Jari Desmond Zachery menelusuri seluruh tubuh Gracie Walsh. Tanpa disadari dia membelai seluruh tubuh wanita itu, mengagumi lekuk likunya yang indah, dan rambut pirangnya yang berkilauan tergerai di bantal.
Dia melirik sekilas pada jam dinding dan dengan enggan bangkit dari tempat tidur.
Ada janji temu dengan pengacaranya, George Fang, dalam waktu satu jam. Walaupun Desmond jarang peduli pada apa yang dipikirkan oleh orang lain, dia tetap menghormati si tua George dan menganggapnya sebagai sahabat. Dia tidak ingin membuat pria itu meragukan dirinya.
Membungkuk pada wanita yang sedang meringkuk dengan puas di tempat tidurnya, Desmond memberikan ciuman hangat di pipi wanita itu. "Waktunya pergi, Sayang."
Gracie bergerak dan kepalanya terangkat dari bantal. Rambut pirangnya menutupi dadanya yang tampak menggoda. "Belum waktunya. Ini masih pagi. Kurasa kita masih punya sisa waktu pagi ini."
Desmond menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Maaf, nggak kali ini." Dia memain-mainkan seikat rambut wanita itu di tangannya dan mengamatinya. "Ada janji temu dengan rekan bisnis dalam waktu satu jam," dustanya.
Wanita cantik itu menelusuri rambut di dada Desmond seraya berkata, ''Katakan padanya kalau kamu sedang sibuk dan dia harus bertemu denganmu nanti malam."
Desmond menangkap tangan wanita itu, kejengkelan menjalari dirinya. Ketidaksabarannya memuncak dan menyingkirkan sisa hasrat terakhirnya.
Sekarang saatnya Gracia pergi, dia hanya ingin wanita ini pergi.
"Rekanku nggak sering-sering datang ke Singapura. Sepertinya ini penting." Desmond menggulingkan tubuh wanita itu, menepuk lembut pantatnya. "Jadilah gadis yang baik. Berpakaianlah dan pulanglah."
Mata Gracia berubah lebih muram. Dia mengeluarkan lenguhan kecil di tenggorokannya. “Siapa sih rekanmu itu? Laki-laki atau perempuan?”
"Laki-laki. Tenanglah, kamu nggak perlu cemburu."
Kekesalan mengeraskan pandangan menghunjam yang ditujukan Gracia kepada Desmond saat memunguti pakaiannya di lantai. Dia mengenakan pakaiannya dengan gerakan kecil yang menyentak-nyentak dan sengaja mengulur-ulur waktu. Mulutnya tampak cemberut.
Gracia adalah seorang wanita yang manja dan egois. Biasanya Desmond mengabaikan ledakan amarah dan perilaku kekanak-kanakannya, tetapi di saat-saat seperti ini, dia bertanya-tanya berapa lama lagi dia bisa bertahan dengan perangai wanita ini.
"Aku nggak akan datang ke sini untuk sementara waktu," ujar Gracia dari balik bahunya saat Desmond menaikkan resleting di bagian belakang gaun malamnya. "Vincent akan tiba besok. Dia akan tinggal di Edwood Manor sampai akhir bulan depan."
Vincent Cheng adalah suami Gracia yang sudah lanjut usia. Hampir sepanjang tahun Gracia tinggal seorang diri di kediaman mewahnya karena suaminya sering melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri.
Desmond tersenyum setengah mencibir. "Aku yakin dia akan senang sekali bertemu denganmu. Pastikan untuk memberikan yang terbaik untuknya."
Bibir cantik wanita itu mengerucut, tetapi Desmond tidak peduli.
Selain kecantikan dan keterampilannya di tempat tidur, Gracia memiliki sedikit keistimewaan yang bisa diunggulkan. Tentu saja Desmond tidak mengatakan itu. Dengan perangai seperti itu, sulit membuat seorang pria tetap betah tinggal di tempatnya, bahkan setelah delapan tahun terakhir.
"Kamu akan merindukanku," ujar Gracia dengan cemberut.
Dia memalingkan wajahnya ke arah Desmond dan menuntut ciuman. Rambut hitam panjangnya digulung sekali lagi menjadi simpul di tengkuknya. "Kamu akan menyesal karena telah menyuruhku pergi."
Sudut mulut Desmond menyeringai. "Mungkin aku akan merindukanmu. Kurasa aku harus menghibur diri dengan bepergian dan minum-minum di kelab malam sampai kamu kembali."
Gracia tersenyum mendengarnya, yakin bahwa pesonanya yang memikat akan mampu menjauhkan Desmond dari ranjang wanita lain.
Sejujurnya, Desmond akan melakukan apa pun yang dia gemari dan tidak mau didikte ataupun dikendalikan oleh siapa pun. Persis seperti yang dilakukan Gracia saat ini.
Mereka meninggalkan kamar tidur seperti biasa, menghadap ke lorong.
Di depan pintu, Gracia berbalik menghadap Desmond, mengulum bibirnya dengan penuh gairah dan dan berkata, "Kalau begitu, aku akan menemuimu bulan depan."
Gracia tersenyum padanya, bibirnya masih sedikit bengkak karena ciuman Desmond tadi dan pipinya merona merah di kulit putihnya. "Sampai jumpa nanti, Desmond, sayangku."
Desmond melihatnya menghilang di balik lorong dengan perasaan lega yang aneh. Sebanyak apa pun dia menikmati hubungan intim bersamanya di tempat tidur, Gracia kadang-kadang bisa membosankan. Mungkin kepergiannya selama sebulan ini akan membantu mengobarkan kembali gairah Desmond yang tampaknya memudar.
Saat masuk ke kamarnya, Desmond segera menelepon pengacaranya. "Aku mengharapkan kedatanganmu segera di Cloverfield Estate. Sesampainya di sana, aku akan menemuimu di ruang kerjaku.”
“Seperti yang Anda inginkan, Tuanku," sahut George Fang dengan ketegasan sekaligus kepatuhan yang sama seperti di masa-masa sebelumnya, ketika dia masih bekerja untuk ayah Desmond, Bernard Zachery. Keluarga yang jauh berbeda saat itu, pikir Desmond, dengan mamanya yang masih ada dan menyayanginya serta adik perempuan kecilnya.
Itulah kenangan memedihkan yang ingin Desmond kubur dalam-dalam, akhirnya tergantikan oleh pikiran tentang pertemuan yang akan datang dengan pengacaranya.
Setiap saraf di tubuh Trisha seakan-akan mati rasa, mendesaknya untuk segera berlari, berbuat sesuatu, tetapi dia hanya berdiri dan diam terpaku dalam kebimbangan. Sayangnya terlambat. Dia merasakan kehadiran Arthur sepersekian detik sebelum sosok itu menabraknya. Rasanya seperti dihadang oleh seekor banteng. Tangan Arthur menghantam perutnya dengan bunyi gedebuk yang membuat napasnya tercekat dan tubuhnya terbanting dengan keras ke tanah. Pasir menyembur di sekelilingnya, beterbangan di udara seperti confetti kristal. Dengan mengaduh kesakitan luar biasa, tubuhnya terbaring dengan menggeliat di pasir pantai. Dia menatap bintang-bintang berkelap-kelip di langit yang mulai gelap. Itu tidak nyata … seolah-olah dia sedang bermimpi. Atau mungkin dia sedang mengalami mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi. Tatapan Arthur yang menjulang tinggi di atasnya membawanya kembali ke dunia nyata dan seketika Trisha sadar bahwa itu bukan mimpi. Jika tidak bertindak cepat, dia mungkin tidak memilik
Tak lama kemudian, Trisha melihat sepasang kekasih bergerak menjauh dan di sana, lebih jauh ke pantai, dia melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Kesadaran yang aneh seakan-akan menariknya kembali ke bumi. Pria itu sendirian, tetapi dia tidak tampak kesepian. Tidak, dia sangat tinggi, sangat tampan, dan cara berjalannya terlalu percaya diri sehingga tidak mungkin kesepian. Trisha memiringkan kepalanya, bersandar di sebatang palang besi, merasa bingung. Ada sesuatu tentang cara dia berjalan ... saat rambut hitamnya berkilauan dengan latar belakang cahaya matahari. Meskipun tidak bisa melihat mata pria itu di balik kacamata hitamnya, Trisha berani bersumpah bahwa orang itu sedang menatapnya. Mungkin dia sedang bermimpi. Atau mungkin tempat ini benar-benar ajaib dan mempertemukannya dengan orang itu. Dia bergidik saat memikirkannya. Tidak ada yang aneh dengan celana pendek dan T-shirt yang dikenakan pria itu. Bahkan dalam cara tubuhnya bergerak dengan lancar, semua ototnya tampak me
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang memberitahumu bahwa masa lalumu dan semua yang kau yakini adalah kebohongan?Lari, jawab benak Trisha. Lari dari kenyataan dan berusaha menutupinya.Wanita yang duduk di meja di seberangnya sedang berpikir untuk berselingkuh dengan rekan kerjanya. Dia membayangkan kulit gelap pria itu berkilau di bawah sinar matahari yang hangat, otot-ototnya menegang saat pria itu memeluk pinggangnya dan menciumnya. Atau mungkin, pikirnya, dia berpikir untuk berselingkuh dengan pria yang membersihkan kolamnya. Suaminya sedang ke luar negeri untuk perjalanan bisnis dan tidak akan pernah tahu.Trisha ingin mengatakan kepada wanita itu bahwa itu tidak akan berhasil, bahwa dalam tampilan ibu rumah tangga yang putus asa itu, mereka selalu mencurigai pria yang membersihkan kolam. Namun, Trisha tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak mau mencampuri urusan orang lain. Sebaliknya, dia menyembunyikan seringainya dengan menundukkan kepala dan mengusap meja tempat dia menikma
Beberapa minggu setelah kecelakaan yang menimpanya sebelum usia 17 tahun, Trisha terbangun oleh suara pelan ibu dan ayah serta suara-suara lain yang tidak dia kenal. Kepalanya berdenyut saat dia membuka mata pada ruangan serba putih yang menyilaukan. Dinding putih, lantai putih, seprai putih, ranjang putih. Dengan terkejut, dia meraba wajahnya. Di mana aku? Apa yang terjadi? "Hasil tesnya bagus," kata suara yang tidak dikenal itu. “Kami tidak menemukan jejak obat-obatan atau alkohol dalam sistem tubuhnya." "Tidak ada?" Ibunya terdengar kecewa, sepertinya berita bahwa tidak ada narkoba atau alkohol adalah berita buruk baginya. "Tidak, maafkan aku." Kenapa ibu tampak kecewa? Pelipis Trisha berdenyut saat memperhatikan respons ibunya. Mengapa dia menyesal? Trisha menggeser lengannya dan kali ini, dia mengerti mengapa warna putihnya begitu cerah. Sinar matahari menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia membalikkan kepalanya di atas bantal dan memperhatikan kedua orang tuanya dan s
Suatu saat dua saudara sepupu Trisha, Jimmy dan Lisa, menginap di rumahnya. Saat semua orang sedang terlelap, Trisha terbangun di tengah malam karena suara Roy yang merintih dalam tidurnya. Saat dia melingkarkan lengannya ke tubuh adiknya, getaran aneh bergerak di bawah tangannya, jauh di bawah kulitnya. Sesuatu di dalam perut adiknya membusuk. Dia hendak membangunkan Roy ketika adiknya terbangun dan muntah di seluruh tempat tidur."Tetaplah disini!" kata Trisha.Roy meraung di belakangnya saat Trisha berlari terbirit-birit ke kamar orang tuanya, nyaris terjungkal karena tersandung langkahnya sendiri. Dia mengguncang lengan ayahnya dengan sangat keras untuk membangunkannya."Roy muntah," ujar Trisha.Ibu beringsut dengan gerakan lambat, tetapi ayah membuka selimut dan menarik jubah flanelnya. Sesampainya di kamar, Jimmy sedang duduk di tempat tidur Roy dengan baju tidur putihnya. Lisa berkeliaran di belakang ayah dan Trisha."Ugh!" ujar Lisa, memegangi hidungnya, yang membuat Roy mera
Trisha sangat mencintai ayahnya, tetapi sepertinya ayah tidak mencintainya dengan cara yang sama sebesar cintanya pada ayah. Sepertinya ayah mencintai Trisha hanya karena berutang pengabdian dan tanggung jawabnya sebagai seorang ayah, bukan semata-mata karena Trisha layak mendapatkannya. Dia sering berpikir mengapa ayahnya bersikap seolah-olah dia hanyalah momok baginya, terutama sejak kematian Tristan. Trisha berpikir tidak ada orang di keluarga ini yang tahu betapa kesepiannya dia kadang-kadang. Sering kali dia berharap ayah akan menatapnya dengan pancaran yang sama di matanya seperti yang dia tunjukkan kepada adiknya Roy. Ibu mengatakan bagaimana Trisha sejak lahir hingga tumbuh besar, pikirannya berpacu lebih cepat daripada apa yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Menurut ibunya, Trisha terlahir ke dunia lebih dahulu sebelum Tristan dengan berteriak sekencang mungkin seolah-olah mencoba membangkitkan orang mati. Kemudian Trisha mendapat pandangan jauh ke depan yang terasa seolah-