Share

sedih

Penulis: Ria Abdullah
last update Terakhir Diperbarui: 2022-05-02 03:36:17

Aku terpana, ya, terpana, rasa tidak percaya dan pasti tidak mungkin, ini mimpi. Namun, ketika kucubiti tangan, aku sadar itu kenyataan dan yang berboncengan dari jarak dua puluh meter dariku itu adalah suamiku.

"Mas Imam ...."

Kupungut belanjaan dan segera memanggil ojek yang 'mangkal' tak jauh dari tempatku, kunaiki motor dan meminta tukang ojeknya untuk mengikuti motor suamiku.

"Astaghfirullah, ya Allah, apa benar itu dia, mudah-mudahan bukan dia, ya Allah, aku takut, aku tak siap dengan kenyataan ini," gumamku pelan.

Ya, dalam hati aku terus berharap bahwa yang sedang berboncengan di depan sana bukan Mas Imam.

Setelah sepuluh menit motor itu berbelok di sebuah gang, masuk ke satu rumah yang cukup besar untuk ukuran rumah biasa, motor itu berhenti di sana.

Kusuruh tukang ojek untuk berhenti agak jauh dan mengendap-endap aku mengintip dari celah celah pagar, kebetulan kondisi kampung wanita itu sedang lengang.

"Mas ... masuk dulu, ya," ucap wanita itu dengan manja, dia mencium tangan suamiku.

"Iya, Dek, Mas mau pulang aja langsung," jawab Mas Imam.

"Ah, Mas, kita udah lama nggak jumpa,aku rindu padamu, begitu anak kita." Wanita itu bersikap sangat manja, dia memeluk Mas Imam, dan suamiku hanya tersenyum sambil mengecup pucuk kepalanya.

Apa ? Anak? Ya Allah ... yang benar saja?

"Sari, Mas juga rindu, tapi Mas juga menahan kerinduan sampai waktunya tepat, Mas pulang ya, Sayang."

"Mas ... kapan status kita akan jelas, aku juga ingin seperti Mbak Yanti yang diakui dan dibanggakan keluargamu," ungkapnya sedih, namun kesedihan itu mengalahkan tingkah genitnya yang langsung mendekat kembali dan mengecup suamiku.

"Pulang ya ...." Mas Imam membelai wajahnya.

"Nanti malam, datang ya," pintanya memelas.

"Iya, kalau aku punya kesempatan.

Aku akan melabrak mereka tapi, akan kurang rasanya jika aku tak menahan diri, aku ingin tahu bagaimana anaknya, sejak kapan hubungan mereka, bagaimana masyarakat di sini terhadap hubungan mereka, serta, siapa sebenarnya wanita itu.

Aku berjalan menjauh, menyembunyikan diri diri dari suamiku, berusaha mencari rumah warga dan bertanya tentang wanita itu, sejak kapan dia di sana.

"Mbak pemilik rumah bercat putih itu, namanya siapa ya, Bu. Saya agak ragu, karena pernah sekampung dengan saya, saya ingin tanya tapi malu, takut salah orang," ucapku pada seorang ibu yang sedang duduk di teras rumahnya. Ia mengernyit mendengar pertanyaanku namun aku terus menyunggingkan senyum ramah sehingga ia memberi isyarat anggukan.

"Oh, dia Mbak Sari, memang penduduk sini, Mbak."

"Oh, karena mirip tetangga saya dulu," jawabku.

"Oh ya, yang sering datang itu ... suaminya ya?"

"Iya, suami barunya."

Tak ingin terlihat begitu penasaran dan mencurigakan, aku segera pamit.

"Oh begitu ya, makasih ya, Mbak, saya permisi." Aku tetap bersikap ramah pada tetangga wanita itu.

"Enggih, Mbak," jawabnya.

**

Hendak melabrak wanita yang memakai rok selutut itu, dia yang sedang gembira dengan senyum melebar merekah menjemur pakaian sembari bersenandung indah. Pasti hatinya berbunga-bunga karena berhasil merebut hati suami orang. Kuhitung detak jantung, juga tarikan napas yang mulai berat karena emosi. Aku bimbang memutuskan menjambak atau tidak, dan ketika akan mengangkat kaki mendekat, tiba tiba wanita itu memanggil nama seorang anak perempuan.

"Rania, sini Nak," panggilnya.

Dan tak lama kemudian gadis kecil yang mungkin berumur tiga tahun muncul, membawa boneka dan langsung memeluk ibunya.

Menatap gadis berambut gelombang dan berpipi ranum itu, hatiku mendadak tak karuan rasanya. Ada benci, iba, gemas dan tidak tega. Aku bingung dan di puncak kebingungan itu, mataku mengabur, air mataku tumpah begitu saja

Kubalikkan badan, menyandarkan diri di dinding pagar lalu tak kuasa menangis sejadi jadinya. Hatiku hancur, berkeping-keping tak berbentuk, membayangkan bahwa Mas Imam telah mengkhianatiku beberapa tahun ke belakang. Hingga anaknya telah tumbuh sebesar itu.

Bagaimana pun ini kebodohanku yang tak menyadari apa apa, hanya sibuk menjadi istri dan ibu yang baik bagi dua orang anak, jarang keluar rumah dan tetap berbakti apapun yang terjadi.

"Mas imam menipuku! Memanfaatkan kebaikanku!" Aku menggeram sambil mencoba memaksakan langkah kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, hari telah beranjak pukul dua siang, anak-anak sudah pulang begitu juga Mas Imam. Melihatku yang melangkah gontai sambil membawa belanjaan yang sudah mulai layu, Mas Imam menyongsong ke pintu dan langsung menanyaiku.

"Kamu dari mana? Kemana saja seharian ini?" tanyanya pelan.

Menatap matanya, mata yang dulu selalu meneduhkan hatiku, tiba-tiba air mataku jatuh begitu saja. Dia yang menatap langsung heran dan mengajakku masuk, meminta pada Vito dan Erwin anak kami untuk membawakan air segelas.

"Apa yang terjadi, Bund?"

"Berhenti pura pura baik!" Aku berteriak histeris, gelas yang dibawakan Vito kuambil dan kulemparkan ke wajahnya dengan kasar hingga dia terjengkang dan berteriak kaget.

Tapi, ah, itu hanya khayalanku barusan, aku masih linglung dan terdiam.

"Bund, kamu kenapa, apa ada masalah?" ulang Mas Imam yang duduk tepat di dekatku dan mengguncang bahu ini.

"Oh, gak apa-apa," jawabku mengemas air mata dan bangkit, kuambil belanjaan dan pergi ke dapur.

"Kalau kurang sehat gak apa apa, gak usah masak, kami akan beli makan di luar."

Jangankan beli makanan, punya istri dan anak tanpa sepengetahuan saja, bisa dia lakukan!

"Aku akan masak dan kalian akan makan di sini, di rumah ini!" tegasku setengah menekan.

Hari itu, aku masa dengan hati setengah tidak pada tempatnya. Pikiranku melanglang buana.

Fokusku terarah kepada wanita tadi, bagaimana kecantikannya bisa membuat suamiku meleleh, senyumnya, dan tatapan matanya, semuanya ... Dan aku merasa dikalahkan.

Kubayangkan bagaimana mesranya mereka, terbayang di pelupuk mata adegan cinta ketika di sisi lain suamiku membuat alasan tugas kerja, padahal pergi membuat bayi dengan selingkuhannya.

Allahu Akbar ...

Kutekan dada yang mulai tak tahan mengumpulkan sabar dan tak kuat diri ini menanti waktu yang tepat untuk menguak kecurangan itu, dan pasti, puncak dari semua cerita ini adalah perceraian. Kalau tidak, mentoknya ke drama mempertahankan pernikahan demi anak, padahal hanya pura pura bahagia demi tidak digunjing tetangga.

Hari itu, kami makan dalam diam, anak anak mungkin heran karena tak biasanya ibunya seperti itu. Mas imam berusaha mengambil alih sedang aku menepis, tetap berusaha melayani, tapi dengan tatapan kosong, mata sembab dan lesu sekali.

Mungkin ini adalah sensasi rasa syok terburuk yang pernah kurasakan selama hidup di dunia ini, dulu sering melihat di tayangan tivi drama suami menikah lagi, tapi tak pernah membayangkan bahwa itu akan terjadi di rumah tangga kami, lagipula, suamiku tak pernah terlihat aneh, gelagatnya normal, dan waktu yang dia bagikan juga maksimal.

Di mana saatnya dia telah berhasil menikah dan mendapatkan anak perempuan? mengapa aku seteledor itu untuk menyadari kejanggalan ini? ya Allah ....

Dia sudah tidur dan aku masih membeku di sisi peraduan, dia tak banyak bertanya, hanya menepuk bahu dan membiarkanku mengambil waktu untuk memenangkan diri, sikapnya memberi empati sangat manis tapi aku sudah muak. Aku ingin berteriak dan menyulut pertengkaran namun masih memikirkan perasaan anak, aku tidak mau anak-anak syok ditambah mereka sedang menghadapi puncak-puncaknya kesulitan belajar. Semua itu akan mengganggu mereka.

*

Keesokan hari ku ikuti dia, sengaja tidak memasak dan memasak makanan jadi, ternyata setiap hari dia tidak pulang kantor pukul 05.00 sore, melainkan dia selalu meninggalkan tempat kerjanya pukul dua lewat tiga puluh menit.

Mampir di tempat wanita itu, memeluk anaknya lalu kembali ke rumahku.

Kuikuti kegiatan suamiku hingga seminggu, menunggunya pulang, hingga aku juga ikut pulang, dengan sejuta alasan yang sudah siapkan jika dia curiga. Hingga suatu hari, dia mampir ke sana, masuk ke dalam rumah, dan berjam-jam tak keluar lagi.

Aku menyusul, dengan dada membuncah emosi, masuk menghunus pisau, melihat gadis kecil itu bermain di ruang tengah dan aku terpaku beberapa saat di sana.

*

Sudah pukul tujuh malam, pintu kamar tidur tak kunjung terbuka, anak perempuan masih anteng bermain tanpa memperdulikan keberadaanku yang duduk dingin di sofa, tepat di sampingnya. Entah kenapa dia tak takut, atau mengatakan apa apa, seolah sibuk dengan dunianya.

Yang di dalam sana terdengar bermain cinta, napas mereka beradu, dan sedikit bergurau wanita itu terdengar manja.

Lima menit berikutnya, suara air keran, lalu setelah itu mereka keluar dengan senyum bahagia, membuka pintu, dengan rambut yang sama sama basah

Kaget mendapatiku yang menyeringai duduk di sofa, dua meter dari mereka.

*Kira kira apa yang terjadi?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Stefanus Ludji
mantap author
goodnovel comment avatar
Rk Tubar Sandikars
ceritanya hampir mirip sm yg judulnya setelah 15 tahun
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Jangan Beri Aku Uang Lagi    ending 2

    Mendengar ucapan Mas Hamdan yang sangat lugas tentu saja ibu mertua merasa tidak enak kepada calon menantunya yang kini menangis tersedu dan putus asa ibu mertua segera bangkit dan mencegah mas hamdan melanjutkan perkataannya sambil mendekati Haifa dan merangkul wanita itu."Cukup Hamdan, cukup!""Ibu, biarlah Haifa tahu kenyataan sebenarnya agar dia tersadarkan dan bisa membuka hatinya untuk cinta yang baru. Wanita itu adalah wanita yang cantik dan sukses, dia bisa dapatkan laki-laki manapun yang dia inginkan.""Sudah cukup Mas, Kamu sudah menikah jantungku dengan kalimat-kalimatmu ucap wanita itu sambil merangkum tangisannya yang melolong sedih kedua anak kami yang baru saja pulang sekolah juga kaget melihat drama yang terjadi di ruang tamu. Mereka memandang kami dengan kernyitan dahi yang begitu heran."Ada apa Bunda?""Pergilah ke dalam.""Gak bisa Bund, kami juga berhak tahu," jawab Erwin."Ini masalah kami berempat, pergilah ke dalam," tegasku.Setelah memastikan anak-anak be

  • Jangan Beri Aku Uang Lagi    ending

    “Mas, aku sungguh minta maaaf atas apa yang terjadi Mas, situasinya memanas, Yanti mulai melawan ibu dan menyerang mental beliau, Yanti mulai menunjukkan taring dan keberaniannya untuk mendominasi di dalam rumah ini. Aku sungguh tidak menyangkanya Mas," ujar Haifa yang segera saja ingin mendapatkan pembelaan, dengan panik dan memasang wajah polos dia berusaha untuk mendapatkan kepercayaan Mas Hamdan.Dia pikir suamiku akan percaya semudah itu padanya. "Aku dengar percakaan kalian dari luar.'“Tapi itu hanya sebagian kan Mas? kau pasti tidak dengar dengan detil dari awal?” ucap haifa yang terus be rusaha meracuni pikiran suamiku.Sekuat apapun dia berusaha untuk meyakinkan mas hamdan wanita itu tetap dijauhi, jangankan mau disentuh, dihampiri daja suamiku langsung menjauh menjaga jaraknya.“Mas kamu kok hindarin aku?”“Kita ini bukan mahram! jaga sikapmu, kau bersikap seperti anak kecil di hadapan ibu dan istriku, apa kautak sadar?”“Saya masih tunangannya Mas…" Ada bola bening yang t

  • Jangan Beri Aku Uang Lagi    murka

    "Apa?!"Kedua wanita itu kompak berteriak dengan mata terbelalak Haifa sendiri sampai berdiri dari tempat duduknya sambil menatapku dengan tatapan melotot.""Apa kau yang menghasut Hamdan untuk memutuskan semua ini, Yanti?""Sudah ku bilang aku tidak berminat ikut campur, tapi aku hanya akan berdiri sesuai dengan batasan dan tugasku. Aku mengikuti apa saja kehendak mertua dan suami .... tapi semenjak mengetahui bahwa suamiku sendiri tidak setuju dengan sandiwara yang kalian buat dan pernikahan settingan ini, aku jadi punya kekuatan untuk membela Mas Hamdan," jawabku."Kau pikir kau hebat? kau pikir pengaruhmu telah mengubah Hamdan sepenuhnya dan membuat dia tidak akan mendengarkan orang tuanya, hah?" Ibu berteriak, tapi setelahnya Dia terpaksa mendudukkan diri karena akhirnya wanita itu tersengal-sengal capek dengan emosinya sendiri.Sebenarnya aku sama sekali tidak mempengaruhi Mas Hamdan tapi prinsip dan kemampuan lelaki itulah yang membuat dia akhirnya mengambil keputusan untuk men

  • Jangan Beri Aku Uang Lagi    bertengkar dengan dua wanita

    "Oh iya? sok jago sekali kamu ingin menunjukkan dominasi dan betapa hebatnya kau di rumah ini, padahal kamu hanya orang datangan yang tidak pernah tahu apa-apa," ucap Ibu Syaimah sambil mengacungkan jemarinya ke wajahku."Saya memang orang datang dengan ibu namun saya terikat secara emosional dan secara hukum dengan keluarga ibu. Hamdan adalah suamiku dan ibu adalah mertuaku di mana aku harus memperlakukannya dengan pantas sebagai orang tua. Jadi harusnya Ibu pun memperlakukan aku seperti anak.""Dirimu jadi anakku? Sejak kapan? Sejak kapan kau punya pemikiran seperti itu. Selama ini hanya aku yang bersikap baik padamu, sementara kau, acuh tak acuh saja, kadang aku melihat bahwa kau tidak pernah tulus dalam mengurusiku!"Astagfirullah, tega-teganya Ibu mengatakan hal demikian padahal aku selalu tulus mengurusnya, penuh cinta kasih menyiapkan makanannya dan selalu memberinya perhatian yang pantas ia dapatkan. Tega-teganya Ibu mengatakan itu di hadapan Haifa dan mempermalukanku."Jadi

  • Jangan Beri Aku Uang Lagi    lalu yg terjadi

    "Saya pergi dulu, permisi ya Pak, Bu, saya minta maaf dan memohon perngertiannya."Klik.Akhirnya ponsel pun di matikan, dan aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku paham betul posisi mas Hamdan yang telah dengan sekuat tenaga mengumpulkan keberanian dan ketenangan dirinya untuk bicara pada keluarga yang emosional itu. Nampaknya mereka semua sangat tidak terima dengan keputusan Mas Hamdan dan merasa kecewa sekali serta tidak mampu menyembunyikan kemarahannya.Sekarang setelah suamiku mengumpulkan keberanian untuk menemui keluarga Haifa maka aku sendiri juga akan bertindak untuk menyelesaikan masalah yang ada di rumah ini. Masalah itu harus diperselesaikan bersama tidak boleh hanya di bebankan pada satu bahu saja.Segera kurapikan diriku dan jilbabku lalu turun ke ruang tamu di mana Ibu dan Haifa masih sibuk berbincang dan membicarakan masa depan mereka.Aku ketuk pintu sambil mengumpulkan nafas, aku tarik dalam-dalam nafas lalu membuangnya, kemudian mendorong pintu dan masuk

  • Jangan Beri Aku Uang Lagi    murka

    "Tapi Nak Hamdan, sudah terlanjur bahagia dengan pertunangan itu, semua keluarga juga sama, terutama Nenek Haifa yang kini sakit sakitan, kami khawatir mengetahuinya cucu dicampakkan Ibuku akan sangat syok dan kena serangan jantung.""Saya bisa memaklumi itu, tapi tidak bisa memaksakan keadaan, kalaupun saya tetap berpura-pura jadi tunangan Haifa maka itu akan melahirkan kebohongan demi kebohongan berikutnya. Saya bukan tipe orang yang suka berbohong dan bersandiwara."Tiba-tiba dari seberang sana aku bisa mendengar ibunda Haifa menangis terisak dengan kesedihannya. Di sisi lain di rumah ini Haikal dan ibu mertua sedang tertawa-tawa di ruang tamu khusus wanita. Mereka bersenda gurau layaknya ibu dan anak, sementara diri ini dan Mas Hamdan berada di tengah-tengah kegalauan dan kebingungan itu."Ibu tolong maafkan saya ya, saya mau pergi dulu," ucap Mas Hamdan."Baiklah, Nak Hamdan. Jika itu keputusanmu, maka kami akan pasrah, tapi tolong, jika ibumu mengharapkan Haifa jadi menantunya,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status