MasukKemudian Sanjaya, menatap Andini tajam. “Dengar, Andini. Nak Radit ini pria yang sangat sabar. Seharusnya dia marah karena kamu meninggalkan pesta tanpa alasan jelas. Kalau ke depannya kamu berani membuat masalah lagi, Ayah sendiri yang akan mewakili suamimu untuk memberimu pelajaran.”
Andini benar-benar muak. Seandainya orang tuanya peduli, mereka pasti akan berpikir, tidak mungkin dia pergi jika tanpa alasan. Seharusnya mereka bertanya ada apa sebenarnya, kenapa dia pergi dari pesta. Sayangnya, meskipun dia mengatakan jika Radit kembali berselingkuh, semua orang di dalam rumah ini tidak akan ada yang akan mendengarkan ucapannya. Bahkan dapat dipastikan, dia justru diminta untuk tutup mata dan telinga, seolah tidak terjadi apa-apa. Mereka akan mengatakan jika hal seperti itu sangat lumrah. Jika seorang pria kaya dan punya nama seperti Radit, boleh punya simpanan di luar. Asal saja jangan sampai dia menikah lagi. Di samping ayahnya, sang ibu tersenyum lega. “Sudah, jangan buat masalah lagi. Pulanglah dengan suamimu.” Andini tidak mengeluarkan suara. Dia hanya melirik malas pada Radit. Radit mengulurkan tangannya dan menarik tangannya dengan lembut. “Ayo sayang, kita pulang.” Andini menyeret kakinya mengikuti langkah Radit. Gerimis di luar mulai besar. Radit buru-buru membuka pintu mobil. Begitu pintu terbuka, sifat asli Radit mulai terlihat. Radit mendorong tubuh Andini dengan kasar. “Cepat masuk!” Lalu membanting pintu mobil dengan keras. Setelahnya, Radit menyusul menggunakan pintu sebelahnya. Dia duduk didepan kemudi dengan wajah tertekuk. Susana terasa sangat hening didalam mobil yang mulai berjalan itu. Beberapa detik kemudian, Radit menoleh pada Andini dengan tatapan tajam. “Kenapa kamu harus masuk ke kamar itu, hah?! Apa yang ingin kamu cari?” suaranya meninggi. Tidak ada lagi kelembutan seperti saat di depan orangtua Andini tadi. “Kalau kamu nggak ingin sakit hati, seharusnya kamu diam saja, tetap berada di aula pesta! Kamu itu ya selalu mencari masalah!” Andini tertegun. Air matanya hampir jatuh. Dengan suara bergetar dia berkata, “Ja-jadi aku lah yang salah?” “Jangan coba-coba bikin aku terlihat buruk di depan orang! Ingat, aku ini calon kepala daerah! Kalau kamu bikin onar, aku yang akan hancur! Kalau aku hancur, kamu dan keluargamu akan kubuat menjadi gembel!” bentak Radit dengan kilatan kemarahan yang membuncah. Andini menggigit bibirnya, “Kenapa kamu nggak melepaskan aku saja? Aku cuma manusia biasa yang punya hati dan perasaan!” Radit tertawa mengejek, “Hati? Perasaan?” Radit berdecak. “Apa bisa semudah itu kamu lepas dari ku? Apa orangtuamu juga akan mendukungmu? Kamu nggak melihat tadi, mereka sangat suka menjilatku.” Andini menatapnya dengan putus asa, “Radit, tolong lepaskan aku.” Tiba-tiba mobil berhenti mendadak di jalanan gelap. Hujan deras turun, mengguyur tanpa ampun. PLAK “Benar-benar perempuan nggak tahu diri!” Tangan Radit melayang ke wajah mulus Andini. Andini meringis menahan perih. Dia mengusap ujung bibirnya yang berdarah. “Turun!” bentak Radit. Andini mendongak, dia menoleh tak berdaya. “Radit … ini sudah tengah malam. Diluar juga hujan deras .…” “Aku bilang, turun!” bentak Radit. Pintu dibuka paksa. Andini didorong oleh Radit dengan kasar sampai tersungkur di aspal, “Renungkan seluruh kesalahanmu. Setelah itu, baru kamu boleh pulang ke rumah!” Dalam sekejap, tubuh Andini basah kuyup. Rambutnya menempel di wajah, gaunnya melekat pada kulit karena air hujan. Mobil Radit melaju pergi, meninggalkan Andini yang tersungkur di tanah. Lampu jalan terlihat redup karena derasnya hujan. Hanya ada dirinya, seorang istri calon pejabat, yang sengaja ditinggalkan suaminya dalam kegelapan. Andini perlahan bangun, mengusap luka ditelapak tangan, siku dan lututnya. Luka akibat goresan Aspal hitam, sangat perih saat terkena air hujan. Namun lebih perih hatinya. Air matanya mengalir bercampur dengan air hujan juga. Tubuhnya gemetar bukan hanya karena kedinginan, tapi karena perlakuan orang-orang yang seharusnya melindunginya. Setelah membeku beberapa saat, dia melangkah pelan tanpa tujuan. “Sampai kapan aku harus bertahan begini?” Andini bergumam. Dia sangat lelah. Di benar-benar sudah tidak tahan lagi. Andini mendekap tubuhnya sendiri. Dia menggigil karena kedinginan. Hujan masih belum reda justeru semakin deras. Langkahnya mulai tak seimbang dan kepalanya terasa sangat sakit. Detik berikutnya, pandangannya buram dan tubuhnya terkulai. Bruk! Sepasang lengan besar menangkap tubuhnya. “Andini … Andini …” Pria itu menepuk-nepuk pipi Andini dengan cemas. “Dia pingsan, Bos!” Pria lain yang berdiri di belakang membawa payung besar memperingati Naren. “Andini .…” Pria itu mengulang membangunkan Andini yang pingsan dipelukannya. “Kita bawa ke rumah sakit, Bos!” Ken menyadarkan atasannya. Narendra berkedip, “Buka pintunya,” Lalu dia mengangkat tubuh Andini. Ken buru-buru membuka pintu mobil. Narendra memasukkan Andini kedalam mobil mereka dan segera menyusul. Ken menyimpan payung di bagasi dan segara naik. “Kemana kita?” Ken bertanya melalui kaca kecil di depannya. Dia melihat ekspresi cemas diwajah Narendra. “Apartemen.” Ken membeku sejenak, “Nggak ke rumah saja, bos?” “Apartemen, kataku!” “Oh, oke.” Meskipun agak bingung, Ken patuh. Bos memiliki rumah yang cukup mewah dengan banyak pelayan. Sedangkan ini, dia telah menemukan wanita masa lalunya. Tetapi kenapa malah membawanya ke apartemen sempit itu? Mungkin dia ingin bernostalgia dengan tempat itu. Ken adalah asisten Narenda sejak 4 tahun yang lalu. Mereka telah dekat sebelum menjadi bawahan dan atasan, jadi Ken banyak tahu tentang cerita kehidupan pribasi Narenda. Sebulan yang lalu, Narendra baru saja kembali ke tanah air. Semalam, dia mendapat undangan pesta ulang tahun pernikahan dari orang kaya yang sedang mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Kurta. Tapi Ken tahu persis, jika alasan Narendra bersemangat untuk datang ke pesta itu. Setelah tiba di tempat pesta, Narendra kecewa. Karena wanita yang ingin dia lihat, tidak ada dipesta itu. Lalu dia mendengar bisik-bisik dari beberapa tamu, jika Nyonya pemilik pesta pergi dengan marah karena suaminya terlambat datang ke pesta mereka. Narendra meninggalkan pesta tanpa menikmatinya kemewahan musik yang ada, tujuanya datang ke pesta itu hanya untuk mencari Andini. Tapi sayangnya dia tidak berhasil menemukan. Dia benar-benar tidak menyangka kalau akan bertemu dengan Andini dalam keadaan Andini seperti ini. Dia menatap wajah pucat Andini di pangkuannya. Ada bekas jari lima dipipinya yang putih. Ujung bibirnya juga sedikit terluka. Pandangannya turun ke lengan Andini yang terbuka. Di siku dan telapak tangannya ada luka baru. Ada juga di bagian lutut. Apa dia jatuh? Seperti ada batu besar yang menimpa dadanya. Dia merasa sangat sesak melihat keadaan Andini seperti ini. Tubuh Andini menggigil karena dingin. “Ken, matikan AC nya.” Jas mewahnya sudah dilepaskan untuk menutupi tubuh Andini yang basah karena hujan. Naren semakin merapatkan pelukannya, supaya Andini merasa hangat. “Apa yang terjadi, Andini? Apa pernikahanmu nggak baik-baik saja?” Dengan hati-hati, Narendra mengusap lembut wajah Andini. Andai saja saat itu dia tidak datang terlambat, mungkin saat ini dia sudah hidup bersama wanita ini. Memiliki anak, dan menjadikan Andini ratu dalam istana mewahnya. Semua ini salahnya. Dia yang bersalah. Narendra sangat ingin menebus kesalahannya. Tapi .… Andini adalah istri orang sekarang. Hanya saja, melihat kondisinya seperti ini, hatinya tidak bisa menerima.Pintu ruangan terbuka sangat keras hingga memantul ke dinding. Semua orang di ruangan itu sontak menoleh.Seorang wanita dengan penampilan elegan memakai coat panjang, sepatu hak tinggi melangkah masuk dengan wajah penuh kemarahan. Mata itu adalah tatapan mata seorang ibu yang cemas serta khawatir tentang keadaan putrinya. Seketika dia memasuki ruangan, matanya langsung menatap lurus ke arah Jessica, putri tunggalnya.“JESSICA!” suaranya menggelegar, menusuk sampai ke ujung telinga. “Kau mengapa kesini dan ikut-ikutan bersembunyi? Kau mau menjatuhkan martabat keluarga kita?! Cepat ambil barangmu kita pulang, sekarang juga!”Semua orang terdiam, hanya suara napas Jessica yang kini tersengal.“Mami… ma-maaf, aku nggak bisa mengikuti permintaan mami untuk pulang.” Jessica berusaha bicara selembut mungkin. “aku, aku nggak bisa meninggalkan Andini, aku janji setelah urusan ini selesai, aku akan menjelaskan semuanya …”“Diam!” Ibunya maju, meraih lengan Jessica paksa. “Kau pikir mami akan
Jessica tak bisa menjawab, suasana villa itu kembali sunyi. Hingga suara parau Andini kembali terdengar.“Jessi, tolong jujur padaku? Apa kau mencintai Naren?”Jessica yang tadinya tertunduk karena kehabisan kata-kata untuk menjelaskan apa lagi pada Andini, kini mendadak tubuhnya menegang seolah listrik tegangan tinggi sedang menyengat tubuhnya.Walau sedikit ragu tapi Jessica tetap harus menceritakan semuanya, “Awalnya aku memang mencintai Naren, sangat mencintainya terlebih lagi kedua belah pihak keluarga memang merestui.”Jessica menghentikan ucapannya lalu menatap kearah mata Andini, “Namun seiring berjalannya waktu aku semakin sadar, jika cintaku hanya bertepuk sebelah tangan Dan…”Belum selesai Jessi menjelaskan Andini tiba-tiba langsung memeluknya.“Maafkan aku Jessi, aku … aku nggak bermaksud untuk menyakiti perasaan mu. Tolong jangan benci aku.” tutur Andini terbata-bata.“Hei, aku belum selesai berbicara, lagian mana mungkin aku membencimu. Justru aku harus berterima kasih p
Andini duduk termenung di tepi tempat tidur mewah yang berbahan kayu jati yang dihiasi ukiran mewah dari ciri khas suatu daerah. Dia masih mengenakan kemeja kerja yang dipakainya kemarin siang, kemeja itu sudah berantakan, ujung lengannya kusut karena sudah berkali-kali digunakan untuk menyeka air mata.Andini merasa tubuhnya benar-benar tidak ada energi yang tersisa, bahkan untuk sekedar berdiri dia pun tak mampu.Diluar villa kicauan burung terdengar riang saling bersahutan, menyambut sang mentari. Angin pegunungan membelai pucuk pohon pinus dengan lembut, menyapu udara dingin melewati tebing tinggi tempat villa mewah itu berdiri megah.Dari balik tirai kaca yang terhubung dengan balkon belakang villa, lautan biru terbentang luas tampak damai, tenang, keindahan alam yang jauh dari hiruk-pikuk dunia yang selalu menghakimi.Tapi kedamaian itu sama sekali tidak menyentuh hati Andini. Semalaman Andini tak bisa tidur, pikirannya berkelana tak tau kemana.Tok tok tokTerdengar suara pintu
Radit membalas pelukannya bukan karena cinta, tapi karena rasa bersalah. Dan itu terasa. Pelukan itu dingin. Hampa. Terkendali. Tiara tidak bodoh. Dia tahu sentuhan itu bukan sentuhan cinta.Tapi dia membiarkan dirinya menipu hati. Dia butuh ilusi itu.“Apa yang terjadi, mengapa aku bisa berada di sini?”Belum sempat Radit menjelaskan, Thomas sudah duluan bersuara.“Kamu mendadak pingsan, tadinya Daddy sangat khawatir. Tapi setelah dokter Pras memeriksa ternyata rasa khawatir itu hilang dan berubah jadi rasa bahagia.”Tiara sedikit mengerutkan keningnya, “Ma-maksud Daddy rasa bahagia yang seperti apa? Lalu apa hubunganya dengan aku?”“Kamu sedang mengandung Tiara, Daddy akan menjadi seorang kakek.”“A-apa, aku sedang hamil?” mata Tiara terlihat berkaca-kaca. “Radit, sayang apa benar yang diucapkan oleh Daddy?”Radit hanya mengangguk tanpa suara.“Berjanjilah untuk selalu bersama ku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Dit. Kamu milikku. Kita milik satu sama lain. Sekarang kita sudah puny
Thomas kembali memberi tekanan.“Tiara, pastikan jika Radit tetap nggak mau kembali mengikuti rencana kita, kau harus temukan cara untuk mengendalikannya.”Mendapatkan tekanan dari sang ayah kepala Tiara seketika berdenyut, wajahnya terlihat meringis saat menahan sakit dikepalanya. “Aku akan berusaha, Daddy.”“Berusaha nggak akan cukup! Kalau kau nggak bisa mengendalikan Radit, maka Radit akan menjadi ancaman. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”Ancaman dalam konteks yang diucapkan oleh seseorang yang bergelut dalam dunia hitam seperti Thomas Hilton itu bukan sekadar kata. Tiara tahu persis apa arti ucapan dari sang ayah.Jika Radit sampai keluar garis, maka Radit akan dihabisi. Seperti ini lah bahasa yang ingin disampaikan itu.“Kau mengerti kan, sayang?” dengan senyuman Thomas menepuk pipi Tiara, tepukan yang begitu lembut dan manis lebih mirip seperti sedang membelai, akan tetapi dibalik semua itu terselip ancaman yang begitu mematikan.Lutut Tiara terasa lemas.Dia keluar dari
Kemarin siang, beberapa menit sebelum pesawat Radit dan Tiara lepas landas.Andini yang merasa dirinya tertekan, begitu melihat kehadiran Naren seketika dia langsung memeluknya.“Hei, sayang kenapa menangis? Kamu aman sekarang.” suaranya berguncang, bukan karena takut tapi karena menahan gejolak yang terlalu berat untuk dijelaskan.Andini terus menangis menumpahkan rasa rindu, menumpahkan segala beban yang menumpuk dihatinya.Sementara Jessica berdiri di samping pintu, nafasnya masih memburu, ada senyum haru saat melihat Andini memeluk Naren seperti itu.Kenzo yang berdiri di sampingnya menggenggam tangan Jessica yang terlihat gemetar karena ketegangan.Menyadari gengaman tangan Kenzo, Jessica tersenyum.“Ada CCTV dari lobi belakang,” Kenzo berbisik pada Jessica. “Kita lihat rekamannya. Aku yakin jika mereka melarikan diri lewat pintu belakang dan kita menemukan petunjuk dari jejak mereka.”Jessica mengangguk. Mereka sengaja memisahkan diri dari Andini dan Naren membiarkan keduanya l







