Share

BAB 6

"Bagaimana dia mau mengasuhnya ya Allah. Kasihan kamu, Nak" kata Dea dalam hati.

Sekarang bayi itu sudah tertidur kembali setelah diberi minum susu formula dan digendong oleh Dea.

"Lagi apa, Dek?" tanya Zuhal saat melihat istrinya menggendong bayi sembari memasak.

"Ya Allah, mana bapaknya Dek?" tanya Zuhal.

Zuhal sudah tahu Tarman ada di mana, dia hanya kesal saja pada iparnya yang labil itu. Dea yang melihat raut marah di wajah suaminya langsung menggeleng dan memberikan isyarat pada Zuhal agar bersabar. Zuhal menghela napas.

"Sudah punya anak masih saja kayak orang bujang," gerutu pria beranak dua itu.

"Sudahlah Bang," kata Dea. "Jangan buat keributan pagi-pagi begini."

Zuhal menghela napas. "Sudahlah. Sini bayinya, kamu masak dulu setelah itu baru urus yang lain oke?" kata Zuhal.

Dea menyerahkan bayi tersebut kepada Zuhal dan meneruskan acara memasaknya. Zuhal adalah seorang ayah yang telaten dan seorang suami yang cekatan membantu istri, dia tak segan-segan mengambil alih pekerjaan istri jika melihat wanita tersebut sedang repot-repotnya. Begitu juga dengan saat ini.

Zuhal membawa bayi itu keluar, berkumpul di ruang tamu bersama kakek dan neneknya yang tengah menikmati teh dan roti gandum.

"Kita beri nama sajalah anak ini, sudah lama dia tidak punya nama," kata Zuhal kepada bapak dan ibunya.

"Itu terserah si Tarman, Hal. Anak dia juga," kata Marini.

"Ya siapa tahu Tarman mau mendengar usulan saya, Buk! Nggak ada salahnya saya usulkan nama, mungkin diberi nama Abdurrahman Farizi," kata Zuhal. "Kita panggil Fariz, iya kan, Nak Fariz?" Zuhal menimang keponakannya.

"Ini kan sudah lewat 7 hari, lebih baik diberi nama saja. Kasihan bayinya kalau tidak ada nama. Tapi kalau Bapak dan Ibuk ingin menyerahkan pemberian nama ini kepada si Tarman yang masih ngorok di kamar Itu, terserah Bapak dan Ibuk. Tapi kalau sampai anak ini disia-siakan, saya ndak kan tinggal diam. Ini juga anak Maya, adik saya," kata Zuhal.

"Loh siapa yang menyia-nyiakanny, Bang."

Tiba-tiba saja Tarman menyahut, tampaknya lelaki itu baru bangun. Penampilannya masih sama seperti tadi, rambut kusut masai, mata sembab, belum mandi, bau jigong. Pria berumur 22 tahun itu memasang wajah intimidatif terhadap Zuhal.

Zuhal yang kadung kesal kepada adik iparnya itu pun merasa terintimidasi. Tampaknya suasana sekitar mereka saat ini sedang panas.

"Saya tidur pukul 5 tadi, Bang. Tiba-tiba saja Kakak Dea mengetuk pintu, saya sendiri pun ndak sadar anak saya nangis. Tidak bermaksud menyia-nyiakan, Bang."

"Ya gimana ya, kamu itu anak nangis bukannya langsung ngambil anak, tapi tunggu anak nangis keras barulah kamu ngeh," kata Zuhal.

Pak Roslan menenangkan putra sulungnya itu sebelum pecah perang dunia ke-3. "Zuhal, sudahlah. Berikan dia waktu, Tarman ini pemuda yang baik," kata Pak Roslan.

Taman berlalu, dia pergi ke dapur.

"Sabarlah, Hal. Sama adik ipar sendiri pun," kata Pak Roslan dengan suara dipelankan.

"Ada betulnya juga cakap Zuhal itu. Bapak itu cuma menutupi kelakuan menantu Bapak yang sejak awal memang kurang baik. Udah sama Maya bertengkar terus lagi. Sedih Ibuk Pak kalau mengingat-ingat itu," kata Marini.

"Kamu juga satu, bukannya mendinginkan anak, malah memanas-manasi. Kita kan masih berduka, jangan sampai dilihat tetangga lagi. Bisa terjadi perpecahan di dalam keluarga nanti. Kejadian yang kemarin saja belum selesai perkaranya, mau nambah kejadian baru lagi. Gimana sih Ibuk! Mau taruh muka di mana?" sahut di bapak.

Zuhal menghela napas. Dia sibuk menenangkan bayi yang ada dalam pelukannya. Pria itu berangan-angan kapan dia bisa pulang kembali ke rumahnya dan merasakan kedamaian bersama istri dan anak-anaknya?

"Oh ya. Halo ... halo ... Oke oke! Saya ke sana sekarang!"

Tiba-tiba saja Tarman yang belum mandi, masih memakai kaus pendek dan celana selutut langsung keluar rumah setelah menerima telepon. Dia pergi begitu saja tanpa berpamitan pada abang dan mertuanya.

"Tuh Bapak Ibuk lihat sendiri. Pergi keluar belum mandi, gak sampai semenit pamitan sama Ibu k sama Bapak saja dia tak mau, bagaimana dia mau mengurus anak ini?" kata Zuhal sembari menunjuk Tarman yang sudah menghilang di luar sana.

"Pas orang mengurus jenazah istrinya, dia pun menghilang tak tahu ke mana!"

Kedua orang tua itu pun tampak menghela napas, mereka bukannya tak tahu kelakuan menantu lelaki satu-satunya itu. Dia memang cuek terhadap keluarga dan sering bertengkar sama Maya sewaktu almarhumah masih hidup dulu. Ada saja yang mereka perdebatkan, entah itu hal-hal kecil sampailah hal-hal besar. Tarman lebih mengutamakan keluarganya dibandingkan Maya.

"Kalau Maya gak hamil duluan sama di Tarman, ndak akan ada ceritanya Ibuk mau nikahkan mereka!" kata Marini.

"Sudahlah, Buk. Itu aib Maya, jangan diungkit lagi kasian dia di kubur," kata Pak Roslan. "Sudahlah, memang sudah tabiatnya begitu. Biarkan sajalah," kata Pak Roslan.

Mereka hanya maklum saja.

Sementara itu di dapur, Ayu dan Sita sedang sibuk membantu ibunya memasak. Tentu hanya Dea yang memasak, sedangkan Ayu dan Sita lebih banyak bermain. Mereka tampak bahagia.

Tiba-tiba saja tengah-tengah memasak, seorang wanita terburu-buru masuk ke rumah Pak Roslan dan memanggil-manggil nama Dea. Perempuan itu bahkan lupa memberi salam, mungkin saking paniknya.

"Dea! Dea!"

Dea yang mendengar itu buru-buru melepaskan pekerjaannya dan menghampiri suara tersebut. Ternyata dia adalah tetangga mereka yang tinggal di ujung gang sana.

"Ya Allah Dea, ya Allah Dea, tolong Mak Cik Dea. Tolong Makcik!" cecar orang tersebut sembari memegang lengan Dea dan meremasnya.

Orang yang memanggil dirinya dengan sebutan Makcik itu menangis, air matanya bercucuran. Kondisinya juga semrawut, jilbabnya terbalik mungkin karena terburu-buru memasangnya.

"Kenapa Makcik? Kenapa?" tanya Dea. "Cerita dulu, tarik napas dulu Makcik!" cecar wanita itu.

Marini mengambilkan orang tua itu air minum dan Makcik menenggaknya sekaligus. Dia tak habis pikir apa yang membuat Makcik begini? Berlari dari rumahnya di ujung sana lumayan jauh. Hal mendesak apa sampai dia begini? Pikir Marini dan Roslan.

"Keponakan Makcik, si Suci. Dia lagi di rumah ibunya, sekarang mau melahirkan, dia susah melahirkan, Nak. Tolong ya Allah, bantulah dia, Nak. Kasihan dianya," cecar Makcik. Air matanya mengalir bersamaan dengan peluh di wajahnya.

Dea gugup dan tidak tahu harus mengatakan apa, karena dia sendiri bukan dukun beranak atau bidan.

"Dea ... Dea harus ngapain Makcik? Dea bukan dukun beranak, Dea juga bukan bidan," kata Dea.

"Bidan dan dukun sudah nyerah. Bidan mau rujuk ke rumah sakit, tapi suaminya bilang gak keburu. Tolong dilihat dululah, Nak. Siapa tau dari tangan kamu Suci bisa lancar malahirkan. Dia ini hamil barengan Maya, Makcik takut terjadi apa-apa sama Suci! Tolonglah, Nak! Kamu kan kemarin nolong ngeluarin anak si Maya, kali ini tolonglah Suci!" ujar Makcik berkaca-kaca.

Dea ragu, bagaimana jika dia tidak bisa? Dia bukan tenaga kesehatan. Apa yang harus Dea lakukan?

Pagi itu, kabut tiba-tiba datang menyelimuti Desa Kunti. Tepat di erangan pertama suara Suci yang mencoba berjuang melahirkan bayinya. Mentari yang cerah seolah-olah menghilang ditutupi kabut misterius yang mendadak timbul. Sebuah cahaya merah menari-nari di atap rumah Suci dan suara tawa wanita menggema dari lereng bukit.

Apakah yang sebenarnya terjadi?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status