Jam istirahat Amanda meminta Benny kembali ke tempat duduknya, tapi Benny menolak dengan alasan ternyata duduk sebangku dengan pacar sendiri itu menyenangkan. Dan Benny tidak pernah mau pindah. Membuat Amanda kesal.
"Ben, lo gimana, sih? Tempat lo itu kan di belakang, ngapain lo mau dudukin bangku gue? Ngaak. Gue nggak mau. Pokoknya lo harus pindah ke belakang. Gue nggak mau duduk sama cowok freak itu." Amanda membicarakan Alvan tidak peduli walaupun cowok itu masih duduk di bangkunya. 'Sebodo amat!' Pikir Amanda. Alvan juga tampaknya nggak peduli. Dia memilih untuk bangkit dan pergi keluar kelas, melewati Amanda dengan sikap cueknya. Amanda melirik sinis ke arah perginya Alvan, kemudian kembali beralih ke Benny menyelesaikan masalahnya. "Nggak mau." Benny bersikeras. "Gue udah ngerasa cocok duduk di bangku ini, Man. Udah sayang dan lengket banget sama bangku ini. Tahu gini, kenapa nggak dari dulu aja gue duduk di sini dan lo duduk di belakang." "Banyak omong lo. Cepet sana pindah ke belakang!" Amanda menarik-narik tangan Benny yang mempunyai ukuran sebesar lengan anak balita itu. Tapi Benny tetap bertahan, bahkan dia memeluk mejanya seperti memeluk pacarnya. "Nggak mau. Lagian kenapa sih, lo duduk di belakang? Di belakang tuh enak kali, Man. Kalo lo ngantuk, lo bisa tidur tanpa diketahui sama guru. Gue udah praktekin selama dua tahun terakhir. Percaya deh, sama gue." "BENNY!" Amanda mulai kehabisan kesabaran. "Lo pindah, gih! Gue nggak mau duduk sama cowok sengak dan nyebelin kayak gitu." "Namanya juga baru kenal, Man. Ntar lama-lama lo juga terbiasa, kok. Pokoknya gue nggak mau pindah tempat duduk. Nggak peduli bakalan ada gempa bumi, tsunami, atau meteor jatuh sekali pun gue nggak bakal pindah dari samping Natasha." Benny benar-benar serius dengan ucapannya. Amanda sudah melepas sepatunya untuk memukul Benny, tapi melihat ada Natasha di sana membuat Amanda tidak jadi memukul Benny dengan posisi tangan di atas memegang sepatunya. Lalu dengan kesal Amanda memakai lagi sepatunya dan pergi setelah melempar tatapan sebal pada Benny dan juga Natasha yang tidak membelanya sama sekali. "Ben, lo yakin Amanda nggak bakal marah sama kita?" Natasha tampak khawatir dengan sikap Amanda. "Tenang aja, Sayang. Pasti dia sebenernya juga pengertian kok, kalo kita ini emang pasangan serasi se SMA Kasuari yang nggak bisa dipisahkan oleh apa pun. Hehehehe .... " "Mulai lagi deh, lebay-nya." Benny cuma tertawa saja. "Eh, kita ke kantin, yuk. Laper, nih." * Dalam sekejap saja kehadiran Alvan di sekolah sudah menjadi 'idola' para cewek di sana. Saat dia makan sendirian di kantin aja langsung dikerubutin banyak cewek yang ikutan duduk di meja yang sama dengan Alvan. Mereka terlihat sangat senang melihat cowok ganteng di sekolah mereka, masih baru pula. Pastinya masih fresh untuk didekati. Tapi apa Alvan termasuk ke dalam golongan cowok-cowok yang mudah didekati? Tentu saja tidak. Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh cewek-cewek itu, tapi apa tanggapan Alvan? Cuek. Dan berbagai pertanyaan yang ditanyakan cewek-cewek itu kira-kira seperti ini .... "Eh, lo murid baru, ya? Nama lo siapa? Kenalan, dong." "Lo anak kelas apa? Gue denger lo masuk ke kelas 12 IPA 2, ya? Wah, sayang banget harusnya lo masuk IPA 3 aja." "Lo pindahan dari SMA mana? Dari luar kota, ya? Kenalan, dong." "Hobi lo apa? Kalo dilihat-lihat kayaknya lo hobi main bola, ya? Ajarin gue, dong. Gue nih paling payah sama yang namanya main bola." "Lo lebih suka makan gado-gado apa bakso? Kalo gue lebih suka bakso yang agak-agak pedes gitu. Gimana kalo kapan-kapan gue traktir lo makan bakso? Gue tahu tempat yang bagus dan enak." "Kulit lo putih banget, sih? Lo selalu ngelakuin perawatan, ya? Atau emang udah bawaan lahir? Jarang banget ada cowok yang kulitnya putih." Kira-kira semacam itu lah pertanyaan-pertanyaan tidak penting yang diterima Alvan dari para cewek yang mengerubutinya. Sementara yang ditanya malah cuek-cuek bebek sambil melanjutkan makannya. "Kalian nggak bisa diem bentar aja?" tanya Alvan dengan dinginnya tanpa melihat mereka sedikit pun, masih lebih memilih memandangi bakso yang dia makan. "Berisik banget dari tadi? Kalo mau ngegosip jangan di sini." GRRRRR .... Ucapan Alvan yang menyebalkan itu jelas membuat para cewek langsung kesal. Gimana tidak kesal coba, udah disamperin baik-baik malah diusir. Mereka pun berdiri bersamaan dengan wajah kesal. Bahkan ada salah satu dari mereka yang sampai menggebrak meja saking kesalnya dengan sikap Alvan. "Eh, lo anak baru nggak usah sok ganteng, deh," seru salah seorang cewek yang kesal dengan sikap Alvan yang menjengkelkan dan mengabaikannya itu. "Kalo sikap lo kayak gini, jangan harap lo bakalan dapet temen di sekolah ini. Udah yuk, cabut." Cewek itu member aba-aba pada gengnya untuk pergi meninggalkan Alvan. Alvan tampak tidak peduli saat gerombolan cewek itu pergi meninggalkannya. Justru dia senang karena dia bisa makan dengan tenang tanpa mendengarkan celotehan tidak penting dari mereka. Bahkan Alvan juga tidak peduli dengan tatapan aneh dari teman-teman yang lain yang berada di kantin itu. Mereka juga sempat berbisik-bisik sambil melirik-lirik ke tempat Alvan. Tidak perlu banyak berpikir, mereka semua pasti membicarakan Alvan. Tapi bagi Alvan semua itu tidak menjadi masalah sedikit pun. Dia sama sekali tak peduli. Benny dan Natasha sampai di kantin dengan kedua tangan masing-masing memegang sebuah nampan berisi makan siang pesanan mereka. Tapi tidak menemukan Amanda di sana. "Lho? Si Amanda nggak ada di kantin, ya?" Kedua mata Benny menyapu seluruh kantin untuk mencari sahabatnya itu, tapi bukannya menemukan Amanda, dia malah menemukan Alvan yang sedang duduk sendirian. Natasha ikutan mencari Amanda. "Tahu, tuh. Nggak biasanya dia nggak ke kantin pas istirahat. Dan lebih nggak mungkin juga dia ke kantinnya anak-anak kelas 10 dan 11. Jangan-jangan dia beneran marah lagi sama kita, Ben." Tapi kelihatannya Benny tidak begitu mendengarkan apa yang dikatakan pacarnya itu, pandangannya fokus ke tempat Alvan dan dia sedang berencana untuk duduk bersama Alvan. "Sayang, kita duduk di sana, yuk." Natasha pun mengikuti kemana Benny mengajaknya. Mereka sampai di tempat Alvan makan dan Benny langsung menyapanya dengan tampang riangnya. "Hai, Van," sapa Benny yang langsung mengambil posisi duduk di depan cowok itu. Natasha duduk di sebelah Benny. Dia tidak menyangka saja, Benny akan mengajaknya makan bersama Alvan. Tapi Natasha juga ingin tahu seberapa menyebalkannya sih, cowok itu sampai-sampai membuat Amanda kesal setengah mati.“Tapi kalo menurut gue, lo nggak harus ngelakuin itu. Sekeras apa pun usaha lo buat bisa bikin semua orang benci sama lo, semuanya nggak akan ngaruh karena tiap orang berhak buat disayangi. Termasuk juga lo.”“...”“Buktinya aja, mama tiri lo yang nggak lo sukai pun tetep sayang sama lo. Papa lo meskipun menyimpan rahasia yang menyakitkan dan mendapat perlakuan kasar dari lo, tetep sayang sama lo. Arga, yang nggak pernah lo sayangi pun tetep sayang juga sama lo. Itu semua bukti kalo lo itu emang pantes buat disayangi. Lo nggak perlu ngelakuin apa pun buat bikin orang lain sayang sama lo atau ngelakuin sesuatu buat bikin orang lain benci sama lo.”“...”“Dan lo juga harus bisa membuka hati lo buat orang lain yang sayang sama lo. Sayangi mereka juga yang sayang sama lo, Van. Lo nggak bisa terus-terusan terpuruk dalam kesedihan dan rasa bersalah, karena apa yang dibilang Papa lo itu bener. Kewajiban orangtua adalah melindungi anaknya, bahkan mempertaruhkan nyawanya demi anak yang mereka
Awalnya Amanda mau bilang ‘nggak mau’, tapi setelah dipikir-pikir nggak ada ruginya juga menerima tawaran Alvan ini. Toh semua itu kan permintaannya Aldy.Semua hal yang berhubungan dengan Aldy sudah pasti terbaik buat Amanda. Amanda selalu percaya sama cowok itu hingga sekarang. Meskipun Aldy sudah tidak ada, tapi Amanda tetap percaya pada Aldy.“Mau gue jagain lo?” tanya Alvan lagi dengan wajah lebih serius dari yang tadi.Kelihatannya kali ini cowok itu tidak main-main.Amanda berpikir sejenak untuk tetap imejnya kemudian mengangguk setelah mendapat ide. “Oke, deh. Gue mau lo jagain. Asal...”“Asal?”Wajah tegang Amanda pun berubah santai dan lebih kalem. “Asal lo nggak boleh sakit lagi.”Alvan terdiam. Wajahnya mulai terlihat melunak mendengar ucapan Amanda.“Gimana? Sanggup nggak lo?”“Sanggup.”Alvan mengangguk mantap. “Lagian gue juga nggak suka sakit-sakitan terus. Capek.”Amanda tersenyum senang plus lega. “Bagus, bagus. Itu yang namanya anak yang baik,” ujarnya sambil mengus
Deburan ombak pantai kembali menjadi pemandangan satu-satunya yang bisa dilihat Alvan dan Amanda sore ini. Sudah seminggu yang lalu Alvan keluar dari rumah sakit dan baru hari ini mereka bisa keluar berdua. Karena Alvan masih harus banyak istirahat, Amanda tidak berani ngajak-ngajak keluar.Selain itu kalau Amanda buru-buru ngajak Alvan pergi, pasti tuh cowok langsung mikir yang tidak-tidak karena sebenarnya Amanda memang sengaja menunggu Alvan sampai sembuh.Suasana sore hari di pantai yang tidak pernah berubah. Angin bertiup dengan kencangnya dan matahari semakin meredup karena hari sudah mulai sore.Belakangan ini angin memang sedang semangat-semangatnya bertiup kencang, seperti hari ini. Dan Amanda yang menguraikan rambut panjangnya pun kerepotan karena tiupan angin terus mengibar-ngibarkan rambutnya sampai berantakan tidak karuan.Amanda pun merogoh-rogoh saku celana sambil ngedumel sendirian dan kemudian mengikat rambutnya asal-asalan. Tidak apa-apa acak-acakan yang penting tida
Amanda membawa Alvan ke taman rumah sakit. Di taman itu mereka bisa menikmati pemandangan yang jauh lebih menyenangkan daripada di dalam ruang ICU, banyak tanaman bunga yang sedang mekar dengan indah.Buat Alvan juga sekalian nyari hiburan setelah seminggu lebih terkurung di dalam ruang ICU yang pengap dan menakutkan itu.“Apa lo sering dateng ke sini?” tanya Alvan membuka percakapan karena sejak tadi mereka cuma diam-diaman tak jelas.“Hah?” Amanda sempat kaget dan linglung. “Kenapa emangnya lo pengen tahu?”“Ya jelas gue pengen tahu,” jawab Alvan jutek. “Kenapa emangnya kalo gue pengen tahu?” Alvan balik bertanya.Cowok itu memang paling bisa membalikkan pertanyaan dan membuat Amanda mati kutu seperti sekarang ini. “Iya. Gue sering ke sini. Kenapa emangnya?”“Mau ngapain lo sering dateng ke sini? Nyapu halaman apa bantuin tukang kebun buat motong rumput?”GRRRR ....'Nih cowok meskipun sakit begitu tetap saja berhasil membuat Amanda gondok. Sifat menyebalkannya masih tetap sama.'Da
Setelah pulang sekolah, Amanda melakukan kegiatan rutinnya selama seminggu ini yaitu mengunjungi Alvan ke rumah sakit. Seperti hari biasanya juga Amanda datang dengan membawa buah-buahan segar berupa anggur merah kesukaan Alvan. Mama Alvan sempat cerita kalau Alvan paling suka sama anggur merah dan Amanda selalu datang membawakan yang segar dengan harapan saat cowok itu bangun akan merasa senang ada makanan kesukaannya.Dengan senyuman mengembang, Amanda berjalan sambil sesekali mengintip kantong plastik putih yang dibawanya. Di dalam kantong plastik itu terdapat satu kilogram anggur merah.Amanda membuka pintu ruang ICU dengan wajah ceria, karena dia sudah berjanji tidak akan menangis lagi saat mengunjungi Alvan seperti waktu pertama kali dia datang. Amanda sudah berhasil melakukannya selama beberapa hari ini.“Van, gue dateng.”Namun keceriaan Amanda sirna saat melihat ternyata ruangan itu kosong dan tempat tidurnya juga bersih tanpa ada Alvan di sana. Membuat Amanda bingung dan jug
Amanda pulang dari rumah sakit larut malam. Dia merasa capek banget dan juga ngantuk. Tubuhnya lemah karena terlalu lama menahan rasa kantuknya, bahkan tadi dia juga sempat tertidur sebentar di dalam taksi saat perjalanan pulang.Amanda tidak sanggup berjalan ke lantai dua untuk tidur di kamarnya, dan dia pun pasrah dengan menjatuhkan tubuhnya di sofa ruang tamu. Amanda tertidur dengan posisi miring dan memeluk bantal sofa.Belum sampai sepuluh menit Amanda tenggelam dalam alam tidurnya, dia sudah tiba di alam mimpinya.Amanda seperti berada di sebuah taman bunga yang indah banget dengan tanaman bunga mawar merah mengelilingi tempatnya berdiri saat ini. Amanda baru menyadari kalau dia memakai baju putih-putih dan saat dia menengadahkan kepalanya ke atas, dia melihat kabut tebal di atas kepalanya. Entah apa yang ada di atas kabut tebal itu.Langit? Bisa jadi.Karena dengan ketebalan seperti itu, tidak ada celah sedikit pun untuk Amanda bisa melihat apa yang ada di atas kabut tersebut.