Trisha menatap hasil sentuhan akhirnya dengan rasa puas. Dia berdecak kagum saat memandangi beberapa pigura dengan berbagai ukuran yang ditatanya menurut komposisi yang harmonis.
Janice telah membantu menata lemari dan raknya dengan sangat rapi dan efisien sehingga yang tersisa untuk Trisha kerjakan hanyalah menggantung pigura dan mengatur beberapa pernak-pernik lainnya.
Dia sengaja melepas pigura dari atas tempat tidur dan memindahkannya ke ruang tamu. Demi keamanan, dia tidak mau mengambil risiko tertimpa pigura lagi malam ini.
Trisha memandangi foto-foto keluarga dan ketiga sahabatnya dalam pigura. Ada fotonya bersama mendiang ayah, ibu dan adiknya Roy yang sedang bermain di pantai Bunaken; dia dan ketiga sahabatnya saat berpose dengan latar belakang Gardens by The Bay, dan banyak foto kenangan menarik lainnya.
Tiba-tiba dia merindukan ibunya dan adiknya semata wayang, Roy. Bagaimana kabar mereka sekarang? Sepertinya sudah lama dia tidak mendengar suara mereka lewat telepon. Memikirkan ini, membuat hatinya pilu. Matanya menerawang jauh.
Sejak masuk rumah sakit hingga hari ini, Trisha belum memiliki keberanian untuk menghubungi mereka. Dia tidak mau keluarganya mengkhawatirkan keadaannya, apalagi kalau sampai mereka tahu tentang rangkaian tragedi yang dialaminya selama dua tahun terakhir ini.
Dia menjernihkan pikirannya saat berjalan ke dapur. Dia harus membuat sarapan, lalu pergi tidur sebentar untuk membayar jam tidur yang sudah dirampas oleh Desmond gigolo. Dia berharap sore nanti begitu merayakan pesta kebersamaan bersama para sahabatnya, kondisinya sudah bugar kembali.
Meskipun cedera di beberapa bagian tubuh lainnya sudah mulai pulih, tangan kanannya yang patah belum sembuh benar. Jadi dia harus menikmati masa cuti sepuas-puasnya sebelum masuk kerja lagi. Atasannya, Charles Mao, memberinya cuti kerja sampai Senin depan, tepat tiga minggu. Selama waktu ini, dia harus mempersiapkan mental untuk menghadapi tatapan mata penasaran dan rentetan pertanyaan penuh selidik dari rekan-rekan kerjanya.
Selama ini dia menjaga hatinya dengan begitu rapat dan rapi sehingga tak seorang pun boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tak ada gunanya bila semua orang tahu. Tidak ada yang bisa menolongnya, kecuali dirinya sendiri.
Trisha menghela napas kuat-kuat. Setelah menyalakan microwave untuk memanaskan sisa lasagna semalam, dia duduk di kursi dekat jendela dan mengamati cahaya fajar yang mulai mengintip dari jendela. Dia melotot ke arah Rocky yang sedang meringkuk di sudut ruangan favoritnya.
“Oh, sekarang kamu enak-enakan tidur, hah? Setelah membuatku terjaga semalaman gara-gara raunganmu, sekarang kamu membiarkanku sengsara karena kurang tidur? Kamu kejam, Rocky,” gumamnya, seraya menjulurkan kakinya dan membelai anjing itu dengan jari-jari kakinya.
Rocky menggeliat dan merebahkan dirinya ke lantai dalam posisi telentang pasrah, menuntut belaian. Trisha tertawa kecil dan menghela napas, mengusap-usap perut anjingnya.
Saat hendak menuju kamar mandi, Trisha mendengar gerakan di lorong. Seperti seorang pengintip ulung, dia menempelkan matanya ke lubang intip untuk melihat apa yang terjadi. Terdengar suara pintu sebelah dibuka dan suara ribut.
Desmond berada dekat pintu ruangan Trisha, cukup dekat sehingga Trisha tidak bisa melihat wajahnya, hanya sebatas dadanya. Pasangan wanitanya berada di depannya, sehingga Trisha bisa melihat tangan Desmond menelusuri rambut panjang wanita itu.
Trisha berusaha keras untuk melihat Desmond sebelum pria itu kembali ke dalam, tetapi tidak berhasil. Lagi-lagi gagal. Harus diakuinya, setelah beberapa ronde menghebohkan dari ruangan sebelah dalam dua hari pertama di apartemen barunya, terus terang Trisha benar-benar penasaran ingin melihat seperti apa wajah pria itu.
Ada aktivitas intim yang serius terjadi di sebelah. Dia hanya tidak mengerti mengapa itu harus memengaruhi jam tidurnya.
Tak berapa lama, dia menjauhkan diri dari pintu dan bersiap untuk merangkak naik ke ranjang empuknya.
Malam itu, Janice, Keyra, dan Victor datang dengan membawa banyak makanan dan minuman. Trisha tidak pernah mengizinkan ada alkohol di apartemennya, sehingga mereka hanya membawa beberapa minuman ringan dan jus buah.
“Janice, kamu cantik banget malam ini." Trisha memujinya dengan tulus seraya merangkulnya.
"Ya, Trish, aku emang cantik sejak lahir. Kok baru tahu, sih?” katanya sambil tertawa renyah. Dengan tinggi badan hampir seratus tujuh puluh dua dengan rambut yang dicat merah kecokelatan, Janice yang bak model itu sangat sadar akan kecantikannya.
Keyra tertawa dan Trisha langsung menoleh padanya.
“Key, kamu emang sahabatku yang mungil dan paling manis!” Trisha tersenyum seraya melingkarkan tangannya ke pundak gadis itu.
Keyra adalah seorang gadis Jawa yang mungil, dengan kulit kecokelatan dan rambut panjang hitam legam. Dia adalah tipe gadis rumahan yang tenang, bijaksana, penuh pengertian, dan sabar. Tidak heran bila semua guru dan murid-muridnya sangat menyayanginya.
“Kita nggak usah berhemat-hemat malam ini,” gumam Janice. “Makanan yang berlimpah pasti akan habis karena ada yang sayang kalau membuang makanan dengan sia-sia, benar 'kan, Victor?” sindirnya. Dia tertawa sambil buru-buru menyeret Trisha ke dapur untuk menyiapkan makanan.
“Jangan bicara seolah-olah aku nggak ada di sini,” keluh Victor Lim, yang sedari tadi diam saja, dalam bahasa Indonesia Melayu yang campur aduk.
Tawa mereka semua meledak.
Keempatnya lalu duduk di sofa ruang tamu yang segera dipenuhi gelak tawa dan canda. Mereka mengobrol santai sambil menonton TV.
Malam itu, Janice dan Keyra akhirnya memutuskan menginap di tempat Trisha, sementara Victor harus berpamitan pulang. Setelah mengiring kepergian Victor, mereka berbaring berimpitan bak ikan pindang di ranjang dan terus mengobrol seru hingga akhirnya semua tertidur pulas.
***
Saat tengah malam ...
BUK!
Buk ... buk!
Janice terlonjak kaget.
“Trish, kenapa ruangan ini seperti bergetar? Apa yang kamu lakukan pada apartemen ini? Atau ada gempa bumi?” seru Janice, memekik saat melihat ruangan sedikit bergetar.
"Memangnya ada apa, sih?" tanya Keyra yang ikut terbangun sambil mengucek matanya dan menguap.
“Nggak apa-apa. Diamlah." Trisha terkekeh seraya menepuk pundaknya.
"Seperti benturan keras. Suara apa itu?" Janice berseru panik, lalu duduk di tepi tempat tidur seraya mendengarkan baik-baik.
“Mana ada benturan? Kamu pasti terlalu mengada-ada!” ujar Keyra dengan mata mengantuk.
“Nggak, Key, aku juga mendengarnya. Apa kamu nggak bisa dengar?” kata Trisha dengan suara pelan.
Mereka terdiam dan mendengarkan. Sayup-sayup terdengar bunyi gedebuk keras, dan kemudian tidak salah lagi, suara erangan dua sejoli.
Mata Janice dan Keyra membelalak lebar, tetapi mereka tetap diam.
Sementara itu, Rocky melompat ke tempat tidur dan ikut bergabung dengan mereka. Dia menatap dinding belakang tempat tidur dengan penuh perhatian.
Mereka berempat duduk dan menunggu. Trisha hampir tidak bisa menggambarkan apa yang mereka alami kali ini.
Janice dan Keyra memandang Trisha dan Rocky dengan heran dan menahan senyum. Keduanya hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum geli perlahan mengembang di wajah mereka.
Lalu mereka bertiga tertawa cekikikan dan mendengus ke arah dinding.
"Apa-apaan itu?" bisik Keyra, matanya membelalak selebar kelereng.
“Ini adalah siksaan yang kurasakan selama dua malam terakhir. Kalian nggak tahu gimana rasanya kurang tidur setiap malam,” gerutunya.
"Jadi, kamu dengar keseruan mereka selama dua malam terakhir?" seru Janice, dengan tangan menutup mulutnya saat tawa mengerang menembus dinding.
“Mereka melakukannya semalaman hingga pagi,” sahut Trisha, bersembunyi di balik selimutnya dan menutup telinganya. Kenyamanannya mulai memudar, mengalami kurang tidur sejak pindah dekat sarang pesta pora mesum ini.
Janice dan Keyra menarik selimut dari wajah Trisha tepat saat wanita di sebelah tertawa nyaring.
"Pria di sebelah itu bisa menimbulkan kegaduhan seheboh itu?" Janice bertanya, mengangkat alis.
"Sepertinya begitu. Oh ya, namanya Desmond," sahut Trisha, merasakan gelombang pertama rasa mual menyelimutinya.
“Kenapa wanita itu tertawa? Apa ada orang yang tertawa ketika mereka selesai melakukan itu?” tanya Keyra malu-malu.
"Entahlah, tapi seru sekali mendengar mereka bersenang-senang," kata Janice tersenyum jahil.
"Kamu sudah pernah melihat pria ini?" tanya Keyra, masih menatap dinding.
"Nggak pernah. Tapi lubang intipku cukup berguna.”
"Senang mendengar setidaknya ada seorang pengintip di sini," gumam Janice.
Trisha memelototinya. “Sepertinya pria ini menarik. Aku hanya pernah melihat bagian belakang kepalanya saja, dan hanya itu,” jawabnya sambil duduk. "Dua malam sebelumnya dua wanita yang berbeda, sepertinya kali ini wanita yang lain lagi." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Wow, tiga wanita dalam tiga malam. Stamina yang hebat!” seru Janice, masih menatap heran ke arah dinding.
“Nggak, ini menjijikkan. Kurasa pria itu bisa saja gigolo. Coba pikirkan. Mungkin saja ketiga wanita itu datang ke sini, memberinya upah, lalu mereka pergi begitu saja. Pokoknya gara-gara mereka, aku bahkan nggak bisa tidur setiap malam! Oh, tembokku yang malang!” Trisha meratap ketika mendengar suara erangan di sebelah.
"Tembokmu, apa yang harus kamu lakukan dengan tembokmu?" sahut Janice tertawa cekikikan, dan Trisha mengangkat bahunya.
Tak lama kemudian, dinding mulai bergetar dengan dentuman berirama, dan suara cekikikan wanita itu terdengar makin keras. Janice dan Keyra menatap heran, sementara Trisha hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah cekikikan dan erangan terakhir, keheningan melanda seluruh ruangan.
Janice dan Keyra saling berpandangan, dan mereka berkata serempak, “Ya ... ampun!”
"Itulah sebabnya aku nggak bisa tidur," desah Trisha.
Sementara mereka bertiga pulih dari guncangan, mereka memandangi Rocky yang kembali asyik bermain dengan bola mainannya di sudut ruangan.
Trisha berkata dalam hati: Gigolo, kurasa aku paling membenci orang sepertimu ...
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Suatu saat dua saudara sepupu Trisha, Jimmy dan Lisa, menginap di rumahnya. Saat semua orang sedang terlelap, Trisha terbangun di tengah malam karena suara Roy yang merintih dalam tidurnya. Saat dia melingkarkan lengannya ke tubuh adiknya, getaran aneh bergerak di bawah tangannya, jauh di bawah kulitnya. Sesuatu di dalam perut adiknya membusuk. Dia hendak membangunkan Roy ketika adiknya terbangun dan muntah di seluruh tempat tidur."Tetaplah disini!" kata Trisha.Roy meraung di belakangnya saat Trisha berlari terbirit-birit ke kamar orang tuanya, nyaris terjungkal karena tersandung langkahnya sendiri. Dia mengguncang lengan ayahnya dengan sangat keras untuk membangunkannya."Roy muntah," ujar Trisha.Ibu beringsut dengan gerakan lambat, tetapi ayah membuka selimut dan menarik jubah flanelnya. Sesampainya di kamar, Jimmy sedang duduk di tempat tidur Roy dengan baju tidur putihnya. Lisa berkeliaran di belakang ayah dan Trisha."Ugh!" ujar Lisa, memegangi hidungnya, yang membuat Roy mera
Trisha sangat mencintai ayahnya, tetapi sepertinya ayah tidak mencintainya dengan cara yang sama sebesar cintanya pada ayah. Sepertinya ayah mencintai Trisha hanya karena berutang pengabdian dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bukan semata-mata karena Trisha layak mendapatkannya. Dia sering berpikir mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia hanyalah momok baginya, terutama sejak kematian Tristan. Trisha berpikir tidak ada orang di keluarga ini yang tahu betapa kesepiannya dia kadang-kadang. Sering kali dia berharap ayah akan menatapnya dengan pancaran yang sama di matanya seperti yang dia tunjukkan kepada adiknya Roy. Ibu mengatakan bagaimana Trisha sejak lahir hingga tumbuh besar, pikirannya berpacu lebih cepat daripada apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Menurut ibunya, Trisha terlahir ke dunia lebih dahulu sebelum Tristan dengan berteriak sekencang mungkin seolah-olah mencoba membangkitkan orang mati. Kemudian Trisha mendapat pandangan jauh ke depan yang terasa seolah-