Setelah berhari-hari di rumah mertuanya, Gavya akhirnya pulang. Mobil berhenti di depan pagar putih rumah masa kecilnya, dan ia turun dengan satu koper kecil. Begitu pintu terbuka, Bu Mina langsung merengkuhnya, membuat tangis yang ia tahan berhari-hari pecah seketika.
“Kamu nggak sendirian. Ada Ibu di sini,” ucap Bu Mina, mengusap punggung Gavya dengan sabar. Malam di rumah sederhana itu kembali terisi tiga jiwa, tapi Gavya merasa asing. Kamar masa kecilnya yang dulu penuh tawa kini terasa sempit dan dingin. Setiap kali mencoba tidur, bisik-bisik dari rumah mertuanya kembali terngiang, dan kini bahkan sampai ke telinga tetangga. Hari-hari ia jalani dengan mengurung diri, hanya sesekali keluar membantu ibunya. Namun bahkan saat menyapu halaman, telinganya menangkap suara samar dari luar pagar tawa atau bisikan yang seolah ditujukan untuknya. Setiap kata, meski tak jelas, terasa menusuk lebih dalam daripada seribu pisau. Ketukan lembut terdengar di pintu. “Gavya, boleh Ibu masuk?” suara Bu Mina terdengar hati-hati. Gavya hanya terdiam. Pintu pun terbuka. Bu Mina masuk dengan senyum tipis, membawa secangkir teh hangat. Ia menaruhnya di meja, lalu duduk di samping putrinya. “Kamu belum makan dari pagi, Nak. Minum teh ini dulu, ya.” Gavya menunduk. “Aku nggak lapar, Bu.” Bu Mina menghela napas, lalu meraih tangan Gavya. “Nak, Ibu tahu kamu sakit hati. Ibu juga ikut sakit melihat kamu seperti ini. Tapi jangan biarkan kata-kata orang menghancurkan kamu.” Air mata Gavya jatuh. “Bu, kenapa mereka tega? Mereka bilang aku istri gagal, perempuan nggak baik. Padahal aku nggak salah.” Bu Mina meraih bahunya. “Ibu percaya kamu. Mulut orang tak bisa ditutup, yang bisa kita jaga hanya hati kita.” Hening sejenak. Gavya menarik napas, lalu menatap keluar jendela ke arah pohon mangga tua di halaman. “Bu,” katanya lirih. “Hmm?” “Aku capek. Capek jadi bahan omongan. Capek dipaksa seolah aku nggak punya hak atas hidupku sendiri.” Bu Mina menatap wajah putrinya lekat-lekat, lalu mengusap rambutnya. “Lalu apa yang kamu mau, Nak?” Gavya terdiam sejenak. Matanya kosong, menembus kaca jendela. Ia menelan ludah, lalu berkata pelan, hampir seperti gumaman. “Aku mau pergi dari rumah ini.” “Pergi? Maksudmu pindah ke mana, Gavya?” Gavya menunduk, jemarinya saling meremas di pangkuan. Ia tidak langsung menjawab. Lama sekali ia hanya duduk dalam diam. Lalu, ia mengangkat wajahnya. Matanya merah, tapi sorotnya penuh tekad. “Ke mana saja, Bu. Asal jauh dari sini.” Bu Mina tercekat. Wajahnya diliputi cemas, antara ingin melarang dan ingin memahami. Perlahan ia meraih tangan putrinya lagi. Bu Mina menggenggam tangannya lebih kuat. “Kalau begitu, pikirkan baik-baik. Apa pun keputusanmu, Ibu tetap di sisimu.” Gavya menunduk, menahan tangis. “Terima kasih, Bu.” *** Malam itu ruang tamu sunyi. Lampu gantung menyala redup. Bu Mina sibuk memainkan ponsel, sementara Pak Wisnu menonton televisi. Bunyi jarum jam terdengar lebih keras daripada biasanya. Dari balik pintu kamar, Gavya berdiri ragu. “Ayah, Ibu,” suaranya pelan. Kedua orang tuanya menoleh. Bu Mina langsung berhenti merajut. Gavya duduk di kursi seberang, menatap jemari yang saling meremas di pangkuannya. “Aku ingin pindah ke rumah peninggalan Nenek. Apa masih bisa ditempati?” Pertanyaan itu membuat suasana hening seketika. Bu Mina menatap suaminya, lalu kembali menatap putrinya. “Rumah itu masih ada, meski agak tua. Kamu sungguh mau tinggal di sana?” Gavya mengangguk. “Hm, mungkin itu bisa jadi tempat yang menenangkan.” Pak Wisnu menggeleng keras. “Tidak, Gavya. Rumah itu tidak aman. Lagi pula, orang malah akan semakin banyak bicara.” “Orang sudah bicara apa saja, Yah,” balas Gavya, nadanya meninggi. “Justru karena itu aku ingin pergi.” Pak Wisnu menghela napas berat. “Ayah hanya ingin melindungi nama baikmu.” “Tidak! Aku tahu cara bagaimana aku melindungi nama baik ku sendiri.” potong Gavya cepat, suaranya pecah. Keheningan menelan ruangan. Bu Mina menunduk. Pak Wisnu menatap putrinya lama, sorot matanya berat antara marah dan cemas. “Jadi kamu sudah yakin?” tanyanya akhirnya. “Ya,” jawab Gavya. “Baiklah,” suara Pak Wisnu akhirnya terdengar, dalam dan penuh ketegasan. “Kalau kamu memang bersikeras mau pindah ke rumah peninggalan Nenekmu, Ayah tidak akan lagi menahanmu. Tapi kamu harus tahu, itu bukan tanpa syarat.” Gavya mengerutkan kening. “Syarat apa lagi, Yah? Aku hanya ingin hidup tenang, jauh dari gosip orang. Apa itu salah?” Pak Wisnu menoleh, tatapannya menusuk. “Kamu boleh pergi, tapi hanya sampai satu tahun. Kalau dalam satu tahun kamu tidak menikah lagi, Ayah sendiri yang akan mencarikan jodoh untukmu. Dan kamu tidak boleh menolak.” Ruangan hening sejenak. Detik itu wajah Gavya memucat. “Ayah serius?” suaranya bergetar. Pak Wisnu menegakkan badan. “Ya. Ayah serius. Kamu perempuan, Gavya. Hidup sendirian bukan pilihan. Orang akan semakin banyak bicara, nama baik kita akan hancur kalau kamu terus hidup begitu.” “Nama baik?!” Gavya mendadak meninggi. “Nama baik siapa yang Ayah maksud? Aku sudah kehilangan suami, kehilangan harga diriku di mata orang, dan sekarang Ayah mau tambahkan dengan menjodohkan aku? Ayah kira itu bisa menutup mulut mereka?” “Justru itu!” balas Pak Wisnu cepat. “Kalau kamu menikah lagi, orang akan berhenti menjadikanmu bahan gosip. Kamu butuh perlindungan seorang laki-laki.” Gavya mendengus, dadanya naik turun. “Perlindungan? Ayah pikir aku tidak bisa melindungi diriku sendiri? Selalu saja perempuan harus bergantung pada laki-laki! Kenapa Ayah tidak percaya kalau aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri?” Bu Mina berusaha menenangkan. “Wisnu, Gavya baru saja mengalami luka besar. Jangan terlalu keras. Biarkan dia tenang dulu—” Namun Pak Wisnu menggeleng keras. “Justru karena itu. Luka itu tidak akan sembuh kalau dia terus menutup diri. Dia butuh kehidupan baru, pasangan baru. Itu kenyataan, Mina.” Gavya menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku belum siap, Yah. Aku masih dihantui semua yang terjadi. Lalu Ayah suruh aku menikah lagi hanya demi menjaga nama baik? Itu kejam.” Pak Wisnu terdiam sesaat, lalu suaranya merendah tapi tetap keras. “Kamu anak perempuan satu-satunya, Gavya. Ayah tidak sanggup membayangkan kamu hidup sendirian, apalagi jadi omongan orang seumur hidupmu. Ayah tahu kamu marah, tapi percayalah, ini untuk kebaikanmu.” Gavya mengepalkan tangannya. “Kebaikan menurut siapa? Menurut Ayah? Atau menurut dunia yang selalu menilai perempuan dari status pernikahannya?” Bu Mina menatap putrinya iba, lalu beralih ke suaminya. “Wisnu, mungkin kita bisa beri dia pilihan lain?” Pak Wisnu menghela napas panjang, tapi nadanya tetap tak tergoyahkan. “Tidak ada pilihan lain, Mina. Satu tahun. Itu cukup untuk Gavya memutuskan. Kalau tidak, Ayah yang akan mencarikan jodoh.” Gavya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Air matanya menetes, bukan hanya karena luka yang masih segar, tapi juga karena merasa terjebak di antara cinta ayahnya dan belenggu yang dipaksakan padanya. Dengan suara lirih tapi mantap ia berkata, “Baiklah, Ayah. Kalau itu syaratnya, aku terima. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti aku memilih jalan yang berbeda dari yang Ayah bayangkan.” Pak Wisnu menatap putrinya dalam diam. Ada kemenangan di sorot matanya, tapi juga kegelisahan yang samar. Sementara itu, Bu Mina hanya bisa menunduk, tahu bahwa keputusan itu akan menjadi awal dari pertarungan batin Gavya yang jauh lebih besar.Sudah sebulan berlalu, sejak pertemuan Gavya dan Zeen di toko buku mereka tak lagi bertemu bahkan berinteraksi di sosial media. Suasana kota terpencil tempat Gavya tinggal tetap tenang, namun tidak memberi kemudahan bagi siapa pun yang mencari pekerjaan. Jalanan yang sepi, toko-toko kecil yang tutup lebih awal, dan peluang kerja yang terbatas membuat hari-hari Gavya terasa berat.Ia duduk di meja kecil ruang tamunya, menatap layar ponsel yang tak kunjung menampilkan hasil positif. Setiap lamaran kerja yang ia kirim hanya berakhir dengan jawaban singkat atau bahkan tanpa balasan sama sekali. Ia menunduk, menatap sisa tabungan yang mulai menipis di rekening. Hatinya berdesir khawatir.“Kalau aku terus begini, berapa lama aku bisa bertahan?” gumamnya pelan. Ia menutup layar ponsel, lalu menatap langit senja dari jendela, melihat cahaya oranye yang lembut tapi tak menenangkan sepenuhnya.Gavya tahu, ia harus berpikir lebih kreatif. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga agar bisa men
Setelah beberapa saat, suasana kafe mulai sepi. Gavya meneguk kopi terakhirnya, matanya masih menatap Zeen yang tampak tak tennag setelah insiden ponsel tadi. “Aku, sebaiknya pulang dulu,” ucap Gavya pelan. Zeen menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya meski masih ada ketegangan di mata. “Aku antar, aku takut pencuri itu akan datang lagi untuk mengganggu,” katanya. Sampai detik ini, Gavya tidak pernah melihat Zeen membawa kendaraan. Dia hanya berjalan kaki dan berpenampilan sederhana layaknya orang biasa. Tidak ada yang mencolok kecuali wajah tampannya dan tubuhnya yang wangi dan bersih. Mereka berjalan melewati jalanan sepi, sesekali langkah kaki mereka bergema di trotoar basah. Gavya melirik ke arah Zeen. “Sekali lagi terima kasih karena sudah menyelamatkan ku,” ucapnya pelan. Zeen menoleh sebentar, menatapnya tanpa banyak kata, lalu mengangguk. "Yang terpenting kamu aman.” Sampai di depan gang rumah Gavya, mereka berhenti. “Sampai di sini saja,” katanya. Zeen menganggu
Hujan deras baru saja turun di kota kecil tempat Gavya kini tempati. Jalanan penuh dengan genangan air dan orang-orang yang tadinya terlihat sepi karena berteduh, kini mulai keluar untuk melanjutkan kegiatan masing-masing.Langkah Gavya sedikit tergesa ketika ia menyeberangi jalur sempit di dekat taman kota. Tujuannya kini adalah menuju mini market terdekat. Beberapa cemilan dan bahan pokok hampir habis. Kakinya melangkah pelan tapi jarinya bergerak cepat, membalas chat dari ibunya yang baru saja menanyakan kabar. Ia begitu tenggelam dalam layar, sampai tidak menyadari seseorang mendekat dengan langkah ringan.Sekejap kemudian, genggaman di tangannya kosong. Ponselnya dirampas begitu saja.“Eh!” serunya refleks.Tanpa pikir panjang, Gavya berlari mengejar. Adrenalinnya meledak, langkahnya menabrak dedaunan basah yang berserakan. Matanya hanya terfokus pada punggung pria yang berlari membawa ponselnya. Nafasnya terengah, tapi ia tidak menyerah.“Berhenti! Pencuri!” teriaknya, meski ia
Suara roda koper kecil menyeret di jalan berbatu menemani langkah Gavya. Rumah peninggalan neneknya berdiri sederhana di ujung gang, dindingnya kusam tapi taman kecilnya masih dipenuhi bunga liar.Pak Wisnu menurunkan koper ke teras, sementara Bu Mina merapikan anak rambut di pelipis Gavya. “Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan khawatir, rumah bibimu tidak jauh dari sini. Kalau butuh apa-apa, datang saja padanya.”Pak Wisnu menambahkan dengan suara lembut, “Rumah ini sudah kami perbaiki dan bersihkan. Jadi kamu tidak usah capek-capek membenahi banyak hal. Beberapa barang keperluan juga sudah kami siapkan di dalam, jadi tinggal dipakai saja.”Gavya menunduk, menahan haru, lalu berbisik, “Terima kasih, Ayah, Ibu.”Setelah memastikan semuanya, kedua orang tuanya pamit. Gavya berdiri di depan pintu, melihat mobil mereka menjauh, lalu masuk ke rumah barunya, tempat ia harus belajar menata hidup lagi.Sore itu hujan rintik turun. Lemari dapur kosong membuat Gavya akhirnya keluar mencari tempa
Setelah berhari-hari di rumah mertuanya, Gavya akhirnya pulang. Mobil berhenti di depan pagar putih rumah masa kecilnya, dan ia turun dengan satu koper kecil. Begitu pintu terbuka, Bu Mina langsung merengkuhnya, membuat tangis yang ia tahan berhari-hari pecah seketika.“Kamu nggak sendirian. Ada Ibu di sini,” ucap Bu Mina, mengusap punggung Gavya dengan sabar.Malam di rumah sederhana itu kembali terisi tiga jiwa, tapi Gavya merasa asing. Kamar masa kecilnya yang dulu penuh tawa kini terasa sempit dan dingin. Setiap kali mencoba tidur, bisik-bisik dari rumah mertuanya kembali terngiang, dan kini bahkan sampai ke telinga tetangga.Hari-hari ia jalani dengan mengurung diri, hanya sesekali keluar membantu ibunya. Namun bahkan saat menyapu halaman, telinganya menangkap suara samar dari luar pagar tawa atau bisikan yang seolah ditujukan untuknya. Setiap kata, meski tak jelas, terasa menusuk lebih dalam daripada seribu pisau.Ketukan lembut terdengar di pintu. “Gavya, boleh Ibu masuk?” suar
Saat Arkana tertidur lelap, Gavya duduk di tepi ranjang, matanya terus menatap tas hitam di kursi. Dengan napas tertahan, ia bangkit dan mendekat.Perlahan, ia membuka bagian atas tas yang sedikit terbuka. Di antara dompet dan ponsel, matanya menangkap sebuah kotak kecil, lalu di saku depan sebotol parfum wanita. Bentuknya ramping, elegan, dan asing. Itu bukan miliknya dan jelas bukan milik Arkana. Tapi, aroma ini mirip seperti yang Gavya cium saat malam pertama pernikahan mereka waktu itu.Hati Gavya mencelos. “Jadi benar dugaanku? Dia pergi ke wanita lain semalam?” batinnya.Belum sempat menarik napas, matanya menangkap sesuatu di dasar tas, ada bungkus pengaman belum terbuka. Tangannya melemas. Air mata mulai menggenang. Ia cepat menutup tas itu dan kembali duduk di tepi ranjang, menunduk, dan menggigit bibir agar tak menangis keras.Keesokan paginya, Arkana terbangun dan langsung menatap tas hitamnya. Ia mendekat, membuka tas, dan langsung tahu beberapa barang berpindah posisi.Wa