Mereka terkejut bukan kepalang, setengah juga takut melihat anak mereka yang duduk mematung, anak itu terlihat bingung sembari memanggil kedua orang tuanya.
"Ibu, Ayah ....""Kalian sudah puas bermain cinta, kalian sudah puas mereguk asmara tanpa memikirkan orang lain yang mungkin tersakiti?!""Ya-yanti ...." Mas Imam mengucek matanya, seolah ingin meyakinkan diri bahwa yang sedang dilihatnya adalah aku."Iya, ini aku," jawabku tersenyum tipis."A-apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya dengan suara bergetar sementara aku menatapnya tajam, wanita yang juga kupelototi itu nampak ketakutan dan langsung bersembunyi di belakang suamiku."Untuk melihat pengkhianatanmu!""U-untuk apa kau bawa pisau?" tanyanya lagi melihat pisau yag tergelatak di meja, lantas menyuruh istrinya untuk mengambil Raisa.Brak!Pisau yang sedari tadi kugenggam erat itu kulempar ke arah wajah Mas imam, sayang meleset dan menancap di pintu, hanya beberapa centi saja dari telinga Mas Imam. Melihat pisau yang mengkilat Mas imam menelan ludah dan berusaha menenangkanku.Ya, selama menjalani biduk rumah tangga aku dan Mas imam tidak pernah bertengkar, jangankan bertengkar, selisih paham pun jarang. Jadi mungkin dia terkesiap dengan sorot amarah yang kini berapi-api di mataku.Karena takut dan cemas, dengan cepat wanita itu mengambil anak perempuannya dan memasukkannya ke dalam kamar. Wajahnya terlihat tegang dan gelagapan."Tadinya pisau itu untuk diriku sendiri, aku berniat ingin mati di depanmu, karena perlakuan baikmu ini sudah tak bisa kuterima," ujarku dengan nada sarkasme."Itu bukan salah Mas Imam, akulah yang telah memintanya menikahiku," sela wanita itu yang tiba tiba merangsek dari balik pintu kamarnya, dia kembali ke luar setelah mendengar percakapan kami."Kenapa harus suamiku, hei, kau wanita yang tak layak kusebut wanita!""Karena aku jatuh cinta pada kebaikannya dan kurasa selama kita berjalan di jalan yang benar, aku tidak merasa bahwa itu adalah dosa.""Bukan dosa bagimu adalah kesalahan bagiku. Jadi, ini dia orang yang katamu kecelakaan dan harus kau tanggung hidupnya karena mengalami cacat permanen?"Wanita itu terkejut bukan main, dia memandangku dan Mas Imam bergantian, ia menatap dengan sorot tak percaya seraya menggelengkan kepalanya."Kecelakaan maksudnya gimana, Mas?""Ya, dia mengaku padaku kalau kau adalah orang cacat yang tidak berdaya dan harus disantuni layaknya pengemis!""Yanti! Apa yang kau katakan!" Mas imam membentak dan hendak melayangkan pukulan."Lho, bukannya itu yang telah kau katakan padaku, kau tidak ingin mengakuinya di depan gundikmu?" Mas Imam kalap, dia tak tahu harus menjelaskan padaku atau harus mengambil hati istri barunya yang kini mulai menangis."Diam dulu kamu, bagaimana aku bisa jelaskan jika kau terus mencecar dengan pertanyaan, apa kau ingin menyudutkanku?""Menyudutkan bagaimana, bukan hanya dia yang butuh penjelasan, tapi kami juga!"Tiba tiba Bapak datang, diikuti ibu dan orang tua Mas imam, ditambah adik-adiknya, ketua RT setempat dan tetangga."Apa ... kau mengundang mereka semua?" tanya Mas Imam menelan ludah."Ya, aku telah mengundang mereka jauh-jauh hari untuk merayakan kebahagiaanmu yang diam diam menikah lagi. Kenapa? Kau tidak suka?""Tentu saja ...!" Mas Imam hendak marah, namun ia nampak malu pada semua orang sementara wanita itu juga tertunduk sambil menggenggam tangan anak mereka."Jangan khawatir, aku juga sudah menelpon anak-anak untuk melihat kenyataan yang sebenarnya, bagaimana kelakukan ayah mereka, mereka pasti terharu sudah punya adik perempuan tanpa pemberitahuan," ungkapku tertawa pahit.Sedih juga rasanya, karena aku membayangkan betapa syoknya mereka mendapati orang tua mereka sedang disidang dan dikerumuni banyak orang."Jadi ini kelakuanmu di belakang anakku, jadi karena kami semua memghargaimu kau menjadi seenaknya saja?" tanya Bapak dengan nada tegas."Tunggu dulu, tolong ... ini bisa dibicarakan baik-baik," bujuk Ibu Mas Imam yang umurnya nyaris sama dengan orang tuanku."Kalau begitu jelaskan kenapa bisa menikah tanpa izinku?""Ya, mereka menikah baik-baik, Mbak, mereka menikah dengan petugas KUA dan saya adalah salah satu saksinya," jawab Pak RT."Lalu pada saat itu anda yakin bahwa pria yang anda nikahkan dengan salah satu warga anda adalah pria lajang?""Statusnya menduda, dan saya telah memeriksa surat keterangan pengantar nikah dari kantor di mana Pak Imam berdomisili tinggal," jawab Pak RT sambil menatap kami."Oh, kalau dia mengaku menduda artinya secara tersirat dia telah menceraikan saya, iya kan?""Saya tidak tahu, Bu, fatwa itu adalah hak ulama, bukan saya, saya hanya membantu warga saya yang hendak menyempurnakan agamanya," jawab Pak RT dengan raut wajah yang juga tak kalah malunya. Aku paham, dia tidak tahu apa-apa."Jadi kau telah menganggapku tidak ada, ketika memutuskan untuk menikahi dia? kau lupa bahwa aku menunggu di rumah dengan setia pada saat kau tak mampu membendung hasrat ingin bercinta?""Tolong ...."Warga masyarakat yang berbondong-bondong berjejal di pintu ingin melihat suasana perdebatan kami menjadi riuh, sebagian menyalahkan Mas Imam, sebagian membelaku dan sebagian lain membela tetangga mereka, wanita karbitan yang tidak bisa mengendalikan diri terhadap suami orang."Si Bapaknya itu yang gatal, masak menikah gak kasih tahu istri dulu," gumam seorang Ibu."Wah, ternyata punya istri ya," timpal ibu yang lain."Bukan hanya punya istri Bu, dia sudah punya dua bujang yang mungkin beberapa tahun akan menikah juga."Warga masyarakat makin riuh, keributan tak terhindarkan hingga seorang warga yang terlihat cukup disegani menyuruh mereka diam."Diam dulu Ibu-ibu kami sedang bicara!"Seketika suasana menjadi hening, wanita yang sedari tadi memeluk anaknya kini menangis sesenggukan, dia tahu dirinya tidak ada yang membela."Sa-saya tidak tahu apa apa ....""Tidak tahu apanya? bukannya kau baru saja mengaku bahwa kau jatuh cinta pada suamiku dan meminta dia menikahimu, menghalalkan kelaminmu!"Jujur saat itu aku sungguh sakit hati hingga tak sanggup mengendalikan ucapanku di depan banyak orang."Harusnya orang yang akan menikah memastikan dulu calonnya pasangannya seperti apa, siapa keluarga dan latar belakangnya, bukan main akad saja?""Itu memang salahku, karena sudah begitu, aku rela diceraikan, tapi tolong jangan menghinaku!" Dia menangis semakin menjadi jadi."Wanita ini pintar sekali mencari muka, dia bersikap seolah dialah korban semua ini.""Sebenarnya Imam sudah memberi tahu kami rencana dia yang ingin menikah lagi," ucap Ibundanya pelan, dia menatapku dan wanita itu bergantian dengan tatapan yang ... entahlah."Jadi, Ibu tidak ingin memberi tahuku, ibu tidak kasihan pada kedua anakku?" Tanyaku dengan mata terbelalak. Terkejut, juga kecewa, tak menyangka bahwa mereka bekerja sama."Imam memang minta izin tapi kami tidak memberi jawaban apa-apa," sela Bapak mertua."Kebungkaman Bapak membuat semuaya terjadi begitu saja, berlarut larut. Dan setelah mereka punya anak, dan suasana jadi kacau, baru Bapak mau mengungkapkan semuanya? Aku tidak percaya kalau Bapak tidak pernah menemui cucu perempuan Bapak," jawabku yang kini tak sanggup menahan air mata."Ini semua di luar kendaliku, Yanti, aku minta maaf," jawab Bapak mertua pelan."Maaf, hanya itu ...?"Aku tentu tak bisa menahan tangis, dadaku sakit, kecewaa karena ternyata semua pengabdianku selama ini sia sia. Nyatanya.sekuat apaoun bertahan, ikhlas dalam berbakti, nasibku tetap juga tragis, rumah tanggaku porak poranda.Suasana menjadi hening, warga tercekat dengan tatapan nanar pada kami bertiga, sementara wanita yang kini memeluk anaknya hanya diam, tertunduk bungkam. Di saat itu juga samar-samar kudengar suara anak-anak yang menyibak kerumunan.Dan terkejutlah mereka mendapati kami dalam keadaan seperti itu."Apa yang terjadi di sini, Bunda?" tanya Vito dengan wajah heran sementara Erwin kakaknya seperti biasa selalu bersikap tenang.Semua yang ada di sana hanya terdiam, wajah Mas Imam juga nampak malu pada kedua anaknya."Siapa dia?" tanya Vito sambil mencolekku."Istri ayah dan adik kalian," jawabku pelan."Apa?""Iya, ayah sudah menikah sejak lama tanpa sepengetahuan kita," jawabku getir. Menjelaskan itu aku tak tega menatap mata anakku, aku tak takut tak sanggup menahan air mataku."Kenapa Ayah?" tanyanya pelan.Mas Imam mendongak, tidak ada jawaban sepatah kata pun dari bibirnya. Karena kecewa tak mendapat pernyataan apa-apa dari anggota keluarga, Vito merangsek pergi dengan cepatnya sedabg Erwin menyusul dia secepatnya."Vito, tunggu!"Para tetangga kembali bergumam, mereka riuh rendah mengomentari kehancuran keluarga kami dan menyesalkan tindakan Mas Imam yang tidak jujur dan mengecewakan anak anaknya."Ish, anaknya kecewa," ujar seorang tetangga."Jangan jangan si anak pergi melam
Aku terbangun dari ringkukan tubuh di atas potongan sobekan pakaian suami, setelag dia datang dannkenyentuh bahuku lembut."Bund, ayo bangun," ucapnya lirih.Menyadari bahwa yang memegang di bawah gua dalam Mas Imam aku langsung tersentak kaget dan menepis tangannya dengan kasar. Jijik rasanya disentuh dia."Lepaskan aku, beraninya kamu!" jawabku kasar."Aku tahu kau masih marah, aku tidak akan bertanya lebih jauh," ungkapnya sambil bangkit dan membersihkan potongan pakaian ke dalam plastik.Aku bangkit dan dengan cepat kurampas plastik itu dari tangannya dan kembali menghamburkan pakaian yang dia pungut tadi hingga potongan-potongan lain itu berserakan ke udara."Jangan coba mengambil hatiku, aku sudah kehilangan rasa hormatku padamu," jawabku."Aku tetap akan berusaha menjadi suami yang baik," balasnya tersenyum tipis dan kembali berjongkok, mengulang lagi memungut pakaian itu.Melihatnya yang berusaha sabar hati ini makin kesal, aku sudah bertekad tidak akan luluh apapun yang terja
Baru hendak melangka pergi dan ingin melaporkan perbuatan Mas Imam ke atasannya, tiba tiba wanita itu muncul dari balik gerbang dan membawa anaknya.Seketika urat syarafku tegang, aku murka dengan keberaniannya sekaligus cemas, khawatir kedua anakku datang dan mendapati gundik ayahnya ada di rumah.Bersegeralah diri ini turun untuk mengusirnya."Apa maumu di sini?" Wanita itu terkesiap melihatku membuka pintu, tangannya yang hendak mengetuk masih menggantung di udara."Aku ingin bicara baik-baik," jawabnya tegas.Beraninya wanita ini menatap mataku!"Aku tidak punya waktu!"jawabku dingin."Tapi, aku ingin kau meluangkan waktu, karena ini tentang kita semua, Mbak.""Jika kau seberani ini, untuk apa kau menyembunyikan diri selama itu untuk jadi istri simpanan? Kenapa tidak datang tunjukkan dirimu dari dulu._?""Aku tak mau membahas itu, aku ingin mengajukan sidang isbat nikah untuk mendapatkan pengesahan hukum, aku ingin Mbak memberi kesaksian untuk itu," ucapnya tanpa malu.Betapa pan
Meskipun menghadapi kemarahan demikian tetap datang dan mengetuk pintu kamar dan mengajakku bicara."Aku akan tetap meninggalkan uang ini meski kau menolaknya," ujarnya dari balik pintu kamar."Aku tidak mau menerimanya!""Lalu Bagaimana cara agar kau menerimanya, lantas bagaimana cara kalian akan belanja dan kebutuhan anak-anak kita?"Anak-anak kita katanya ... Hmm."Ada caranya aku mau menerima uang itu, berikan semua gajimu dan kau tidak boleh pergi lagi ke rumah wanita itu, kau mau?!""Jangan begitu kejam, Bunda, Kasihan juga dianya.""Kasihan ... kasihan, selalu ngomong kasihan, ada apa sebenarnya, apa yang sudah kau lakukan pada wanita itu hingga kau turun iba begitu besarnya?"'"Duh Bunda ini rumit ... tolong bantu aku dan berdiri di sampingku, dukung aku," ucapnya mengharap."Mendukungmu? Jangan mimpi!""Bund, buka pintunya ..."Karena tidak tahan mendengar bujukannya aku lantas mengambil sebuah parfum dari atas meja rias lalu melempar pintu itu agar dia berhenti menggangguku
"Bunda, boleh Vito bicara?" Malam ini putraku mendekatiku yang sedang duduk di balkon lantai dua, pemuda itu menggeser kursi sehingga kami duduk berdekatan, memandangi langit malam yang tak lagi berkelipan oleh cahaya bintang."Boleh aja, sayang, ngomong aja," ucapku tersenyum."Apa yang akan Bunda lakukan pada ayah?""Jujur tidak tahu,apa yang harus bunda lakukan dan dimana kemana hubungan ini, bagaimana kita selanjutnya, Bunda masih belum ada bayang-bayang.""Apa Bunda ingin bercerai?"tanyanya dengan tatapan sedih."Kalau kalian keberatan Bunda tidak akan melakukannya," balasku"Apa hanya karena wanita bodoh itu, Bunda harus mengalah? kita akan kehilangan ayah. Mungkin saat ini ayah hanya salah jalan, ayah hanya dimanipulasi dan dibodohi, mungkin kita masih bisa memperbaiki ini tanpa harus menghancurkan keluarga," ucapnya dengan suara bergetar."Bunda kecewa, makin kecewa karena beberapa tahun belakangan Bunda tidak menyadari apa yang terjadi. Di samping itu, sebuah fakta baru teru
"Pergilah, ada atau tidak adanya dirimu sudah tidak berpengaruh lagi dalam hidupku," jawabku lantang."Aku sudah mencoba sabar dan mengambil hatimu tapi kalau memang berhati batu," ucapnya sambil melangkah, masuk ke kamar, menurunkan koper dari lemari dan memasukkan pakaian ke dalamnya.Sekarang justru dia yang memutar balikkan fakta dan mencoba menyalahkanku, Dia benar-benar tidak punya malu dan perasaan."Kau pikir semudah itu menerima penghianatan orang lain? kau pikir aku senaif itu! jangan khawatir aku tidak akan mencegahmu pergi justru aku akan membantumu berkemas-kemas," jawabku sambil membuka lemari dan melempar pakaiannya ke lantai dengan kasar.Dia memungutnya sambil mendelik padaku lalu memasukkan secara acak ke dalam koper."Mulai hari ini jangan datang lagi ke rumah ini, aku tidak sudi menatap wajahmu!""Kau pikir aku bersenang hati mau bertemu denganmu, kalau bukan demi anak-anak aku tidak akan bertahan sampai sejauh ini.""Jangan berkata seolah-olah aku memaksamu dalam
"Kak ayo pergi aja, Kak," ucapku pada di sulung, Aku berusaha mengajaknya kabur sebelum Mas Imam menyadari bahwa yang datang adalah kami."Gak usah Bunda, ini kuenya sayang," jawab anakku berusaha menahan perasaan meski matanya mulai berkaca-kaca.Mas Imam perlahan mendekat sementara aku menahan napas menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Dan ketika kami berpapasan di depan pagar rumahnya, suamiku terlihat kaget, syok, dan salah tingkah."Ka-kalian, kalian lagi ngapain di sini?" tanyanya terbata-bata."Ini Pak kuenya, totalnya 560 ditambah ongkir," ucap anakku dengan wajah dan suara yang datar."I-iya, Dek," ujar Mas imam sambil menelan ludah."Buruan Imam, acara mau dimulai," panggil Ibu mertuanya sambil berkacak pinggang."Sayang ... apa perlu aku harus datang ke situ untuk membantumu?" tanya Sari dengan suara lantang yang dengar disengaja untuk memamerkan kemesraan mereka.Sepertinya dia tahu bahwa yang datang mengantarkanku kue adalah aku."Eng-enggak usah, aku baik baik aja." Ia
Melihat tingkah anakku yang tengil, wanita tua itu merasa dipermainkan dan dia tersinggung mendapati perlakuan demikian.Dirogohnya tas lalu mencoba menelpon seseorang."Aku lagi di rumah kamu untuk membersihkan apa yang ada di dalamnya?"Ucap wanita itu sambil melotot kearah Kami bertiga."Rumah mana lagi kalau bukan rumah jalan ?Melati, di sini banyak sekali sampah yang harus disingkirkan," ujar wanita yang gayanya sangat berciri khas wanita tradisional yang masih menjunjung martabat dan gengsinya."Ya, Anda adalah sampah yang harus segera dibersihkan dari rumah kami," timpal anakku dengan santainya sambil melempar kulit kuaci, dan mengenai sasakan rambut wanita itu."Kalian sadarlah bahwa Imam sudah melempar kalian dari hidupnya, kalian juga sudah menantang jadi jika bersikeras untuk tidak mengikuti peraturan Imam maka silakan kalian tinggalkan tempat ini karena ada orang yang lebih berhak masuk ke dalamnya dan menikmatinya.""Oh, jadi yang lebih berhak masuk anakmu yang pelakor