“Kalau begitu, saya permisi,” pamit Dokter Reinhard di depan rumah Arika.
“Iya, Dok,” jawab Arika singkat. Dokter Reinhard melangkah pergi, membelakangi Arika. Di balik punggungnya, senyum misterius tersungging di wajahnya. --- Sore hari setelah Dokter Reinhard pulang, Bibi Delvi datang berkunjung ke rumah Arika. “Jadi, apa kamu menerima lamaran Dokter Rein?” tanya Bibi Delvi sambil mengunyah kacang, bahkan menjejalkan lagi beberapa biji ke dalam mulutnya. Arika memperhatikan Bibi Delvi yang duduk di sofa seberang. Perempuan paruh baya itu tampak begitu bersemangat membuka kulit kacang yang disuguhkan Arika. “Aku belum menjawab. Aku masih minta waktu,” jawab Arika. “Waktu untuk apa lagi?” sungut Bibi Delvi, matanya menyipit curiga. “Sudah, terima saja. Ini tawaran bagus—makanya aku tawarkan ke kamu, bukan ke perempuan lain. Dia itu dokter gigi terkenal di kota kita. Semua orang tahu tentang dia. Dokter muda, tampan, ahli di bidangnya, baik hati, kaya raya, dermawan, dan juga ramah. Banyak pasien yang puas berobat ke dia,” cerocos Bibi Delvi panjang lebar. “Kalau aku masih muda, aku pasti sudah nawarin diri jadi istrinya... hahaha!” kelakarnya sambil tertawa terbahak. “Itu juga kalau dia mau... hahahaha!” Arika ikut tertawa. “Semua orang tahu tentang dia. Kenapa aku nggak tahu?” tanyanya dengan nada setengah heran. “Sejak menikah, kerjaanmu cuma di rumah. Ngurung diri sambil ngasuh anak. Jadi mana kamu tahu dunia luar,” kekeh Bibi Delvi, menyindir ringan. “Sudahlah, terima saja. Jangan kelamaan mikir. Nanti dia mundur dan cari yang lain, kamu sendiri yang nyesel.” “Entahlah, Bi...” Arika menghela napas panjang. “Aku masih ragu. Ada aura aneh yang aku rasakan dari Dokter Reinhard.” “Pasti itu karena kamu kepikiran soal gairah se* dia yang tinggi, ya?” tebak Bibi Delvi tajam. “Tenang saja, Arika. Mungkin itu cuma karena dia kelamaan jomblo. Hasratnya numpuk, jadi terkesan seperti itu. Nanti lama-lama kalian juga terbiasa,” lanjutnya santai. “Aku nggak kepikiran soal itu, Bi. Tapi hal lain. Kesan misteriusnya... seperti menyimpan sesuatu yang besar.” “Itu cuma perasaanmu aja, Arika. Semua orang ngakuin kebaikan Dokter Rein. Dia bukan orang macam-macam. Kamu sendiri yang bilang dia jujur—mau ngakuin kekurangannya. Lagian dia udah rela bantu kamu rebut hak asuh Armelia, kan?” “Kalau kamu mau, nanti aku buatin janji ketemuan lagi sama dia,” usul Bibi Delvi. “Jangan kecewain Dokter Rein, Arika. Dia serius sama kamu. Sampai-sampai mau bantu urusan keluarga kamu,” pungkas Bibi Delvi penuh nada peringatan. “Mana bir buatku?” tanyanya tiba-tiba, menyadari Arika belum menyuguhkan minuman. “Oh iya! Aku lupa,” jawab Arika sambil nyengir. ********* Malam Minggu berikutnya Bibi Delvi mengatur pertemuan Dokter Rein dengan Arika di sebuah restoran mewah bintang lima. Jangan berpikir Bibi Delvi yang membayar semua. Sudah bisa dipastikan semua biaya ditanggung Dokter Reinhard. Dokter Reinhard dan Arika menyantap menu paling direkomendasikan di restoran itu dalam diam, seolah percakapan hanya akan mengganggu kesempurnaan suasana. "Apa kamu benar-benar sudah membuat keputusan?" Tanya Dokter Reinhard menyeka sudut mulutnya dengan serbet makan. Arika membuka mulutnya hendak berbicara, "Tunggu!" Sergah Dokter Reinhard. "Diluar apapun keputusanmu. Aku akan memastikan, aku tetap akan membantumu mengurus hak asuh anakmu. Jadi kamu jangan terpaksa menerima aku karena takut aku nggak akan membantumu." "Terimakasih sebelumnya atas kebaikan anda Dokter Reinhard," ungkap Arika. "Bibi Delvi pun sudah mengatakannya. Saya memutuskan akan menerima lamaran Dokter kalau dokter benar-benar serius dengan pernikahan ini." "Aku tentu saja serius. Namun Apakah kamu juga sudah mempertimbangkan tentang itu?" Sorot matanya menyeledik dan terbungkus rasa penasaran. Deg.... Ada pukulan cepat mengenai jantungnya ketika mengingat hal itu. "A-aku...Aku akan melakukan sebaik yang aku bisa," jawab Arika menunduk. "Baiklah. Semoga kamu nggak akan menyesali keputusanmu," tanggap Dokter Rein tersenyum. *********** "Dokter Rein memintamu menandatangi surat perjanjian pra nikah," Bibi Delvi menyerahkan beberapa kertas yang di klip menyatu di dalam sebuah map. "Bibi sudah membaca isinya?" tanya Arika membaca halaman pertama yang memuat nama kedua belah pihak. "Sudah," jawab Bibi Delvi mendelik ke arah lain. "Baca lagi saja!" suruhnya. "Nggak perlu kalau Bibi sudah membaca nya," Arika membubuhkan tanda tangan di atas kertas perjanjian. "Aku percaya sama bibi," sambung Arika membubuhkan tanda tangan di atas kertas yang berisi namanya. "Dulu aku menikah dengan Jay nggak ada surat perjanjian segala," dengus Arika. "Ya beda Arika. Jay itu kan memang kekasihmu. Sebelum menikah kalian sudah dua tahun berpacaran. Sampai akhirnya kamu hamil," "Iya, kenapa dulu aku harus hamil?" gumam Arika menerawang. "Apa?...kamu ngomong apa?" tanya Bibi Delvi yang nggak bisa mendengar jelas gumaman Arika. "Nggak...aku nggak ngomong apa-apa kok," kelit Arika. **************** Setelah persiapan pernikahan semua beres, Arika dan Dokter Reinhard akhirnya menikah. Pernikahan sederhana yang hanya dihadiri keluarga Arika karena Dokter Reinhard merupakan anak yatim piatu dan tidak memilik sanak saudara lain di kota ini. Setelah menikah Arika tinggal bersama Dokter Reinhard di rumah Dokter Reinhard. Setelah acara pernikahan Arika pulang bersama Dokter Reinhard. Arika mengekor Dokter Reinhard menuju ke kamarnya. Matanya berkeliling memperhatikan setiap detail rumah Dokter Reinhard yang besar dan mewah. Yang membuat Arika lebih takjub lagi: rumah itu terlalu bersih, nyaris seperti tak pernah benar-benar dihuni—tak ada debu, tak ada jejak, bahkan tak ada aroma manusia. Mereka memasuki kamar yang besar, lapang dan mewah, luasnya bahkan melebihi luas rumah kontrakan Arika yang sekarang. Ruangan dengan langit-langit tinggi dan dihias warna cokelat dan emas dan krem. Perpaduan yang membuat ruangan itu terlihat elegant dan klasik. Arika berdiri di ambang pintu sedikit masuk ke dalam kamar, memperhatikan Dokter Reinhard membuka jas hitamnya, meninggalkan kemeja linen putih di badannya. "Masuklah!" suruhnya. "Ini juga kan kamarmu. Buatlah dirimu nyaman di sini," pintanya menarik sudut bibirnya ke atas. "Terimakasih," sahut Arika berjalan masuk lebih dalam ke kamar. Masih dalam balutan gaun pernikahan sederhana berwarna putih, Arika memposisikan dengan nyaman bokongnya di ujung tempat tidur Dokter Reinhard yang sangat empuk. Tempat tidur yang bahkan ukurannya lebih besar dari ukuran king size. Dokter Reinhard berhadapan dengan kaca meja rias yang memantulkan diri Arika di dalamnya. Membuka kancing tangan kemejanya sambil melihat Arika melalui cermin. "Yang perlu kamu tahu," Dokter Reinhard mulai percakapan sambil melepas jam tangannya. "Aku tidak mempekerjakan asisten rumah tangga di rumahku. Aku melakukan semua tugas rumah tangga sendiri. Dan sekarang kamu sudah menjadi istriku, apakah kamu bersedia membantu ku untuk segala tugas rumah tangga?" "Tentu. Aku sudah terbiasa dengan semua tugas itu," jawab Arika. "Baguslah," Dia tersenyum kembali lalu mengambil kaos hitam di dalam lemarinya. Dengan santai dia membuka kemeja putihnya membelakangi Arika. Memamerkan punggungnya yang putih, berotot, pinggang yang ramping dan bokong yang tercetak sempurna dibalik celana panjang hitam yang masih dipakainya. Arika menelan ludahnya dan buru-buru memalingkan wajah. Ada desiran yang merambat, bukan hanya gairah, tapi juga gugup yang entah dari mana datangnya.Rein berjalan mendekat, membawa dua cangkir teh hangat. Uapnya menari lembut di bawah cahaya lampu gantung yang kekuningan. Arika menerimanya tanpa banyak bicara, lalu duduk bersisian di sofa ruang tengah.Hangat. Hening. Nyaman.Namun di dalam hatinya, sebuah pertanyaan perlahan muncul ke permukaan.Kenapa Rein bisa berubah? Kenapa hari ini terasa berbeda?Apa yang membuatnya seperti ini—manusiawi, ramah, hampir… lembut?Tapi Arika tidak mengatakannya.Ia hanya menatap uap dari tehnya, membiarkan pertanyaan itu tenggelam perlahan dalam diam.Ia takut jika kata-kata itu keluar, semuanya akan berubah kembali.Dia ingin menikmati malam ini saja. Walau hanya sebentar. Walau hanya semalam.“Aku senang hari ini,” gumam Arika akhirnya, lebih kepada dirinya sendiri.Rein melirik ke arahnya, senyum tipis terbit di wajahnya. “Aku juga,” balasnya pelan.Mereka terdiam lagi. Tapi keheningan kali
Tiba-tiba pikiran Arika mengingat ucapan Rein barusan yang masih menggema di kepala Arika. Sebuah kalimat yang mungkin tidak terkesan ada keanehan :"Itu bukan dia. Pria itu masih hidup setidaknya sekarang. Dan entah apa dia akan melapor atau tidak."Arika seperti menangkap sebuah clue, 'setidaknya sekarang'. Kata-kata itu terlalu ambigu. Terlalu berbahaya dan mengandung makna.Arika menyingkap selimut dan bangkit dari tempat tidur. Jantungnya berdegup keras saat kakinya menyentuh lantai. Ia melangkah cepat menuju pintu, lalu menuruni tangga satu per satu, menuju ruang yang paling tak ingin ia lihat pagi ini—ruang bawah tanah.Langkah Rein terdengar tak jauh di belakang, namun alih-alih cemas, ia terdengar... ringan. Seolah sedang mengamati anak kecil yang penasaran."Masih penasaran?" suaranya lembut, seperti sedang menggodanya.Arika tak menggubris. Dia menuruni tangga ke ruang bawah tanah sementara Rein tetap menanti di atas. Tangan Arika gemetar saat membuka pintu ruang bawah tana
Suara hujan tak berhenti. Menit-menit terus berlalu, tapi halaman laporan masih kosong. Jay menatap layar komputer yang redup. Pantulan bayangannya sendiri muncul samar. Ia nyaris tak mengenali dirinya sendiri lagi. "Sejak kapan aku jadi seperti ini?" Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Bukan karena marah—tapi karena tak berdaya. Ia tahu prosedur. Ia tahu cara menyelidiki luka, membaca tanda-tanda kekerasan, mengejar kebenaran. Tapi malam ini, semua ilmunya lumpuh di hadapan satu tatapan mata. Tatapan Arika. Tatapan yang menyimpan seribu jeritan yang tak diucapkan. Tatapan yang dulu mengenalnya, kini nyaris tak bisa menatap balik. Tatapan yang terasa... minta tolong. 🎶 Jika kau merasa sepi… kembalilah ke tempat ku menanti… Lagu For Revenge-Serana mengalun. Dengan lirik yang senada dengan perasaan Jay malam ini. Jay memejamkan mata. "Apa kau bahagia, Ka?" "Apa kau aman…?" Pertanyaan-pertanyaan itu menggema, tak pernah terjawab. Dan sialnya, dia tah
Langkah Arika pelan, seakan jiwanya belum kembali ke tubuh. Ia masuk kembali ke ruangan Rein hanya untuk satu hal—mengambil tasnya. Tapi bahkan itu terasa berat. Tangannya sempat bergetar saat meraih pegangan tas, seolah benda itu pun ikut menolak disentuh.Namun sebelum sempat ia berbalik, tangan Rein menyergap pergelangannya. Kencang. Dingin. Seperti jerat.“Mau ke mana lagi kamu?” Suaranya rendah tapi tajam. Tak perlu teriak untuk terasa mengancam.Arika tak menjawab.Rein mendekat, wajahnya hanya sejengkal darinya. “Mau pergi lagi? Atau mengejar Jay?”“Bukan urusanmu,” sahut Arika, datar namun penuh api.Genggaman Rein mengencang. “Apa kamu mau dihukum lagi, huh?”“Hukum saja. Bunuh sekalian. Aku sudah tidak peduli!”Kata-kata itu meledak seperti bara dilempar ke minyak. Tatapan mereka saling mencengkram dalam keheningan yang membakar. Tidak ada yang bicara, tapi amarah, luka, dan kegilaan menari di udara.Lalu—klik.Pintu terbuka.Seorang pria berseragam putih masuk dengan wajah
Masih di pagi yang sama, matahari menyusup pelan di antara celah tirai, membasuh kamar dengan cahaya hangat. Rein bersiap ke klinik. Memakai kemeja yang telah disiapkan Arika secara susah payah ditengah luka-lukanya. Dia duduk di sisi ranjang, menatap Arika yang masih berbaring dengan tubuh lemah namun tak lagi menolak. Tangan kekar namun halus itu mengusap kaki Arika dengan lembut. “Kau yakin tidak akan kembali ke klinik hari ini?” tanyanya pelan, seolah hanya memancing. Arika membuka mata, tak menghindar. “Nggak. Aku nggak mau, kalau kamu nggak keberatan.” Rein tersenyum tipis, tak membantah. “Baiklah, bila itu maumu. Tapi aku ingin memberitahu... hari ini Armelia punya jadwal kontrol. Giginya sakit.” Nama itu seketika menyalakan sesuatu dalam diri Arika. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit perlahan, mengabaikan perih yang masih terasa di tubuhnya. “Aku akan ke klinik.” Rein han
Dalam percumbuan malam itu, tubuh Arika tak lagi terasa seperti miliknya. Tangisnya jatuh, tanpa suara, menetes bersama luka-luka merah yang baru saja tercipta di kulitnya. Sabuk itu menyisakan jejak, bukan hanya pada dagingnya—tapi jauh lebih dalam, di tempat di mana rasa percaya pernah hidup. Namun Dokter Rein tidak berhenti. Bermain nikmat dengan tubuh Arika melalui sentuhan-sentuhannya. Baginya, setiap rintihan Arika adalah Puisi penaklukan. Setiap getar dan jerit bagai pengakuan atas kekuasaan yang ia genggam sepenuhnya. Tak ada ruang untuk pembangkangan dalam dunianya. Bahkan cinta pun, bila pernah ada, telah disalibkan oleh harga dirinya. Dia memuaskan hasratnya kepada tubuh Arika yang tak berdaya dalam kungkungannya. Berkali-kali seolah tak ada ampunan untuk hukumannya. Arika mengerang, bukan lagi sekadar karena sakit, melainkan karena dirinya perlahan memudar di bawah cengkeraman laki-laki itu. Tapi tubuhnya... tu