaran kerja yang ia kirim hanya berakhir dengan jawaban singkat atau bahkan tanpa balasan sama sekali. Ia menunduk, menatap sisa tabungan yang mulai menipis di rekening. Hatinya berdesir khawatir.“Kalau aku terus begini, berapa lama aku bisa bertahan?” gumamnya pelan. Ia menutup layar ponsel, lalu menatap langit senja dari jendela, melihat cahaya oranye yang lembut tapi tak menenangkan sepenuhnya.Gavya tahu, ia harus berpikir lebih kreatif. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga agar bisa men

  • Janda Tanpa Malam Pertama    07. Diam yang Paling Mengerti

    Setelah beberapa saat, suasana kafe mulai sepi. Gavya meneguk kopi terakhirnya, matanya masih menatap Zeen yang tampak tak tennag setelah insiden ponsel tadi. “Aku, sebaiknya pulang dulu,” ucap Gavya pelan. Zeen menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya meski masih ada ketegangan di mata. “Aku antar, aku takut pencuri itu akan datang lagi untuk mengganggu,” katanya. Sampai detik ini, Gavya tidak pernah melihat Zeen membawa kendaraan. Dia hanya berjalan kaki dan berpenampilan sederhana layaknya orang biasa. Tidak ada yang mencolok kecuali wajah tampannya dan tubuhnya yang wangi dan bersih. Mereka berjalan melewati jalanan sepi, sesekali langkah kaki mereka bergema di trotoar basah. Gavya melirik ke arah Zeen. “Sekali lagi terima kasih karena sudah menyelamatkan ku,” ucapnya pelan. Zeen menoleh sebentar, menatapnya tanpa banyak kata, lalu mengangguk. "Yang terpenting kamu aman.” Sampai di depan gang rumah Gavya, mereka berhenti. “Sampai di sini saja,” katanya. Zeen menganggu

  • Janda Tanpa Malam Pertama    06. Pria yang Tak Bertanya

    Hujan deras baru saja turun di kota kecil tempat Gavya kini tempati. Jalanan penuh dengan genangan air dan orang-orang yang tadinya terlihat sepi karena berteduh, kini mulai keluar untuk melanjutkan kegiatan masing-masing.Langkah Gavya sedikit tergesa ketika ia menyeberangi jalur sempit di dekat taman kota. Tujuannya kini adalah menuju mini market terdekat. Beberapa cemilan dan bahan pokok hampir habis. Kakinya melangkah pelan tapi jarinya bergerak cepat, membalas chat dari ibunya yang baru saja menanyakan kabar. Ia begitu tenggelam dalam layar, sampai tidak menyadari seseorang mendekat dengan langkah ringan.Sekejap kemudian, genggaman di tangannya kosong. Ponselnya dirampas begitu saja.“Eh!” serunya refleks.Tanpa pikir panjang, Gavya berlari mengejar. Adrenalinnya meledak, langkahnya menabrak dedaunan basah yang berserakan. Matanya hanya terfokus pada punggung pria yang berlari membawa ponselnya. Nafasnya terengah, tapi ia tidak menyerah.“Berhenti! Pencuri!” teriaknya, meski ia

  • Janda Tanpa Malam Pertama    05. Bertemu Pria Aneh

    Suara roda koper kecil menyeret di jalan berbatu menemani langkah Gavya. Rumah peninggalan neneknya berdiri sederhana di ujung gang, dindingnya kusam tapi taman kecilnya masih dipenuhi bunga liar.Pak Wisnu menurunkan koper ke teras, sementara Bu Mina merapikan anak rambut di pelipis Gavya. “Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan khawatir, rumah bibimu tidak jauh dari sini. Kalau butuh apa-apa, datang saja padanya.”Pak Wisnu menambahkan dengan suara lembut, “Rumah ini sudah kami perbaiki dan bersihkan. Jadi kamu tidak usah capek-capek membenahi banyak hal. Beberapa barang keperluan juga sudah kami siapkan di dalam, jadi tinggal dipakai saja.”Gavya menunduk, menahan haru, lalu berbisik, “Terima kasih, Ayah, Ibu.”Setelah memastikan semuanya, kedua orang tuanya pamit. Gavya berdiri di depan pintu, melihat mobil mereka menjauh, lalu masuk ke rumah barunya, tempat ia harus belajar menata hidup lagi.Sore itu hujan rintik turun. Lemari dapur kosong membuat Gavya akhirnya keluar mencari tempa

  • Janda Tanpa Malam Pertama    04. Janda yang Di Perbincangkan

    Setelah berhari-hari di rumah mertuanya, Gavya akhirnya pulang. Mobil berhenti di depan pagar putih rumah masa kecilnya, dan ia turun dengan satu koper kecil. Begitu pintu terbuka, Bu Mina langsung merengkuhnya, membuat tangis yang ia tahan berhari-hari pecah seketika.“Kamu nggak sendirian. Ada Ibu di sini,” ucap Bu Mina, mengusap punggung Gavya dengan sabar.Malam di rumah sederhana itu kembali terisi tiga jiwa, tapi Gavya merasa asing. Kamar masa kecilnya yang dulu penuh tawa kini terasa sempit dan dingin. Setiap kali mencoba tidur, bisik-bisik dari rumah mertuanya kembali terngiang, dan kini bahkan sampai ke telinga tetangga.Hari-hari ia jalani dengan mengurung diri, hanya sesekali keluar membantu ibunya. Namun bahkan saat menyapu halaman, telinganya menangkap suara samar dari luar pagar tawa atau bisikan yang seolah ditujukan untuknya. Setiap kata, meski tak jelas, terasa menusuk lebih dalam daripada seribu pisau.Ketukan lembut terdengar di pintu. “Gavya, boleh Ibu masuk?” suar

  • Janda Tanpa Malam Pertama    03. Duka dan Wanita Misterius

    Saat Arkana tertidur lelap, Gavya duduk di tepi ranjang, matanya terus menatap tas hitam di kursi. Dengan napas tertahan, ia bangkit dan mendekat.Perlahan, ia membuka bagian atas tas yang sedikit terbuka. Di antara dompet dan ponsel, matanya menangkap sebuah kotak kecil, lalu di saku depan sebotol parfum wanita. Bentuknya ramping, elegan, dan asing. Itu bukan miliknya dan jelas bukan milik Arkana. Tapi, aroma ini mirip seperti yang Gavya cium saat malam pertama pernikahan mereka waktu itu.Hati Gavya mencelos. “Jadi benar dugaanku? Dia pergi ke wanita lain semalam?” batinnya.Belum sempat menarik napas, matanya menangkap sesuatu di dasar tas, ada bungkus pengaman belum terbuka. Tangannya melemas. Air mata mulai menggenang. Ia cepat menutup tas itu dan kembali duduk di tepi ranjang, menunduk, dan menggigit bibir agar tak menangis keras.Keesokan paginya, Arkana terbangun dan langsung menatap tas hitamnya. Ia mendekat, membuka tas, dan langsung tahu beberapa barang berpindah posisi.Wa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status