Share

Bab 7. Pulang Kerumah

last update Last Updated: 2025-10-24 07:46:29

Ditempat yang terpisah, akan tetapi di waktu yang hampir bersamaan. 

Perjalanan pulang Andini terasa begitu panjang. Taksi yang ditumpanginya melaju pelan menembus keramaian kota.

Meskipun dia marah dan kecewa pada keluarganya, akan tetapi saat mendengar kabar ibunya yang sakit dan terkena serangan jantung, tetap saja dia merasa sangat khawatir.

Saat langkah kaki Andini yang gontai memasuki pintu utama rumah mewah keluarga Winanto, bukannya keharuan yang menyambut, Andini justru dibuat terpaku. 

Ibunya terlihat duduk dengan tegap di ruang tamu, sambil tangannya sibuk mengulir ponsel. Dari raut wajahnya jelas sama sekali tidak tampak jika dirinya sedang sakit.

“Andini, kamu sudah pulang,” suara sang ibu dingin namun tegas menyambutnya.

“Mami, bukankah 

kata Kak Arya, Mami—”

“Cukup!” potong ibunya cepat. “Nggak ada yang sakit. Kamu itu ya, memang keras kepala dan selalu buat masalah.”

Andini tertegun. “Siapa yang keras kepala, Mi? Aku seperti ini karena Radit yang menurunkan aku di tengah jalan.”

“Itu karena kamu bertingkah! Wajar saja kalau Radit memberimu pelajaran! Kalau kamu bersalah, seharusnya kamu minta maaf padanya! Bujuk dia, bukan malah jual mahal!”

Miranda terdengar mendengus kasar, “Masih untung kamu hanya diturunkan di tengah jalan, bagaimana kalau kamu diceraikan, mau jadi apa keluarga kita ini, Hah! Anak nggak tahu diri, kamu benar-benar ingin menghancurkan keluargamu sendiri!”

Andini mengerutkan dahinya. Jadi, ibunya sudah tahu kalau dia diturunkan di tengah jalan, tepat tengah malam di saat hujan sedang turun deras. Dan ibunya justru membela Radit?

Orang tua macam apa ini?

Andini menggelengkan kepalanya tanda tak berdaya.

“Sekarang, dengarkan baik-baik. Malam ini kamu harus ikut suamimu menghadiri pesta pertemuan makan malam penting para pengusaha elit di kota ini. Jangan banyak tingkah dan jangan mempermalukan keluarga ini lagi.”

Andini terdiam, darahnya seakan berhenti mengalir. Jadi berita ibunya sakit semua itu hanyalah kebohongan, jebakan agar dia pulang saja? Agar dia bisa dipoles lagi untuk dijadikan pajangan semata?

Setiap kata ibunya terasa seperti duri yang menancap di dadanya.

Sebelum sempat dia membantah, ibunya sudah menarik tangan Andini dan membawanya ke kamar, lalu pintu kamarnya didorong keras. Ibunya  menutup pintu dengan rapat setelahnya. 

Dia dikurung.

***

Waktu begitu cepat bergulir. Pesona siang kini telah digantikan sang malam.

Malam itu, Andini duduk terpaku di depan meja rias. Wajahnya terlihat sempurna, tapi jiwanya kosong. Ia tampak seperti manekin hidup, indah namun tanpa nyawa.

Staf salon khusus yang diundang ke rumahnya sedang sibuk meriasnya.

Bibir Andini bergetar ringan ketika kuas lipstik menyentuh bibirnya yang pucat. Warna merah muda itu terlihat begitu lembut di permukaan kulitnya, seolah mencoba menipu kesedihan yang tersembunyi di baliknya.

Gaun malam berwarna pastel membalut tubuh semampainya dengan anggun, menegaskan kesan elegan yang selama ini menjadi tameng sempurnanya di hadapan dunia.

Sang penata rias menatap puas hasil karyanya.

“Sempurna,” gumamnya pelan sebelum berpamitan meninggalkan ruangan.

Andini masih berdiri mematung di depan cermin besar di kamarnya.

Wajah cantik yang menatap balik padanya bukanlah dirinya. Di sana hanya ada sosok asing dengan senyum yang selalu dipaksakan, mata yang lelah, dan hati yang sudah terlalu sering diabaikan, sosok itu seakan-akan ingin berteriak tapi dia tak mampu.

Jemarinya menyentuh permukaan kaca, seolah ingin menembus bayangan itu dan ingin mencari sosok dirinya yang dulu pernah bermimpi sederhana tentang kebahagiaan, bukan perempuan yang hidupnya diatur seperti boneka yang saat ini dia rasakan.

Suara deru mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah kediaman keluarga Winanto.

Andini menarik napas panjang, dia tahu persis siapa pemilik dari mobil itu.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki menuju kamarnya, ketika pintu kamar terbuka.

Miranda melangkah masuk dengan senyum penuh kekaguman, “Astaga, kamu terlihat sangat cantik dengan gaun ini sayang, nggak sia-sia Radit membayar mahal untuk semuanya.” 

Tutur Miranda sambil merapikan gaun pastel yang membalut tubuh putrinya, “Ingat pesan mami ini baik-baik, Andin! Ikuti saja semua perintah dan kemauan Radit, jangan pernah membantahnya jika kamu nggak ingin menyesal.”

Andini hanya tersenyum getir, “Aku yakin jika kalian semua telah lupa kalau aku ini manusia.” bisiknya lirih, dalam hati.

Dan ketika pintu kamar kembali terbuka, Radit berdiri di ambang pintu, gagah dengan setelan jas hitam. Senyum palsu merekah di bibirnya.

Tak lama kemudian, “Ayo, sayang. Mari kita berangkat,” ucapnya lembut, seolah tak pernah ada badai di antara mereka.

Andini tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap sebentar, lalu mengikuti langkah Radit, keduanya menuju mobil setelah berpamitan dengan kedua orang tua Andini.

Langkahnya terasa berat, bukan karena sepatu hak tinggi yang dia kenakan, tapi karena beban yang terus menumpuk di dadanya setiap kali harus memainkan peran sebagai “istri sempurna.”

Begitu pintu mobil tertutup dan suara klik kunci terdengar, senyum di wajah Radit seketika menguap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 7. Pulang Kerumah

    Ditempat yang terpisah, akan tetapi di waktu yang hampir bersamaan. Perjalanan pulang Andini terasa begitu panjang. Taksi yang ditumpanginya melaju pelan menembus keramaian kota.Meskipun dia marah dan kecewa pada keluarganya, akan tetapi saat mendengar kabar ibunya yang sakit dan terkena serangan jantung, tetap saja dia merasa sangat khawatir.Saat langkah kaki Andini yang gontai memasuki pintu utama rumah mewah keluarga Winanto, bukannya keharuan yang menyambut, Andini justru dibuat terpaku. Ibunya terlihat duduk dengan tegap di ruang tamu, sambil tangannya sibuk mengulir ponsel. Dari raut wajahnya jelas sama sekali tidak tampak jika dirinya sedang sakit.“Andini, kamu sudah pulang,” suara sang ibu dingin namun tegas menyambutnya.“Mami, bukankah kata Kak Arya, Mami—”“Cukup!” potong ibunya cepat. “Nggak ada yang sakit. Kamu itu ya, memang keras kepala dan selalu buat masalah.”Andini tertegun. “Siapa yang keras kepala, Mi? Aku seperti ini karena Radit yang menurunkan aku di teng

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 6. Kenangan

    Setelah kepergian Andini, Naren menuju kantornya.Seharian ini ia tampak murung. Dari lantai tiga puluh dua, lewat jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap kosong keluar jendela.Dari tempatnya berdiri mobil-mobil yang bergerak di jalan raya, tampak seperti semut kecil yang sedang berbaris rapi.Langit di luar berwarna abu-abu, warna yang sama dengan perasaannya setiap kali Naren mengingat masa dua tahun lalu.Hari ketika dia meninggalkan Andini tanpa sempat mengucap selamat tinggal.Selama ini kenangan itu selalu hadir disetiap mimpi, seakan saja menolak untuk pergi.Naren masih mengingat jelas. Saat itu, dia berlari kecil menuju taman kampus, membawa sesuatu yang disembunyikan di balik jaketnya, kotak kecil berisi kalung emas, dengan liontin bermata berlian yang didesain khusus berbentuk bunga tabebuya ungu, bunga kesukaan Andini.Waktu itu seharusnya menjadi hari bersejarah. Di mana dia akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya.Walau perkenalannya dengan Andini

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 5. Andini

    Andini menunggu.Satu hari.Dua hari.Tiga hari.Tidak ada pesan. Tidak ada jejak.Hanya bangku kosong dan bunga-bunga ungu yang berguguran tanpa saksi.Dia kecewa, tentu saja. Tapi bagian terdalam dari hatinya lebih memilih untuk mengabadikan Naren seperti kisah di sebuah dongeng, dia berharap akan bisa bertemu lagi suatu hari nanti.Hari-hari berlalu. Andini melanjutkan hidupnya. Disela-sela waktunya dia tetap melukis diam-diam. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Andini menjalani kehidupan dan kuliah IT dengan perasaan kosong.Lalu pada hari yang sudah ditentukan, Andini harus menikah dengan lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya. Hanya patuh dan menerima.Hidupnya sama seperti boneka yang hanya bisa bergerak jika digerakkan, bahkan untuk memakai pakaian serta perhiasan semuanya juga diatur, semua itu tentunya hanya untuk mengenalkan pada sekitar jika dirinya baik-baik saja.Dan malam ini, dia melihat kembali pria itu. Dengan sorot mata yang sama. Dan senyuman yang masih me

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 4. Pertemuan Andini dan Narendra.

    Gigi Naren terlihat saling beradu, tangannya terkepal kuat, wajahnya terlihat memerah. Aura kemarahan begitu terpancar jelas.“Sialan! Siapapun orangnya, orang itu harus membayar semua perbuatan ini!”Ken menelan ludahnya. Dia terlihat mengelengkan kepala. Selama bertahun-tahun mengenal Naren, baru kali ini dia melihat raut wajah Naren yang begitu menakutkan. Bosnya benar-benar mencintai wanita yang ada dalam dekapannya itu. Bahkan bukan sekedar cinta biasa, melainkan cinta yang sudah menguras akal sehatnya. Walau saat ini status wanita itu adalah istri orang lain, akan tetapi rasa cinta dihatinya tidak berubah sedikitpun.Sebagai seorang sahabat dan tangan kanan dari Naren, terkadang dirinya ingin berkata bagaimana jika bosnya itu belajar untuk melupakan cintanya. Karena semuanya sia-sia belaka, wanita itu bukan lagi miliknya.Tapi dia tidak berani mengatakan itu. Naren adalah bosnya. Dia akan mendukung semua keputusannya dengan penuh.“Bagaimana jika kita buat orang itu bangkrut s

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 3. Teraniaya.

    Kemudian Sanjaya, menatap Andini tajam. “Dengar, Andini. Nak Radit ini pria yang sangat sabar. Seharusnya dia marah karena kamu meninggalkan pesta tanpa alasan jelas. Kalau ke depannya kamu berani membuat masalah lagi, Ayah sendiri yang akan mewakili suamimu untuk memberimu pelajaran.”Andini benar-benar muak. Seandainya orang tuanya peduli, mereka pasti akan berpikir, tidak mungkin dia pergi jika tanpa alasan.Seharusnya mereka bertanya ada apa sebenarnya, kenapa dia pergi dari pesta.Sayangnya, meskipun dia mengatakan jika Radit kembali berselingkuh, semua orang di dalam rumah ini tidak akan ada yang akan mendengarkan ucapannya.Bahkan dapat dipastikan, dia justru diminta untuk tutup mata dan telinga, seolah tidak terjadi apa-apa.Mereka akan mengatakan jika hal seperti itu sangat lumrah. Jika seorang pria kaya dan punya nama seperti Radit, boleh punya simpanan di luar. Asal saja jangan sampai dia menikah lagi. Di samping ayahnya, sang ibu tersenyum lega. “Sudah, jangan buat masala

  • Jangan Salahkan Aku Mencintainya    Bab 2. Merasa Dejavu

    Langkah kakinya sempat ragu, namun mata Andini yang terpikat oleh keindahan tempat itu tak sanggup berhenti menelusuri satu demi satu karya yang terpajang di galeri seni tersebut.Cahaya lampu temaram yang jatuh tepat di atas setiap kanvas membuat lukisan-lukisan itu tampak hidup, seolah bernapas dalam diam.Ada goresan abstrak yang liar, ada juga potret wajah penuh ekspresi, dan lanskap alam yang menenangkan. Semuanya seakan memanggil sisi lain dari dirinya yang telah lama terkubur oleh rutinitas dan tekanan hidup.Saat Andini menyusuri lorong pameran dengan langkah pelan, hatinya berdesir aneh, sebuah rasa yang asing sekaligus begitu akrab menyelinap dalam dada. Pandangannya berhenti pada sebuah sudut ruangan. Di sana, terpajang satu lukisan dengan pencahayaan khusus, seperti sengaja diletakkan agar setiap pengunjung berhenti dan menatapnya lebih lama.Seketika jantung Andini serasa berhenti berdetak.Lukisan itu ... kenapa begitu mirip?Dengan lukisan miliknya.Lukisan yang pernah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status