"Katakan, apa maksudmu mengajakku bertemu di sini?" tanya Aina sesaat setelah pelayan pergi setelah mengantar pesanan mereka.
Rizal mulai menyantap steaknya sambil menyunggingkan senyum remeh tanpa membalas pertanyaan Aina. Sedangkan Aina yang sedari tadi memang sudah jengah berada satu meja dengan mantannya itu, bangkit dari duduk. Berniat meninggalkan laki-laki menyebalkan di hadapannya.
"Kenapa buru-buru?"
Pertanyaan Rizal membuat Aina menoleh. Kedua matanya memicing, menunjukkan keengganan.
"Setidaknya minum dulu sebelum pergi." Rizal meletakkan pisau dan garpunya lalu mengelap mulut dengan tisu.
"Aku tidak suka basa-basi, Zal."
"Aku tidak sedang basa-basi. Duduklah."
Aina menghela napas, kemudian kembali duduk dengan terpaksa.
"Apa yang kau inginkan?" Aina bertanya, untuk yang kesekian kalinya.
Aina sedang berjalan menuju ruang guru saat tiba-tiba seorang siswa muncul dan menghadang jalannya. Siswa tersebut mengulurkan sebuah amplop coklat ke arah Aina."Dari siapa?" tanya Aina dengan raut wajah heran.Siswa itu hanya menggeleng. Lalu, buru-buru pergi saat amplop itu sudah berpindah ke tangan Aina.Penasaran, Aina membuka amplop dan melihat isinya. Dan seketika, dia terbelalak setelah mengetahui isi amplop itu. Apa lagi kalau bukan foto-foto yang pernah Rizal kirimkan untuknya tempo hari.Aina meremas amplop beserta foto di dalamnya sambil menahan air mata.Rizal benar-benar kelewatan. Aina pikir, laki-laki itu sudah lelah mengancamnya karena beberapa hari terakhir tidak melakukan teror lagi padanya. Namun, dia seharusnya tau, jangan berharap banyak pada Rizal. Laki-laki itu benar-benar iblis.Aina memasukkan amplop yang telah diremasnya ke dalam ta
Malam sudah larut saat Aina dan Dipta tiba di rumah setelah makan malam mereka yang berakhir canggung. Sepanjang perjalanan, mereka hanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai di rumah pun Aina masuk terlebih dahulu tanpa menunggu Dipta. Wanita itu langsung masuk ke kamar dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah itu, dia bergegas membaringkan diri di tempat tidur.Dipta menyusul dengan tanpa bersuara. Langkah kakinya gontai, pandangan matanya menerawang. Jika Aina memilih untuk langsung masuk ke kamar, Dipta justru memilih singgah ke ruang kerjanya.Dia mengetuk-ngetukkan ujung atas ponselnya ke meja dengan alis bertaut, terlihat berpikir. Lalu, setelah pertimbangan matang, dia meraih ponselnya dan menekan tombol panggil pada salah satu kontak."Hallo, Pak," sapa suara bariton di seberang sana."Sudah dapat informasi yang saya minta?" Dipta menjawab dengan pertanya
Minggu pagi yang cerah. Sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamar lewat kaca jendela yang kordennya telah terbuka sepenuhnya. Kicau burung sesekali terdengar dari arah pepohonan belakang rumah, dekat lapangan. Udara dingin dari AC tak membuat wanita pemilik iris kecoklatan nan indah itu enggan untuk beranjak dari tempat tidur.Meskipun hari ini Hari Minggu, Aina tetap melakukan rutinitas paginya seperti biasa—rutinitas yang baru beberapa minggu dia lakukan, sebenarnya. Setelah sholat subuh berjamaah dengan suaminya, dia bergegas turun dan melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Jemarinya dengan lincah meracik berbagai bumbu untuk membuat nasi goreng. Sederhana memang. Karena baru itu masakan yang bisa dia buat tanpa melihat resep. Yah, itu pun terkadang masih keasinan.Dua piring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya telah tersaji di meja makan. Dia melanjutkan membuat secangkir kopi hitam untuk suaminya, dan teh beraroma vanilla untuk dirinya sen
-Aina's POV-Kami telah menjalin hubungan selama satu tahun, sejak aku duduk di kelas 2 SMA. Dulu dia adalah kakak kelasku, umurnya 3 tahun lebih tua dariku. Saat kami masih berada di SMA, setiap hari kami selalu bersama. Dia selalu ingin menghabiskan waktu denganku. Entah di kantin, di taman belakang sekolah, bahkan saat aku ke perpustakaan pun dia menemani.Bagiku, memilikinya terasa seperti mimpi. Bagaimana tidak? Dia anak dari keluarga kaya dan terhormat. Ayahnya seorang pejabat daerah sementara ibunya seorang dosen di universitas yang nantinya menjadi kampus tempatnya melanjutkan studi. Wajahnya juga tampan, bahkan sangat tampan. Dia juga pemain inti di tim sepak bola sekolahku. Satu-satunya kekurangannya adalah kenakalannya. Dia terkenal sering membolos pelajaran dan suka tawuran. Tapi terlepas dari segala kekurangannya, bagiku dia tetaplah pangeran.Aku kadang heran kenapa dia mau berpacaran dengan perempuan sepertiku. Aku hanyalah gadis seder
Dipta menginjak rem dan menghentikan mobil di titik koordinat yang ditunjukkan Aina sebelumnya. Namun, tidak ada tanda-tanda keberadaan Aina di situ. Baru saja dia melepas seatbelt dan bersiap untuk turun dari mobil, ponselnya tiba-tiba berdering.Dia mengerutkan dahi saat melihat nama si penelepon. Padahal dia pikir itu Aina, ternyata bukan."Hallo ....""Pak, Bu Aina diculik."Deg! Dunia Dipta serasa berputar seratus delapan puluh derajat mendengar penuturan orang suruhannya itu. Seperti dihantam godam besar tepat di dada, napasnya terasa begitu sesak."Bagaimana bisa? Aina di mana sekarang?" Nada suaranya terdengar cemas. Dia kembali menyalakan mesin mobil dan memutar kemudi."Kami sedang mengikuti mobilnya. Sepertinya mereka akan keluar dari Semarang."Dipta mengendarai mobilnya dengan satu tangan menempelkan ponsel ke telinga. "Baik. Ikuti terus. Saya akan segera menyusul."Setelah mematikan panggilan, Dipta memacu m
Dipta mengendarai mobilnya melewati perkebunan teh yang luas. Diliriknya rute di layar ponsel. GPS Aina telah berhenti berjalan. Berarti mereka telah sampai di tempat Aina akan disandera.Jalan terjal dan berbatu menghambat laju kendaraan yang dikemudikannya. Selain medan yang lumayan susah, jarak pandangnya yang terbatas karena malam semakin larut juga menjadi alasan dia tak bisa melajukan mobilnya lebih cepat.Di sejauh mata memandang, hanya ada gelap yang begitu mencekam. Tak ada lampu penerangan jalan di sini. Hamparan kebun teh yang luas juga terlihat seperti bayangan hitam tak bertepi. Begitu gelap. Purnama pun seperti enggan menerangi jalan Dipta saat ini. Yang bisa dia andalkan hanyalah lampu dari kendaraannya sendiri.Jalanan yang terus menanjak dengan bebatuan terjal yang menjadi alasnya benar-benar menguras habis tenaga. Deru mesin mobil semakin meraung keras seiring medan yang dilaluinya semakin sulit.
Tujuh tahun yang lalu ...Hotel Paradise : 03.45 WIBSuasana kamar 433 begitu mencekam. Pecahan kaca dari botol alkohol berserakan di lantai, bercampur dengan pakaian dari penghuninya yang tersebar berantakan. Seprai yang semula putih, kini ternoda oleh bercak darah serta lelehan cairan putih pekat yang kental. Suara pendingin ruangan yang menderu pelan hilang tertelan jerit pesakitan dari pemilik tubuh polos yang meringkuk di atas ranjang.Di depannya berdiri seseorang yang tengah menyeringai dengan sabuk di tangannya. Sabuk itulah yang meninggalkan jejak memar di sekujur tubuh si wanita."Kamu tau, Sayang, aku lebih suka mendengar jeritan alih-alih desahan. Jadi, menjeritlah untukku."Sekali lagi, suara lecutan terdengar keras saat laki-laki itu mencambukkan sabuknya ke paha sang gadis, yang membuatnya menjerit kesakitan."Sakit, Zal ... ampun. Hentik
Suara sirene mobil polisi terdengar nyaring memecah kesunyian malam. Lampu dari mobil-mobil yang merangkak bergantian melewati jalan setapak di tengah perkebunan teh itu terlihat berkilauan. Cahayanya bergerak-gerak mengikuti gerakan mobil yang mesinnya semakin menderu karena tanjakan.Dipta membuka pintu dan keluar mobil. Saat lampu depan mobil Yudi menyorotnya, dia segera melambaikan tangan."Di mana, Bro?" Yudi bertanya setelah turun dari mobil dan mendekat ke arah Dipta.Dipta menunjuk satu-satunya bangunan yang ada di tempat itu. "Pasti di sana. Aku yakin.""Oke. Kita ke sana."Mereka kemudian kembali masuk ke mobil masing-masing lalu mengendarainya menuju rumah besar di tengah perkebunan teh itu.Salah satu mobil polisi bergerak lebih dulu. Mereka akan memastikan berapa banyak lawan mereka dan apa senjata yang digunakannya. Jika memang mereka memiliki s