Masuk**
Jantung Clara terasa mencelos setelah mendengar kata-kata Markus di seberang sana. Ia menahan napas, berusaha menenangkan suaranya yang bergetar.
“Aku akan membayarmu kembali jika waktunya tiba, Markus. Jangan menggangguku sekarang!”
Kemudian Clara mematikan telepon. Ia tahu, ini sangat tidak sopan. Mengingat sebelumnya ia memohon kepada Markus untuk sejumlah uang itu. Tapi sungguh, suara parau pria itu seperti bisa membangkitkan mimpi buruknya.
“Bagaimana aku akan membayarnya nanti? Uang sebanyak itu ….” Clara merenung sesaat di tepi jendela koridor. Pandangannya jatuh pada orang-orang yang lalu lalang di luar sana. Mendadak saja, ia merasa sendirian hidup di bumi ini.
“Sepertinya aku harus bekerja lebih keras lagi. Tidak ada yang bisa aku andalkan selain diriku sendiri.”
Keadaan Gerard membaik dengan cepat setelah operasi. Saraf-saraf tubuhnya kembali bekerja, sehingga obat yang diberikan bisa efektif. Pada pagi hari kelima pasca operasi, pria itu akhirnya membuka mata.
Tepat ketika Clara sedang merawatnya sebelum berangkat ke kantor.
“Demi Tuhan!” Clara memekik tertahan. Ia reflek memeluk sang tunangan yang masih bingung dengan keadaan. “Gerard! Kau bangun!”
Clara memandangi pria itu dengan berurai air mata. Rasa haru dan bahagia memeluk hatinya. Gadis itu merasa perjuangannya selama dua bulan terakhir tidak sia-sia.
“Clara ….” sebut Gerard lirih. Jemarinya terulur hendak menyentuh pipi si gadis, dan Clara buru-buru menerimanya. “Kau di sini?”
“Ya, ya aku di sini. Aku selalu di sini. Aku tidak ke mana-mana.”
“Apa … yang terjadi?”
“Kecelakaan mobil, kau tidak bangun selama dua bulan.” Clara menjawab gugup sembari membersit air mata. “Aku harus memanggil dokter. Mereka semua pasti juga menunggu momen ini.”
Clara baru saja akan beranjak ketika Gerard meraih tangannya dengan lemah.
“Clara … aku merindukanmu. Di sini saja.”
*
Satu bulan nyaris berlalu sejak Gerard sadar dari koma. Kondisinya sudah semakin membaik kini. Hanya menunggu recovery dan terapi untuk kakinya yang patah.
Namun berbanding terbalik dengan keadaan itu, beban yang menggelayuti benak Clara menjadi kian berat.
Ia tidak lupa, tenggat waktu yang ditetapkan Markus atas hutang itu. Rasanya semua itu sekarang menjelma menjadi monster yang bisa kapan saja menyeret Clara ke dalam lubang gelap tak berdasar.
Bagaimana ia membayar hutangnya? Ke mana ia harus mencari uang sebanyak itu?
Clara seperti akan mati ketika memikirkannya.
....
“Apa kau berencana memelototi mesin fotocopy itu seharian? Direktur sedang menunggu berkasnya, tidak bisakah kau cepat sedikit?”
Clara tersentak kaget. Ia tidak sadar sudah berdiri cukup lama. Seorang gadis rekan kerjanya menatapnya dengan cemberut.
“Ah, maaf. Aku tidak sadar.”
“Antarkan ke ruangan direktur sekarang!”
Clara mengangguk pelan. Ia menghela napas diam-diam sebelum membawa berkasnya ke ruangan sang atasan.
Rasa tidak nyaman mencengkeram hatinya. Kantor tidak pernah terasa sama lagi sejak kejadian malam itu. Clara masih tetap bekerja seperti biasanya, dan Daniel Addams juga masih seperti sebelumnya. Dingin, angkuh, dan tidak bersahabat. Namun percayalah, seperti ada tembok tinggi yang terbangun di antara keduanya sejak hari itu.
Ah, atau mungkin hanya perasaan Clara saja? Daniel memang tidak pernah benar-benar mengenalnya dari dulu, kan? Pria dengan paras seindah lukisan itu seperti berasal dari dunia lain yang berbeda dengan manusia biasa seperti dirinya.
Sepanjang hari Clara berusaha sebisa mungkin menghindari Daniel. Ia tidak sanggup bertukar tatap dengan pria itu. Sampai waktu pulang kantor pun, ia mengendap-endap seperti penjahat demi menghindari si bos yang berada di VIP parking lot StarTech.
“Apa yang kau lakukan di situ?”
Tapi malang, Clara tertangkap basah sedang bersembunyi di balik pilar. Gadis itu mendesis penuh sesal. Daniel menjulang di hadapannya, memandang penuh curiga.
“Kau mau mencuri mobil?”
Clara mengerutkan alis. Bukankah tuduhan itu keterlaluan? Daniel menuduhnya mencuri?
“Saya hanya kebetulan ada di sini dan baru saja akan pulang,” tandas Clara emosi. Ia menggumamkan permisi pelan sebelum berbalik meninggalkan sang tuan.
Sementara Daniel tertegun di belakangnya. Pria itu diam, memandang punggung sempit Clara yang kian menjauh.
Daniel tidak lupa kepada gadis itu. Sama sekali tidak. Bahkan sepanjang waktu setelah kejadian malam itu, Daniel tak berhenti memikirkan bagaimana nasib Clara. Sebab pada hari itu, ia terlihat begitu rapuh dan terluka.
“Sebenarnya itu memang bukan urusanku,” gumam Daniel pelan. Tapi pandangan dinginnya tidak bisa teralihkan dari punggung gadis itu.
Keluar dari gedung kantornya, Clara mempercepat langkah sambil sesekali menoleh ke belakang. Ia khawatir Daniel akan mengikutinya, sebelum menyadari bahwa itu tidak mungkin. Maka kemudian gadis itu berjalan lunglai ke arah halte bus. Ia harus segera ke rumah sakit untuk melihat Gerard.
“Sepertinya ada seseorang yang melupakan sesuatu.”
Clara terhenyak. Mendadak saja suara barusan membuat kakinya otomatis berhenti bergerak. Ia menoleh dengan ngeri ke arah sumber suara.
“Ini sudah satu bulan sejak kau berhutang kepadaku, Clara Anderson.”
Clara reflek melangkah mundur. Sepasang mata birunya membola saat melihat sosok yang menyeringai di dalam mobil terbuka di sampingnya. Itu Markus Flint, si rentenir. Clara tidak mengira pria separuh baya itu nekat mencegatnya di sini.
“Be-belum!” Clara mencengkeram tali sling bag-nya. “Masih dua puluh delapan hari, Markus!”
“Hanya kurang dua hari saja apa bedanya? Lagipula, memangnya kau bisa mendapatkan lima ratus ribu dollar dalam lima hari?”
“Aku akan membayarmu! Jangan ganggu aku!”
Clara sudah memasang ancang-ancang untuk berlari, tapi agaknya si rentenir sudah tanggap dengan keadaan semacam ini. Ia bergerak cepat, keluar dari mobilnya dan meraih pergelangan tangan Clara.
“Jangan coba-coba kabur, Sayang.”
“Lepaskan! Aku akan berteriak jika kau tidak melepaskanku!”
“Teriak saja. Siapa yang akan peduli kepadamu di jalanan seperti ini?”
Sialnya, Markus benar. Di tengah metropolitan yang dingin itu, orang tidak akan repot-repot mengurusi hal yang bukan urusannya. Sekarang Clara mulai menangis.
“Kau tahu konsekuensinya jika terlambat membayar, Clara.” Markus memandangi Clara dengan sorot mata kurang ajar. “Sepertinya setelah aku menikmati tubuhmu yang indah ini, aku bisa melemparnya ke rumah bordil untuk ganti rugi.”
“Lepaskan aku, kau bajingan!” Clara meronta, sekuat tenaga berusaha melepaskan cengkeraman Markus. Namun bagaimanapun, tenaga pria itu jauh lebih besar. Ia menghempaskan tubuh Clara ke dalam mobilnya dan mengunci pintu sehingga gadis itu terjebak di sana.
“Kita lihat saja, kau bisa membayarku kembali dengan cara bagaimana?”
***
**Clara menangis tersedu-sedu di depan wastafel toilet. Ia tidak peduli dengan beberapa pengunjung yang melemparkan pandangan ingin tahu kepadanya. Air matanya terus mengalir tak bisa ditahan, seiring dengan sesak hati yang terasa menghimpit. Yang ia tahu hanya ingin meluapkan emosi dan rasa sedih ini. Clara tidak bisa membohongi perasaannya. Ia merindukan Daniel. Ia tidak tahu apa dosa yang sudah ia perbuat di kehidupan yang lalu, hingga hari ini Tuhan mengutuknya dengan cara seperti ini. Jika saja perasaan cinta itu bisa dibeli, ia bersedia membayar untuk mengalihkan rasa itu kepada Gerard saja. Berapapun akan Clara bayar. Daripada menanggung rasa sakit karena cinta sepihak yang tidak terbalas seperti ini."Seharusnya aku membencimu bukannya malah menyukaimu," isaknya tertahan. "Aku sudah sakit karena berdusta kepada Gerard, sekarang masih harus menanggung patah hati karena dirimu, Tuan. Bukankah itu jahat sekali? Memangnya apa salahku sampai kau membuatku merasa seperti ini?""Ti
**"Kau berani melakukan hal sebusuk itu kepadaku? Kau benar-benar sudah bosan hidup?"Aidan tahu, bagaimanapun Daniel tidak akan mungkin benar-benar membunuhnya. Tapi tetap saja, nada suara dan sorot mata yang sedingin serpihan es kutub itu membuatnya gentar. Daniel bukan tipe yang meledak-ledak saat marah, namun percayalah, orang-orang yang marahnya tenang itu jauh lebih menakukan."Kau pikir kenapa? Kau mengkhianati Hailey, Dan! Gadis sebaik itu kau sia-siakan, apa itu namanya kalau bukan bodoh?""Tahu apa kau?" balas Daniel, masih dengan nada dingin yang penuh ancaman. "Kau pikir kau siapa, bisa ikut campur urusanku?""Aku hanya tidak tega melihat Hailey! Dia mendatangiku dan memohon bantuanku untuk memisahkanmu dengan gadis pengganggu itu. Kau dan Hailey sudah hampir menikah, Dan!""Kalau begitu kenapa tidak kau ambil saja dia, sana? Daripada kau melakukan hal busuk seperti ini, kenapa tidak kau nikahi sendiri saja dia?"Aidan tidak percaya Daniel akan mengatakan ini. Ia terngang
**Daniel masih mengingat-ingat, di mana kiranya ia pernah bertemu dengan wajah buruk ini. Pria tambun dan pendek dengan wajah penuh bekas luka itu familiar dalam ingatannya, tapi ia lupa siapa dia. Hingga kemudian si pria mengoceh lagi."Kau masih memelihara gadis itu, ha? Yah, dia memang cantik dan enak dilihat. Tapi tetap saja, kau itu kebagusan untuk gadis seperti itu. Nah, tapi jika kau sudah bosan dan berniat ganti mainan, kau bisa melungsurkannya kembali kepadaku."Mendengar itu, mendadak saja ingatan Daniel berputar dengan cepat. Ia sudah mengingat dengan baik siapa sosok mengganggu yang berdiri di luar mobilnya itu. Ia adalah bandit tua yang mana Daniel sempat menyelamatkan Clara darinya dulu. Markus Flint."Sedang apa kau di sini, ha?" Pria itu bertanya lagi dengan gayanya yang luar biasa memuakkan. Daniel sama sekali tidak berniat menjawab dan sudah hampir menghidupkan mesin mobilnya kembali ketika Markus menambahkan. "Tidak bersama Clara, eh? Ya, ya, mau bagaimana lagi. Ma
**"Dia terlihat mengerikan, sungguh. Seperti bisa mencekik siapapun yang dengan sengaja menyenggol tubuhnya. Percayalah, orang-orang sekantor tidak ada yang berani cari masalah dengannya belakangan ini. Yang berani berurusan dengannya cuma Mr. Killian, sekretarisnya. Nah itu juga masih dapat masalah yang tidak terduga."Clara mengerutkan alis mendengar cerita Em hari ini sepulang kantor. Waktu itu Clara sedang merapikan resume yang akan ia kirim untuk melamar pekerjaan di perusahaan lain. "Tapi bukankah dia memang tukang marah ya, Em?"Em menggeleng. "Tidak. Daniel Addams sebelum ini hanya tidak ramah saja, bukannya temperamental. Makanya seluruh penghuni kantor sekarang seperti kebakaran jenggot. Apapun yang kami lakukan tidak pernah benar. Beberapa artis bahkan memilih tidak datang ke perusahaan untuk sementara waktu."Clara mengalihkan pandangan dari Em. "Tapi Hailey tetap datang, kan?"Diamnya Em seperti mengkonfirmasi jawaban untuk Clara. Mendadak saja gadis itu merasa aneh. Sed
**"Aku sudah tidak bekerja lagi sekarang. Aku tidak punya pekerjaan."Hening sejenak antara dua insan itu, hingga suara kicau burung-burung kecil yang beterbangan di taman belakang ruang rawat Gerard terdengar jelas. Clara menghela napas sesaat dan menunduk. Entah mengapa tidak ingin tahu dengan bagaimana ekspresi sang tunangan saat ini."Aku melakukan kesalahan dan perusahaan tidak bisa memberikan dispensasi," lanjutnya, "Mereka menginginkan aku berhenti bekerja, maka aku harus berhenti."Clara menunggu apapun yang akan keluar dari bibir Gerard, tapi ternyata ia justru ditarik ke dalam pelukan hangat. Pria itu mendekapnya dan mencium puncak kepalanya berkali-kali."kupikir kenapa. Ternyata hanya itu?""Ini bukan hanya itu, Ger." Clara melepaskan pelukan. Ia mendongak, sepasang alisnya berkerut tidak setuju ketika bertukar pandang dengan satu yang lain. "Aku sekarang pengangguran dan kau bilang hanya itu?""Tidak, bukan begitu maksudku, Sayang. Tapi tolong jangan terlalu memikirkan
**Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tebal yang sedikit terbuka di ruang tamu apartemen Aidan. Ruangan itu terasa tenang, hanya terdengar suara samar mesin kopi yang baru menyala dan detak jam dinding di sisi kanan. Daniel terbangun perlahan di atas sofa panjang berlapis kulit abu-abu, dengan kepala berat dan pandangan yang masih kabur. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada.Aroma kopi bercampur dengan wangi sabun dan uap air yang menguar dari arah kamar mandi membuatnya semakin bingung. Apartemen itu terasa asing—ruangannya modern dan rapi, terlalu bersih untuk ukuran milik seseorang yang baru saja melewati malam yang kacau.Daniel bangkit setengah duduk, menatap sekeliling. Di meja kecil di depannya ada segelas air putih dan selembar kain hangat yang tampak baru dipakai untuk mengompres sesuatu. Ia mengernyit, mencoba mengingat bagaimana ia bisa sampai di tempat ini. Potongan gambar berkelebat di kepalanya—suara keras, amarah, dan Aidan yang menah







