‘Tamu yang dibawa oleh Erick adalah Damien?!’
Sejenak Samantha berdiri linglung di tempatnya, tak bergerak, hingga teguran Nyonya Linda terdengar. “Bawa ke sini, Samantha!” “B-baik,” jawab Samantha setelah kesadarannya kembali. Meski kakinya terasa berat, ia tetap mengayunkannya menuju ke ruang makan. Perbincangan terjadi di antara mereka, kedua orang tua Erick menyambut Damien dan melontarkan pujian yang tak putus. Sedang di sebelah Damien, Samantha merasakan tangannya yang gemetar sewaktu ia meletakkan makanan itu di atas meja. Beberapa menit yang membuat napasnya habis, ia lega saat akhirnya bisa pergi dari sana. Namun, suara Damien membuat Samantha menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. “Kenapa Nona Samantha tidak bergabung dengan kita di sini?” Tanya itu membuat Erick saling pandang dengan kedua orang tuanya. Samantha tahu betul bahwa ia tadinya tak akan dilibatkan dalam perjamuan tersebut. Tetapi karena Damien bertanya demikian, akhirnya Erick meminta agar Samantha duduk di sana juga. “Duduklah, Samantha,” pinta Erick, mengisyaratkan dengan matanya agar ia tak membantah. Samantha pun duduk berseberangan meja dengan Damien, di samping ibu mertuanya—yang meski samar Samantha bisa mendengar dengus napasnya yang keberatan. “Saya sangat senang saat Anda mau berinvestasi di Elt Construction, Tuan Muda Damien,” ucap ayahnya Erick—Tuan Kael—setelah mempersilakan mereka untuk memulai makan. Damien menanggapi dengan senyum yang hampir tak terlihat. “Terima kasih untuk undangan makan malamnya.” “Kamilah yang sangat beruntung,” sahut Nyonya Linda. “Saya dengar Anda belum menikah. Sepertinya Anda memang fokus untuk membangun Drexon menjadi lebih besar lagi, Tuan Muda.” Damien mengangguk, “Bisa dikatakan seperti itu.” “Jika nanti menikah, carilah wanita yang memberi Anda keberuntungan karena kadang beberapa wanita hanya akan menjadi beban.” Meski dibersamai dengan tawa seolah itu hanyalah sebatas candaan, tetapi Samantha tahu kalimat itu ditujukan untuknya. Dirinyalah wanita yang menjadi beban itu—ia dan anaknya. Samantha menunduk, makanan yang baru saja disuapnya tak bisa ia telan. Jarinya yang menggenggam sendok mendadak kebas, mati rasa. “Masih belum menemukan wanita yang tepat, Nyonya Linda,” jawab Damien setelah tawa itu mereda. “Tidak mungkin,” sahut Erick dari sebelah kiri Damien. “Apa itu bukan karena Anda yang terlalu pemilih?” “Tidak,” sahut Damien tenang. “Tapi baru-baru ini saya bertemu dengan seorang wanita yang cukup menarik.” “Lalu kenapa kalian tidak bersama?” “Dia milik orang lain.” Saat Samantha mencuri pandang, sepasang iris biru gelap Damien berpindah dari Erick kepadanya. Seolah kalimat itu ditujukan untuknya. Tatapannya sangat tenang, yang membuat Samantha justru merasa tercekik. “Kalau memang wanita itu memiliki value, membuat Anda merasa nyaman dan belum terikat dengan orang lain, Anda bisa mengejarnya, Tuan Muda,” ucap ayahnya Erick memberi dukungan. Damien tersenyum tipis, “Haruskah saya lakukan itu?” “Boleh saja, ‘kan?” celetuk Nyonya Linda. “Nanti kalau ada acara besar, Anda bisa membawanya. Seperti di acara anniversary tadi malam.” “Tapi bagaimana menurut Tuan Muda semalam?” tanya Tuan Kael lagi. “Apakah resort kami cukup nyaman?” “Sangat nyaman,” jawab Damien, sekilas pandangnya mengarah pada Samantha. “Yang saya temukan di dalam cukup membuat saya tidur dengan nyenyak, Tuan Kael.” Samantha menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan getar di dagu, gugup mendengar kalimat Damien—yang ia tahu betul memiliki makna lain. “Maksudnya, Anda suka dengan interiornya?” sahut Erick, memastikannya pada Damien. “Ya,” jawab Damien kemudian menoleh pada Samantha dan bertanya, “Bukankah begitu, Nona Samantha?” Samantha membeku, tenggorokannya mengering. Tak tahu harus menjawab apa, kebimbangan dan rasa takut memenuhi benaknya. “Kenapa Nona diam saja sejak tadi?” Jantungnya seperti berhenti berdetak, ia ingin menjawab, tetapi takut salah berucap. Ketegangannya luntur saat Erick menyela dengan mengatakan, “Dia tidak punya selera dan pengetahuan tentang interior, Tuan Damien. Dia tidak bisa menilainya.” “Benar,” imbuh Nyonya Linda. “Bertanya padanya tidak akan membuat Anda menemukan jawaban. Dia tidak tahu hal-hal seperti itu.” Tawa Nyonya Linda kembali terdengar, disambut oleh Erick beserta ayahnya, menganggap itu sebagai lelucon yang patut mereka rayakan. Tapi tidak dengan Damien. Pria itu meraih gelas minumannya, meneguknya perlahan. Wine merah itu berkilauan di bawah cahaya lampu ruang makan. Begitu pula dengan iris biru gelapnya yang mengarah pada Samantha. Saat Tuan Kael mengatakan mereka bisa melanjutkan kembali makannya, Samantha masih menjumpai Damien menatapnya. Terlalu lama, cukup untuk membuatnya menunduk, menghindar agar detak jantungnya tak semakin cepat. Bagi Samantha, tatapan itu bukan tatapan pria asing, tapi tatapan seseorang yang tahu rahasia tubuhnya yang menggila di bawah cengkeramannya semalam. Waktu berjalan sangat lambat untuk tiba di ujung makan malam. Samantha pergi dari ruang makan dan melakukan yang diperintahkan oleh ibu mertuanya agar ia membawa keluar teh dan kue manis sebagai penutup. Tapi karena sangat gugup, ia tak sengaja menumpahkan teh itu di meja, di depan Damien duduk. “Maaf,” lirih Samantha, menunduk di sebelah Damien. “Kamu tidak bisa berhati-hati?!” hardik ibu mertuanya. “Bagaimana kalau mengenai Tuan Damien?!” “Tidak apa-apa, Nyonya Linda,” kata Damien tak terbebani. Tapi meski pria itu tak keberatan, Nyonya Linda tidak bisa menoleransi kecerobohan Samantha. Saat ia keluar dari dapur dan berdiri melepaskan sesaknya di teras sebelah timur rumah, ibu mertuanya itu menyusulnya. “Sudah aku bilang agar berhati-hati tapi tetap saja kamu melakukan kecerobohan?!” tanya beliau dengan suaranya yang meninggi. Tangannya mendorong kepala Samantha dengan kuat hingga ia terhuyung ke belakang tanpa bisa memberi perlawanan. “Memalukan sekali harus mengakuimu sebagai menantuku di depan Damien, Samantha! Jangan masuk dan menunjukkan wajahmu yang menyedihkan ini! Dasar tidak berguna!” Nyonya Linda melenggang pergi meninggalkan Samantha yang tak bisa lagi menampung sakit hati akibat caci makinya. Ia terdiam cukup lama hingga tak menyadari bahwa air matanya telah bermuara di pipi. Kesalahan kecil yang ia lakukan telah menghapus kebaikan dan jerih payahnya. Samantha menoleh ke arah lain teras dan selangkah mundur ke belakang. Gelombang kejut menghantam dadanya saat melihat Damien yang sudah berdiri di sana. ‘Sejak kapan dia di situ?’ ….Mereka menoleh secara bersamaan pada gadis itu yang masih duduk dengan tenang di samping Giovanni.Tak terbebani dengan wajah terkejut orang-orang yang mendengar apa yang baru dikatakannya.“Ann?” Samantha memanggilnya, seolah memastikan bahwa ucapan itu benar keluar dari bibirnya.“Saya setuju dengan yang dikatakan oleh Bu Samantha,” kata Anna. “Kalau ditangkap sebelum melakukan apapun, kita tidak punya bukti kuat untuk menuduh Erick. Jadi kita perlu membuat dia percaya kalau penculikan itu benar berhasil. Karena Tuan Damien tidak mengizinkan Bu Samantha yang melakukannya, saya bisa menggantikannya untuk itu.”“Kamu serius?” Samantha masih tak percaya.“Iya, Bu Samantha.”“Tapi bagaimana caranya?” tanya Giovanni, menoleh pada Anna dengan kedua mata yang melebar penuh rasa penasaran. “Kita masih belum tahu bagaimana rencana Erick, apakah dia sendiri yang akan menculik Nona Samantha, atau dia akan meminta pria bayarannya itu.”“Aku tahu caranya,” sahut Samantha.Ia sejenak saling panda
“P-penculikan?” ulang Samantha dengan gugup.Manik cokelat gelapnya bergerak tidak nyaman, menatap pada Damien dan Giovanni secara bergantian.Makan pagi yang harusnya dalam keadaan tenang berubah menjadi menegangkan.Atmosfer di sekitar mereka menjelma suram dalam kecemasan.Siapapun yang ada di dalam ruangan itu tau bagaimana Erick telah meninggalkan bekas luka dan trauma yang mendalam bagi Samantha.“Teman dekatnya bilang begitu, Sayang. Tapi kami juga belum tahu kapan itu akan dia lakukan. Yang jelas ... aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu. Hm?”Damien mengusap kepala bagian belakang Samantha, pada rambut panjangnya yang hitam.“Jadi apa rencana Tuan Damien?” tanya Anna mendadak dari seberang meja.Sedikit merasa bersalah karena ia lah yang pertama menyinggung soal mata-mata di persimpangan sebelah timur mansion.Karena dilihat dari gelagat dan kalimat Damien barusan, sepertinya ia dan Giovanni sengaja menyembunyikannya dari Samantha.“Kalau dugaanku benar, dia akan menculik
Sebenarnya ... semua diawali dari sini: Pertama, Damien meminta Giovanni mencari tahu latar belakang Pierre, teman terdekat Erick. Mereka menemukan fakta mencengangkan bahwa adik perempuan Pierre tengah didekati oleh Erick. Lalu Giovanni memancing Pierre dengan rahasia kelakuan bejat Erick sehingga membuat ia berada di pihak mereka. Artinya, satu langkah Damien telah selesai. Kedua, ia meminta Giovanni menghubungi ahli teknik kimia milik mereka untuk membuat dua ledakan lainnya tanpa menimbulkan korban jiwa. Dean mengirim dua kotak itu ke rumah sakit dan ke mall, mengendarai motor dan menyerupai penyamaran Erick sewaktu mengirim paket ke Harvest Table. Ketiga, Axel mengunggah artikel tentang sejarah ‘kelam’ ledakan di kota sehingga itu memancing reaksi partai SDA yang menuduh anggota NVP melakukannya. Pihak NVP marah dan mengumumkan mereka akan menemukan pelaku pengirim paket ledakan itu serta memberi pelajaran setimpal pada siapapun itu! Situasi untuk menyudutkan Erick
“Kalau dugaanku benar, dia akan menghubungimu dalam waktu dekat. Kalau dia membicarakan soal rencana penculikan Samantha, terima saja. Katakan padaku apapun yang terjadi,” jawab Giovanni. Pierre mengangguk tanpa banyak protes. Ia menerima sebuah kartu nama dari Giovanni yang kemudian ia simpan. Perjumpaan mereka berakhir di sana. Giovanni meninggalkan The Eclipse dan pergi ke suatu tempat. Ia menemui seorang pria yang bekerja di Drexon Corp, seorang ahli teknik kimia. Giovanni dibawanya masuk ke dalam sebuah ruangan di mana di dalam sana pria itu menunjukkan dua kotak berukuran sedang yang ada di atas meja. Kotak hitam yang persis seperti yang dilihat Giovanni diterima oleh Anna berisikan bom hari itu. “Sudah selesai kamu buat, Dean?” tanya Giovanni saat itu. “Sudah, Pak Gio. Skala ledakannya jauh lebih kecil daripada yang terjadi di Harvest Table.” “Kirim ke halte rumah sakit nanti setelah pemberhentian bus terakhir dan di parkiran mall milik Drexon saat sudah mendek
“LEPAS!” Erick memberontak sewaktu beberapa orang pria berjaket kulit memasuki tempat terbengkalai itu. Ia digelandang menjauh dari hadapan Damien yang memasang badan untuk melindungi Samantha dan Anna dari amukan amarahnya. Rasa sakit menyerang kedua lengannya, cengkeraman mereka menyakitinya hingga seolah menembus tulang. Erick terseret-seret di atas lantai berdebu gedung tersebut. Akal sehatnya menghilang sewaktu ia mencoba meraba apa yang sebenarnya tengah terjadi kepadanya. Sepasang matanya memanas, rasa terhina menguliti wajahnya hingga terkelupas. Ia menilik sebentar ke belakang, pada kalimat Anna yang mengatakan tentang Pierre yang mengkhianatinya. Apakah jangan-jangan ... ini semua adalah perangkap Damien? Penculikannya ini telah diketahui oleh pria itu dan Pierre adalah bagian dari mereka? “DAMIEN MORGAN!!” serunya memecah keheningan. “APA INI SEMUA RENCANAMU?!” Damien tiada menjawab. Ia hanya bergeming, menatap Erick lewat iris birunya yang berkilauan. Dari samping
“K-kamu—“ Erick terbata-bata, mencoba mengingat wajah tak asing yang menyeruak di hadapannya ini. Bukan Samantha seperti yang sedari tadi ia pikirkan, melainkan …. “Kamu stafnya Samantha, ‘kan?” tanyanya memperjelas. “Anna. Kamu Anna!” Sepasang mata Erick membola, tak percaya dengan apa yang disaksikannya sekarang ini. Dengus napasnya terdengar kasar sewaktu ia menguraikan kain yang membebat bibir gadis itu. Merekatkan kembali kewarasan yang nyaris sirna akibat kegagalan fatal. Operasi penculikan Samantha telah menemui akhir! Tapi bagaimana bisa? Yang dilihat olehnya di foto tadi memanglah Samantha. Ia mengenakan gaun berwarna ungu sama seperti yang dipakai oleh Anna. Bahkan, saat Erick memastikannya sekali lagi di ponsel miliknya itu, yang dijumpainya memanglah Samantha Celestine. Jadi bagaimana bisa berubah wujud? ‘Apa jangan-jangan … Pierre salah menangkap orang?’ batinnya mulai menerka. Ia bangun dari berlututnya, menegakkan tubuh dan menunjuk Anna dengan geram. “Kamu tun