Share

Bab 2. Merasa Dejavu

last update Last Updated: 2025-10-08 14:14:22

Langkah kakinya sempat ragu, namun mata Andini yang terpikat oleh keindahan tempat itu tak sanggup berhenti menelusuri satu demi satu karya yang terpajang di galeri seni tersebut.

Cahaya lampu temaram yang jatuh tepat di atas setiap kanvas membuat lukisan-lukisan itu tampak hidup, seolah bernapas dalam diam.

Ada goresan abstrak yang liar, ada juga potret wajah penuh ekspresi, dan lanskap alam yang menenangkan. Semuanya seakan memanggil sisi lain dari dirinya yang telah lama terkubur oleh rutinitas dan tekanan hidup.

Saat Andini menyusuri lorong pameran dengan langkah pelan, hatinya berdesir aneh, sebuah rasa yang asing sekaligus begitu akrab menyelinap dalam dada. 

Pandangannya berhenti pada sebuah sudut ruangan. Di sana, terpajang satu lukisan dengan pencahayaan khusus, seperti sengaja diletakkan agar setiap pengunjung berhenti dan menatapnya lebih lama.

Seketika jantung Andini serasa berhenti berdetak.

Lukisan itu ... kenapa begitu mirip?

Dengan lukisan miliknya.

Lukisan yang pernah dia buat dua tahun silam, ketika hatinya hancur setelah pertengkaran hebat dengan kakak dan kedua orang tuanya.

Saat itu dia melukis hanya untuk melampiaskan amarah dan kecewa yang membuncah, lalu meninggalkan lukisan itu begitu saja di bawah pohon tabebuya ungu di belakang kampusnya.

Andini mendekat, langkahnya semakin pelan. Semakin dekat, keyakinannya semakin kuat, lukisan itu benar-benar hasil tangannya sendiri.

Matanya berkedip-kedip menahan keterkejutan. “Kenapa bisa ada di sini? Apa ada seseorang yang mengambilnya?” bisiknya lirih, hampir tak terdengar.

Bulu matanya yang lentik bergetar. Jari-jarinya yang halus menyentuh bingkai kayu di sekeliling lukisan itu. Dia mengenal setiap sapuan kuas, setiap perpaduan warna, setiap garis yang membentuk sosok di dalamnya, semuanya adalah cermin hatinya sendiri.

Lukisan itu menampilkan seorang perempuan dalam gaun putih yang tampak rapuh, berdiri di tepi jurang. Langit di belakangnya dipenuhi tabebuya ungu yang berguguran, namun mata perempuan itu menatap kosong, seakan telah kehilangan alasan untuk bertahan.

Andini ingat betul, jika perempuan dalam lukisan itu adalah dirinya.

Suara langkah kaki yang mendekat membuatnya tersadar. Dia buru-buru mundur setengah langkah, mencoba menenangkan degup jantungnya yang kacau.

Seorang wanita penjaga galeri menghampiri dengan sopan, namun sebelum Andini sempat bertanya, ponselnya tiba-tiba bergetar.

Terus bergetar, tak berhenti.

Akhirnya dia merogoh ponselnya dan melangkah keluar ruangan untuk memeriksa.

27 Panggilan Tak Terjawab — Mami

15 Pesan — Papa

8 Pesan — Kak Bayu

Papa: [Andin, kamu di mana? Ini sudah kelewatan!]

Kak Arya: [Apa kamu sudah nggak waras lagi, Andin?! Bisa-bisanya kamu kabur malam-malam?!]

Papa: [Ingat siapa kamu, Andini. Jangan rusak nama besar keluarga dan suamimu, ingat reputasi kakakmu dipertaruhkan!]

Namun dari sekian banyak pesan dan panggilan itu, tak satu pun datang dari Radit.

Tidak ada pesan, tidak ada panggilan, bahkan sekadar menanyakan “kamu di mana” pun tidak.

Hatinya seperti diremas. Bibirnya bergetar saat berbisik lirih, “Jadi ... aku memang nggak pernah dianggap ada oleh kamu, ya Radit?”

Tangannya gemetar menahan kecewa yang menyesakkan dada.

Setelah lama terdiam di trotoar, akhirnya Andini memutuskan untuk pulang, dia  memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya.

Taksi online yang dipesannya melaju perlahan, membawa dirinya kembali ke rumah keluarga Winanto.

Begitu turun, langkahnya terasa berat. Dia menatap pintu rumah besar itu dengan perasaan campur aduk. Ketika pintu utama terbuka, suara teriakan langsung menyambutnya.

“Andini! Ke mana saja kamu?! Pergi tanpa alasan jelas seperti itu!”

Kakaknya, Arya Winanto, sudah berdiri di depan ruang tamu dengan ekspresi kesal dan suara meninggi.

Ayahnya berdiri di belakang, wajahnya muram dan penuh kekecewaan. “Kamu mempermalukan keluarga kita, Andin. Di hadapan para tamu terhormat, kamu meninggalkan pesta!”

Sang ibu ikut menimpali dengan nada tajam, “Kamu pergi ke klub, ya? Apa yang kamu cari di sana? Mau menjatuhkan nama baik Radit dan keluarganya, hah?”

Andini berdiri kaku. Tubuhnya bergetar, namun kedua matanya tetap menatap mereka tanpa berkedip.

“Kenapa kalian semua lebih peduli pada reputasi? Kenapa nggak ada satu pun dari kalian yang bertanya ... apa aku selama ini baik-baik saja?”

Suaranya pelan, tapi penuh luka. Karena seharusnya mereka tau, tidak mungkin dia pergi tanpa alasan.

“Tutup mulutmu!” bentak sang ayah. “Kalau kamu masih ingin dianggap bagian dari keluarga ini, kamu patuh saja!”

Arya menimpali dengan nada sinis, “Dengar, kalau sampai jabatanku di perusahaan Radit terganggu karena kamu berulah, lihat saja nanti, aku yang akan membuat perhitungan!”

Ibunya pun ikut menuding, “Apa sih yang kamu pikirkan, Andini? Sampai bertingkah konyol seperti ini? Bukankah selama ini kamu hanya perlu duduk manis dan menikmati kemewahan? Mami benar-benar nggak habis pikir sama kamu!”

“Jadi perempuan jangan terlalu mendramatisir keadaan, Andini. Sejak dulu kamu itu memang selalu buat masalah dirumah ini.” Arya kembali membentak.

Andini tak sanggup berkata apa-apa lagi. Keluarganya benar-benar hanya memikirkan citra dan reputasi, bukan perasaan anak perempuannya.

Dia menunduk, menahan air mata yang nyaris tumpah.

Setelah puas dicaci maki, dia naik ke kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat.

Waktu berlalu. Hingga jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam.

Di luar, hujan turun gerimis, suara rintik hujan yang jatuh terdengar seperti ritme sepi yang menambah kesedihan.

Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamarnya. Awalnya pelan, lalu semakin keras.

“Andin! Suamimu datang! Cepat turun, atau Mami suruh Kak Arya mu untuk dobrak pintu ini!”

Suara ibunya terdengar penuh amarah dari luar.

Dengan malas, Andini bangkit dan membuka pintu.

Ibunya berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh muak. “Kamu ini seperti anak kecil! Apa pantas istri seorang Raditya Mahesa calon pemimpin daerah harus bersikap seperti ini? Benar-benar memalukan!” katanya ketus, lalu berbalik pergi tanpa menunggu jawaban.

Andini hanya diam. Tanpa sepatah kata dia pun menuruni tangga, menyeret langkah beratnya dengan hati yang dingin.

Baru saja sampai di ujung tangga, Arya menatapnya sinis. “Memalukan,” desisnya pelan namun menyakitkan.

Andini menarik napas panjang, lalu melangkah melewatinya tanpa menoleh.

Di ruang tamu, Radit terlihat duduk bersama ayahnya.

Mereka tampak mengobrol santai, bahkan sesekali tertawa, pemandangan yang ironis di mata Andini. Mereka terlihat seperti menantu dan mertua yang sangat akrab dan bahagia.

Ketika Andini mendekat, Radit menoleh dan menatapnya penuh kasih sayang pura-pura. “Sudah marahnya?” ucapnya lembut, seolah tak pernah ada masalah.

Andini hanya mengatupkan bibirnya, tak membalas sepatah kata pun.

Ayahnya lalu menimpali, “Nak Radit, tolong di maklumi ya. Andini memang agak manja. Tapi kami sudah menasehatinya. Dia tidak akan mengulangi kesalahannya lagi.”

Radit tersenyum ramah, memainkan perannya dengan sempurna. “Nggak apa-apa, Ayah mertua. Andini begitu karena aku yang salah, aku nggak datang tepat waktu ke pesta pernikahan kami. Bukan apa-apa, tadi itu terlalu banyak urusan kantor yang penting. Ayah mertua nggak perlu khawatir nanti aku akan membujuknya sendiri.”

Ayah Andini mengangguk puas. “Nah, itu baru menantu yang bijak. Andini seharusnya bersyukur punya suami sepertimu. Baiklah, malam sudah larut. Kalian pulanglah, dan lupakan semua masalah.” tutur Sanjaya sambil menepuk lembut pundak Radit penuh rasa bangga.

Sementara Andini, dia hanya bisa diam.

Dalam diam itu, hatinya semakin terasa hancur berkeping-keping.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 7. Pulang Kerumah

    Ditempat yang terpisah, akan tetapi di waktu yang hampir bersamaan. Perjalanan pulang Andini terasa begitu panjang. Taksi yang ditumpanginya melaju pelan menembus keramaian kota.Meskipun dia marah dan kecewa pada keluarganya, akan tetapi saat mendengar kabar ibunya yang sakit dan terkena serangan jantung, tetap saja dia merasa sangat khawatir.Saat langkah kaki Andini yang gontai memasuki pintu utama rumah mewah keluarga Winanto, bukannya keharuan yang menyambut, Andini justru dibuat terpaku. Ibunya terlihat duduk dengan tegap di ruang tamu, sambil tangannya sibuk mengulir ponsel. Dari raut wajahnya jelas sama sekali tidak tampak jika dirinya sedang sakit.“Andini, kamu sudah pulang,” suara sang ibu dingin namun tegas menyambutnya.“Mami, bukankah kata Kak Arya, Mami—”“Cukup!” potong ibunya cepat. “Nggak ada yang sakit. Kamu itu ya, memang keras kepala dan selalu buat masalah.”Andini tertegun. “Siapa yang keras kepala, Mi? Aku seperti ini karena Radit yang menurunkan aku di teng

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 6. Kenangan

    Setelah kepergian Andini, Naren menuju kantornya.Seharian ini ia tampak murung. Dari lantai tiga puluh dua, lewat jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap kosong keluar jendela.Dari tempatnya berdiri mobil-mobil yang bergerak di jalan raya, tampak seperti semut kecil yang sedang berbaris rapi.Langit di luar berwarna abu-abu, warna yang sama dengan perasaannya setiap kali Naren mengingat masa dua tahun lalu.Hari ketika dia meninggalkan Andini tanpa sempat mengucap selamat tinggal.Selama ini kenangan itu selalu hadir disetiap mimpi, seakan saja menolak untuk pergi.Naren masih mengingat jelas. Saat itu, dia berlari kecil menuju taman kampus, membawa sesuatu yang disembunyikan di balik jaketnya, kotak kecil berisi kalung emas, dengan liontin bermata berlian yang didesain khusus berbentuk bunga tabebuya ungu, bunga kesukaan Andini.Waktu itu seharusnya menjadi hari bersejarah. Di mana dia akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.Walau perkenalannya dengan Andini

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 5. Andini

    Andini menunggu.Satu hari.Dua hari.Tiga hari.Tidak ada pesan. Tidak ada jejak.Hanya bangku kosong dan bunga-bunga ungu yang berguguran tanpa saksi.Dia kecewa, tentu saja. Tapi bagian terdalam dari hatinya lebih memilih untuk mengabadikan Naren seperti kisah di sebuah dongeng, dia berharap akan bisa bertemu lagi suatu hari nanti.Hari-hari berlalu. Andini melanjutkan hidupnya. Disela-sela waktunya dia tetap melukis diam-diam. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Andini menjalani kehidupan dan kuliah IT dengan perasaan kosong.Lalu pada hari yang sudah ditentukan, Andini harus menikah dengan lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya. Hanya patuh dan menerima.Hidupnya sama seperti boneka yang hanya bisa bergerak jika digerakkan, bahkan untuk memakai pakaian serta perhiasan semuanya juga diatur, semua itu tentunya hanya untuk mengenalkan pada sekitar jika dirinya baik-baik saja.Dan malam ini, dia melihat kembali pria itu. Dengan sorot mata yang sama. Dan senyuman yang masih me

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 4. Pertemuan Andini dan Narendra.

    Gigi Naren terlihat saling beradu, tangannya terkepal kuat, wajahnya terlihat memerah. Aura kemarahan begitu terpancar jelas.“Sialan! Siapapun orangnya, orang itu harus membayar semua perbuatan ini!”Ken menelan ludahnya. Dia terlihat mengelengkan kepala. Selama bertahun-tahun mengenal Naren, baru kali ini dia melihat raut wajah Naren yang begitu menakutkan. Bosnya benar-benar mencintai wanita yang ada dalam dekapannya itu. Bahkan bukan sekedar cinta biasa, melainkan cinta yang sudah menguras akal sehatnya. Walau saat ini status wanita itu adalah istri orang lain, akan tetapi rasa cinta dihatinya tidak berubah sedikitpun.Sebagai seorang sahabat dan tangan kanan dari Naren, terkadang dirinya ingin berkata bagaimana jika bosnya itu belajar untuk melupakan cintanya. Karena semuanya sia-sia belaka, wanita itu bukan lagi miliknya.Tapi dia tidak berani mengatakan itu. Naren adalah bosnya. Dia akan mendukung semua keputusannya dengan penuh.“Bagaimana jika kita buat orang itu bangkrut s

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 3. Teraniaya.

    Kemudian Sanjaya, menatap Andini tajam. “Dengar, Andini. Nak Radit ini pria yang sangat sabar. Seharusnya dia marah karena kamu meninggalkan pesta tanpa alasan jelas. Kalau ke depannya kamu berani membuat masalah lagi, Ayah sendiri yang akan mewakili suamimu untuk memberimu pelajaran.”Andini benar-benar muak. Seandainya orang tuanya peduli, mereka pasti akan berpikir, tidak mungkin dia pergi jika tanpa alasan.Seharusnya mereka bertanya ada apa sebenarnya, kenapa dia pergi dari pesta.Sayangnya, meskipun dia mengatakan jika Radit kembali berselingkuh, semua orang di dalam rumah ini tidak akan ada yang akan mendengarkan ucapannya.Bahkan dapat dipastikan, dia justru diminta untuk tutup mata dan telinga, seolah tidak terjadi apa-apa.Mereka akan mengatakan jika hal seperti itu sangat lumrah. Jika seorang pria kaya dan punya nama seperti Radit, boleh punya simpanan di luar. Asal saja jangan sampai dia menikah lagi. Di samping ayahnya, sang ibu tersenyum lega. “Sudah, jangan buat masala

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 2. Merasa Dejavu

    Langkah kakinya sempat ragu, namun mata Andini yang terpikat oleh keindahan tempat itu tak sanggup berhenti menelusuri satu demi satu karya yang terpajang di galeri seni tersebut.Cahaya lampu temaram yang jatuh tepat di atas setiap kanvas membuat lukisan-lukisan itu tampak hidup, seolah bernapas dalam diam.Ada goresan abstrak yang liar, ada juga potret wajah penuh ekspresi, dan lanskap alam yang menenangkan. Semuanya seakan memanggil sisi lain dari dirinya yang telah lama terkubur oleh rutinitas dan tekanan hidup.Saat Andini menyusuri lorong pameran dengan langkah pelan, hatinya berdesir aneh, sebuah rasa yang asing sekaligus begitu akrab menyelinap dalam dada. Pandangannya berhenti pada sebuah sudut ruangan. Di sana, terpajang satu lukisan dengan pencahayaan khusus, seperti sengaja diletakkan agar setiap pengunjung berhenti dan menatapnya lebih lama.Seketika jantung Andini serasa berhenti berdetak.Lukisan itu ... kenapa begitu mirip?Dengan lukisan miliknya.Lukisan yang pernah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status