MasukSetelah kepergian Andini, Naren menuju kantornya.
Seharian ini ia tampak murung. Dari lantai tiga puluh dua, lewat jendela besar ruang kerjanya, matanya menatap kosong keluar jendela. Dari tempatnya berdiri mobil-mobil yang bergerak di jalan raya, tampak seperti semut kecil yang sedang berbaris rapi. Langit di luar berwarna abu-abu, warna yang sama dengan perasaannya setiap kali Naren mengingat masa dua tahun lalu. Hari ketika dia meninggalkan Andini tanpa sempat mengucap selamat tinggal. Selama ini kenangan itu selalu hadir disetiap mimpi, seakan saja menolak untuk pergi. Naren masih mengingat jelas. Saat itu, dia berlari kecil menuju taman kampus, membawa sesuatu yang disembunyikan di balik jaketnya, kotak kecil berisi kalung emas, dengan liontin bermata berlian yang didesain khusus berbentuk bunga tabebuya ungu, bunga kesukaan Andini. Waktu itu seharusnya menjadi hari bersejarah. Di mana dia akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya. Walau perkenalannya dengan Andini cukup singkat, akan tetapi Naren yakin jika Andini adalah wanita yang tepat untuknya melabuhkan hati. Akan tetapi, langkahnya mendadak terhenti ketika ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya menciut. “Kakek.” Suara di seberang sana parau, nyaris tak terdengar. “Naren ... pulanglah. Waktu Kakek nggak banyak. Aku ingin kau yang melanjutkan perusahaan keluarga.” Kalimat itu sederhana, tapi mengandung beban sebesar gunung. Begitu telepon ditutup, dunia seakan berhenti berputar. Sang waktu mengubah semua mimpi indahnya. Menit itu juga, tanpa sempat menjelaskan apapun pada Andini, Naren dipaksa terbang ke luar negeri. Dirinya bahkan tidak memiliki nomor ponsel Andini, karena selama seminggu kebersamaan mereka, tak satupun dari keduanya berpikir untuk bertukar kontak. Seolah keduanya merasa jika mereka akan selalu bertemu dan tak akan terpisahkan. Cerita yang cukup singkat akan tetapi menorehkan kenangan manis dan juga pahit di hatinya yang terdalam. Jika waktu bisa diulang, Naren ingin memilih cinta, bukan takhta. Tapi waktu tak pernah mau bernegosiasi dengan penyesalan. Kini, dua tahun berlalu. Andini telah menjadi milik orang lain. Tapi saat Naren kembali melihatnya, entah mengapa sorot mata yang terpancar dari tatapan Andini itu sama persis seperti Naren pertama kali bertemu dengannya, penuh luka dan senyum yang dipaksa supaya terlihat bahagia. Naren tahu, jika orang yang sangat dicintainya itu saat ini sedang dalam dilema dia hanya berpura-pura untuk menutupi kesedihannya. Naren menyesal. Tentu saja dia sangat menyesal, karena telah pergi tanpa pamit dan kini membiarkan takdir mempertemukan mereka dalam keadaan sesakit ini. Tangannya terkepal. “Aku harus tahu, apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupmu selama dua tahun ini, Andini.” Ketukan pintu pelan terdengar, membuyarkan lamunan panjang Naren. “Masuk,” ucapnya tanpa menoleh. Ken melangkah masuk, membawa sebuah berkas tebal dan tablet di tangannya. “Maaf mengganggu, Bos.” Naren hanya menoleh sedikit, tatapannya masih kosong kearah luar jendela. “Kamu sudah dapat informasinya, Ken?” tanyanya datar. Ken mengangguk. “Tentu saja sudah, bos.” Ken menarik kursi yang persis berada di depan meja kerja Naren, lalu Ken duduk sambil tangannya meletakkan beberapa dokumen yang harus ditandatangani Naren. “Bos, coba lihat ini.” Ken mengulir laptopnya lalu meminta Naren untuk menatap layar laptop yang dibawah olehnya. Naren mendekat, lalu duduk persis di seberang meja berdepanan dengan tempat Ken duduk. “Suaminya, Raditya Mahesa. Direktur utama Mahesa Group. Dia termasuk dalam jajaran pengusaha muda yang sukses, dan juga dia dikenal sebagai figur publik yang karismatik.” Ken memutar posisi laptopnya persis menghadap Naren. “Saat ini, Radit sedang mempersiapkan diri untuk pencalonannya sebagai kepala daerah di Kurta. Tapi, ada sesuatu yang nggak banyak orang tahu tentang kehidupan pribadinya.” Naren menyipitkan mata. “Apa itu?” “Dia terlalu ambisius dan tempramental. Radit memiliki kendali penuh terhadap istrinya. Semua jadwal, pertemuan, bahkan pakaian yang dikenakan istrinya semuanya diatur olehnya. Rumah tangga keduanya dari luar terlihat sempurna, tapi kenyataannya berbeda.” Ken berhenti sejenak, menatap ekspresi Naren yang mulai mengeras. “Ada juga rumor internal dari pegawai rumah tangganya. Katanya, sebagai seorang istri Andini hanya dituntut untuk patuh dan setia, walaupun ….” “Walaupun, apa?! Katakan saja.” tutur Naren semakin penasaran. “Walaupun, Andini tahu jika suaminya sudah menduakan cintanya.” Naren mengepalkan tangannya di atas meja. Rahangnya mengeras. “Dia ... masih sama seperti dulu,” gumamnya lirih. “Selalu menuruti keinginan orang lain dan patuh meski hatinya sendiri hancur.” Ken melanjutkan, “Keluarganya juga bukan tanpa masalah. Kakaknya, Arya suka mengkonsumsi obat terlarang bahkan dikenal cukup kasar dan sering bergonta-ganti pasangan. Dia selalu memanfaatkan nama Raditya untuk menekan Andini. Dan yang lebih menyedihkan, kedua orang tuanya seakan tutup mata dengan semua penderitaan yang Andini alami itu.” Ruangan menjadi sunyi. Naren menunduk, menatap jemarinya sendiri. Dalam hatinya, ada perasaan campur aduk antara kemarahan dan sesal. Andini dulu pernah bilang dengan senyum yang dipaksakan bahwa dia tidak pernah merasa cukup baik untuk siapapun, bahkan untuk dirinya sendiri. Dan sekarang, dua tahun kemudian, kata-kata itu seperti doa buruk yang menjadi kenyataan. Mendengar semuanya, bagian terdalam dari diri Naren bergejolak dan marah. Ia ingin menghancurkan semua yang menyakiti Andini, tapi bagian lainnya sadar, jika dia bukan siapa-siapa. “Ken,” suara Naren berat, “Aku ingin tahu lebih banyak. Kumpulkan semua informasi yang bisa kau temukan tentang kehidupan rumah tangga mereka. Tapi lakukan diam-diam dan rapi. Aku nggak mau Andini salah paham dengan semua ini.” Ken mengangguk, “Baik, Bos.” Akan tetapi, baru beberapa langkah Ken melangkahkan kaki ia kembali memutar tubuhnya. “Oh iya bos, ada satu informasi penting yang hampir lupa aku sampaikan.” “Apa itu katakan, Ken.” “Ternyata Raditya Mahesa, juga ikut menghadiri undangan pesta makan malam Angkasa Khile Corp.” Mendengar penuturan Ken, Naren tersenyum misterius.Pintu ruangan terbuka sangat keras hingga memantul ke dinding. Semua orang di ruangan itu sontak menoleh.Seorang wanita dengan penampilan elegan memakai coat panjang, sepatu hak tinggi melangkah masuk dengan wajah penuh kemarahan. Mata itu adalah tatapan mata seorang ibu yang cemas serta khawatir tentang keadaan putrinya. Seketika dia memasuki ruangan, matanya langsung menatap lurus ke arah Jessica, putri tunggalnya.“JESSICA!” suaranya menggelegar, menusuk sampai ke ujung telinga. “Kau mengapa kesini dan ikut-ikutan bersembunyi? Kau mau menjatuhkan martabat keluarga kita?! Cepat ambil barangmu kita pulang, sekarang juga!”Semua orang terdiam, hanya suara napas Jessica yang kini tersengal.“Mami… ma-maaf, aku nggak bisa mengikuti permintaan mami untuk pulang.” Jessica berusaha bicara selembut mungkin. “aku, aku nggak bisa meninggalkan Andini, aku janji setelah urusan ini selesai, aku akan menjelaskan semuanya …”“Diam!” Ibunya maju, meraih lengan Jessica paksa. “Kau pikir mami akan
Jessica tak bisa menjawab, suasana villa itu kembali sunyi. Hingga suara parau Andini kembali terdengar.“Jessi, tolong jujur padaku? Apa kau mencintai Naren?”Jessica yang tadinya tertunduk karena kehabisan kata-kata untuk menjelaskan apa lagi pada Andini, kini mendadak tubuhnya menegang seolah listrik tegangan tinggi sedang menyengat tubuhnya.Walau sedikit ragu tapi Jessica tetap harus menceritakan semuanya, “Awalnya aku memang mencintai Naren, sangat mencintainya terlebih lagi kedua belah pihak keluarga memang merestui.”Jessica menghentikan ucapannya lalu menatap kearah mata Andini, “Namun seiring berjalannya waktu aku semakin sadar, jika cintaku hanya bertepuk sebelah tangan Dan…”Belum selesai Jessi menjelaskan Andini tiba-tiba langsung memeluknya.“Maafkan aku Jessi, aku … aku nggak bermaksud untuk menyakiti perasaan mu. Tolong jangan benci aku.” tutur Andini terbata-bata.“Hei, aku belum selesai berbicara, lagian mana mungkin aku membencimu. Justru aku harus berterima kasih p
Andini duduk termenung di tepi tempat tidur mewah yang berbahan kayu jati yang dihiasi ukiran mewah dari ciri khas suatu daerah. Dia masih mengenakan kemeja kerja yang dipakainya kemarin siang, kemeja itu sudah berantakan, ujung lengannya kusut karena sudah berkali-kali digunakan untuk menyeka air mata.Andini merasa tubuhnya benar-benar tidak ada energi yang tersisa, bahkan untuk sekedar berdiri dia pun tak mampu.Diluar villa kicauan burung terdengar riang saling bersahutan, menyambut sang mentari. Angin pegunungan membelai pucuk pohon pinus dengan lembut, menyapu udara dingin melewati tebing tinggi tempat villa mewah itu berdiri megah.Dari balik tirai kaca yang terhubung dengan balkon belakang villa, lautan biru terbentang luas tampak damai, tenang, keindahan alam yang jauh dari hiruk-pikuk dunia yang selalu menghakimi.Tapi kedamaian itu sama sekali tidak menyentuh hati Andini. Semalaman Andini tak bisa tidur, pikirannya berkelana tak tau kemana.Tok tok tokTerdengar suara pintu
Radit membalas pelukannya bukan karena cinta, tapi karena rasa bersalah. Dan itu terasa. Pelukan itu dingin. Hampa. Terkendali. Tiara tidak bodoh. Dia tahu sentuhan itu bukan sentuhan cinta.Tapi dia membiarkan dirinya menipu hati. Dia butuh ilusi itu.“Apa yang terjadi, mengapa aku bisa berada di sini?”Belum sempat Radit menjelaskan, Thomas sudah duluan bersuara.“Kamu mendadak pingsan, tadinya Daddy sangat khawatir. Tapi setelah dokter Pras memeriksa ternyata rasa khawatir itu hilang dan berubah jadi rasa bahagia.”Tiara sedikit mengerutkan keningnya, “Ma-maksud Daddy rasa bahagia yang seperti apa? Lalu apa hubunganya dengan aku?”“Kamu sedang mengandung Tiara, Daddy akan menjadi seorang kakek.”“A-apa, aku sedang hamil?” mata Tiara terlihat berkaca-kaca. “Radit, sayang apa benar yang diucapkan oleh Daddy?”Radit hanya mengangguk tanpa suara.“Berjanjilah untuk selalu bersama ku. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Dit. Kamu milikku. Kita milik satu sama lain. Sekarang kita sudah puny
Thomas kembali memberi tekanan.“Tiara, pastikan jika Radit tetap nggak mau kembali mengikuti rencana kita, kau harus temukan cara untuk mengendalikannya.”Mendapatkan tekanan dari sang ayah kepala Tiara seketika berdenyut, wajahnya terlihat meringis saat menahan sakit dikepalanya. “Aku akan berusaha, Daddy.”“Berusaha nggak akan cukup! Kalau kau nggak bisa mengendalikan Radit, maka Radit akan menjadi ancaman. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”Ancaman dalam konteks yang diucapkan oleh seseorang yang bergelut dalam dunia hitam seperti Thomas Hilton itu bukan sekadar kata. Tiara tahu persis apa arti ucapan dari sang ayah.Jika Radit sampai keluar garis, maka Radit akan dihabisi. Seperti ini lah bahasa yang ingin disampaikan itu.“Kau mengerti kan, sayang?” dengan senyuman Thomas menepuk pipi Tiara, tepukan yang begitu lembut dan manis lebih mirip seperti sedang membelai, akan tetapi dibalik semua itu terselip ancaman yang begitu mematikan.Lutut Tiara terasa lemas.Dia keluar dari
Kemarin siang, beberapa menit sebelum pesawat Radit dan Tiara lepas landas.Andini yang merasa dirinya tertekan, begitu melihat kehadiran Naren seketika dia langsung memeluknya.“Hei, sayang kenapa menangis? Kamu aman sekarang.” suaranya berguncang, bukan karena takut tapi karena menahan gejolak yang terlalu berat untuk dijelaskan.Andini terus menangis menumpahkan rasa rindu, menumpahkan segala beban yang menumpuk dihatinya.Sementara Jessica berdiri di samping pintu, nafasnya masih memburu, ada senyum haru saat melihat Andini memeluk Naren seperti itu.Kenzo yang berdiri di sampingnya menggenggam tangan Jessica yang terlihat gemetar karena ketegangan.Menyadari gengaman tangan Kenzo, Jessica tersenyum.“Ada CCTV dari lobi belakang,” Kenzo berbisik pada Jessica. “Kita lihat rekamannya. Aku yakin jika mereka melarikan diri lewat pintu belakang dan kita menemukan petunjuk dari jejak mereka.”Jessica mengangguk. Mereka sengaja memisahkan diri dari Andini dan Naren membiarkan keduanya l







