Masuk
Andini Prameswari Winarto berdiri mematung di balik pintu kamar 1508, kamar VVIP yang rencananya akan digunakan untuk dia dan sang suami menghabiskan malam pada saat pesta anniversary pernikahan mereka.
Di lantai bawah hotel Estrella, pesta masih berlangsung. Tawa riang dari sebagian besar tamu undangan yang menikmati kemeriahan pesta, seakan membungkus kenyataan pahit yang Andini rasakan. Andini kembali menatap jam tangan Cartier yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul 20.49. Radit yang ditunggu oleh dirinya dan semua orang belum juga muncul. Hatinya berkata lain, dia yakin keterlambatan Radit malam ini untuk menghadiri pesta mereka, pasti disembunyikan di balik ruangan ini. Setelah ragu-ragu sejenak, Andini lalu memantapkan hatinya untuk membuka pintu ruangan itu menggunakan kunci duplikat yang ada di dalam tas tangannya. Dia membuka perlahan. Tidak lebar, hanya selebar lima jari. Tapi itu cukup untuk melihat apa yang ada di dalam. Dia tidak masuk, hanya berdiri di depan pintu. Tapi dari celah yang cukup kecil itu berhasil membuat seluruh dunia Andini runtuh dalam hitungan detik. Apa yang dilihatnya saat itu berhasil membuat darahnya berdesir, nafasnya terasa tercekat di tenggorokan. Terlebih lagi saat desah penuh kenikmatan itu kembali melewati rongga pendengarannya. “Aahh! Ehhm,” “Oohh, teruskan sayang.” Lenguh panjang penuh kelembutan yang saling bersahutan, racauan penuh kenikmatan. Semuanya itu terdengar dari suara yang sama, tubuh yang sama, pengkhianatan yang sama. Seketika tubuh Andini terasa panas seperti terbakar. Adegan yang selama dua tahun belakangan ini, berusaha dia kubur rapat-rapat kini muncul kembali tepat di depan matanya. Persis bahkan tak ada yang berubah sama sekali. Seperti mimpi buruk yang diputar ulang, kini takdir itu kembali memastikan hatinya benar-benar hancur. “Ooh, Radit… lebih cepat, sayang… lebih cepat.” Wanita itu mendesah tanpa malu, seolah-olah dunia memang hanya milik mereka berdua saja. Kedua mata Andini menyempit. Pupil matanya menggelap, dan tubuhnya gemetar hebat. Karena mendengar suara pintu dibuka, Radit terkejut dan menoleh. Dia melihat istrinya berdiri, menatap ke arahnya. Namun, dia tidak beranjak dari peraduan itu. Dengan gerak santai, dia hanya menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya dan sang kekasih. Sementara wanita di sampingnya menatap marah ke arah Andini, seakan sorot matanya ingin menelan Andini hidup-hidup. “Apa kamu nggak bisa mengetuk pintu dulu sebelum masuk, ya?” Sorot matanya penuh kebencian. Andini hanya membalas dengan senyum tipis, lalu beralih menatap Radit. “Kado anniversary kedua, ternyata perselingkuhan lagi, ya? Bagus sekali.” Setelah mengatakan kalimat itu, tanpa menunggu reaksi mereka, Andini langsung menutup pintu kembali. Dia berdiri mematung di depan pintu yang tertutup itu. Seketika Andini merasa seperti ada batu besar yang tiba-tiba menindih dadanya. Begitu sesak, dan membuatnya sedikit kesulitan bernapas. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Tanpa terasa, kuku-kukunya yang runcing menancap dan hampir melukai telapak tangannya sendiri. Lalu, dia melangkah cepat meninggalkan tempat itu. Menuju lift, lalu tangannya memencet tombol buka, lalu masuk dengan cepat sambil menghapus sisa air mata yang membasahi pipinya. Andini kembali memasuki ruangan dimana pesta anniversary pernikahannya sedang berlangsung. Dengan langkah anggun, Andini melangkahkan kakinya ke pojok ruangan. Orang bilang, alkohol bisa memberi sedikit ketenangan bagi orang yang meminumnya. Jadi, dia sengaja meneguk sedikit sampanye agar tangannya tidak terlihat gemetar. Lalu mencoba untuk mengubur kenyataan pahit yang baru saja di lihatnya. “Andin .…” Suara tegas seseorang mengagetkannya dari arah belakang. Dia buru-buru menoleh. “Radit masih ada urusan penting. Kamu diminta untuk menghandle semua tamu yang hadir. Ingat, jangan membuatnya kecewa,” kata Sanjaya Winanto, mengingatkan putrinya. Ibunya berdiri di samping dan tersenyum menenangkan. “Dengarkan Mami, sayang. Semua yang kamu lakukan ini untuk kebahagiaan kita semua.” ‘Urusan penting?’ Urusan penting dengan kekasihnya. ‘Kebahagiaan kita?’ Yang dikatakan ibunya mungkin benar. Semua ini memang demi kebahagiaan semua orang, demi reputasi, politik, bisnis, dan nama baik. Sayangnya, dia tidak termasuk dalam kata “kita” yang disebut ibunya tadi. Mendengar ucapan dari kedua orang tuanya itu, batin Andini tertawa miris. Hari ini adalah pesta perayaan anniversary kedua pernikahannya dengan Raditya Mahesa, pewaris tunggal dari keluarga terpandang yang sangat berpengaruh di daerah Kurta. Kilauan lampu kristal menggantung megah di langit-langit ballroom Hotel Estrella. Ruangan hotel bintang lima itu sengaja didekorasi dengan begitu mewah. Karena hari ini bukan sekadar perayaan cinta, tetapi juga ajang politik demi memuluskan ambisi Radit untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah di Kurta. Tubuh semampai Andini tampak anggun dalam balutan gaun berwarna champagne. Kalung berlian rose gold melekat indah pada lehernya, menambah kesan sempurna sebagai istri calon pemimpin daerah. Andini harus tersenyum anggun, tubuhnya harus tetap berdiri tegak, langkahnya juga harus terlihat elegan. Selama dua tahun, dia sudah sangat terlatih memainkan peran sebagai istri sempurna di hadapan publik. Di depan publik, dia adalah perempuan paling beruntung, memiliki suami yang mencintainya begitu besar dan memberikan semua kemewahan dunia. Tapi kenyataannya? Andini menghembuskan nafas kasar, mencoba membuang sedikit rasa sesak yang dia rasakan. Lalu dia kembali meneguk sampanye yang masih tersisa di tangannya. Berjalan menghampiri beberapa tamu, dan menyambut mereka dengan ramah. Tak kuat lagi rasanya untuk Andini bersandiwara. Perlahan, dia menyelinap keluar dari ballroom dan menuju pintu darurat. *** Musik menghentak keras di dalam klub malam yang berada di bagian sisi lain lantai bawah Hotel Estrella. Andini duduk di kursi paling pojok. Merasakan kepalanya sedikit pusing, Andini lebih memilih tidak meminum apapun lagi saat berada dalam klub malam itu, dia hanya duduk sambil menopang dagu. Pikirannya tidak kacau, hanya saja hatinya terasa sangat lelah. Dia merasa lelah bukan karena perselingkuhan suaminya di malam anniversary pernikahan mereka, karena kejadian seperti ini bukan yang pertama kali, tetapi saat ini dia mulai merasa lelah karena benar-benar hanya menjadi pajangan saja. Dirinya tak ubah seperti boneka porselen yang dipajang begitu cantik di sebuah etalase, hanya untuk dijadikan pelengkap. Dan itu kenyataannya, dirinya hanyalah pelengkap untuk status Radit. Hubungan mereka tak lebih dari citra demi kekuasaan. Selama ini, dia sudah terlalu diam dan mengalah. Tapi malam ini, sepertinya dia benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Andini mulai merasa risih ketika dia menyadari ada beberapa pasang mata yang menatapnya dengan tatapan nakal. Maka dia memutuskan untuk pergi. Sudah lewat pukul sembilan malam. Dia tidak tahu harus ke mana. Rasanya tidak mungkin jika dia pulang ke rumah atau kembali lagi ke pesta. Jadi, dia memutuskan untuk terus berjalan tanpa tujuan. Andini melangkah di jalanan remang. Ada sedikit perasaan takut menghinggapi pikirannya. Di sebuah tikungan jalan, tiba-tiba Andini menghentikan langkahnya. Di sisi kanan jalan, dia melihat sebuah gedung yang menarik perhatiannya. Sebenarnya gedung itu memang sudah lama berdiri di situ, tetapi yang menarik perhatiannya adalah tulisan di atas gedung itu Galeri Lukis. “Sejak kapan ada galeri lukisan di tempat ini?” tutur Andini pelan sambil mengerutkan kening. Dia mulai berpikir, bukankah beberapa minggu lalu, dia pernah lewat di tempat ini, tapi galeri lukis ini belum ada. Apa tempat ini baru saja dibuka? Andini memang sangat tertarik dengan dunia seni lukis. Bahkan itu adalah hobi serta impiannya sejak kecil untuk menjadi seorang pelukis ternama. Andini melangkah menuju galeri lukisan itu, yang kebetulan masih buka. Begitu langkah kakinya memasuki galeri seni itu, aroma cat minyak bercampur dengan wangi kayu furniture klasik memenuhi indra penciumannya. Seketika saja, Andini merasa jiwanya seperti ditarik untuk masuk ke dalam dimensi lain.Pintu ruangan terbuka sangat keras hingga memantul ke dinding. Semua orang di ruangan itu sontak menoleh.Seorang wanita dengan penampilan elegan memakai coat panjang, sepatu hak tinggi melangkah masuk dengan wajah penuh kemarahan. Mata itu adalah tatapan mata seorang ibu yang cemas serta khawatir tentang keadaan putrinya. Seketika dia memasuki ruangan, matanya langsung menatap lurus ke arah Jessica, putri tunggalnya.“JESSICA!” suaranya menggelegar, menusuk sampai ke ujung telinga. “Kau mengapa kesini dan ikut-ikutan bersembunyi? Kau mau menjatuhkan martabat keluarga kita?! Cepat ambil barangmu kita pulang, sekarang juga!”Semua orang terdiam, hanya suara napas Jessica yang kini tersengal.“Mami… ma-maaf, aku nggak bisa mengikuti permintaan mami untuk pulang.” Jessica berusaha bicara selembut mungkin. “aku, aku nggak bisa meninggalkan Andini, aku janji setelah urusan ini selesai, aku akan menjelaskan semuanya …”“Diam!” Ibunya maju, meraih lengan Jessica paksa. “Kau pikir mami akan
Jessica tak bisa menjawab, suasana villa itu kembali sunyi. Hingga suara parau Andini kembali terdengar.“Jessi, tolong jujur padaku? Apa kau mencintai Naren?”Jessica yang tadinya tertunduk karena kehabisan kata-kata untuk menjelaskan apa lagi pada Andini, kini mendadak tubuhnya menegang seolah listrik tegangan tinggi sedang menyengat tubuhnya.Walau sedikit ragu tapi Jessica tetap harus menceritakan semuanya, “Awalnya aku memang mencintai Naren, sangat mencintainya terlebih lagi kedua belah pihak keluarga memang merestui.”Jessica menghentikan ucapannya lalu menatap kearah mata Andini, “Namun seiring berjalannya waktu aku semakin sadar, jika cintaku hanya bertepuk sebelah tangan Dan…”Belum selesai Jessi menjelaskan Andini tiba-tiba langsung memeluknya.“Maafkan aku Jessi, aku … aku nggak bermaksud untuk menyakiti perasaan mu. Tolong jangan benci aku.” tutur Andini terbata-bata.“Hei, aku belum selesai berbicara, lagian mana mungkin aku membencimu. Justru aku harus berterima kasih p
Andini duduk termenung di tepi tempat tidur mewah yang berbahan kayu jati yang dihiasi ukiran mewah dari ciri khas suatu daerah. Dia masih mengenakan kemeja kerja yang dipakainya kemarin siang, kemeja itu sudah berantakan, ujung lengannya kusut karena sudah berkali-kali digunakan untuk menyeka air mata.Andini merasa tubuhnya benar-benar tidak ada energi yang tersisa, bahkan untuk sekedar berdiri dia pun tak mampu.Diluar villa kicauan burung terdengar riang saling bersahutan, menyambut sang mentari. Angin pegunungan membelai pucuk pohon pinus dengan lembut, menyapu udara dingin melewati tebing tinggi tempat villa mewah itu berdiri megah.Dari balik tirai kaca yang terhubung dengan balkon belakang villa, lautan biru terbentang luas tampak damai, tenang, keindahan alam yang jauh dari hiruk-pikuk dunia yang selalu menghakimi.Tapi kedamaian itu sama sekali tidak menyentuh hati Andini. Semalaman Andini tak bisa tidur, pikirannya berkelana tak tau kemana.Tok tok tokTerdengar suara pintu
Radit membalas pelukannya bukan karena cinta, tapi karena rasa bersalah. Dan itu terasa. Pelukan itu dingin. Hampa. Terkendali. Tiara tidak bodoh. Dia tahu sentuhan itu bukan sentuhan cinta.Tapi dia membiarkan dirinya menipu hati. Dia butuh ilusi itu.“Apa yang terjadi, mengapa aku bisa berada di sini?”Belum sempat Radit menjelaskan, Thomas sudah duluan bersuara.“Kamu mendadak pingsan, tadinya Daddy sangat khawatir. Tapi setelah dokter Pras memeriksa ternyata rasa khawatir itu hilang dan berubah jadi rasa bahagia.”Tiara sedikit mengerutkan keningnya, “Ma-maksud Daddy rasa bahagia yang seperti apa? Lalu apa hubunganya dengan aku?”“Kamu sedang mengandung Tiara, Daddy akan menjadi seorang kakek.”“A-apa, aku sedang hamil?” mata Tiara terlihat berkaca-kaca. “Radit, sayang apa benar yang diucapkan oleh Daddy?”Radit hanya mengangguk tanpa suara.“Berjanjilah untuk selalu bersama ku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Dit. Kamu milikku. Kita milik satu sama lain. Sekarang kita sudah puny
Thomas kembali memberi tekanan.“Tiara, pastikan jika Radit tetap nggak mau kembali mengikuti rencana kita, kau harus temukan cara untuk mengendalikannya.”Mendapatkan tekanan dari sang ayah kepala Tiara seketika berdenyut, wajahnya terlihat meringis saat menahan sakit dikepalanya. “Aku akan berusaha, Daddy.”“Berusaha nggak akan cukup! Kalau kau nggak bisa mengendalikan Radit, maka Radit akan menjadi ancaman. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”Ancaman dalam konteks yang diucapkan oleh seseorang yang bergelut dalam dunia hitam seperti Thomas Hilton itu bukan sekadar kata. Tiara tahu persis apa arti ucapan dari sang ayah.Jika Radit sampai keluar garis, maka Radit akan dihabisi. Seperti ini lah bahasa yang ingin disampaikan itu.“Kau mengerti kan, sayang?” dengan senyuman Thomas menepuk pipi Tiara, tepukan yang begitu lembut dan manis lebih mirip seperti sedang membelai, akan tetapi dibalik semua itu terselip ancaman yang begitu mematikan.Lutut Tiara terasa lemas.Dia keluar dari
Kemarin siang, beberapa menit sebelum pesawat Radit dan Tiara lepas landas.Andini yang merasa dirinya tertekan, begitu melihat kehadiran Naren seketika dia langsung memeluknya.“Hei, sayang kenapa menangis? Kamu aman sekarang.” suaranya berguncang, bukan karena takut tapi karena menahan gejolak yang terlalu berat untuk dijelaskan.Andini terus menangis menumpahkan rasa rindu, menumpahkan segala beban yang menumpuk dihatinya.Sementara Jessica berdiri di samping pintu, nafasnya masih memburu, ada senyum haru saat melihat Andini memeluk Naren seperti itu.Kenzo yang berdiri di sampingnya menggenggam tangan Jessica yang terlihat gemetar karena ketegangan.Menyadari gengaman tangan Kenzo, Jessica tersenyum.“Ada CCTV dari lobi belakang,” Kenzo berbisik pada Jessica. “Kita lihat rekamannya. Aku yakin jika mereka melarikan diri lewat pintu belakang dan kita menemukan petunjuk dari jejak mereka.”Jessica mengangguk. Mereka sengaja memisahkan diri dari Andini dan Naren membiarkan keduanya l







