Pagi ini, Samantha duduk di dalam ruang rawat Gabriella. Harusnya, ia menyuapi anak gadisnya itu.
Tetapi yang terjadi ia justru sibuk melamun mempertanyakan apakah semalam Erick pulang atau tidur di luar. Mengingat ia tidak di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit untuk mendampingi Gabriella. Samantha menggeleng, mencoba menenangkan dirinya. ‘Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti, Samantha,’ gumamnya dalam hati, menepis pikiran buruk yang mengganggunya. Erick mengatakan bahwa kepergiannya itu soal pekerjaan. Maka harusnya benar seperti itu. “Mama,” panggil Gabriella dengan suara manisnya yang membuat Samantha segera menoleh pada anak gadisnya. “Iya, Sayang?” “Kemarin Briel jalan-jalan keluar dengan Sus Delia,” katanya. “Briel melihat anak perempuan yang dirawat di ruangan sebelah ditemani oleh Papanya. Dia dipeluk, dan ... mendapat hadiah yang bagus.” “Jadi Briel ingin hadiah yang bagus juga?” tanya Samantha sembari mengusap sudut bibir Gabriella. “Tidak, Ma. Hanya ingin bertemu Papa saja.” Mata Gabriella yang cantik tampak terluka saat ia tersenyum. Jemari kecilnya memilin ujung selimut yang menutupi kakinya, seolah ia sedang menguatkan dirinya sendiri. Melihat itu, Samantha sekuat tenaga menahan air matanya. Ia menunduk, mencoba merangkai kata, menata kebohongan lain untuk membuat Gabriella tidak bersedih. ‘Tapi apa lagi yang harus aku katakan?’ batinnya dihantam kegundahan. “Apa Papa tidak sayang pada Briel, Ma?” tanya anak gadisnya lagi. “Kenapa Briel bertanya seperti itu, Sayang?” “Karena Briel sakit,” jawabnya. “Mungkin Papa tidak suka Briel yang bau obat.” Kalimat polosnya tanpa sadar membuat air mata Samantha jatuh melewati sudut netranya. Samantha tersenyum, meletakkan mangkuk berisi makanan itu ke atas meja sembari menghapus air matanya dan kembali duduk di hadapan Gabriella. “Siapa bilang kamu bau obat?” ucapnya sembari menyentuh pucuk hidung Gabriella yang pucat. “Anaknya Mama selalu wangi bunga. Ingat bunga-bunga yang selalu Briel beri warna, ‘kan? Kamu wangi seperti mereka, Sayang ….” “Briel memang bau obat, Ma,” katanya. “Di ruangan tempat Briel dibawa suster, itu bau obat. Setiap ke sana Briel selalu sendirian, Briel takut, Mama ….” “Kamu tidak perlu takut. Ada Mama yang selalu menunggu Briel di luar, Sayang.” “Seandainya Papa ada di sana juga.” Suaranya lemah, tetapi menyentuh indera pendengar Samantha dengan kesedihan yang besar. Samantha memeluk anak gadisnya itu setelah memindahnya ke pangkuannya dengan hati-hati. Entah untuk berapa lama Gabriella ada di dalam di dekapanya hingga pintu ruangan terbuka. Dua orang perawat masuk dan mendekat pada Samantha. Salah satunya berujar, “Gabriella rambutnya harus dipotong mengingat kerontokannya yang semakin parah, Bu Samantha.” Gabriella terlihat bingung, ia menatap Samantha dan perawat itu bergantian, seakan meminta penjelasan. “Dipotong?” ulangnya dengan lirih. Samantha menghela dalam napasnya, menjelaskannya sesederhana mungkin. “Iya, Sayang. Dipotong agar tidak mengganggu Briel selama pengobatan nanti. Kalau pengobatannya lancar, nanti kamu bisa cepat pulang. Bukankah Briel ingin segera bertemu dengan Papa?” Meski tak begitu saja menjawab, tapi setelah menunggu beberapa detik akhirnya Gabriella setuju. Ia menurut dengan berpindah duduk di kursi. Samantha tak bisa menahan tangisnya saat gunting yang dibawa oleh satu dari perawat itu bergerak perlahan. Helai demi helai jatuh ke lantai putih rumah sakit seperti dedaunan yang gugur dan tak lagi mampu bertahan pada dahannya. Gabriella duduk dengan tenang meski sorot matanya tak bisa berbohong, bahwa di balik jubah tipis rumah sakit itu ia sedang ketakutan. Saat semuanya usai, Samantha kembali memeluk dan menggendong Gabriella. Mencoba membesarkan hatinya kala gadis kecil itu bertanya, “Nanti rambutnya akan tumbuh lagi ‘kan, Ma?” Tenggorokan Samantha tercekat, “Iya,” balasnya serak. “Tumbuh lebih cantik, Sayang. Sebelum kamu, ada yang rambutnya lebih dulu dipotong, dan sekarang mereka sembuh.” “Baiklah, Ma,” katanya berpasrah. Hati Samantha remuk saat menyadari bahwa di gendongannya ini Gabriella menjadi semakin ringan. Berat badannya berkurang drastis dalam beberapa waktu terakhir. Tubuh sekecil ini harus berperang melawan rasa sakit yang hebat. Gabriella diturunkannya kembali ke ranjang karena Samantha dipanggil ke ruang dokter untuk berkonsultasi perihal kesehatan gadis kecil itu sehingga ia titipkan anaknya pada Sus Delia. Di dalam ruang dokter, ada angin segar yang membuat Samantha merasa bebannya sedikit lebih ringan. Dokter mengatakan, “Pihak rumah sakit juga sedang mencari donor yang cocok untuk Gabriella, Bu Samantha. Akan kami usahakan semaksimal mungkin.” Samantha menunduk penuh rasa syukur. “Terima kasih, Dokter.” “Selama donornya belum ditemukan, Gabriella akan tetap menjalani kemoterapi. Jadwalnya lusa.” Kelegaan menghampirinya, rasanya napasnya tak seberat biasanya saat ia kembali ke ruang rawat Gabriella. Saat Samantha tiba di sana, ruangan itu kosong. Mendadak kecemasan menghampirinya karena Sus Delia tidak menitipkan pesan akan pergi ke mana. Mengingat ucapan ibu mertuanya kemarin yang menyebut Gabriella hanya menghabiskan uang keluarga Elton, Samantha cemas jika anak gadisnya yang malang itu diseret dan dipaksa meninggalkan rumah sakit. “Briel,” gumam Samantha seraya berjalan keluar. Ia bertanya pada perawat yang dijumpainya, di mana keberadaan Gabriella. “Tadi saya melihatnya ada di playground, Bu Samantha,” jawab wanita berseragam putih itu. Meski playground itu adalah tempat yang aman untuk anak-anak, tetapi Samantha tak bisa tenang. Dari kejauhan, saat jaraknya masih cukup jauh dari tempat itu, ia bisa mendengar tangis Gabriella yang nyaring. “Briel!” panggil Samantha sembari berlari menjemput arah tangis itu berasal. Di tikungan, ia melihat Gabriella terjatuh, tubuhnya yang lemah bersimpuh di lantai. Tangisnya menggema, mengisi setiap sudut tempat. Samantha mempercepat larinya sebelum maniknya menangkap keberadaan seorang pria tinggi nan gagah yang berdiri di hadapan Gabriella. Samantha mematung saat melihat pria itu menekuk kaki panjangnya dan berlutut di hadapan anak gadisnya yang terlihat mungil. Suaranya tenang dan terdengar hangat saat berkata, “Tidak apa-apa, mau Paman bantu untuk berdiri?”Pagi ini, Samantha duduk di dalam ruang rawat Gabriella. Harusnya, ia menyuapi anak gadisnya itu.Tetapi yang terjadi ia justru sibuk melamun mempertanyakan apakah semalam Erick pulang atau tidur di luar. Mengingat ia tidak di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit untuk mendampingi Gabriella.Samantha menggeleng, mencoba menenangkan dirinya.‘Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti, Samantha,’ gumamnya dalam hati, menepis pikiran buruk yang mengganggunya.Erick mengatakan bahwa kepergiannya itu soal pekerjaan. Maka harusnya benar seperti itu.“Mama,” panggil Gabriella dengan suara manisnya yang membuat Samantha segera menoleh pada anak gadisnya.“Iya, Sayang?”“Kemarin Briel jalan-jalan keluar dengan Sus Delia,” katanya. “Briel melihat anak perempuan yang dirawat di ruangan sebelah ditemani oleh Papanya. Dia dipeluk, dan ... mendapat hadiah yang bagus.”“Jadi Briel ingin hadiah yang bagus juga?” tanya Samantha sembari mengusap sudut bibir Gabriella.“Tidak, Ma. Hanya i
Samantha menyeka air matanya yang baru saja jatuh tanpa suara saat Damien bertanya, “Apa Nona terbiasa diam saja saat diperlakukan seperti itu?”“Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan,” jawab Samantha.Suaranya serak, tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa ia baru saja menangis.Samantha hanya tak ingin mengatakan hal buruk soal ibu mertuanya.Damien selangkah maju teriring tawa lirih yang seolah sengaja ia perdengarkan pada Samantha. “Masih berusaha menyembunyikannya?”“Jika tidak ada yang ingin Anda katakan lagi, saya akan pergi.”“Pergi untuk menangis?”“Jangan bersikap seolah Anda tahu semuanya,” sahut Samantha, menyangkalnya. “Anda tidak tahu apa-apa tentang hidup saya, Tuan Damien. Tadi Mama hanya sedang … sedikit kesal saja.”Samantha berusaha menjaga nada bicaranya sedatar mungkin padahal ia sedang gugup.Ketenangan dan cara bertutur pria itu, seolah Damien tahu semua hal tentangnya.Ia beranjak pergi dari sana, menjauhkan dirinya dari Damien. Satu langkah menjauh, sua
‘Tamu yang dibawa oleh Erick adalah Damien?!’Sejenak Samantha berdiri linglung di tempatnya, tak bergerak, hingga teguran Nyonya Linda terdengar.“Bawa ke sini, Samantha!”“B-baik,” jawab Samantha setelah kesadarannya kembali.Meski kakinya terasa berat, ia tetap mengayunkannya menuju ke ruang makan.Perbincangan terjadi di antara mereka, kedua orang tua Erick menyambut Damien dan melontarkan pujian yang tak putus.Sedang di sebelah Damien, Samantha merasakan tangannya yang gemetar sewaktu ia meletakkan makanan itu di atas meja.Beberapa menit yang membuat napasnya habis, ia lega saat akhirnya bisa pergi dari sana. Namun, suara Damien membuat Samantha menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.“Kenapa Nona Samantha tidak bergabung dengan kita di sini?”Tanya itu membuat Erick saling pandang dengan kedua orang tuanya. Samantha tahu betul bahwa ia tadinya tak akan dilibatkan dalam perjamuan tersebut.Tetapi karena Damien bertanya demikian, akhirnya Erick meminta agar Samantha dud
“Apa kamu berkeliaran dalam keadaan mabuk dan membuat malu keluarga Elton?” Tanya dari Erick kembali mencecar Samantha.“Jawab!”“T-tidak,” jawab Samantha lirih. “A-aku ketiduran di kamar, dan langsung menghubungi kamu saat bangun.”“Benarkah?”Samantha mengangguk, meremas jemarinya, berharap Erick akan percaya dengan kebohongannya.“Kamu tidak melihatku pergi dengan siapa tadi malam?” tanya Erick lagi.“Ya?”Samantha memandang suaminya yang segera berpaling saat tatapan mereka bertemu, entah kenapa ia merasa Erick sedang memastikan sesuatu, seolah ada yang tengah disembunyikannya.“Lupakan!” katanya singkat sembari berjalan melewatinya sehingga Samantha meraih tangannya dengan cepat.“Erick, ayo kita—”“Pergilah ke rumah Mama nanti malam,” potong pria itu. “Mama memintamu menyiapkan makan malam untuk tamu penting. Aku tidak mau mendengar Mama mengeluh tentang kebodohanmu, jadi sebaiknya kamu tidak melakukan kesalahan!”Erick menepisnya hingga tangan Samantha terlempar menjauh dari t
Samantha bingung mencerna situasi. Saat pandangannya mengedar sekali lagi, ia gemetar menyadari bahwa ini bukan kamar resort tempat ia meninggalkan barangnya kemarin.Napasnya tertahan, wajahnya pias kala potongan ingatan semalam datang seperti kilatan cahaya.Pintu yang terbuka, pelukan yang hangat dan cumbuan yang membuatnya tersesat dalam kenikmatan yang tak pernah didapatkannya itu bukan datang dari suaminya, melainkan diberikan oleh pria lain.“Aku pikir kamu adalah wanita yang sengaja disiapkan oleh Erick agar aku tidak bosan di pesta semalam,” ucap Damien dari sofa tempat ia duduk. “Dia mengatakan hal seperti itu saat aku menolak untuk datang.”Samantha menoleh pada tuan muda keluarga Frost itu, tubuhnya menggigil penuh rasa bersalah. Ia telah mengkhianati Erick dengan tidur bersama pria lain.“I-ini kesalahan, Tuan Damien,” jawab Samantha terbata. “Maaf karena saya sembarangan masuk ke dalam kamar Anda.”Damien tak begitu saja menjawab, pria itu lebih dulu bangun dari duduknya
“Sebelum membuat malu, sebaiknya kamu pergi dari sini!” Suara hardikan itu membuat Samantha menoleh pada asal suara dengan kepala yang pening. Maniknya menatap seorang pria dalam balutan jas yang berdiri di sebelahnya. Erick Elton, suaminya. Alis lebat pria itu hampir tertaut saat menebah lengan jasnya yang basah karena Samantha tak sengaja menumpahkan minuman dari gelas berkaki yang dibawanya. Samantha hanya lelah setelah tak beristirahat sama sekali karena menjaga anaknya yang kritis di rumah sakit, tapi ia malah dipaksa datang ke pesta anniversary mertuanya. Ia hampir limbung jika bahunya tak dirangkul dengan cepat oleh seorang gadis dari samping kanannya, yang memastikan ia tetap berdiri tegak. “Kamu baik-baik saja?” tanya suara manis perempuan itu, Eliza. Sahabat sekaligus teman dekatnya dan Erick sejak lama. “Iya,” jawab Samantha, menunjukkan senyum palsunya sembari mengangguk. “Jangan bicara seperti itu pada Samantha, Erick. Dia lelah, tolong mengertilah sedikit!”