Home / Rumah Tangga / Janda Tanpa Malam Pertama / 06. Pria yang Tak Bertanya

Share

06. Pria yang Tak Bertanya

Author: Nongnanna
last update Last Updated: 2025-09-26 13:36:37

Hujan deras baru saja turun di kota kecil tempat Gavya kini tempati. Jalanan penuh dengan genangan air dan orang-orang yang tadinya terlihat sepi karena berteduh, kini mulai keluar untuk melanjutkan kegiatan masing-masing.

Langkah Gavya sedikit tergesa ketika ia menyeberangi jalur sempit di dekat taman kota. Tujuannya kini adalah menuju mini market terdekat. Beberapa cemilan dan bahan pokok hampir habis.

Kakinya melangkah pelan tapi jarinya bergerak cepat, membalas chat dari ibunya yang baru saja menanyakan kabar. Ia begitu tenggelam dalam layar, sampai tidak menyadari seseorang mendekat dengan langkah ringan.

Sekejap kemudian, genggaman di tangannya kosong. Ponselnya dirampas begitu saja.

“Eh!” serunya refleks.

Tanpa pikir panjang, Gavya berlari mengejar. Adrenalinnya meledak, langkahnya menabrak dedaunan basah yang berserakan. Matanya hanya terfokus pada punggung pria yang berlari membawa ponselnya. Nafasnya terengah, tapi ia tidak menyerah.

“Berhenti! Pencuri!” teriaknya, meski ia tahu percuma.

Akhirnya, setelah berbelok ke jalan setapak yang sepi, Gavya berhasil menarik punggung jaket si pencuri. Tubuh mereka sempat berbenturan keras. Dengan panik, Gavya berusaha merebut ponselnya kembali. Gavya bahkan sempat melempar sepatunya dan mendarat tepat di kepala pencuri itu tapi sayangnya pencuri itu tak peduli, baru saat menemukan gang buntu pencuri itu berhenti.

"Kembalikan! Atau aku akan menelepon polisi!" Peringat Gavya menatap tajam pada sang pencuri.

Akan tetapi, pencuri dengan penutup wajah lengkap sampai hanya terlihat matanya saja itu tak gentar dengan ancaman sang wanita kecil yang sok jagoan tersebut. Detik berikutnya, kilatan logam muncul. Sebuah pisau kecil terarah tepat ke arahnya.

Langkah Gavya terpaku. Dadanya naik turun cepat, tangannya gemetar. Keberanian yang tadi sempat muncul mendadak lenyap, diganti rasa takut yang mencekik. Ia bahkan hampir pasrah membiarkan ponselnya dibawa pergi.

Mereka terjebak dalam gang buntu sempit, lembab, dan juga sepi. Namun sebelum ia bisa mundur, sebuah bayangan muncul dari belakang. Seseorang berlari cepat, lalu dengan gerakan mantap melumpuhkan pencuri itu. Pisau terlempar ke tanah, tubuh pencuri terhempas keras. Semua terjadi begitu cepat sampai Gavya hanya bisa terpaku.

“Kau tidak apa-apa?” suara tenang itu menyapa.

Gavya menoleh, matanya masih membulat. Pria itu tinggi, berwajah teduh dengan rambut hitam berantakan menatapnya sambil meraih ponsel yang jatuh ke tanah, lalu menyerahkannya.

“Ini punyamu, kan?”

Gavya hanya mampu mengangguk, mengambil ponselnya dengan tangan bergetar.

Petugas keamanan dan beberapa orang yang mendengar keributan segera datang. Pencuri itu diamankan, dibawa menjauh. Namun perhatian Gavya hanya tertuju pada pria di depannya.

“Aku... Aku tidak tahu harus bilang apa,” ucapnya terbata.

Pria itu tersenyum samar. “Bilang saja terima kasih sudah cukup.”

"Sepertinya, terima kasih saja tidak cukup untuk seorang penyelamat, bagaimana kalau aku mentraktir mu di kafe waktu itu?"

Pria yang ternyata Zeen itu terkejut. "Tidak perlu repot-repot nona," ujarnya.

"Justru karena aku telah merepotkan mu tuan, maaf lancang tapi anggap itu rasa terima kasihku padamu."

Zeen memandangnya sejenak, seakan mempertimbangkan. Senyum tipisnya kemudian muncul. “Baiklah. Kalau itu bisa membuatmu tenang, aku bersedia.”

Kafe itu cukup banyak pengunjung hari ini, mungkin karena cuaca mendukung beberapa orang untuk menikmati kopi panas di cuaca yang dingin ini. Gavya hampir bingung memilih meja kosong, hingga akhirnya Zeen mengajak Gavya untuk duduk di sebuah ruangan yang jauh dari keramaian.

"Eh, sejak kapan kau tahu di sini ada ruang kosong dan jauh dari orang-orang?" tanya Gavya terkejut setelah ia membaca VIP Room.

"Ya, aku melihatnya di g****e beberapa waktu, siapa tahu aku butuh tempat ini di kemudian hari dan ternyata memang benar, aku membutuhkannya," ucap Zeen tersenyum.

Sejenak Gavya ragu untuk masuk, room VIP pasti mahal untuk membayar tempatnya. Zeen yang tahu keraguan Gavya pun berusaha membuatnya tenang.

"Tenang saja, aku yang bayar ruangan ini kau yang teraktir aku makanannya. Bagaimana?" tawar Zeen.

Gavya terkekeh kecil, lalu dia mengangguk dan mereka masuk bersama. Pelayan datang, mencatat pesanan. Gavya memilih Kopi kesukaannya, sementara Zeen kali ini memesan sebuah matcha yang membuat Gavya terheran.

Saat minuman mereka tiba, Gavya memandang cangkirnya sebentar lalu berkata, “Sejujurnya aku takut sekali tadi. Kupikir aku bisa melawan. Tapi ternyata begitu ditodong senjata, kakiku langsung berubah jadi jelly.”

Zeen menyesap matcha panas tanpa mengalihkan pandangan. “Takut itu wajar. Yang penting kamu selamat. Tidak semua orang harus jadi pahlawan untuk dirinya sendiri. Untuk wanita seukuranmu, berani melawan pencuri itu sudah sangat hebat." Puji pria itu.

Kata-kata itu membuat Gavya terdiam. Ada rasa yang sulit dijelaskan antara malu, tersipu dan tenang.

Ia menatap Zeen. “Kamu ternyata jago bela diri juga ya?"

Zeen mengangkat bahu. “Mungkin karena aku terbiasa menghadapi hal seperti itu. Atau mungkin karena aku tidak suka melihat seseorang dipaksa kehilangan.”

Jawaban itu sederhana, tapi cukup dalam bagi Gavya. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, melihat sisa hujan menetes di kaca.

“Kalau begitu, sekali lagi terima kasih."

Entah kenapa, setiap kali Zeen menatapnya, Gavya merasa aman dan nyaman, bukan dihakimi. Padahal ia tahu seharusnya berhati-hati pada orang asing, sedikit saja lengah, hatinya bisa terjebak terlalu jauh. Ia menyesap kopinya yang hampir habis.

Pria itu berbeda dari orang, ia tidak ribut, tidak kepo, dan tidak membuatnya merasa kecil. Justru karena itulah Gavya sadar hatinya sedang diuji. Rasa aman dan nyaman ini bisa saja berubah menjadi hal yang berbahaya untuknya.

Saat sedang melamun, dering ponsel Zeen memecah keheningan. Zeen menatap layar, wajahnya berubah tegang, bahkan panik. Sebelum Gavya sempat bertanya, ia sudah menutup ponselnya dengan cepat.

“Kenapa tidak diangkat?” tanya Gavya, ragu tapi penasaran.

Zeen mengangkat bahu, suara pelan dan tegang, “Oh, itu tidak penting.”

Keheningan kembali menyelimuti ruangan VIP dengan pendingin ruangan yang cukup membuat badan Gavya menggigil. Di balik wajah Zeen yang tenang, Gavya jadi penasaran tentang apa yang pria itu sedang sembunyikan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janda Tanpa Malam Pertama    17. Mungkin Harus Berakhir

    Zeen melangkah masuk ke ruang forensik, jas hujan hitamnya masih meneteskan hujan. Suara tetes air dari atap terdengar seperti irama yang menekan jantungnya. Ia menunduk, tangannya mengepal di saku, napasnya berat. Di depannya, dokter forensik dan dua petugas polisi menunggu.“Pak Zeen,” kata seorang polisi dengan nada formal, namun menandakan empati. “Kami menghargai kedatangan Anda. Kami ingin memberi penjelasan sejelas mungkin.”Zeen menatap tajam, tapi tidak bisa menahan suara yang bergetar ketika berkata, “Aku perlu tahu, apakah benar hasil pemeriksaannya?”Dokter forensik mengangguk perlahan, menyesap napas panjang. “Ya. Hasil otopsi dan tes DNA menunjukkan bahwa korban tewas dalam keadaan mabuk dan dalam tubuh korban juga terdapat obat terlarang.”Tubuh Zeen serasa runtuh. Dunia di sekelilingnya mendadak hening, kecuali suara hujan yang masih menetes dari jendela. "Ta-tapi... Dia tidak pernah—"Polisi lain memotong dengan suara tegas, “Kami menemukan beberapa hal, Pak Zeen. Tu

  • Janda Tanpa Malam Pertama    16. Di Balik Bayanganmu

    Langit sore menurunkan gerimis tipis di depan Kafe Kenangan. Aroma kopi dan karamel bercampur dengan hawa basah dari udara yang menetes lewat ventilasi kecil di sudut jendela. Suara denting lonceng di pintu masuk terdengar hampir tanpa henti sejak pagi. Pelanggan datang dan pergi silih berganti, membawa tawa, percakapan, dan pujian yang seharusnya membuat Gavya bahagia jika saja hatinya tak sesunyi itu.Sudah hampir satu bulan sejak terakhir kali ia berbicara dengan Zeen. Kini mereka benar-benar tak lagi saling menyapa apalagi bertemu.Gavya menurunkan nampan berisi gelas-gelas kotor ke meja bar. Tangannya sedikit gemetar karena kelelahan. Ia hanya memiliki satu pelayan paruh waktu. Setiap hari kafe itu semakin ramai, dan ia tentu semakin kewalahan.“Kak, meja tujuh pesan dua cappuccino dan croissant!” seru Mela, salah satu pegawai remaja yang membantu menjadi pelayan pengantar minuman dan makanan sekaligus kasir. Sedangkan Gavya fokus di belakang karena ia belum sama sekali menurunka

  • Janda Tanpa Malam Pertama    15. Hujan yang Tertinggal

    Langit siang itu mendung. Hujan turun pelan-pelan, sedangkan kini Gavya yang duduk di ruang tengah, menatap pintu yang separuh terbuka, sambil menunggu air matanya berhenti. Ia tidak tahu kenapa masih memikirkan Zeen. Orang asing yang beberapa waktu lalu masuk ke dalam kehidupannya sudah terlalu banyak mengisi pikirannya.Padahal, ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan berharap pada siapa pun lagi. Tapi janji itu seperti kertas basah di tengah hujan mudah robek dan mudah hancur.Ketika suara ketukan pelan terdengar dari depan, tubuh Gavya langsung menegang.Ia tak perlu menebak. Ia tahu siapa yang datang. Ia menatap ke arah pintu lama-lama, menimbang, lalu berdiri dengan langkah berat.Begitu pintu dibuka, benar saja sosok Zeen berdiri di sana, masih mengenakan mantel hitam, bahunya basah oleh rintik hujan yang belum reda.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Gavya tidak menjawab, hanya memberi jalan. Zeen melangkah masuk perlahan, menatap sekeliling seolah mencari kata yang tepat

  • Janda Tanpa Malam Pertama    14. Luka yang Belum Selesai

    Sore itu hujan turun deras di sertai badai, menutup langkah para pengunjung Kafe Kenangan lebih cepat dari biasanya. Gavya menutup pintu, lalu kembali ke dalam untuk merapikan kursi dan gelas. Zeen, seperti biasa, masih berada di sana, membantu tanpa diminta.“Biar aku saja yang angkat kursinya,” katanya sambil menggulung lengan bajunya.Gavya melirik kesal, walau hatinya geli. “Kau ini, Zeen. Aku sudah bilang, kau ini bukan karyawanku dan kau hanya tamu. Tidak perlu ikut-ikutan repot.”Zeen mengangkat bahu. “Kalau aku tidak membantu, kau pasti akan kecapekan.”Gavya menghela napas, memilih membiarkan. Hujan deras di luar membuat ruangan terasa sunyi, hanya ada suara deras air jatuh di atap dan detak jantungnya sendiri.Saat ia berjalan menuju dapur sambil membawa baki berisi gelas basah, kakinya terpeleset di lantai licin. Gavya hampir jatuh, tetapi dalam sepersekian detik sebuah tangan kuat menangkapnya.Tubuhnya mendarat di d*da Zeen.Mereka membeku. Nafas Gavya tercekat. Mata Zeen

  • Janda Tanpa Malam Pertama    13. Kehangatan mu

    "Karena hanya kamu yang bisa membuatku merasa hatiku menghangat lagi."Hampir dua hari Gavya menetap di apartemen milik Zeen. Pria itu benar-benar merawatnya meskipun terkadang ia sibuk pergi bekerja tapi orang-orang yang bekerja untuk pria itu juga terlalu ramah denganya.Malam itu, apartemen Zeen terasa sunyi. Gavya menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Kata-kata yang ingin ia ungkapkan terasa berat di lidah, seperti setiap hurufnya dipenuhi rasa takut dan keraguan.“Zeen,” suaranya lirih, nyaris tidak terdengar. Zeen menoleh, fokus padanya. “Ada sesuatu yang harus aku ceritakan.”Zeen mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kau tidak harus memaksakan diri,” ucapnya lembut. “Tapi aku akan mendengarkan, jika kau mau.”Gavya menunduk, jari-jarinya meremas selimut. “Aku takut kau akan menilai aku. Atau mungkin kau akan merasa berbeda setelah mendengar ini.”Zeen menggeleng pelan. “Tidak, Gavya. Tidak peduli apapun itu, aku tetap di sini.”Rasa hangat dan tenang it

  • Janda Tanpa Malam Pertama    12. Tersandung Bayangan Lama

    Tak seperti biasanya, hari ini Kafe Kenangan tampak sepi. Papan kecil bertuliskan “Tutup untuk sementara” menggantung di pintu kaca. Biasanya, setiap pagi, aroma kopi sudah tercium hingga jalanan depan, tapi kali ini hanya ada keheningan.Di dalam rumah sekaligus kafe itu, Gavya terbaring lemah di sofa. Demam membuat tubuhnya terasa berat. Ia memejamkan mata, berharap istirahat cukup bisa memulihkannya. Namun tubuhnya menolak bekerja sama.Suara ketukan terdengar dari luar. Perlahan pintu terbuka, dan sosok yang sudah akrab muncul, pria yang selalu ada untuknya.“Gavya?” suaranya terdengar khawatir. “Kau kenapa? Aku lihat kafe tutup, jadi aku coba datang ke rumah, aku khawatir.”Gavya berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. “Aku hanya kelelahan. Belum ada karyawan, semua kukerjakan sendiri. Mungkin tubuhku akhirnya menyerah.”Zeen segera menghampiri, meletakkan punggung tangannya di dahi Gavya. “Panas. Kau butuh istirahat yang benar, bukan sekadar tidur terbaring."“Aku baik-ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status