Masuk**
“Aku berjanji akan membayarmu kembali, Markus. Tapi lepaskan aku sekarang!” Clara menurunkan suara, dengan putus asa memohon kepada pria di sampingnya. Namun yang bersangkutan justru terkekeh dan mulai menginjak pedal gas.
“Jangan bawa aku, aku harus ke rumah sakit!” Clara berkali-kali mendorong pintu yang sama sekali tidak bergerak itu. Walau ia tahu itu sia-sia, tapi ia tidak berhenti mencoba. “Turunkan aku, Markus! Turunkan!”
“Astaga, kau berisik sekali. Aku akan menurunkanmu jika kita sudah sampai. Sekarang diamlah atau kucekik kau sampai mati!”
Clara terisak. Tangisnya pecah sebab putus asa dan ketakutan. Seperti tidak ada jalan keluar lagi saat ini.
Mobil hitam itu melaju cukup jauh dari pusat kota di mana Clara tinggal. Hingga mereka sampai di daerah pinggiran kota yang cukup sepi. Rumah-rumah hening, gedung apartemen tertutup, dan pertokoan sebagian besar sudah tutup sebab hari telah beranjak malam.
Markus akhirnya menghentikan kendaraannya setelah memasuki garasi sesak berpenerangan redup.
“Nah, kita bisa turun sekarang, Manis,” tutur si rentenir dengan kekeh tawa yang menyeramkan. “Mau aku gendong atau bagaimana?”
Clara tidak bergerak. Ia menciut hingga menempel dengan pintu, takut Markus menyentuhnya. Segala doa gadis itu ucapkan dalam hati agar ia memiliki kesempatan untuk kabur dari sana. Meski kelihatannya tidak mungkin. Ia sendirian dalam cengkeraman pria setengah baya yang kurang waras, di tempat antah berantah yang sepi.
Siapa yang bakal menolongnya?
“Apa kau lumpuh atau bagaimana? Bukannya tadi kau ribut meminta turun? Atau kau menunggu aku seret dulu?”
Clara terhenyak kaget. Ia sama sekali tidak menyadari bahwa pintu di sampingnya sudah terbuka dan Markus berdiri di hadapannya dengan wajah sudah berubah garang.
“Turun!”
Clara mencoba dengan putus asa. Ia menyelinap di bawah ketiak Markus dan berlari kabur. Ia tetap harus mencobanya meski tahu itu sia-sia. Pria bertubuh besar itu menangkap lengannya dengan mudah, kemudian menyeretnya masuk rumah. Clara tersandung-sandung sembari merintih kesakitan.
“Aku heran sekali, kau tidak belajar dari masa lalu. Kau sengaja mendatangiku untuk menawarkan diri. Apakah cinta sudah membuat otakmu bebal?” Markus terkekeh kesenangan sembari melemparkan tubuh kecil Clara ke atas sebuah ranjang usang berantakan berbau apak. “Padahal kau tahu konsekuensinya. Dan kau tahu dari dulu aku sangat mendambakan tubuhmu, Sayang ….”
“Markus, please! Aku belum terlambat, ini masih belum satu bulan. Ak-aku bersumpah aku akan membawa uangnya besok. Sekarang lepaskan aku, aku mohon ….”
“Aku akan melepaskanmu ….” Pria itu bergerak mendekat, dan Clara otomatis merangkak menjauh. Terlebih lagi kala ujung dingin sebuah pisau perak berujung runcing yang entah Markus dapatkan dari mana, menyentuh lehernya. “... setelah aku memakaimu. Kemudian aku akan menjualmu kepada para bandar kasino yang dungu itu.”
Clara memekik keras ketika Markus menarik kedua kakinya hingga ia terseret kembali ke tepi ranjang. Pria gempal itu menemukan seutas dasi dari tumpukan pakaian kotor di kaki ranjang untuk mengikat tangan dan kaki Clara.
“Lepaskan aku, kau bajingan brengsek! Lepas!”
“Wah, mulutmu yang cantik itu sepertinya perlu dibungkam agar tidak terus menyumpah-nyumpah.”
Clara merasa seperti disambar petir ketika Markus meraih tengkuknya dan mencium bibirnya dengan kasar sekali hingga bengkak dan berdarah. Sakit, tapi ia tak bisa membela diri sebab tangan dan kakinya terikat kuat.
“Ah … manis,” desis pria itu, membuat Clara mual. “Aku tidak sabar untuk mencicipi yang lainnya.”
Clara terisak keras ketika Markus melepas kemejanya dan mulai naik ke atas ranjang. Tidak ada siapapun di sekitar sana yang akan mendengar teriakannya. Tamat sudah riwayatnya malam ini. Dengan hati remuk redam, Clara menutup mata. Pasrah menerima takdir buruk ini.
BRAK!
Suara pintu yang ditendang hingga terbuka. Jeda hening sesaat, kemudian Markus bertanya, “Siapa kau?”
Lalu ketika pria itu bergerak menjauh dan kembali turun dari ranjang, barulah Clara berani membuka matanya lagi.
“Siapa kau? Berani-beraninya memasuki rumahku tanpa izin dan merusak kesenanganku!” Markus murka, menunjuk-nunjuk pria tampan berwajah dingin yang menjulang di ambang pintu kamarnya.
Clara ternganga, mengira dirinya sedang berhalusinasi.
“Lepaskan dia,” tutur pria itu tenang. Ia adalah Daniel Addams yang rupawan. Keberadaannya di dalam sarang kotor itu bagaikan sebuah anomali.
“Ha! Lepaskan dia? Siapa kau berani berkata begitu?”
“Kau menyakiti perempuan. Itu tindakan pengecut.”
“Apa pedulimu, ha! Keluar dari sini sekarang juga! Aku tidak mengenalmu!”
“Lepaskan dia.”
Markus yang hidungnya tajam dalam mencium bau kekayaan, seketika terdiam begitu memindai sosok Daniel dengan lebih teliti. Wajahnya dan tubuhnya yang sempurna, serta pakaian dan aksesoris mahal yang melekat pada tubuh pria ini, tidak diragukan lagi, Markus pikir pasti Daniel adalah konglomerat.
“Aku tidak akan melepaskan gadis itu dalam keadaan hidup sebelum dia membayar hutangnya kepadaku sebanyak tujuh ratus ribu dollar!”
Tentu saja Clara terbelalak kaget. Ia hanya meminjam lima ratus ribu, bukan tujuh ratus. Tapi sebelum ia berani menyela, Markus kembali menambahkan.
“Dia tidak akan bisa membayarnya, jadi aku menyita tubuhnya sebagai jaminan. Jika kau tidak bisa membantu apapun, maka pergi dari sini! Atau kutembak kepalamu sampai meledak!”
Pandangan mata Daniel seperti sinar laser yang bisa menembus jantung seseorang. Pria itu menunduk, menatap Markus yang jauh lebih pendek darinya.
“Aku akan membayarnya,” katanya singkat. "Semuanya."
....
Clara pikir setelah dirinya berhasil lepas dari Markus, ia sudah selamat. Namun kenyataannya, ia hanya berganti perangkap.
Setengah jam setelah Daniel membawanya pergi dari sarang kotor dan sepi itu, saat ini Clara sedang berdiri dengan gemetaran di dalam kamar suite hotel mewah.
Dua tempat yang berbeda seperti langit dan bumi, namun dengan suasana ketakutan yang masih sama.
Di seberang ruangan, Daniel duduk di atas sofa sembari meneguk wine. Pandangan mata gelapnya seperti menguliti Clara hidup-hidup.
“Kau bahkan mau tidur dengan pria semacam itu demi uang?” tuduhnya.
Clara menggeleng kuat. Air matanya jatuh berlinangan. “Tidak, Tuan! Tidak seperti itu. Saya … saya hanya ….”
“Sekarang kau berhutang padaku.” Daniel berdiri dari atas sofa dan melangkah mendekati Clara. Pandangan matanya yang seperti serigala kelaparan benar-benar membuat nyali gadis itu runtuh. “Maka lakukan hal yang sama.”
Baju yang sudah berantakan itu lepas dalam sekali sentakan saat Daniel merampasnya. Clara memekik pelan, berusaha menutupi tubuhnya yang terbuka.
“Bayar dengan tubuhmu. Kau harus tidur denganku sekarang, Clara!”
*****Clara menangis tersedu-sedu di depan wastafel toilet. Ia tidak peduli dengan beberapa pengunjung yang melemparkan pandangan ingin tahu kepadanya. Air matanya terus mengalir tak bisa ditahan, seiring dengan sesak hati yang terasa menghimpit. Yang ia tahu hanya ingin meluapkan emosi dan rasa sedih ini. Clara tidak bisa membohongi perasaannya. Ia merindukan Daniel. Ia tidak tahu apa dosa yang sudah ia perbuat di kehidupan yang lalu, hingga hari ini Tuhan mengutuknya dengan cara seperti ini. Jika saja perasaan cinta itu bisa dibeli, ia bersedia membayar untuk mengalihkan rasa itu kepada Gerard saja. Berapapun akan Clara bayar. Daripada menanggung rasa sakit karena cinta sepihak yang tidak terbalas seperti ini."Seharusnya aku membencimu bukannya malah menyukaimu," isaknya tertahan. "Aku sudah sakit karena berdusta kepada Gerard, sekarang masih harus menanggung patah hati karena dirimu, Tuan. Bukankah itu jahat sekali? Memangnya apa salahku sampai kau membuatku merasa seperti ini?""Ti
**"Kau berani melakukan hal sebusuk itu kepadaku? Kau benar-benar sudah bosan hidup?"Aidan tahu, bagaimanapun Daniel tidak akan mungkin benar-benar membunuhnya. Tapi tetap saja, nada suara dan sorot mata yang sedingin serpihan es kutub itu membuatnya gentar. Daniel bukan tipe yang meledak-ledak saat marah, namun percayalah, orang-orang yang marahnya tenang itu jauh lebih menakukan."Kau pikir kenapa? Kau mengkhianati Hailey, Dan! Gadis sebaik itu kau sia-siakan, apa itu namanya kalau bukan bodoh?""Tahu apa kau?" balas Daniel, masih dengan nada dingin yang penuh ancaman. "Kau pikir kau siapa, bisa ikut campur urusanku?""Aku hanya tidak tega melihat Hailey! Dia mendatangiku dan memohon bantuanku untuk memisahkanmu dengan gadis pengganggu itu. Kau dan Hailey sudah hampir menikah, Dan!""Kalau begitu kenapa tidak kau ambil saja dia, sana? Daripada kau melakukan hal busuk seperti ini, kenapa tidak kau nikahi sendiri saja dia?"Aidan tidak percaya Daniel akan mengatakan ini. Ia terngang
**Daniel masih mengingat-ingat, di mana kiranya ia pernah bertemu dengan wajah buruk ini. Pria tambun dan pendek dengan wajah penuh bekas luka itu familiar dalam ingatannya, tapi ia lupa siapa dia. Hingga kemudian si pria mengoceh lagi."Kau masih memelihara gadis itu, ha? Yah, dia memang cantik dan enak dilihat. Tapi tetap saja, kau itu kebagusan untuk gadis seperti itu. Nah, tapi jika kau sudah bosan dan berniat ganti mainan, kau bisa melungsurkannya kembali kepadaku."Mendengar itu, mendadak saja ingatan Daniel berputar dengan cepat. Ia sudah mengingat dengan baik siapa sosok mengganggu yang berdiri di luar mobilnya itu. Ia adalah bandit tua yang mana Daniel sempat menyelamatkan Clara darinya dulu. Markus Flint."Sedang apa kau di sini, ha?" Pria itu bertanya lagi dengan gayanya yang luar biasa memuakkan. Daniel sama sekali tidak berniat menjawab dan sudah hampir menghidupkan mesin mobilnya kembali ketika Markus menambahkan. "Tidak bersama Clara, eh? Ya, ya, mau bagaimana lagi. Ma
**"Dia terlihat mengerikan, sungguh. Seperti bisa mencekik siapapun yang dengan sengaja menyenggol tubuhnya. Percayalah, orang-orang sekantor tidak ada yang berani cari masalah dengannya belakangan ini. Yang berani berurusan dengannya cuma Mr. Killian, sekretarisnya. Nah itu juga masih dapat masalah yang tidak terduga."Clara mengerutkan alis mendengar cerita Em hari ini sepulang kantor. Waktu itu Clara sedang merapikan resume yang akan ia kirim untuk melamar pekerjaan di perusahaan lain. "Tapi bukankah dia memang tukang marah ya, Em?"Em menggeleng. "Tidak. Daniel Addams sebelum ini hanya tidak ramah saja, bukannya temperamental. Makanya seluruh penghuni kantor sekarang seperti kebakaran jenggot. Apapun yang kami lakukan tidak pernah benar. Beberapa artis bahkan memilih tidak datang ke perusahaan untuk sementara waktu."Clara mengalihkan pandangan dari Em. "Tapi Hailey tetap datang, kan?"Diamnya Em seperti mengkonfirmasi jawaban untuk Clara. Mendadak saja gadis itu merasa aneh. Sed
**"Aku sudah tidak bekerja lagi sekarang. Aku tidak punya pekerjaan."Hening sejenak antara dua insan itu, hingga suara kicau burung-burung kecil yang beterbangan di taman belakang ruang rawat Gerard terdengar jelas. Clara menghela napas sesaat dan menunduk. Entah mengapa tidak ingin tahu dengan bagaimana ekspresi sang tunangan saat ini."Aku melakukan kesalahan dan perusahaan tidak bisa memberikan dispensasi," lanjutnya, "Mereka menginginkan aku berhenti bekerja, maka aku harus berhenti."Clara menunggu apapun yang akan keluar dari bibir Gerard, tapi ternyata ia justru ditarik ke dalam pelukan hangat. Pria itu mendekapnya dan mencium puncak kepalanya berkali-kali."kupikir kenapa. Ternyata hanya itu?""Ini bukan hanya itu, Ger." Clara melepaskan pelukan. Ia mendongak, sepasang alisnya berkerut tidak setuju ketika bertukar pandang dengan satu yang lain. "Aku sekarang pengangguran dan kau bilang hanya itu?""Tidak, bukan begitu maksudku, Sayang. Tapi tolong jangan terlalu memikirkan
**Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tebal yang sedikit terbuka di ruang tamu apartemen Aidan. Ruangan itu terasa tenang, hanya terdengar suara samar mesin kopi yang baru menyala dan detak jam dinding di sisi kanan. Daniel terbangun perlahan di atas sofa panjang berlapis kulit abu-abu, dengan kepala berat dan pandangan yang masih kabur. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memahami di mana dirinya berada.Aroma kopi bercampur dengan wangi sabun dan uap air yang menguar dari arah kamar mandi membuatnya semakin bingung. Apartemen itu terasa asing—ruangannya modern dan rapi, terlalu bersih untuk ukuran milik seseorang yang baru saja melewati malam yang kacau.Daniel bangkit setengah duduk, menatap sekeliling. Di meja kecil di depannya ada segelas air putih dan selembar kain hangat yang tampak baru dipakai untuk mengompres sesuatu. Ia mengernyit, mencoba mengingat bagaimana ia bisa sampai di tempat ini. Potongan gambar berkelebat di kepalanya—suara keras, amarah, dan Aidan yang menah







