"Siswa XI IPA yang bernama Tino suka isengin temannya. Kali ini benar-benar keterlaluan, coba lihat ke atas atap lantai tiga di belakang kalian." pak Selamet menunjuk dengan telunjuk jari.
Semua siswa dengan kompak menengok mengikuti telunjuk jari tangan pak Selamet.
"Dia akan di hukum mengambil sepatu teman-temannya yang sengaja di lempar ke atas genteng, ini adalah contoh anak bader jangan kalian tiru. Tugas kalian, awasi dia sebagai pembelajaran bagi siswa yang suka mengerjai temannya." pak Selamet pergi ke ruang guru.
Tidak lama kemudian.
"YEEEE."
Sorak gembira, inilah kebahagiaan semua siswa. Jika Tino dihukum mereka akan bebas selama satu jam penuh, tentunya mengamati si pembuat onar. Sedangkan siswa yang dihukum sedang mencoba mengambil sepatu di atas genteng. Banyak yang bilang sukurin, makasih, akhirnya bebas, anak gak tahu diri, dasar bocah gila.
"Tina ko bisa gitu, kenapa si Tino sampai dihukum berat gitu? Panas banget lho," kata Kayla menatapnya.
Pertanyaan Kayla membuat Tina menarik napasnya sekencang mungkin, lalu memegang kedua pundaknya menatap secara tajam.
"Tino itu tukang pembuat onar suka isengin temannya apalagi pas kemarin lo gak ada dia ambil sebelah sepatu kelas X IPS yang lagi pada olahraga di dalam ruangan karena hujan terus di lemparin ke atas genteng sama dia," ucap Tina tanpa titik koma, menghembuskan napasnya sekaligus.
Kayla nyengir.
"Yaudah masuk kelas aja yuk, biarin si Tino mau jatuh ke, kaki patah ke, kepala nyungseb, gue gak peduli." baru saja Tina mengucapkannya. Tino hampir kepeleset, semua yang melihatnya menjerit.
"TINOOO!" teriak mereka termasuk Tina.
Kayla terdiam langsung menyipitkan kedua matanya melihat Tina.
"Iya, iya... gue jujur khawatir sama anak itu."
Saat menuju kelas perut Tina tiba-tiba mules, meminta Kayla pergi ke kelas duluan. Lari menuju wc, semua teman-teman sekelasnya masih terus mengawasi Tino. Yang di awasin tersenyum, melilitkan tali sepatu di atas lehernya sembari selfie. Sehingga sepatu itu bergelantung di leher, selfie lagi. Aksi konyol Tino berhasil membuat siswa tertawa terpingkal-pingkal, sampai ada yang merekamnya.
Kecuali Mexsi di dalam kelas sendirian, memilih duduk pada bangkunya dan memakai headset mendengarkan lagu barat kesukannya. Kayla memasuki kelas. Ia menatap ke arah lelaki itu. Berdiri dihadapannya.
"Gue tahu lo kesel pas gue ngomong gitu sama Padil," kata Kayla mengawali perbincangan di antara mereka.
Mexsi tetap tenang mendengarkan lagu.
"Lo harus tahu, kita sama-sama murid pindahan. Dan gak layak buat lo nilai gue tanpa mengenal siapa gue yang sebenarnya." lanjutnya.
Tidak digubris sedikit pun. Terpaksa Kayla menarik headset yang terpasang pada telinga Mexsi, membuat lelaki itu menaikkan sebelah alisnya menatap Kayla dengan tenangnya.
"Lo denger gak sih, kalau gue ngomong. Se-enggaknya hargai orang yang lagi ngomong sama lo. Coba lo di posisi gue, enak gak di diemin." ia berdecak heran.
"Ck, gue udah kenal lo selama bertahun-tahun. Gak usah pura-pura gak inget, kapan lo gak gangguan gue. Lo gak puas selama ini udah bikin hidup gue bagaikan di neraka, udah sana! Jangan gangguin gue." Mexsi memakai headset kembali mendengarkan lagu kesukaannya sambil menutup mata.
Aneh, dia bilang apa? Udah kenal gue selama bertahun-tahun? Kapan ketemunya di mana coba, jelas-jelas pas pindah ke sini baru kenal. Batinnya kebingungan sendiri.
Menarik kembali headset nya, kini Mexsi semakin tajam menatapnya.
"Bertahun-tahun, kapan? Di mana? Lo kenal gue, asal lo tahu! Gue Pindahan dari Cikarang, dan selama ini gue gak pernah kenal lo," bentak Kayla tak terima.
Mexsi berdiri memegang jidat gadis itu dengan telapak tangan kanannya. Kedua mata Kayla membulat, mulutnya terbuka lebar.
"Lo pasti habis kepentok bahu becak, sampai gak ingat apa-apa tentang gue?" Mexsi menurunkan tangannya,"gue udah pernah bilang, jangan ganggu gue!"
"Gue juga gak bakal gangguin lo tanpa sebab, gue cuma mau tahu aja. Kenapa sikap lo kaya gini sama gue?"
Mexsi memanyunkan mulutnya. "Ck."
"Gu-gue gak gangguin lo, gue cuma mau minta penjelasan. Kenapa sikap lo kaya gini sama gue, seakan-akan gue ini pelampiasan buat lo," ucap Kayla ikut memanyunkan mulutnya.
Lelaki itu sedikit terkejut, mengapa menyentuh jidat Toa?
"Berisik banget lo, udah! Gue mau pergi!" bentak Mexsi melangkah meninggalkannya.
"Eh, mau ke mana?! Gue belum selesai ngomong. Tunggu, tungguin gue!" Kayla ingin mengejarnya.
Tina dan Ino berpapasan dengannya yang sedang mengejar Mexsi, langsung terhalangi oleh kedua temannya.
"Tino udah turun, tapi gue males ketemu dia," ucap Tina menatap Kayla.
Menengok ke arah depan pintu kelas, jejak langkah kaki Mexsi sudah tak terlihat. Tina mengikuti arah mata temannya.
"Lo tadi ngejar, Mexsi?"
"E-enggak ko, ngapain gue ngejar-ngejar dia. Kaya gak ada kerjaan lain aja... " secepatnya mencari alasan sebelum Tina memojokannya lagi. "Tapi kasian juga si Tino, jangan marah sama dia."
"Benar apa yang di katakan Kayla, lo gak boleh segitunya sama Tino." Ino memberanikan diri membela Tino.
"Gue gak percaya?! Lo baru ngomong kalau lagi bahas Tino si bodoh itu. Gue kenal betul lo gak bakal ngomong, lo orangnya pendiem parah. Wah, wah, kayanya ada yang gak beres," sahut Padil dari samping terdengar cekikikan kecil.
"Ciyeee, pasti lo suka sama Tino," sindir Tina mendekat ke arah Padil.
Sebelum itu Padil sudah persiapan menyempil ketitik tengah, bersampingan dengan Kayla dan Ino.
Tina menghentak kesal.
Pipi Ino seketika berubah memerah, membuat teman-temannya tertawa.
"Ih liat, pipi Ino memerah kaya anak bunglon," kata Tina meledek dirinya.
Ino menangkup pipi dengan kedua tangannya. Ia berbalik lalu pergi dari sana.
Semuanya kembali tertawa. "Haha!"
Tina melihat ke samping Padil. Kesempatan emas, ia langsung memegang lengan Padil dengan sigap. Sebelum lelaki itu menyadarinya.
"Parah!" jerit Padil mencoba melepaskan diri darinya.
"Ya ampun Tina, ada kesempatan dikit main sosor aja. Terus Padil diam-diam aja," kata Kayla menggoda mereka.
"Iya dong Kayla, gue kan susah berada di dekatnya." Tina cengengesan bahagia sambil menatap pangeran pujaannya.
"Amit-amit, Tina lepasin. Gue mau pipis," kata Padil tak terima di dekatnya.
"Ikut." Tina merengek.
Kayla dan Padil saling tatap.
Duh ada-ada aja tingkah konyol Tina ya? See you, next part ➡️
Teeet, teeet, teeet. Suara bel istirahat baru saja terdengar Tina bergegas membereskan buku dan pulpennya, seperti biasa mengajak teman sebangkunya ke kantin. Tapi Kayla menolak ajakannya kali ini. Kapok mendengar suara Kawal, Kiwil, Kawul. Tina memakluminya ia mengajak Ino, dan tidak akan pernah lupa pada Padil sang pangeran pujaannya. Kayla memilih mengelilingi sekolah sendirian, saat menuju kelas ujung paling pojok. Tak sengaja melihat pemandangan yang jarang terjadi, ketiga lelaki yang suka nanyi-nyanyi tidak jelas berada di depan matanya sekarang, mereka mengganggu salah satu siswa. Menarik kerah siswa itu didorong hingga tersungkur di atas tanah, Kawal mengepalkan tangan kanannya menonjok wajah lelaki yang terlihat pasrah. Kayla terkejut tanpa sadar kakinya berlari ke depan lelaki yang sedang di kroyok habis-habisan sama mereka, melentangkan kedua tangannya sembari menutup mata.
Mexsi menyadari dari tadi mereka tatapan cukup lama. "Biasa aja kali liatnya, entar suka lagi... bisa jadi ribet masalahnya.""Idih!" Kayla bergidik merinding membelakanginya. "Sorry-Sorry aja deh, jangan ke GR-an." melipat kedua tangannya.Lelaki itu menatapnya."Gue gak mungkin suka sama lo, orang yang gak bisa menilai seseorang baik atau buruk." melanjutkan perkataannya."Apa!" meringis kesakitan saat mencoba berteriak. "Harusnya kata-kata itu buat lo, bukan buat gue."Merasa kesal Kayla pergi dari hadapannya."Sialan! Dia pergi gitu aja. Tapi... sifatnya udah mulai berubah, Toa kayanya bener-bener kepentok becak terus hilang ingatan." tertawa sendiri, lalu memegang bagian kiri bibirnya menahan sakit.***Satu masalah lagi dalam beberapa hari Kayla masuk sekolah, Tino memasang ember kecil di atas pintu kelas
"Tunggu!" ucap Mexsi mengejar tak sengaja memegang lengannya. Mendadak jantung Kayla berdegup dahsyat, langkahnya terhenti. Ia menatap Mexsi dengan berani, berharap dia tak mendengar detak jantungnya yang hampir copot. "Gue... g-gue," jawabnya terdengar sulit mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, menarik napas berat menghembuskan dengan keras. Kayla menatapnya. "Gue gak tahu caranya bersihin toilet." melepaskan tangan Kayla. "Apa?! Hahaa... " ia tertawa geli, memegang perutnya lalu tak sengaja menepuk-nepuk bahu Mexsi sampai terdorong lemah. "Pantesan dari tadi diam aja, cemberut aja, ternyata lo." Mexsi mengangkat wajahnya dengan sedikit suram. "Lo gak tahu caranya bersih-bersih... hahaha." tertawanya kembali terdengar. Membuat Mexsi melempar kain pel dan sikat, ia akan segera pergi saat melangkah kesamping gadis itu.
Sarah mendatangi kantin ibu Ino pada saat jam pulang sekolah, pada hal sudah mau tutup tapi Sarah dengan sangat tidak sopan menaikan kedua kakinya ke atas meja. Kawal, Kiwil dan Kawul menemaninya.Ino dan ibunya yang sedang bebenah, saling pandang.Ibunya mengerjapkan mata, Ino mengangguk tidak jadi tutup, mereka menuruti kemauan Sarah dengan sopan. Memesan bakso, tak lama kemudian putri kepala sekolah itu berteriak. Ino dan ibunya panik, secepatnya memastikan keadaan putri kepala sekolah."Aaaa!" teriaknya."Ada apa Non?" tanya ibu Ino."Lo gak punya mata!" bentaknya pada ibu Ino. "Coba liat, di dalam bakso gue ada kecoanya." Sarah menunjuk ke arah mangkuk yang ada di depannya.Kawul memotretnya dan memposting di instagram."Pokoknya gue gak mau tahu, kalian harus keluar dari kantin ini, gue gak mau tahu. Besok harus gak ada muka k
Kayla berdiri memegang bahu atap lantai tiga, menangis tidak memedulikan luka di tangannya. Darah terus mengalir dari telapak tangannya. Mexsi melihatnya di sana. Ia mendekat, kakinya kaku, apa yang sebenarnya ia lakukan? Apa pedulinya pada gadis itu, akhir-akhir ini ia begitu peduli terhadapnya. Peraturan di dalam dokumen kebencian yang telah Mexsi buat, kini satu demi satu dilanggarnya sendiri, mulutnya berkata untuk apa memedulikan Toa, bukannya bagus! Jika dia menderita? Namun, hatinya berkata sebaliknya. Saat teringat permintaan Toa yang meminta agar memaafkan dirinya, dan menjadi teman bukan musuh. Perlahan langkah kakinya yang panjang, mendekat memegang tangan gadis itu secara tiba-tiba. Seketika membuat Kayla menengok ke sebelah kanan, matanya membulat, mulutnya terbuka lebar, jantungnya seketika berhenti dalam sedetik m
Pukul 20.00 WIB.Seseorang memakai tudung jaket berwarna biru gelap, menutup wajah menerobos masuk ke dalam sekolah. Mexsi berada di sana menyempatkan diri membaca di ruang perpustakaan. Salah satu hobinya membaca tanpa ada orang lain yang mengganggu di sekelilingnya, apalagi para gadis yang mengejarnya. Anggap saja angin puting beliung yang lagi lewat.Seseorang yang bertudung itu melewati perpustakaan menuju ruang guru, Mexsi melihat ada orang yang terlihat mencurigakan. Mengikuti dari belakang secara perlahan-lahan, orang yang bertudung itu mendekati meja salah satu guru yang mengajar di sekolah.Membungkuk, perlahan membuka laci mengambil ponsel yang ada di dalam sana. Saat orang itu berdiri lampu tiba-tiba menyala, matanya membulat, wajahnya berubah ambigu tidak berani menengok ke belakang. Terpaku diam sembari memegang ponsel, keringat mulai menetes turun dari dahinya.Mexsi mendekat ke arahnya, meme
Tiba di depan ruang guru, Kayla menarik napas berat, melangkah masuk menemui pak Selamet. Membawa bukti, ketika berhadapan dengan guru yang ditujunya ia terdiam cukup lama. Sampai pak Selamet menggebrak meja, tentu saja Kayla terkejut, mengelus dada. "Sa-saya... ingin membuktikan kantin ibu Ino itu bersih Pak, gak ada kecoanya." gumamnya mengerutkan kening. "Kamu punya bukti? Jika tidak ada, jangan ganggu Bapak!" pak Selamet berteriak. "Ada ko Pak, ini." Kayla menyodorkan ponselnya. Pak Selamet meraih ponselnya, mulai mendengar suara dari dalam sana. "Kawul, lo jaga di depan pintu. Jangan ada yang sampai masuk, gue mau konsentrasi," kata Kawal menyuruhnya berjaga di depan pintu. "Lo tenang aja Kawal," jawab Kawul bersemangat. "Dan lo, Kiwil. Karena air kerannya sering macet, lo harus ikut gue ke dalam." perintah Kawal. "Kawal, gak
Matahari sore menggantung rendah dilangit, angin bertiup pelan, duduk di atas bangku taman, kedua tangan tanpa memakai perban perlahan mulai sembuh. Kayla menggenggam sebuah foto, terdapat dua anak kecil yang sedang tersenyum bersama di sana. Dirinya dan juga seseorang yang sedang ia tunggu, anak lelaki yang berjanji mengatakan sesuatu padanya. Gadis itu menunggu di taman, namun... seseorang yang ia tunggu, tak kunjung datang. Saat itu usianya menginjak sebelas tahun, entah mengapa, Kayla sangat membenci saat-saat itu. Ditinggalkan oleh seseorang yang berarti dihidupnya satu demi satu mereka pergi, dan belum kembali. Terpuruk dalam kesedihan, anak lelaki yang di foto menghampirinya. Memberikan Kayla semangat dalam menjalani hidup, yang bernama Mexsi perlahan membuatnya tersenyum kembali. Membawa kehangatan di dalam hatinya. Namun sayang, tidak kunjung datang, seperti menghilang ditelan bumi. Sampai matahari tenggelam, ditelan malam. Seti