Samantha menyeka air matanya yang baru saja jatuh tanpa suara saat Damien bertanya, “Apa Nona terbiasa diam saja saat diperlakukan seperti itu?”
“Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan,” jawab Samantha. Suaranya serak, tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa ia baru saja menangis. Samantha hanya tak ingin mengatakan hal buruk soal ibu mertuanya. Damien selangkah maju teriring tawa lirih yang seolah sengaja ia perdengarkan pada Samantha. “Masih berusaha menyembunyikannya?” “Jika tidak ada yang ingin Anda katakan lagi, saya akan pergi.” “Pergi untuk menangis?” “Jangan bersikap seolah Anda tahu semuanya,” sahut Samantha, menyangkalnya. “Anda tidak tahu apa-apa tentang hidup saya, Tuan Damien. Tadi Mama hanya sedang … sedikit kesal saja.” Samantha berusaha menjaga nada bicaranya sedatar mungkin padahal ia sedang gugup. Ketenangan dan cara bertutur pria itu, seolah Damien tahu semua hal tentangnya. Ia beranjak pergi dari sana, menjauhkan dirinya dari Damien. Satu langkah menjauh, suara bariton Damien mencegahnya. “Terima kasih atas jamuannya.” Langkah Samantha terhenti. Ia menghadapkan lagi tubuhnya pada pria yang membuatnya hanya berdiri sebatas dada itu. Ia terkejut, untuk sesaat bibirnya hanya bergerak-gerak lemah tanpa kata yang keluar. Kalimat Damien mengindikasikan bahwa pria itu tahu Samantha lah yang menyiapkan semua hidangan di atas meja makan malam tadi. Tapi bagaimana bisa? “Ya?” Samantha bingung harus merespon seperti apa. “Saya hanya—“ “Mereka tidak tahu siapa sebenarnya yang menjadi beban.” Mendengarnya, Samantha tercenung. Untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat sebagai manusia. Tak ada yang pernah mengapresiasi atau melihat upayanya di rumah ini. Tapi Damien … pria yang baru dua kali ia temui itu membuat Samantha merasa sesuatu dalam dirinya menghangat. Senyum tipis Damien yang terlihat, mengiringi kepergiannya. Menyisakan Samantha yang merasakan jantungnya berdebar kencang. Damien sudah menghilang, tapi wangi patchouli yang membuatnya tenang itu masih tertinggal di sekitarnya. Aneh, Samantha baru saja merasa bahwa untuk pertama kalinya … ada seseorang yang memandangnya bukan sebagai wanita pembawa sial, bukan beban atau ketidakberuntungan. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” Samantha tersentak saat tanya itu datang dari belakangnya. Saat ia menoleh, ia menjumpai wajah Erick yang mendekat padanya dengan sepasang alis berkerut. “Hanya sedang … menanyakan kondisi Gabriella pada pembantu yang menjaganya, Erick,” jawab Samantha sekenanya. “Apa kamu melihat Tuan Damien? Dia bilang akan keluar sebentar tadi.” “Tidak,” jawab Samantha. Setelah mengatakan itu, ia terdiam sejenak. Ada seberkas sesal sebab merasa kebohongannya semakin banyak. “Kamu pulang sendiri nanti,” perintah Erick. “Kamu mau pergi ke mana?” “Ada urusan penting di luar yang harus aku selesaikan.” “Pekerjaan?” “Memangnya apa lagi?!” balasnya ketus. Erick hendak pergi sebelum Samantha dengan gegas meraih tangan suaminya itu sembari berujar, “Gabriella tadi menanyakanmu.” Erick urung beranjak, ia menoleh pada Samantha yang dengan segera melepas tangannya dari pria itu. “Bisakah … sekali saja kamu datang?” pinta Samantha, memohon. “Kamu bisa mengatasinya sendiri, ‘kan?” “Tapi—” “Lakukan seperti biasanya, jangan merengek untuk hal sepele, Samantha!” “Sepele bagaimana?” Samantha menatapnya dengan tak percaya, maniknya basah tersayat sembilu tak kasat mata. “Gabriella anak kita, Erick. Dokter meminta agar kamu mau dites untuk melihat kecocokan—” Samatha berhenti di tengah kalimat saat Erick pergi begitu saja. Lagi-lagi mengabaikan dirinya. Samantha memang sudah terbiasa melihat punggung dingin suaminya itu, ditinggal pergi atau bahkan tak dianggap sama sekali. Tapi demi putri mereka, tak bisakah Erick mendengarnya sekali saja? Kadang Samantha merasa yang sedang dipertahankannya ini bukanlah rumah tangga, melainkan reruntuhan. Ia menghela dalam napasnya sebelum kembali ke dalam. Memasuki dapur, ia melihat Erick yang terlihat menerima panggilan dari seseorang. Samantha mengikutinya, menjaga jarak. Jantungnya berdetak oleh sebuah kecemasan yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya. “Aku akan datang ke sana sebentar lagi,” ucap Erick dengan suara rendah yang nyaris asing di telinganya. Hatinya waswas mendengar Erick yang bicara dengan lembut, sikap yang sangat berbeda dengan caranya bicara pada Samantha. “Pakailah baju yang kemarin aku belikan.” Dadanya sesak ditumbuhi jelaga mendengar kalimat susulan itu. Kenapa Erick terlihat sangat bahagia? Batin Samantha mulai menerka, ‘Siapa yang ada di seberang panggilan itu?’Pagi ini, Samantha duduk di dalam ruang rawat Gabriella. Harusnya, ia menyuapi anak gadisnya itu.Tetapi yang terjadi ia justru sibuk melamun mempertanyakan apakah semalam Erick pulang atau tidur di luar. Mengingat ia tidak di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit untuk mendampingi Gabriella.Samantha menggeleng, mencoba menenangkan dirinya.‘Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti, Samantha,’ gumamnya dalam hati, menepis pikiran buruk yang mengganggunya.Erick mengatakan bahwa kepergiannya itu soal pekerjaan. Maka harusnya benar seperti itu.“Mama,” panggil Gabriella dengan suara manisnya yang membuat Samantha segera menoleh pada anak gadisnya.“Iya, Sayang?”“Kemarin Briel jalan-jalan keluar dengan Sus Delia,” katanya. “Briel melihat anak perempuan yang dirawat di ruangan sebelah ditemani oleh Papanya. Dia dipeluk, dan ... mendapat hadiah yang bagus.”“Jadi Briel ingin hadiah yang bagus juga?” tanya Samantha sembari mengusap sudut bibir Gabriella.“Tidak, Ma. Hanya i
Samantha menyeka air matanya yang baru saja jatuh tanpa suara saat Damien bertanya, “Apa Nona terbiasa diam saja saat diperlakukan seperti itu?”“Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan,” jawab Samantha.Suaranya serak, tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa ia baru saja menangis.Samantha hanya tak ingin mengatakan hal buruk soal ibu mertuanya.Damien selangkah maju teriring tawa lirih yang seolah sengaja ia perdengarkan pada Samantha. “Masih berusaha menyembunyikannya?”“Jika tidak ada yang ingin Anda katakan lagi, saya akan pergi.”“Pergi untuk menangis?”“Jangan bersikap seolah Anda tahu semuanya,” sahut Samantha, menyangkalnya. “Anda tidak tahu apa-apa tentang hidup saya, Tuan Damien. Tadi Mama hanya sedang … sedikit kesal saja.”Samantha berusaha menjaga nada bicaranya sedatar mungkin padahal ia sedang gugup.Ketenangan dan cara bertutur pria itu, seolah Damien tahu semua hal tentangnya.Ia beranjak pergi dari sana, menjauhkan dirinya dari Damien. Satu langkah menjauh, sua
‘Tamu yang dibawa oleh Erick adalah Damien?!’Sejenak Samantha berdiri linglung di tempatnya, tak bergerak, hingga teguran Nyonya Linda terdengar.“Bawa ke sini, Samantha!”“B-baik,” jawab Samantha setelah kesadarannya kembali.Meski kakinya terasa berat, ia tetap mengayunkannya menuju ke ruang makan.Perbincangan terjadi di antara mereka, kedua orang tua Erick menyambut Damien dan melontarkan pujian yang tak putus.Sedang di sebelah Damien, Samantha merasakan tangannya yang gemetar sewaktu ia meletakkan makanan itu di atas meja.Beberapa menit yang membuat napasnya habis, ia lega saat akhirnya bisa pergi dari sana. Namun, suara Damien membuat Samantha menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.“Kenapa Nona Samantha tidak bergabung dengan kita di sini?”Tanya itu membuat Erick saling pandang dengan kedua orang tuanya. Samantha tahu betul bahwa ia tadinya tak akan dilibatkan dalam perjamuan tersebut.Tetapi karena Damien bertanya demikian, akhirnya Erick meminta agar Samantha dud
“Apa kamu berkeliaran dalam keadaan mabuk dan membuat malu keluarga Elton?” Tanya dari Erick kembali mencecar Samantha.“Jawab!”“T-tidak,” jawab Samantha lirih. “A-aku ketiduran di kamar, dan langsung menghubungi kamu saat bangun.”“Benarkah?”Samantha mengangguk, meremas jemarinya, berharap Erick akan percaya dengan kebohongannya.“Kamu tidak melihatku pergi dengan siapa tadi malam?” tanya Erick lagi.“Ya?”Samantha memandang suaminya yang segera berpaling saat tatapan mereka bertemu, entah kenapa ia merasa Erick sedang memastikan sesuatu, seolah ada yang tengah disembunyikannya.“Lupakan!” katanya singkat sembari berjalan melewatinya sehingga Samantha meraih tangannya dengan cepat.“Erick, ayo kita—”“Pergilah ke rumah Mama nanti malam,” potong pria itu. “Mama memintamu menyiapkan makan malam untuk tamu penting. Aku tidak mau mendengar Mama mengeluh tentang kebodohanmu, jadi sebaiknya kamu tidak melakukan kesalahan!”Erick menepisnya hingga tangan Samantha terlempar menjauh dari t
Samantha bingung mencerna situasi. Saat pandangannya mengedar sekali lagi, ia gemetar menyadari bahwa ini bukan kamar resort tempat ia meninggalkan barangnya kemarin.Napasnya tertahan, wajahnya pias kala potongan ingatan semalam datang seperti kilatan cahaya.Pintu yang terbuka, pelukan yang hangat dan cumbuan yang membuatnya tersesat dalam kenikmatan yang tak pernah didapatkannya itu bukan datang dari suaminya, melainkan diberikan oleh pria lain.“Aku pikir kamu adalah wanita yang sengaja disiapkan oleh Erick agar aku tidak bosan di pesta semalam,” ucap Damien dari sofa tempat ia duduk. “Dia mengatakan hal seperti itu saat aku menolak untuk datang.”Samantha menoleh pada tuan muda keluarga Frost itu, tubuhnya menggigil penuh rasa bersalah. Ia telah mengkhianati Erick dengan tidur bersama pria lain.“I-ini kesalahan, Tuan Damien,” jawab Samantha terbata. “Maaf karena saya sembarangan masuk ke dalam kamar Anda.”Damien tak begitu saja menjawab, pria itu lebih dulu bangun dari duduknya
“Sebelum membuat malu, sebaiknya kamu pergi dari sini!” Suara hardikan itu membuat Samantha menoleh pada asal suara dengan kepala yang pening. Maniknya menatap seorang pria dalam balutan jas yang berdiri di sebelahnya. Erick Elton, suaminya. Alis lebat pria itu hampir tertaut saat menebah lengan jasnya yang basah karena Samantha tak sengaja menumpahkan minuman dari gelas berkaki yang dibawanya. Samantha hanya lelah setelah tak beristirahat sama sekali karena menjaga anaknya yang kritis di rumah sakit, tapi ia malah dipaksa datang ke pesta anniversary mertuanya. Ia hampir limbung jika bahunya tak dirangkul dengan cepat oleh seorang gadis dari samping kanannya, yang memastikan ia tetap berdiri tegak. “Kamu baik-baik saja?” tanya suara manis perempuan itu, Eliza. Sahabat sekaligus teman dekatnya dan Erick sejak lama. “Iya,” jawab Samantha, menunjukkan senyum palsunya sembari mengangguk. “Jangan bicara seperti itu pada Samantha, Erick. Dia lelah, tolong mengertilah sedikit!”