LOGIN🫦🫦
Suara pintu tertutup di belakangnya saat Eliza pergi. Robin masih duduk di sana dengan hati yang tak karuan rasanya.Parfum Eliza terasa melekat di tubuhnya. Bisikan di telinga dan sentuhannya yang tadi menyusuri leher hingga ke dadanya masih tertinggal.Sepasang mata Robin terpejam sejenak sebelum ia mengembuskan napasnya.Punggungnya tegak, ia meraih ponsel miliknya yang ada di atas meja. Yang saat layarnya menyala, di sana terdapat kontak Eliza.Dimasukkan dan disimpan sendiri oleh perempuan itu setelah menggerayangi paha Robin dan mengambil ponselnya dari dalam sana.‘Hubungi aku kapanpun kamu sudah memutuskan, Robin.’Ucapan Eliza terngiang di telinganya, melekat erat, menggoda dan merayunya untuk tenggelam dalam bujuk rayu itu. Memisahkan Samantha dan Damien, di mana Robin memilik tugas untuk mengambil Samantha dari suaminya.‘Masih ada waktu sampai Samantha kembali, tapi jauh sebelum itu kita bisa bersenang-senang setiap malam. Jangan menolak ... pelayananku akan sangat memuask
Robin menunjukkan senyumnya, masih bersikap profesional saat bertanya, “Waitres bilang kalau kamu komplain soal hidangan penutupnya. Kalau aku boleh tahu—““Aku komplain seperti itu biar bisa bertemu denganmu, Robin.”“Eliza—““Duduklah! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”Robin mendorong napasnya sebelum memutuskan untuk mendekat. Menarik kursi yang ada di seberang Eliza dan duduk di sana.“Sudah lama tidak bertemu, Robin. Apa kabar?”Robin mengangguk, “Baik,” jawabnya.“Setelah kamu lulus kuliah, aku hampir tidak pernah melihatmu lagi. Dan tahu-tahu kamu jadi celebrity chef.”Robin hanya tertawa lirih mendengar itu.Sebenarnya ... ia dan Eliza tidak sedekat ini. Mereka hanya tetangga apartemen, dulu selama Robin dan Eliza kuliah. Robin yang lulus lebih dulu pergi dari apartemen tersebut dan mereka tidak berjumpa sejak saat itu.Robin hanya tahu Eliza menjadi seorang selebgram, yang wajahnya sering muncul untuk mempromosikan berbagai produk kecantikan. Dan tentu saja, melihat ska
Sola lux mea …. Bukankah itu sangat indah? Mata Samantha basah kala bersirobok dengan Damien. Ia pikir … yang indah itu bukan kalungnya, tapi si pemberinya. Damien Morgan lah yang indah. Entah berapa kali banyaknya Samantha selalu dibuat seperti ini, karam dalam pesonanya. Samantha mengangguk saat memandang dan menyentuh kalung tersebut. Pujiannya tak tertahankan lagi. “Cantik sekali, Damien … terima kasih ….” Damien menundukkan kepalanya, bibirnya menggapai ranum bibir Samantha sehingga kecupan itu terasa manis. Malam ini, semua hadiah yang diberikan untuknya, kejutan dari Damien dan juga ‘Sola lux mea’ tak akan pernah ia lupakan. Terpatri di dalam sanubarinya, menghangatkan dan memberinya rasa nyaman. “Duduklah di sana,” pinta Damien, jarinya sekilas menunjuk pada sofa yang dikelilingi oleh bunga-bunga. “Aku akan mengambil fotomu untuk aku tunjukkan pada Mama.” Damien hendak beranjak untuk mengambil kameranya sebelum Samantha menahan lengannya sehingga ia berhenti. “Aku t
“Damien—“ Samantha tidak bisa melanjutkan kalimatnya.Bibirnya terlalu beku bahkan jika itu untuk mengatakan ‘Terima kasih.’Air matanya lebih dulu luntur, bermuara di pipinya dalam bentuk haru yang besar.Damien melangkah mendekat, api di lilin-lilin kecilnya bergerak meliuk hingga tiba di depan Samantha.“Selamat ulang tahun, aku harap kebahagiaan selalu menyertaimu.”Damien tersenyum manis saat Samantha merapatkan kedua tangannya di depan dada. Matanya terpejam kala ia mengaminkan pengharapan itu dan melangitkan doanya sendiri.‘Terima kasih untuk hidupku yang sekarang, Tuhan … dan tidak banyak yang aku minta, tolong lindungi kami semua dalam penjagaanmu. Jauhkan segala marabahaya dan dekatkan kami pada kebahagiaan.’Ia membuka matanya, meniup lilin tersebut satu persatu. Pendarnya menghilang hingga tersisa cahaya remang yang masih memeluk mereka.“Sebentar,” bisik Damien seraya melangkah menjauh.Prianya itu menyalakan lampunya sehingga ruang tamu kamar presidential suite yang mer
Tubuh Samantha seketika merosot mendengarnya. Jika Damien tak dengan cepat menangkap kedua bahunya, ia sudah pasti jatuh terduduk di jalur pejalan kaki. Air matanya malah semakin tak terbendung. Kalimat Damien bukan hanya menghangatkan hatinya, tetapi membuat Samantha jatuh cinta pada pria ini, sekali lagi. “Kenapa?” tanya Damien seraya menunduk, merendahkan tinggi tubuhnya agar pandangan mereka bisa saling sejajar. “Kamu membuatku jatuh cinta lagi, Damien.” Senyum Damien merekah semakin manis, “Kamu pikir hanya kamu saja?” bisik Damien di depan Samantha. “Aku yang setiap hari jatuh cinta padamu, Samantha.” Hidung mereka saling bersentuhan. Rasa hangat menjalar di tengah hawa dingin Edinburgh pasca hujan. Kecupan Damien singgah di bibirnya untuk beberapa detik sebelum pria itu berujar, “Sepertinya kamu melupakan sesuatu hari ini.” “Apa?” Damien menggeleng, “Tidak,” katanya. “Mau duduk di sana dengan menikmati cokelat hangat?” Damien menunjuk ke seberang jalan, pada sebuah kafe
Setelah menghabiskan waktu di Relais Val d’Orcia yang meninggalkan bekas mendalam bahwa di sanalah Samantha dan Damien mengetahui mereka akan menjadi ayah dan ibu, perjalanan berlanjut ke tempat yang lain. Dari Italia, mereka menuju ke Scotland. Lebih tepatnya Edinburgh. Orang bilang Edinburgh sangat indah saat musim semi tiba. Tapi bagi Samantha yang pertama kali datang ke sana di musim hujan ini, Edinburgh tak kalah mempesonanya. Bangunan-bangunan klasik yang menjulang tinggi itu basah, daun-daun yang gugur akibat diterpa hujan tampak sangat cantik di mata Samantha. Dari balkon hotel yang ditinggalinya bersama Damien, ia menyaksikan semua keajaiban itu. Saat rintiknya belum sepenuhnya reda dan berubah menjadi gerimis, orang-orang berjalan kaki di bawah payung mereka. Sepasang muda-mudi bergandengan tangan di sepanjang jalur pedestrian, beberapa yang lainnya berlarian menyeberang jalan, atau duduk di halte dan menunggu kedatangan bus. Tak pernah Samantha sedamai ini kala ia men







