"Bagaimana dia mau mengasuhnya ya Allah. Kasihan kamu, Nak" kata Dea dalam hati.
Sekarang bayi itu sudah tertidur kembali setelah diberi minum susu formula dan digendong oleh Dea."Lagi apa, Dek?" tanya Zuhal saat melihat istrinya menggendong bayi sembari memasak."Ya Allah, mana bapaknya Dek?" tanya Zuhal.Zuhal sudah tahu Tarman ada di mana, dia hanya kesal saja pada iparnya yang labil itu. Dea yang melihat raut marah di wajah suaminya langsung menggeleng dan memberikan isyarat pada Zuhal agar bersabar. Zuhal menghela napas."Sudah punya anak masih saja kayak orang bujang," gerutu pria beranak dua itu."Sudahlah Bang," kata Dea. "Jangan buat keributan pagi-pagi begini."Zuhal menghela napas. "Sudahlah. Sini bayinya, kamu masak dulu setelah itu baru urus yang lain oke?" kata Zuhal.Dea menyerahkan bayi tersebut kepada Zuhal dan meneruskan acara memasaknya. Zuhal adalah seorang ayah yang telaten dan seorang suami yang cekatan membantu istri, dia tak segan-segan mengambil alih pekerjaan istri jika melihat wanita tersebut sedang repot-repotnya. Begitu juga dengan saat ini.Zuhal membawa bayi itu keluar, berkumpul di ruang tamu bersama kakek dan neneknya yang tengah menikmati teh dan roti gandum."Kita beri nama sajalah anak ini, sudah lama dia tidak punya nama," kata Zuhal kepada bapak dan ibunya."Itu terserah si Tarman, Hal. Anak dia juga," kata Marini."Ya siapa tahu Tarman mau mendengar usulan saya, Buk! Nggak ada salahnya saya usulkan nama, mungkin diberi nama Abdurrahman Farizi," kata Zuhal. "Kita panggil Fariz, iya kan, Nak Fariz?" Zuhal menimang keponakannya."Ini kan sudah lewat 7 hari, lebih baik diberi nama saja. Kasihan bayinya kalau tidak ada nama. Tapi kalau Bapak dan Ibuk ingin menyerahkan pemberian nama ini kepada si Tarman yang masih ngorok di kamar Itu, terserah Bapak dan Ibuk. Tapi kalau sampai anak ini disia-siakan, saya ndak kan tinggal diam. Ini juga anak Maya, adik saya," kata Zuhal."Loh siapa yang menyia-nyiakanny, Bang."Tiba-tiba saja Tarman menyahut, tampaknya lelaki itu baru bangun. Penampilannya masih sama seperti tadi, rambut kusut masai, mata sembab, belum mandi, bau jigong. Pria berumur 22 tahun itu memasang wajah intimidatif terhadap Zuhal.Zuhal yang kadung kesal kepada adik iparnya itu pun merasa terintimidasi. Tampaknya suasana sekitar mereka saat ini sedang panas."Saya tidur pukul 5 tadi, Bang. Tiba-tiba saja Kakak Dea mengetuk pintu, saya sendiri pun ndak sadar anak saya nangis. Tidak bermaksud menyia-nyiakan, Bang.""Ya gimana ya, kamu itu anak nangis bukannya langsung ngambil anak, tapi tunggu anak nangis keras barulah kamu ngeh," kata Zuhal.Pak Roslan menenangkan putra sulungnya itu sebelum pecah perang dunia ke-3. "Zuhal, sudahlah. Berikan dia waktu, Tarman ini pemuda yang baik," kata Pak Roslan.Taman berlalu, dia pergi ke dapur."Sabarlah, Hal. Sama adik ipar sendiri pun," kata Pak Roslan dengan suara dipelankan."Ada betulnya juga cakap Zuhal itu. Bapak itu cuma menutupi kelakuan menantu Bapak yang sejak awal memang kurang baik. Udah sama Maya bertengkar terus lagi. Sedih Ibuk Pak kalau mengingat-ingat itu," kata Marini."Kamu juga satu, bukannya mendinginkan anak, malah memanas-manasi. Kita kan masih berduka, jangan sampai dilihat tetangga lagi. Bisa terjadi perpecahan di dalam keluarga nanti. Kejadian yang kemarin saja belum selesai perkaranya, mau nambah kejadian baru lagi. Gimana sih Ibuk! Mau taruh muka di mana?" sahut di bapak.Zuhal menghela napas. Dia sibuk menenangkan bayi yang ada dalam pelukannya. Pria itu berangan-angan kapan dia bisa pulang kembali ke rumahnya dan merasakan kedamaian bersama istri dan anak-anaknya?"Oh ya. Halo ... halo ... Oke oke! Saya ke sana sekarang!"Tiba-tiba saja Tarman yang belum mandi, masih memakai kaus pendek dan celana selutut langsung keluar rumah setelah menerima telepon. Dia pergi begitu saja tanpa berpamitan pada abang dan mertuanya."Tuh Bapak Ibuk lihat sendiri. Pergi keluar belum mandi, gak sampai semenit pamitan sama Ibu k sama Bapak saja dia tak mau, bagaimana dia mau mengurus anak ini?" kata Zuhal sembari menunjuk Tarman yang sudah menghilang di luar sana."Pas orang mengurus jenazah istrinya, dia pun menghilang tak tahu ke mana!"Kedua orang tua itu pun tampak menghela napas, mereka bukannya tak tahu kelakuan menantu lelaki satu-satunya itu. Dia memang cuek terhadap keluarga dan sering bertengkar sama Maya sewaktu almarhumah masih hidup dulu. Ada saja yang mereka perdebatkan, entah itu hal-hal kecil sampailah hal-hal besar. Tarman lebih mengutamakan keluarganya dibandingkan Maya."Kalau Maya gak hamil duluan sama di Tarman, ndak akan ada ceritanya Ibuk mau nikahkan mereka!" kata Marini."Sudahlah, Buk. Itu aib Maya, jangan diungkit lagi kasian dia di kubur," kata Pak Roslan. "Sudahlah, memang sudah tabiatnya begitu. Biarkan sajalah," kata Pak Roslan.Mereka hanya maklum saja.Sementara itu di dapur, Ayu dan Sita sedang sibuk membantu ibunya memasak. Tentu hanya Dea yang memasak, sedangkan Ayu dan Sita lebih banyak bermain. Mereka tampak bahagia.Tiba-tiba saja tengah-tengah memasak, seorang wanita terburu-buru masuk ke rumah Pak Roslan dan memanggil-manggil nama Dea. Perempuan itu bahkan lupa memberi salam, mungkin saking paniknya."Dea! Dea!"Dea yang mendengar itu buru-buru melepaskan pekerjaannya dan menghampiri suara tersebut. Ternyata dia adalah tetangga mereka yang tinggal di ujung gang sana."Ya Allah Dea, ya Allah Dea, tolong Mak Cik Dea. Tolong Makcik!" cecar orang tersebut sembari memegang lengan Dea dan meremasnya.Orang yang memanggil dirinya dengan sebutan Makcik itu menangis, air matanya bercucuran. Kondisinya juga semrawut, jilbabnya terbalik mungkin karena terburu-buru memasangnya."Kenapa Makcik? Kenapa?" tanya Dea. "Cerita dulu, tarik napas dulu Makcik!" cecar wanita itu.Marini mengambilkan orang tua itu air minum dan Makcik menenggaknya sekaligus. Dia tak habis pikir apa yang membuat Makcik begini? Berlari dari rumahnya di ujung sana lumayan jauh. Hal mendesak apa sampai dia begini? Pikir Marini dan Roslan."Keponakan Makcik, si Suci. Dia lagi di rumah ibunya, sekarang mau melahirkan, dia susah melahirkan, Nak. Tolong ya Allah, bantulah dia, Nak. Kasihan dianya," cecar Makcik. Air matanya mengalir bersamaan dengan peluh di wajahnya.Dea gugup dan tidak tahu harus mengatakan apa, karena dia sendiri bukan dukun beranak atau bidan."Dea ... Dea harus ngapain Makcik? Dea bukan dukun beranak, Dea juga bukan bidan," kata Dea."Bidan dan dukun sudah nyerah. Bidan mau rujuk ke rumah sakit, tapi suaminya bilang gak keburu. Tolong dilihat dululah, Nak. Siapa tau dari tangan kamu Suci bisa lancar malahirkan. Dia ini hamil barengan Maya, Makcik takut terjadi apa-apa sama Suci! Tolonglah, Nak! Kamu kan kemarin nolong ngeluarin anak si Maya, kali ini tolonglah Suci!" ujar Makcik berkaca-kaca.Dea ragu, bagaimana jika dia tidak bisa? Dia bukan tenaga kesehatan. Apa yang harus Dea lakukan?Pagi itu, kabut tiba-tiba datang menyelimuti Desa Kunti. Tepat di erangan pertama suara Suci yang mencoba berjuang melahirkan bayinya. Mentari yang cerah seolah-olah menghilang ditutupi kabut misterius yang mendadak timbul. Sebuah cahaya merah menari-nari di atap rumah Suci dan suara tawa wanita menggema dari lereng bukit.Apakah yang sebenarnya terjadi?"Bunuh anak ini, Nak. Dia akan mengacaukan segalanya di masa depan. Seperti saya, mungkin Farizi pun akan kembali ke desa ini suatu saat dan membangkitkan iblis itu. Bunuh dia, Nak." Nek Saidah memohon sembari menggenggam tangan Dea. "Jangan lakukan kesalahan seperti kakek buyutmu. Dia menolak membunuh saya padahal dia tahu saya akan jadi malapetaka," katanya kemudian.Dea terdiam dan menatap wanita tua itu. Dari raut wajahnya, dia begitu memerlukan pertolongan. Wajah pucat dan keriput itu begitu memprihatinkan. Dea kasihan padanya. Namun sesaat dia tersadar kalau semua ini tidak benar."Bayi yang suci dan tidak berdosa ini bukanlah penyebab kutukan itu kembali." Suara seseorang berbisik di telinga Dea. "Jangan tertipu bujuk rayu setan!"Dea mengambil Farizi dan menggendongnya. "Mungkin saya harus kembali ke ruang tamu, Mbah. Saya sudah selesai," kata Dea.Wanita itu ingin berlalu, tetapi Nek Saidah menggenggam pergelangan tangan Dea. Wajahnya ber
Dea menarik pegangan kursi roda nenek Saidah dan mendorong perempuan tua itu menuju kamar Farizi. Rumah kuno ini sangat luas. Sebelum menuju kamar keponakannya, Dea melewati lorong dengan banyak kamar di dalamnya. Padahal mereka hanya beberapa orang, tetapi kenapa banyak sekali kamar?Wanita itu juga melewati dapur, ada Dewi dan Uni yang sedang bekerja di dapur. Saat Dea dan nenek Saidah melewati mereka, kedua perempuan itu hanya menatap dengan tatapan kosong."Mereka berdua tidak menikah, makanya masih tinggal dengan saya," kata Nek Saidah kepada Dea."Maaf, Mbah, Pak Sopian dan Pak Bejo juga?" tanya Dea ingin tahu."Iya," kata Saidah.Keduanya melewati dapur dan menuju kamar Farizi. Sesaat kemudian sampailah mereka di sana. Farizi sedang tertidur di kasur ketika Dea sampai. Anak itu tampak begitu pulas dan tenang.Dea duduk di kasur dekat Farizi dan memandangi bayi tersebut."Kasian dia, ibu bapaknya sudah berpulang."
Hari itu adalah hari yang sangat mengejutkan dan mengubah hidup banyak orang, termasuk Dea dan keluarganya.Setelah tidak sadarkan diri selama satu minggu di rumah sakit sejak operasi karena tusukan pisau itu, Dea akhirnya bisa kembali ke rumahnya.Tentu saja Zuhal dan para warga kampung tidak tinggal diam. Mereka sudah melaporkan Tarman jauh-jauh hari ke polisi, tetapi semuanya terlambat. Lelaki itu ditemukan gantung diri di kamarnya sehari setelah menusuk Dea.Polisi tentu saja menanyai keluarga tersangka, tetapi tidak mendapatkan apa pun. Tarman sendiri tidak meninggalkan surat, catatan, dan rekaman apa pun tentang kenapa dia menusuk Dea. Polisi tidak tau dan tidak bisa menyimpulkan apakah itu dilandasi oleh dendam kesumat atau sebagainya. Keluarga Tarman juga tidak memberikan penjelasan yang kongkrit. Jadi, kasus itu ditutup begitu saja karena tersangka bunuh diri.Sementara itu, setelah pulang, Dea dijaga betul oleh Zuhal dan keluarganya. Mer
Dea mendekat, diikuti sang pemuda. Banyak warga berkumpul di sana, tetapi tidak ada satu pun yang bergerak untuk memadamkan apinya.Dea panik melihat itu, dia begitu gusar sehingga menyuruh pemuda yang mengaku sebagai qorin kakek buyutnya itu untuk membantu."Siapa tahu ada warga di dalam," kata Dea.Pemuda itu tak menggubris Dea, dia memandangi wanita itu dengan tatapan yang tidak bisa Dea artikan. Wanita tersebut lantas tidak menyerah, dia memberitahu warga desa yang ada di sana untuk menolong. Namun, teriakannya bagaikan suara tak kasat mata Begi mereka. Tidak ada satu pun yang bergerak ketika Dea berteriak."Percuma, mereka tidak akan mendengar suaramu," kata pemuda itu.Dea diam, lantas menyadari kalau saat ini yang dia lihat adalah semu semata. Wanita itu akhirnya menyerah dan memilih menyaksikan kebakaran tersebut bersama yang lainnya.Saat itu Dea melihat seorang pemuda yang begitu mirip dengan orang yang mengaku qorin ka
Dea mencoba meraih portal itu, dia mengulurkan tangan dan ingin menjangkaunya. Detik berikutnya, kaki Dea mengambang dan perlahan-lahan tubuhnya terangkat.Dea tersenyum, perasaannya bahagia sekali. Aura teduh dan menenangkan yang datangnya dari portal itu membuat Dea ingin segera memasukinya. Namun mendadak, sebuah tangan terasa menggenggam pergelangan kaki Dea.Otomatis Dea melihat siapa yang mengusik dirinya. Ternyata seorang pemuda tampan berpakaian serba putih tengah tersenyum padanya.***Dea berjalan keluar dari gedung yang menurut Dea tampak seperti rumah sakit itu didampingi oleh pemuda yang tadi menahannya memasuki portal.Sejak tadi keduanya hanya diam. Dea tidak bertanya apa pun, pemuda itu juga tidak mengatakan sebarang kalimat. Dea pun berpikir kenapa pemuda itu menariknya? Apakah Dea mengenalinya? Orang-orang tidak melihat keberadaan Dea, tetapi kenapa pemuda itu bisa melihat dan menyentuhnya?"Bukan waktumu untuk
Marini dan Pak Roslan pergi ke sawah, sedangkan Sita dan Ayu di rumah Aini. Zuhal pergi entah ke mana setelah zoom meeting tadi pagi. Hari ini wanita itu memasak jantung pisang lodeh dengan sambal terasi dan ikan goreng. Tak lupa dia membuat kue untuk makan keluarganya. Saking seringnya memakan makanan buatan Dea, Zuhal dan anak-anaknya sangat sehat. Marini yang walaupun masih kurang suka terhadap menantunya pun tidak memungkiri kalau masakan Dea sangat enak. Perempuan itu jadi suka makan ketika sang menantu tinggal di sini. Sementara Dea, seperti kebanyakan ibu rumah tangga biasa, sangat senang kalau anggota keluarganya menghabiskan semua makanan yang dia buat. Wanita itu seolah tak kehabisan akal mengolah hasil kebun yang selalu dia dapatkan dari warga desa. Kebetulan para warga yang bersawah dan berkebun sering lewat di depan rumah Pak Roslan, karena jalan ke kebun ya lewat situ saja. Warga desa sering memberi hasil kebun buah Dea. Mereka sangat mengagumi Dea
Dea berpikir ada benarnya juga. Namun larangan dari suami Ningsih ditambah gunjingan serta pandangan tuduhan dari warga membuat dia tak berani maju. Zuhal menghampiri istrinya dan mencoba menahan Dea. Bisa jadi masalah jika Dea tidak mengindahkan. Sebagai gantinya, Zuhal meminta Pak RT untuk bermufakat dengan pejabat desa setempat agar membujuk keluarga Ningsih. Keluarga Ningsih dan Prayitno juga terpecah menjadi dua. Ada yang setuju membiarkan Dea menolong, ada yang tidak."Kubur aja, anaknya sudah meninggal. Mungkin itu cuma kebetulan!" seru salah seorang ibu-ibu."Gimana kebetulan, Cu? Coba Cu lihat sendiri, janinnya masih gerak! Lihat!" kata Intan sembari menunjuk ke jenazah Ningsih. "Kalian semua nggak mikirin itu permintaan tolong dari sang bayi! Nggak mikir kalian?" pekik gadis itu. Semua yang ada di sana terdiam. Dea kagum melihat Intan yang masih muda tetapi sangat pemberani. Sejak tadi hanya gadis itu yang memihaknya. Dea pun tidak bisa bicara b
Wajah Dea memucat, jantungnya seolah berhenti Dea terkejut saat Mbah dengan kasar menepis tangannya."Mbah, kenapa?" tanya Dea.Mbak Menik menangis, air mata berjatuhan di wajah keriputnya. "Kalau kamu ndak menyarankan ke rumah sakit, pasti Ningsih masih ada sekarang," kata perempuan itu sembari menunjuk muka Dea.Dea gemetaran, sendinya seketika lunglai. Wanita itu tidak menyangka Mbah Menik akan menyalahkan dirinya. Apakah dia memang benar-benar bersalah atas kematian Ningsih? Apa kesalahannya sesungguhnya? Batin Dea. Wanita beranak dua itu bingung ingin merespon masalah ini ini dengan cara apa."Maafkan Dea, Mbah. Sa-saya pikir kalau di rumah sakit, Ningsih akan bisa melahirkan. Lagian Dea bukan dukun bera .....""Pikar, piker! Katanya jenengan itu bisa bantu orang susah beranak. Ngapain ke rumah sakit kalau jenengan bisa. Jangan-jangan ilmu jenengan cuma bualan aja!" maki Mbah Menik.Dea gemetaran, air matanya mulai menggenan
Mbah yang sudah sepuh itu akhirnya mengangguk melihat ketulusan dalam hati Dea. Kemudian dia berkata, "Sing dicoba ya, Nak?"Dea mengangguk. Wanita itu lalu menyuruh pemuda yang tadi untuk mengangkat Ningsih. Dibantu Zuhal, mereka membawa Ningsih ke mobil menggunakan tandu. Sebelum pergi, Dea menyuruh Ningsih meminum air yang telah diberikan. Tak lupa botol itu pun dia bekalkan untuk Ningsih. Di dalam mobil sudah ada anak Pak RT, Mbah Menik, dan juga pemuda tadi. Mereka berangkat begitu semuanya selesai. Rumah gubuk itu terlihat sepi rumah seiring dengan kepergian semua penghuninya. Dea menutup pintu rumah dan bersiap untuk pulang. Pak RT sudah mendahului tadi, katanya mau mengabari RT setempat tentang kepergian warganya ke rumah sakit. Sekaligus mengurus surat keterangan tidak mampu yang diminta oleh Mbah tadi. Dea dan Zuhal pun naik ke motor untuk berangkat pulang. Di perjalanan, mereka mengobrol sedikit."Adek mau bicara sama siapa