Share

Alasan Arlan

Author: Olivia
last update Huling Na-update: 2025-11-04 22:48:40

Mobil Arlan melaju pelan di bawah langit sore yang mulai memudar warnanya. Langit tampak kusam, menyiratkan hujan yang belum jadi turun, dan udara di luar terasa lembap seolah menggantungkan sesuatu yang belum selesai.

Di dalam mobil, suasana begitu sunyi, hanya diisi oleh dentuman lembut dari radio yang bahkan tak ia dengarkan.

Kedua tangannya menggenggam kemudi, namun pikirannya melayang entah ke mana.

Bayangan wajah Alya terus muncul di benaknya, bersama dengan kata-kata yang ia ucapkan siang tadi, tepat di ruang kerjanya

“Lan… aku cuma mau kamu tahu. Aku cinta kamu dari dulu. Nggak akan berubah.”

“Aku bisa lakuin apa aja buat kamu. Apa aja.”

Nada suara Alya saat itu begitu yakin, begitu keras kepala.

Namun bagi Arlan, kata-kata itu tak lagi menyentuh sisi hatinya yang dulu pernah lembut untuk Alya yang dulu sempat mengira bahwa rasa sayang dan perhatian bisa berkembang menjadi cinta.

Kini, ia tahu, rasa itu tidak pernah tumbuh, bahkan dari awal.

Ia menarik napas panjang, menatap
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Goodnovel Awesomegirl
semoga berjodoh ya ..
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Yang Menenangkan

    Bau mie instan yang pekat masih memenuhi udara kontrakan itu, bercampur dengan aroma bawang goreng dan uap panas yang belum sempat menguap. Namun perhatian Sevi teralih seluruhnya ketika wajah Arlan muncul di ambang pintu dengan wajah emosi yang masih menempel kuat… dan lebam ungu besar di pipi kirinya. Sevi membeku. Dua detik. Lima detik. Sepuluh detik. Lalu ia hampir menjatuhkan panci yang barusan diangkat dari kompor. “Arlan, astaga, kamu kenapa?!” Arlan mengangkat tangan, mencoba menenangkan, tapi langkah Sevi sudah jauh lebih cepat. Ia menarik Arlan masuk, menutup pintu dengan siku, menarik kursi, dan menekan bahu Arlan agar duduk. Semua dilakukan tanpa ia sadari, seperti naluri yang otomatis menyala. “Siapa yang mukul kamu?” tuntut Sevi, suaranya serak namun tegas. Arlan hanya tersenyum tipis, yang justru membuat lebam di pipinya tampak lebih sakit dari seharusnya. “Cuma lebam gini kok,” gumamnya. “Cuma katamu?!” Sevi meraih kotak P3K dengan gerakan cepat. Tangannya gem

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Sulutan Emosi

    Arlan mencondongkan tubuh ke depan, tangan bertumpu pada meja, tatapannya menusuk. “Sekali lagi kalian sebut nama Sevi dengan cara kayak tadi,” katanya perlahan, “kalian bakal berurusan bukan cuma sama aku… tapi dengan pengacara dan polisi.”Ia tak ingin menarik perhatian lebih dari ini, setelah memberikan peringatan, ia membalikkan badan dan mencoba fokus pada kue yang masih disiapkan. Nama nya pun dipanggil, kue yang ia inginkan akhirnya selesai, ia menoleh sekilas sebelum benar-benar berjalan keluar, salah satu dari dua lelaki itu tiba-tiba berdiri. Kursinya terseret kasar, matanya menyala penuh tantangan.“Heh! Lo kira lo siapa, ngancem-ngancem orang di tempat umum?!” suara lelaki itu menggelegar.Arlan mengerutkan alis. Ia tidak punya waktu untuk ini. Sevi sedang menunggunya.“Aku udah bilang yang perlu aku bilang,” balas Arlan datar. “Urusan selesai.”Namun lelaki itu melangkah cepat, berdiri hanya satu jengkal dari wajah Arlan.“Atau lo cuma berani ngomong doang? Gimana kalo k

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Obsesi yang Menjadi Luka

    Ruang interogasi sore itu terasa jauh lebih sunyi daripada biasanya. Hanya ada Arlan, duduk diam di balik meja lebar berwarna gelap, dan Alya, yang kini terlihat begitu rapuh dengan tangan terborgol dan mata sembab.Sejenak, mereka hanya saling menatap dalam hening yang mana itu lebih jujur daripada percakapan apa pun selama bertahun-tahun.Alya akhirnya bicara lebih dulu.“Lan…” suaranya pecah, napasnya pendek. “Aku tahu kamu nggak mau ketemu aku. Tapi terima kasih… karena kamu tetap datang.”Arlan menggeleng pelan. “Aku datang karena kita harus menyelesaikan ini, Al.”Alya tersenyum getir. Senyum kecil yang tampak seperti usaha terakhir seseorang untuk tetap terlihat kuat.Lalu ia membuka semua.“Aku sayang kamu, Lan,” katanya lirih. “Sejak dulu. Sejak kita masih sekolah. Sejak Papa kamu sering manggil aku ke rumah, sejak Mama kamu selalu bilang aku kayak anak sendiri. Aku tumbuh di rumah kamu. Aku tumbuh dengan anggapan bahwa suatu hari… kamu pasti milih aku.”Air mata Alya kembali

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Salah Paham

    Sidang kedua hari itu berlangsung di ruang persidangan yang lebih besar, lebih ramai, dan jauh lebih menegangkan dibanding sidang pertama. Semua tersangka hadir termasuk para petinggi perusahaan Berrystraw, tim riset ilegal, serta satu nama yang membuat suasana menjadi ganjil sejak awal, Alya.Sevi duduk di kursi saksi cadangan, tepat di belakang Arlan. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Tangannya menggenggam ujung blazernya dengan erat, sementara matanya mengikuti setiap pergerakan jaksa dan terdakwa.Ketika para tersangka masuk satu per satu, Sevi tetap menunduk. Namun begitu Alya muncul, langkahnya pelan, tangan terborgol di depan, rambutnya diikat seadanya, wajah tanpa riasan… suasana seketika berubah.Semua tatapan tertuju padanya.Termasuk Arlan.Arlan menatap Alya lama bukan dengan amarah, bukan dengan dendam, melainkan… iba.Perasaan yang timbul saat kenangan bertahun-tahun menyeruak masuk ke dalam kepalanya.Alya kecil yang dulu selalu mengikuti di belakangnya.Al

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Menantu

    Rumah keluarga Arlan sore itu terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu-lampu kecil yang menggantung di sepanjang lorong memancarkan cahaya lembut, sementara aroma sup ayam buatan sang ibu perlahan mengisi setiap sudut. Sevi duduk di meja makan, sedikit ragu, namun tersenyum ketika ibu Arlan menaruh semangkuk sup di depannya.“Coba ini, Sev. Mama masak sendiri,” ujar sang ibu sambil menepuk bahu Sevi pelan. “Kamu kelihatan capek sejak persidangan tadi.”Sevi mengangguk kecil. Tenggorokannya terasa kering, tetapi sapaan lembut itu membuatnya merasa jauh lebih hangat daripada sebelumnya. Ia mengambil sendok, meniup perlahan, dan mencicipinya. Rasanya ringan, gurih, dan menenangkan.“Enak, Tante,” katanya pelan.“Panggil Mama aja,” koreksi sang ibu lembut, tersenyum hampir terlalu manis.Sevi tersedak sedikit mendengar panggilan itu. Sementara di sofa belakang mereka, Arlan yang sedang mengeringkan rambut usai mandi hanya melirik, bibirnya melengkung kecil.“Ma… mama” Sevi menunduk, wajah

  • Jangan Hisap, Pak Bos!   Tekanan di Ruang Sidang

    Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, seolah ikut menahan napas bersama ratusan orang yang berlalu-lalang di halaman gedung pengadilan negeri. Beberapa wartawan tampak mempersiapkan kamera, petugas keamanan yang mengatur garis pembatas, dan deru kendaraan hukum yang sesekali melintas.Di antara keramaian itu, Arlan berdiri tegap mengenakan setelan hitam sederhana. Tatapannya lurus ke depan, namun jemarinya sedikit mengepal, tanda bahwa ia menahan gelombang kecemasan yang sulit ia redam.Di sampingnya, Sevi berdiri dengan rok selutut dan kemeja putih. Wajahnya pucat, lebih pucat dari biasanya. Saat suara beberapa wartawan mulai memanggil nama Arlan, tangannya bergetar.Arlan meraih jemari Sevi dengan tenang, ia menggenggamnya.“Nggak papa,” bisiknya lembut. “Aku di sini.”Sevi menelan ludah, mengangguk pelan. “Aku… aku cuma takut suasananya...”Arlan menoleh, menatapnya penuh keyakinan. “Kamu lebih kuat dari yang kamu pikirin. Suara kamu itu penting.”Kata-kata itu membuat dada Sevi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status