Share

Pertengkaran Dengan Pria Asing

Regita benar-benar sakit hati. Dia merasakan pengkhiatan besar setelah mendengar pernyataan Raka. Regita sungguh tidak menyangka bahwa laki-laki yang sangat dicintainya tega membuat keputusan untuk menikahi perempuan lain.

Regita bisa terima semua penghinaan Malini selama ini. Tapi satu pengkhianatan dari orang yang dicintai sudah cukup membuat Regita memutuskan untuk berhenti. Tidak ada gunanya lagi dia terus menahan derita di rumah itu. Keberadaannya sama sekali tidak dihargai.

Satu-satunya alasan Regita bertahan adalah Raka. Tapi nyatanya sang suami juga menorehkan kecewa. Sebagai laki-laki, Raka tidak bisa bersikap tegas. Raka terlalu mudah diatur oleh ibunya termasuk dalam urusan rumah tangga. Bahkan Raka juga tidak bisa menolak kehendak Malini yang ingin menikahkannya lagi dengan Nadia.

Pertahanan Regita sudah berada di ambang batas. Sudah cukup dia merendahkan diri diperlakukan seperti babu di rumah suaminya sendiri. Tapi dia tidak akan pernah berbesar hati menerima poligami. Setidaknya Regita berpikir dirinya masih punya harga diri untuk memutuskan pergi.

Sesungguhnya Regita masih sangat mencintai Raka. Tapi apa gunanya semua itu jika sang suami tidak bisa mempertahankan rumah tangga mereka. Regita sudah lelah menghadapi sikap Raka yang tidak berdaya di hadapan ibunya.

Malam itu juga setelah kepergian tamu keluarga Nadia, Regita meminta keputusan tegas pada Raka. Dia masih berharap Raka akan mempertimbangkan lagi rencana pernikahannya dengan Nadia. Tapi nyatanya Malini sudah lebih dulu berhasil mencuci otak Raka.

“Awalnya aku memang tidak mempermasalahkan hal ini, Gita. Tapi setelah aku pikir-pikir, perkataan Mama ada benarnya. Aku butuh seorang istri yang bisa memberiku keturunan agar aku punya penerus,” ucap Raka yang semakin membuat Regita merasakan lara.

“Jadi alasanmu setuju menikah dengan perempuan itu karena sampai hari ini aku tidak bisa memberimu seorang anak?” ujar Regita memastikan.

Raka hanya diam. Tapi Regita sudah bisa mengambil kesimpulan. Hatinya benar-benar sakit saat Raka menyinggung ketidak sempurnaannya sebagai seorang perempuan.

Sejujurnya bukan hanya Raka yang menginginkan kehadiran buah hati dalam pernikahan mereka. Regita pun sama. Tapi apa daya jika harapan mereka belum terkabul juga. Regita pikir Raka akan bersabar. Tapi ternyata Raka tidak bisa menerima keadaan Regita seutuhnya.

“Maafkan aku, Gita. Tapi terkadang ada beberapa hal dalam hidup yang memang mengharuskan kita berpikir dengan logika. Aku ingin seorang anak dan itu sebabnya aku setuju menikahi Nadia,” kata Raka.

“Kau tahu sejak awal bahwa aku tidak akan pernah setuju untuk dimadu. Itu artinya kamu harus memilih salah satu antara aku atau Nadia,” tegas Regita meminta keputusan.

“Aku benar-benar minta maaf, Gita. Tapi ini bukan hanya tentang diriku seorang. Harapan seluruh keluarga ini ada pada pernikahanku dengan Nadia. Aku memutuskan ini bukan tanpa pertimbangan sebelumnya. Tapi aku rasa jalan yang terbaik adalah…”

“Sudah cukup! Jangan teruskan lagi,” sergah Regita memotong penjelasan Raka. Dia tidak butuh alasan panjang lebar yang ujungnya semakin membuat hatinya sakit. Kesabarannya benar-benar sudah habis.

“Jika memang itu keputusanmu, aku akan pergi dari rumah ini,” kata Regita membuat keputusan final.

“Bagus! Memang itu yang kami inginkan sejak dulu,” timpal Malini yang sudah berdiri dengan berkacak pinggang di pintu kamar. Lagi-lagi ibu mertua Regita itu ikut campur dalam pembicaraan pribadi mereka.

“Rupanya kamu membutuhkan waktu yang lama untuk bisa sadar diri. Tapi akhirnya hari ini tiba. Hari di mana kamu sadar bahwa kamu tidak pantas untuk Raka. Kehadiranmu di rumah ini hanya menambah beban keluarga. Sudah tidak bekerja, ternyata menghasilkan anak pun tidak bisa,” imbuh Malini benar-benar mengoyak hati Regita.

Regita menahan amarah sekuat yang ia bisa. Sikap Malini yang merendahkannya sudah sangat keterlaluan. Pertahanan dan kesabaran Regita benar-benar sudah habis.

“Lekaslah pergi tinggalkan rumah ini. Raka juga akan mengurus perceraian kalian secepatnya,” kata Malini seolah membuat keputusan otoriter untuk kehidupan putranya.

Tidak mau berdebat lebih panjang lagi, Regita yang sakit hati langsung bergegas mengemasi barang-barangnya. Dia tidak mau menunda waktu untuk meninggalkan rumah itu. Dia tidak bisa tinggal lebih lama dengan orang-orang yang menghinakan dirinya. Raka bahkan hanya diam tak membela saat ibunya merendahkan Regita.

Keputusan Regita untuk pergi tentu membuat Malini merasa sangat senang. Dia tidak peduli dengan perasaan Regita. Dia hanya mementingkan calon menantu barunya. Dia berpikir memang akan lebih baik jika Regita dan Raka berpisah sebelum pernikahan dengan Nadia dilangsungkan.

Malini berpikir memiliki menantu seperti Nadia akan lebih menguntungkan baginya. Nadia berasal dari keluarga menengah ke atas. Asal usulnya juga lebih jelas dibandingkan dengan Regita yang tak punya orang tua.

Sementara itu, Regita yang sudah selesai berkemas langsung menghubungi seseorang. Malini bahkan melarang Raka mengantar Regita pergi untuk terakhir kalinya. Malini mengeluarkan perintah agar Regita dibiarkan pergi sendiri agar tidak merepotkan.

Regita benar-benar pergi dalam keadaan terhina. Malini tidak peduli walau dia berpikir Regita akan menghabiskan malamnya di jalanan. Tapi Malini tidak tahu bahwa keadaan Regita tidak benar-benar seburuk itu. Regita masih punya tempat pulang yang selama ini dia rahasiakan.

“Bisakah kamu menjemputku sekarang? Aku memutuskan untuk meninggalkan rumah dan berpisah dari suamiku,” kata Regita saat berbicara dengan seseorang lewat telepon.

“Aku bilang juga apa. Tidak ada gunanya kamu terus bertahan di rumah itu. Kau saja yang tidak mau mendengarkanku,” balas dari seberang.

“Jangan terus menghakimiku, Leonardo. Ingatlah pesan mendiang ayah bahwa kau harus menjagaku. Jadi apakah kau bisa menjemputku sekarang atau mau membiarkan adikmu ini luntang-lantung di jalanan seperti pengemis?” ujar Regita. Dia sedang berbicara dengan kakaknya yang bernama Leonardo.

“Bukannya aku tidak mau menjemputmu, Adikku Tersayang. Tapi sekarang aku sedang di café karena ada urusan pekerjaan.”

“Pekerjaan? Kau masih menggeluti pekerjaan haram itu?” sindir Regita.

“Sudahlah, Gita. Jangan menceramahiku. Sekarang lebih baik kau menyusulku ke sini lalu kita pulang ke rumah sama-sama. Atau kau perlu sopir untuk menjemputmu karena kau sudah tidak punya tenaga sama sekali setelah dikecewakan suami dan mertuamu itu?” balas Leonardo mengejek sang adik.

“Sialan! Kirimkan alamatmu sekarang. Aku masih cukup kuat untuk datang ke sana dan mematahkan tulang lidahmu agar tak sembarang bicara,” kata Regita yang langsung disambut gelak tawa dari seberang. Leonardo tahu betul cara membangkitkan singa dalam diri Regita.

Setelah mendapatkan lokasi café tempat kakaknya berada, Regita pun memesan taksi online untuk mengantarnya. Dia tiba di sebuah café bernama El-Mounte. Tak langsung masuk ke dalam, Regita kembali menghubungi Leonardo untuk memastikan posisi keberadaan sang kakak.

Namun sebelum panggilan teleponnya tersambung, perhatian Regita sudah lebih dulu tersita oleh pemandangan di hadapannya. Tepat di jalan raya depan café, seorang anak kecil berusia lima tahunan tampak menyeberang dengan bebasnya. Sementara perempuan berseragam layaknya babysitter yang menemaninya masih berada di ujung jalan.

Situasi menjadi menegangkan saat sebuah sepeda motor melaju kencang dari salah satu arah. Anak kecil itu nyaris tertabrak. Namun pergerakan Regita yang berlari cepat meraih tubuh anak itu berhasil membuatnya selamat. Sontak saja kejadian itu menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar.

“Apa kau tidak apa-apa, Nathan Sayang? Ya Tuhan…aku bisa mati jika ketahuan Pak Marvin,” ujar babysitter itu tampak panik saat menghampiri anak kecil yang masih mendekam dalam pangkuan Regita.

“Kau pengasuhnya? Bagaimana bisa kau begitu lalai membiarkan anak kecil menyeberang jalan sendirian? Bagaimana jika dia celaka?” cecar Regita pada perempuan itu.

“Saya minta maaf. Saya tidak sadar saat Nathan tiba-tiba menyeberang sendiri,” balas sang babysitter tampak merasa bersalah.

“Oh seharusnya bukan kamu yang aku salahkan. Di mana orang tua anak ini?” tanya Regita masih berapi-api. Dia merasa kesal karena kelalaian orang tua yang hampir membuat anak kecil itu celaka.

“Papi ada di sana,” ucap anak kecil itu menunjuk ke arah café.

Tanpa pikir panjang, Regita langsung menggendong anak itu dan membawanya masuk ke dalam. Dengan arahan dari anak kecil itu, Regita akhirnya menemukan seorang laki-laki yang sedang duduk sendiri di salah satu meja cafe. Regita yang sedang emosi langsung menghampiri dan menggebrak meja. Tindakannya tidak hanya mengejutkan pria itu tapi juga mengalihkan perhatian semua pengunjung.

“Hei, kau ayah dari anak ini?” tuding Regita tak mau basa-basi.

“Siapa kamu?” balas pria itu menatap aneh pada Regita. Namun bukannya menjawab dengan menyebutkan identitas, Regita langsung mencecar pria itu dengan kata-kata kemarahan.

“Dasar orang tua tidak bertanggung jawab! Bagaimana bisa kau duduk santai di sini sementara anakmu hampir saja kecelakaan di jalanan.”

“Apa? Nathan hampir kecelakaan? Di mana suster Gabby?” ujar pria itu juga tampak terkejut. Tak berapa lama kemudian, perempuan yang disebutkan namanya itu juga menghampiri dengan terbirit-birit.

“Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar tidak sengaja. Saya tidak tahu kalau Mas Nathan akan menyeberang jalan tiba-tiba,” kata si babysitter dengan wajah tertunduk.

“Saya tidak butuh alasan. Kau sudah lalai dari pekerjaanmu jadi sekarang juga kamu saya pecat,” ujar pria itu dengan mudahnya membuat Regita kembali terpancing emosi.

“Kau benar-benar pria tidak bertanggung jawab. Semudah itu kau menimpakan kesalahan pada babysitter ini. Padahal kau sebagai ayahnya seharusnya lebih perhatian pada anakmu sendiri. Dengar ya, di luar sana banyak orang yang berharap bisa memiliki seorang anak. Tapi kau yang sudah memilikinya justru menelantarkan anakmu begitu saja,” tuduh Regita dengan berani.

“Hei, jangan berbicara sembarang ya! Kau siapa hingga berani ikut campur urusan saya?” balas pria itu tidak terima.

“Perempuan ini yang sudah menyelamatkan Mas Nathan, Pak” tutur sang babysitter.

“Oh, baiklah. Aku berhutang budi karena kau sudah menyelamatkan anakku. Tapi bukan berarti kamu bisa mengecamku seenaknya. Kau tidak tahu apa pun tentangku atau pun caraku menjaga anakku, jadi sebaiknya kau diam saja.”

“Aku tidak perlu tahu tentangmu. Tapi melihat sikap keras kepalamu sudah cukup membuatku mengerti kau ini orang tua macam apa,” balas Regita tak mau kalah.

Perdebatan antara Regita dengan pria itu menjadi tontonan para pengunjung café. Keributan baru mereda setelah seorang pria lainnya datang menghampiri mereka.

“Ada apa, Marvin?” tanya pria itu saat mendapati rekannya sedang terlibat adu mulut dengan seorang perempuan. Perhatian pria itu hanya fokus pada rekannya tanpa memperhatikan siapa perempuan yang menjadi lawan bicaranya.

“Entahlah, Leon. Perempuan gila ini tiba-tiba datang dan marah-marah tidak jelas padaku,” jawab pria bernama Marvin itu.

“Perempuan gila?” ujar Leon dengan kening berkerut. Pada saat yang sama perhatian Leon tertuju pada seorang perempuan yang sedang menggendong anak laki-laki Marvin. Dia tampak mengenali siapa perempuan itu.

“Regita? Kau sudah di sini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status