"A-apa yang mau Dokter katakan?" tanya Arika tergagap. Tubuhnya gemetar dan detak jantungnya semakin cepat. Arika mundur perlahan namun terhenti karena sandaran sisi sofa menghalangi dipunggung bawahnya.
"Aku nggak pernah seperti ini sebelumnya," Dokter Reinhard begitu dekat sampai Arika bisa merasakan napasnya yang harum mint berhembus di wajahnya. Arika kehilangan ritme napasnya yang terasa sedikit sesak."Tetapi aku baru menyadari belakangan ini," aku Dokter Reinhard menatap kuat ke dalam mata Arika. Darah terpompa keseluruh tubuh Arika ketika tangan dingin dan halus itu membelai dagu Arika lembut."Meskipun aku mencoba menyibukkan diri lebih dari biasanya, hasrat itu nggak bisa aku bendung. Karena itu aku memutuskan untuk menikah," jelas Dokter Rein berbisik."A..Apa...maksud anda?" hampir suaranya tak dapat keluar."Aku..." Dokter Rein merengkuh bibir Arika dengan bibirnya yang tipis. Seolah terhipnotis, tanpa penolakan Arika menyambut bibir itu. Matanya terpejam oleh kenikmatan.Tangan Dokter Reinhard menjelajah ke perbukitan Arika yang masih terjaga kain kemejanya. Meremasnya. Menyadari ada hal yang salah, Arika mendorong Dokter Reinhard sebelum mereka berbuat lebih jauh."Maaf...maafkan aku Arika!" desah Dokter Rein dalam nada penyesalan.Arika mengatur napasnya yang nggak karuan yang juga membuat dadanya kembang kempis oleh detak jantung yang berpacu."Nggak Dok, ini juga salah saya," Arika menjawab dengan napasnya yang tersendat-sendat."Itu yang ingin aku katakan kepadamu," Urai Dokter Reinhard. "Aku mulai mengalami libido s*x yang tinggi," akunya membuat Arika terkejut dan juga ngeri dalam waktu bersamaan."Untuk itu aku ingin menikah. Tetapi kalau kamu keberatan dengan keadaanku kamu boleh mundur. Dan maafkan aku karena berlaku kurang ajar di awal pertemuan kita.""Iya Dokter Reinhard," Arika bangkit dari duduknya. "Kalau begitu saya permisi. Aku akan mengabari melalui Bibi Delvi. Permisi!" pamit Arika."Aku akan mengantarmu!" Dokter Reinhard memimpin Arika keluar dari rumahnya.Kemudian di rumah Bibi Delvi,"Apa?....Kamu menolak dicium kan?" pekik Bibi Delvi, kaget. Matanya melotot seolah akan loncat keluar."Itu masalahnya. Aku nggak menolaknya. Habis bagaimana dia ganteng dan wangi aku jadi terhipnotis. Lagipula sudah lama juga aku nggak ciuman," kata Arika bernada murung diakhir.Sudah setahun Arika bercerai dengan suaminya. Waktu yang cukup lama bagi Arika untuk merindukan belaian seorang lelaki."Haduuuh...kamu ini Arika!" keluh Bibi Delvi menepuk dahinya. "Lalu sekarang bagaimana? Apa kamu mau menikah dengannya setelah kamu mengetahui hal itu?" tanya Bibi Delvi."Satu hal yang membuatku ingin mempertimbangkannya adalah kejujurannya. Dia nggak menutupi masalah itu di awal, berarti ada keseriusan dalam dirinya." jawab Arika."Begitukah? Jadi kamu akan menerima lamaran Dokter itu?" Bibi Delvi menyimpulkan."Belum tahu. Aku belum bisa memutuskan." raungnya terdengar hilang arah."Begini ya Arika. Kalau menurutku ini kesempatan emas. Kamu akan dinikahi seorang Dokter sukses dan terkenal. Hidupmu akan enak, hanya tinggal mengurus suamimu, sudah. Daripada kamu harus bekerja. sudah mencari pekerjaan susah sekarang ini, ya kan?" Bibi Delvi memberi pertimbangan untuk Arika.Arika mendengarkan Bibi Delvi dengan seksama dan mencoba memahaminya.**********Dua Minggu kemudian . . .Suara ketukan pintu mengejutkan Arika yang sedang mengajak putrinya, Armelia - umur tiga tahun, bermain balok di dalam rumah.Arika dan putrinya tinggal di rumah semi permanen berukuran empat kali lima meter yang dia kontrak dari uang hasil pembagian harta oleh suaminya. Dia bisa saja mengontrak rumah yang lebih baik dari uang yang tidak sedikit yang diberikan oleh mantan suaminya. Namun dia memilih menggunakan uang itu untuk keperluan hidup mereka sebelum dia mendapatkan kerja.Sambil menggendong Armelia, Arika membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia melihat seorang pria yang mengenakan jaket parasut berwarna hitam dan blue jeans, berdiri di hadapannya sambil memegang map."Ini anakku, kamu nggak boleh mengambilnya dariku!" pekik Arika mengeratkan gendongannya."Ayah!" panggil Armelia.Pria itu adalah mantan suami Arika, Jay Jacob. Umur tigapuluh delapan tahun. Dia merupakan seorang Detektif di kepolisan kota. Banyak kasus yang dapat dia selesaikan hingga membuatnya menjadi Detektif yang sangat diperhitungkan di negara ini."Iya sayang," sahutnya tersenyum hangat kepada putri semata wayangnya. "Ini surat perintah dari pengadilan." Dia menyodorkan map berwarna biru ke depan Arika.Arika mengambil map tersebut dan membaca isi surat di dalamnya. Saat itu tanpa terduga Reinhard datang. Dokter Reinhard yang tampan mengenakan kemeja linen berwarna cream.Jay memandangi Dokter Reinhard yang berdiri di sisi Arika penuh tanda tanya. "Dia bukankah Dokter Gigi Reinhard? Sedang apa dia di sini?" Tanya Jay di dalam hati."Aku nggak akan menyerahkan anakku!" Jerit Arika histeris. Dokter Reinhard merangkul Arika untuk menenangkannya."Jangan mempersulit keadaanmu. Kalau kamu nggak menyerahkan Armelia sekarang, petugas pengadilan akan datang untuk menjemput paksa Armelia," ujar Jay."Itu benar. Kamu akan ditangkap kalau kamu nggak menyerahkan anakmu karena dianggap melawan hukum," jelas Dokter Reinhard.Jay mengambil paksa Armelia dan dengan berat hati Arika melepaskan Armelia."Mama...!" Rengek Armelia seraya mengulurkan tangannya.Jay membawa Armelia pergi. Arika menangis tersedu-sedu dalam pelukan Dokter Reinhard. Sudah lumayan jauh berjalan, Jay menoleh melihat keduanya."Secepat itukah kamu menemukan pengganti diriku?" Resah hati Jay meluruskan pandangannya kembali."Jangan khawatir. Kita bisa mengajukan banding kalau kamu mau," tawar Dokter Reinhard mengusap rambut Arika."Benarkah?" Arika menghapus air matanya dan melepaskan pelukannya."Iya. Aku bisa mencarikan pengacara untuk mengurus ini,""Masuklah dulu!" Arika mempersilahkan.Dokter Reinhard duduk di sofa berukuran satu meter berwarna hijau army sembari menanti Arika membuatkannya minuman.Arika datang dengan secangkir kopi dan menaruhnya di atas meja dihadapan Dokter Reinhard. Arika duduk di sebuah kursi di depan meja, bersebrangan dengan Dokter Reinhard."Apa benar aku bisa mengajukan banding untuk hak asuh anakku?" Tanya Arika menatap Dokter Reinhard lekat-lekat."Tentu. Aku akan membantumu untuk semua proses itu." Dengan gerakan yang elegant Dokter Reinhard mengangkat cangkir kopinya dan menyeruput kopi buatan Arika."Apakah biayanya mahal?""Jangan khawatirkan itu. Semuanya biar aku yang tanggung." Jawab Dokter Reinhard menaruh kembali cangkir kopinya."Terimakasih Dokter Reinhard." Mata Arika berkaca-kaca karena terharu."My pleasure." Sahut Dokter Reinhard tersenyum hangat."Eum..., ngomong-ngomong ada angin apa Dokter Reinhard datang ke rumahku?""Oh itu. Karena aku belum menerima jawaban darimu maka aku menelepon Bibi Delvi untuk memastikan. Ternyata dia bilang kamu belum menemui atau menghubungi dia lagi. Daripada merepotkan Bibi Delvi, aku inisiatif untuk datang ke sini.""Oh begitu.""Lalu...apakah aku bisa mendapatkan jawabannya sekarang?" Tanya Dokter Reinhard menatap Arika penasaran.****************Rein berjalan mendekat, membawa dua cangkir teh hangat. Uapnya menari lembut di bawah cahaya lampu gantung yang kekuningan. Arika menerimanya tanpa banyak bicara, lalu duduk bersisian di sofa ruang tengah.Hangat. Hening. Nyaman.Namun di dalam hatinya, sebuah pertanyaan perlahan muncul ke permukaan.Kenapa Rein bisa berubah? Kenapa hari ini terasa berbeda?Apa yang membuatnya seperti ini—manusiawi, ramah, hampir… lembut?Tapi Arika tidak mengatakannya.Ia hanya menatap uap dari tehnya, membiarkan pertanyaan itu tenggelam perlahan dalam diam.Ia takut jika kata-kata itu keluar, semuanya akan berubah kembali.Dia ingin menikmati malam ini saja. Walau hanya sebentar. Walau hanya semalam.“Aku senang hari ini,” gumam Arika akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri.Rein melirik ke arahnya, senyum tipis terbit di wajahnya. “Aku juga,” balasnya pelan.Mereka terdiam lagi. Tapi keheningan kali
Tiba-tiba pikiran Arika mengingat ucapan Rein barusan yang masih menggema di kepala Arika. Sebuah kalimat yang mungkin tidak terkesan ada keanehan :"Itu bukan dia. Pria itu masih hidup setidaknya sekarang. Dan entah apa dia akan melapor atau tidak."Arika seperti menangkap sebuah clue, 'setidaknya sekarang'. Kata-kata itu terlalu ambigu. Terlalu berbahaya dan mengandung makna.Arika menyingkap selimut dan bangkit dari tempat tidur. Jantungnya berdegup keras saat kakinya menyentuh lantai. Ia melangkah cepat menuju pintu, lalu menuruni tangga satu per satu, menuju ruang yang paling tak ingin ia lihat pagi ini—ruang bawah tanah.Langkah Rein terdengar tak jauh di belakang, namun alih-alih cemas, ia terdengar... ringan. Seolah sedang mengamati anak kecil yang penasaran."Masih penasaran?" suaranya lembut, seperti sedang menggodanya.Arika tak menggubris. Dia menuruni tangga ke ruang bawah tanah sementara Rein tetap menanti di atas. Tangan Arika gemetar saat membuka pintu ruang bawah tana
Suara hujan tak berhenti. Menit-menit terus berlalu, tapi halaman laporan masih kosong. Jay menatap layar komputer yang redup. Pantulan bayangannya sendiri muncul samar. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri lagi. "Sejak kapan aku jadi seperti ini?" Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bukan karena marah—tapi karena tak berdaya. Ia tahu prosedur. Ia tahu cara menyelidiki luka, membaca tanda-tanda kekerasan, mengejar kebenaran. Tapi malam ini, semua ilmunya lumpuh di hadapan satu tatapan mata. Tatapan Arika. Tatapan yang menyimpan seribu jeritan yang tak diucapkan. Tatapan yang dulu mengenalnya, kini nyaris tak bisa menatap balik. Tatapan yang terasa... minta tolong. 🎶 Jika kau merasa sepi… kembalilah ke tempat ku menanti… Lagu For Revenge-Serana mengalun. Dengan lirik yang senada dengan perasaan Jay malam ini. Jay memejamkan mata. "Apa kau bahagia, Ka?" "Apa kau aman…?" Pertanyaan-pertanyaan itu menggema, tak pernah terjawab. Dan sialnya, dia tah
Langkah Arika pelan, seakan jiwanya belum kembali ke tubuh. Ia masuk kembali ke ruangan Rein hanya untuk satu hal—mengambil tasnya. Tapi bahkan itu terasa berat. Tangannya sempat bergetar saat meraih pegangan tas, seolah benda itu pun ikut menolak disentuh.Namun sebelum sempat ia berbalik, tangan Rein menyergap pergelangannya. Kencang. Dingin. Seperti jerat.“Mau ke mana lagi kamu?” Suaranya rendah tapi tajam. Tak perlu teriak untuk terasa mengancam.Arika tak menjawab.Rein mendekat, wajahnya hanya sejengkal darinya. “Mau pergi lagi? Atau mengejar Jay?”“Bukan urusanmu,” sahut Arika, datar namun penuh api.Genggaman Rein mengencang. “Apa kamu mau dihukum lagi, huh?”“Hukum saja. Bunuh sekalian. Aku sudah tidak peduli!”Kata-kata itu meledak seperti bara dilempar ke minyak. Tatapan mereka saling mencengkram dalam keheningan yang membakar. Tidak ada yang bicara, tapi amarah, luka, dan kegilaan menari di udara.Lalu—klik.Pintu terbuka.Seorang pria berseragam putih masuk dengan wajah
Masih di pagi yang sama, matahari menyusup pelan di antara celah tirai, membasuh kamar dengan cahaya hangat. Rein bersiap ke klinik. Memakai kemeja yang telah disiapkan Arika secara susah payah ditengah luka-lukanya. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Arika yang masih berbaring dengan tubuh lemah namun tak lagi menolak. Tangan kekar namun halus itu mengusap kaki Arika dengan lembut. “Kau yakin tidak akan kembali ke klinik hari ini?” tanyanya pelan, seolah hanya memancing. Arika membuka mata, tak menghindar. “Nggak. Aku nggak mau, kalau kamu nggak keberatan.” Rein tersenyum tipis, tak membantah. “Baiklah, bila itu maumu. Tapi aku ingin memberitahu... hari ini Armelia punya jadwal kontrol. Giginya sakit.” Nama itu seketika menyalakan sesuatu dalam diri Arika. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit perlahan, mengabaikan perih yang masih terasa di tubuhnya. “Aku akan ke klinik.” Rein han
Dalam percumbuan malam itu, tubuh Arika tak lagi terasa seperti miliknya. Tangisnya jatuh, tanpa suara, menetes bersama luka-luka merah yang baru saja tercipta di kulitnya. Sabuk itu menyisakan jejak, bukan hanya pada dagingnya—tapi jauh lebih dalam, di tempat di mana rasa percaya pernah hidup. Namun Dokter Rein tidak berhenti. Bermain nikmat dengan tubuh Arika melalui sentuhan-sentuhannya. Baginya, setiap rintihan Arika adalah Puisi penaklukan. Setiap getar dan jerit bagai pengakuan atas kekuasaan yang ia genggam sepenuhnya. Tak ada ruang untuk pembangkangan dalam dunianya. Bahkan cinta pun, bila pernah ada, telah disalibkan oleh harga dirinya. Dia memuaskan hasratnya kepada tubuh Arika yang tak berdaya dalam kungkungannya. Berkali-kali seolah tak ada ampunan untuk hukumannya. Arika mengerang, bukan lagi sekadar karena sakit, melainkan karena dirinya perlahan memudar di bawah cengkeraman laki-laki itu. Tapi tubuhnya... tu