Share

Bab 8

Author: Nyi Ratu
last update Last Updated: 2025-09-17 17:38:12

Anin tertawa, lalu menutup kembali bungkusan itu dan pamit pada mertuanya. "Mi, Pi, aku berangkat ya. Maaf enggak bisa nemenin makan."

"Iya, Sayang, enggak apa-apa. Kamu diantar sopir aja ya," ujar Mami Riyanti penuh perhatian. Walaupun sedikit barbar, ia tahu menantunya itu gadis yang rajin dan pekerja keras.

"Aku naik motor aja, Mi, biar cepet. Udah waktunya makan siang, kasihan Kakak nunggu lama," jawab Anin sambil mencium tangan Mami Riyanti.

"Kak Rey, aku pergi ya." Anin menepuk bahu suaminya.

"Istri songong!" bentak Rey. "Bukannya salim, malah mukul."

"Iya, aku lupa!" Anin tertawa. Ia meraih paksa tangan Rey, menciumnya berkali-kali.

"Lepasin!" Rey menarik tangannya dengan paksa.

"Kenapa sih? Enggak dicium marah, dicium juga marah. Aneh kamu mah," gerutu Anin, menahan senyumnya. "Aku pamit, suamiku. Mungkin aku bakal pulang telat lagi."

"Enggak usah pulang sekalian," kata Rey sinis.

"Ya sudah aku enggak pulang biar Kak Rey senang." Anin melambaikan tangan. "Selamat tinggal, Kak."

'Pake acara selamat tinggal, memangnya dia mau mati,' gumam Rey dalam hati, menatap sinis Anin yang sudah pergi.

Anin melaju dengan motor sport hijau kesayangannya. Gadis seksi yang tomboi itu memang lebih suka naik motor daripada mobil pemberian Mahendra.

Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai di restoran Mahendra. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung menerobos masuk. "Kakak!" teriaknya.

"Enggak usah teriak, Nin, Kakak juga dengar," sahut Mahendra, menutup berkas laporan keuangannya. Ia menghampiri Anin yang sudah duduk di sofa.

"Kak, aku masak resep baru. Cobain, deh!" Anin menaruh ikan bakar itu di piring.

Mahendra mencicipi masakan adiknya. "Gimana, Kak?" tanya Anin, menunggu reaksinya.

"Masakanmu selalu enak, Sayang," puji Mahendra sambil mencubit hidung mancung adiknya.

"Pastinya dong. Adik siapa dulu," jawab Anin sombong.

Mereka makan siang sambil mengobrol. Sejak Anin menikah, Mahendra memang jarang bisa menghabiskan waktu dengan adik kesayangannya.

"Nin, gimana rasanya punya suami?" tanya Mahendra, tersenyum menggoda. Ia melihat adiknya tampak bahagia.

"Seru, Kak. Ada teman berantem," jawab Anin, tergelak. "Kak Rey baik kok, dia enggak pernah macem-macem. Jadi, aku enggak khawatir walau tidur satu ranjang sama dia."

Mahendra menepuk jidatnya. Ia bingung harus menasihati adiknya bagaimana. "Kamu harus jadi istri yang baik ya," katanya sambil mengelus rambut Anin. 'Aku enggak perlu memaksakan mereka. Aku yakin, lambat laun mereka akan terbiasa bersama,' batinnya.

"Kak Rey enggak suka sama aku, Kak," ujar Anin.

"Nanti dia juga bakal klepek-klepek. Siapa sih yang enggak terpesona sama adikku yang cantik ini?" Mahendra mengacak-acak rambut adiknya.

"Itu pasti, Kak," Anin tertawa. "Aku pastikan dia yang akan mengemis cinta lebih dulu."

"Ini baru adikku," kata Mahendra sambil mengacungkan jempol.

"Kak, aku ke kafe dulu, ya. Aku belum dapat manajer baru. Tyas juga harus mondar-mandir ke Bandung. Kafe kami di sana lagi berkembang pesat. Aku sama Tyas benar-benar sibuk," kata Anin, mencium pipi kakaknya. "Aku pamit, ya."

"Hati-hati! Jangan kebut-kebutan," pesan Mahendra sambil mencium kening Anin.

"Siap, Bos!" Anin mengacungkan jempol.

Anin segera menuju Diras Cafe. Meskipun lelah, ia tetap semangat demi cita-citanya.

Sesampainya di kafe, ia memarkirkan motor dan langsung masuk, duduk bersandar di samping Tyas. "Mentang-mentang pengantin baru, datang seenaknya," ledek Tyas. "Habis tempur, ya?"

"Habis tempur di dapur. Tadi masak ikan bakar buat menu baru di restoran kakak," jawab Anin.

Tyas mengangguk. Ia mendorong pelan bahu sahabatnya. "Gimana malam pertama lu? Cerita dong! Biar gua sama Farel punya persiapan. Alat bantu atau tempat yang enak buat 'nganu' tuh di mana?"

"Alat bantu apa?" Anin menjauhkan wajahnya dan menoyor dahi Tyas. "Si Farel kan udah punya alat tempur, ngapain pakai alat bantu? Emang engkong-engkong harus pakai alat pendukung?"

"Alat pendukungnya apa?" Tyas mengerutkan kening.

"Kali aja perlu alat bantu dorong," jawab Anin, terbahak-bahak. "Mungkin aja si Engkong udah enggak kuat nyangkul."

"Nggak bisa bayangin kalau gua malam pertama sama engkong-engkong. Nanti gua lagi menggebu-gebu, si Engkong kehabisan baterai." Tyas ikut tergelak.

"Parah lu!" Anin menoyor kepala Tyas. "Membayangkan bercinta tuh sama artis yang ganteng, macho, keren, lah lu... sama engkong-engkong."

"Tapi, kan, engkong-engkong udah berpengalaman. Siapa tahu Farel malah kalah saing," kata Tyas serius. "Pusakanya kusut juga enggak sih?"

"Mana gue tahu..." Anin bangkit, tapi Tyas menahan tangannya.

Tyas tidak melepaskan genggaman tangannya. "Ayo dong, Nin, cerita malam pertama lu sama Kak Rey!" paksa Tyas, "bagi-bagi pengalaman, jangan pelit ilmu."

"Dih, maksa banget sih nih bocah." Anin melepas tangan Tyas dari tangannya. "Malam pertama gue sukses." Ia mengedipkan mata, tersenyum centil.

"Yang bener lu? Udah jebol dong tuh gawang?" Tyas menyenggol bahu Anin. "Berapa kali gol?"

"Sukses bikin dia kesal." Anin terbahak-bahak, membuat Tyas jengkel.

"Lu belum...?" tanya Tyas, menyatukan ujung kedua telunjuknya. "Begini nih."

"Gue mau ngelakuin itu kalau dia udah cinta sama gue," jawab Anin, menaikkan kakinya ke atas sofa, "gimana rasanya ngelakuin gitu karena terpaksa atau dipaksa. Amit-amit dah." Anin mengedikkan bahunya.

"Kenapa amit-amit? Lu kan istri sahnya. Kalau dia minta haknya sekarang, gimana? Kalau nolak, dosa besar, lu!" sergah Tyas, duduk bersila menghadap Anin.

"Dia enggak pernah tertarik sama gue. Kita enggak pernah akur, tapi lumayan lah ada teman berantem. Jadi gue enggak kesepian." Anin menyandarkan kepalanya ke pinggiran sofa.

"Nin... siapa yang mau gantiin Bang Toni ya?" Tyas akhirnya mengalihkan pembicaraan ke topik serius. "Kita nggak bisa handle semua kerjaan. Lusa gua harus ke Bandung," katanya sambil memijat pangkal hidungnya.

"Ish... bukannya Bang Rizky lagi nganggur?" Anin menepuk bahu Tyas. Teringat kakak kandung Farel, calon suami Tyas.

"Bang Rizky? Calon kakak ipar gue?" tanya Tyas. "Disuruh ngurus usaha keluarganya aja dia enggak mau, apalagi cuma jadi manajer kafe."

"Ya, kali aja kalau lu yang minta, dia mau kerja di sini." Anin mengangkat alisnya sambil tersenyum. "Lu coba dulu."

Tyas bangkit. "Gue pulang duluan, ya." Ia mengambil tasnya, tidak mendengarkan ocehan Anin lagi.

"Ya udah, gue juga mau pulang." Anin meninggalkan Tyas yang sedang bersiap-siap.

"Sialan! Kenapa jadi dia yang pulang duluan?" Tyas menyusul Anin, ia segera menginjak gas mobilnya. "Ke mana tuh anak? Udah enggak kelihatan, pasti kebut-kebutan lagi."

Di tengah perjalanan, Tyas mengerem mobilnya. Ada kerumunan orang di pinggir jalan, dekat warung kopi. Penasaran, ia melihat motor sport hijau yang sangat dikenalnya.

"Permisi, Pak... permisi...!" Tyas menerobos kerumunan. Dilihatnya seorang gadis memegangi tangannya yang berdarah. Darah segar menetes dari kepalanya yang masih memakai helm.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 155

    Beberapa minggu kemudian. “Sayang, perutmu besar banget.” Rey mengusap-usap perut sang istri.“Anak kita ‘kan dua,” jawab Anin, “Mama katanya mau ke sini. Dia mau nginep.” Anin mengusap-usap rambut sang suami yang sedang menempelkan kepala di perutnya.“Mereka gerak, Sayang. Mereka tahu aroma tubuh ayahnya yang ganteng ini,” ucap Rey sambil memegang perut Anin yang bergerak.“Mereka nggak mau dekat ayahnya yang bau belum mandi,” ucap Anin sambil memencet hidungnya.“Nggak mandi juga udah ganteng bingit,” sahut Rey sambil mencolek hidung sang istri.“Sudah sana mandi dulu!” Anin mendorong pelan suaminya untuk menjauh.“Entar dulu, Sayang. Aku ‘kan habis olahraga, masih keringetan.” Rey kembali mendaratkan bibirnya di perut sang istri.“Emangnya kamu nggak kerja?” tanya Anin sambil melirik jam dinding di hadapannya.“Mulai hari ini sampai kamu lahiran, aku kerja di rumah,” jawab Rey sambil tersenyum.“Masih seminggu lagi,” jawab Anin, “Terus kalau ada meeting gimana?” imbuhnya.“Itu ur

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 154

    “Ada apa ini?” Rey bertanya, mendorong badannya menembus kerumunan orang yang memadati pintu depan.Anin berlutut di sebelah seorang pria. “Vin, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Anin, suaranya bergetar saat melihat goresan merah memanjang di lengan pria itu.“Ini ada apa, Sayang? Arvin kenapa?” Rey segera menghampiri. Matanya menyapu sekitar. Di sana, Beny terlihat sedang menggenggam erat pergelangan tangan seorang wanita. Tanpa basa-basi, Beny menarik lengan wanita itu ke belakang, lalu dengan cepat mengikatnya dengan tali.“Maaf, Bos, saya telat,” ucap Beny, napasnya memburu, raut wajahnya menunjukkan penyesalan mendalam.“Bawa dia ke kantor polisi!” perintah Rey, suaranya dingin dan tegas.“Seperguruan nih sama Cintya,” ujar Rizky sambil menunjuk Momoy yang kini terikat.“Cintya siapa, Bang?” tanya Tyas, matanya membesar penuh rasa penasaran.Rizky terlihat gelagapan. “Nanti aku cerita, tapi sekarang aku mau bawa dulu nih kuntilanak ke kantor polisi.” Rizky segera mengalihkan perhat

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 153

    Beberapa hari kemudian, Rey mengadakan syukuran rumah barunya. Semua tampak takjub melihat rumah baru Rey dan Anin.“Sayang, apa semua karyawanmu bakal datang ke sini?” tanya Anin.“Ya nggaklah, Sayang. Yang di sini aja yang aku undang, itu pun ada yang nggak bisa hadir,” jawab Rey, tangannya mencubit gemas pipi sang istri yang semakin membulat.“Iya, maksud aku juga gitu. Pegawai kantormu yang di sini.” Anin menepis tangan sang suami dari pipinya. “Sakit, tahu,” ucap Anin sambil mengusap-usap pipinya yang memerah.“Aku suka banget dekorasi rumahnya. Apalagi kamar ini.” Anin mengedarkan pandangan, matanya menyapu setiap sudut kamar yang terasa baru.“Biar kamu betah di kamar,” sahut Rey. Ia mendekat dan mengecup bibir Anin, hanya sekelebat.“Ih, Kak Rey!” protes Anin, bibirnya mengerucut. “Kok sebentar doang,” lanjutnya, wajahnya bersemu merah.Rey tertawa terbahak-bahak, suara tawanya mengisi ruangan. Ia memegang dagu Anin, menarik wajah itu mendekat, lalu kembali menempelkan bibirny

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 152

    “Apaan sih, Yang? Ngagetin aja!” sahut Anin. Gigitan buah kedondong muda yang separuhnya sudah masuk ke mulut mendadak terhenti.“Cuci dulu!” titah Rey. Ia melangkah cepat menghampiri sang istri.“Ini udah di cuci,” jawab Anin. Matanya kembali menatap kedondong, lalu ia melanjutkan makannya dengan gerakan rahang yang lahap.“Kamu belum makan.” Rey mengambil buah kedondong yang tinggal sepotong dari tangan istrinya.“Ini lagi makan,” jawab Anin, bibirnya maju beberapa senti karena kedondongnya dirampas sang suami.Bi Inah datang menghampiri Rey. “Den, ini kopinya sama pisang goreng. Bibi juga buatin buat Non Anin, Non Tyas, dan Den Rizky.”“Iya, Bi, terima kasih. Taruh aja di meja sana.” Rey menunjuk meja bundar di bawah pohon mangga.“Iya, Den,” jawab Bi Inah.“Mami bawa masuk ya buahnya.” Mami Riyanti masuk, tangannya menenteng keranjang anyaman penuh buah-buahan yang baru saja mereka petik.“Iya, Mi,” jawab Anin dan Tyas serentak.“Sayang, ayo kita duduk dulu.” Rey menarik lembut pe

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 151

    "Kamu kenapa, Rey? Seperti habis kesetrum?" Mami Riyanti bertanya, matanya melebar tak percaya melihat penampilan putranya. Rambut Rey mencuat ke segala arah, tak beraturan seperti sarang singa jantan yang marah."Gara-gara si Momoy." Rey menggumam, suaranya terdengar jengkel. Ia melewati sang Mami tanpa menoleh sedikit pun dan langsung menghilang ke dalam kamar mandi."Kapan si Momoy datang ke sini?" Mami Riyanti meninggikan suara, namun yang didapat hanya keheningan dari balik pintu kamar mandi. Mami Riyanti mendengus kesal. Ia melangkah masuk, menggerutu pelan, "Tidak sopan! Masa Maminya ditinggal begitu aja."Ia menghampiri ranjang, di mana Anin masih terlelap. Mami Riyanti tersenyum hangat, menatap wajah menantunya yang damai. Terima kasih ya Allah, sudah mengirimkan bidadari ke dalam keluargaku, batin Mami Riyanti, sambil mengusap lembut rambut Anin.Anin mengerjap, kelopak matanya terasa berat. Ia menyipitkan mata, mencoba fokus pada sosok di sampingnya. "Mami," suaranya serak,

  • Janji Sebelum Rasa   Bab 150

    Anin memasuki rumah, ia langsung merebahkan tubuhnya ke kasur. Sebuah helaan napas panjang yang terdengar berat keluar dari bibirnya. Baru saja ia dan Rey, suaminya, pulang setelah berkeliling kota demi mengantar undangan syukuran rumah baru mereka, dimulai dari kediaman Arvin."Bersih-bersih dulu," suara Rey tegas. Ia mendekat, meraih tangan Anin, lalu dengan lembut membantu istrinya duduk. "Setelah itu baru tidur.""Kak, aku capek banget, please, lima menit aja, mau rebahan dulu," rengek Anin, suaranya melengking manja. Sejak kehamilan ini, energi Anin seolah menguap, bahkan rutinitas seperti mandi pun sering ia lewatkan, puas dengan hanya sekali sehari.Rey menggeleng kecil, namun senyum geli tak bisa ia sembunyikan. Tanpa banyak bicara, ia mengangkat tubuh Anin. Ia menurunkannya tepat di depan wastafel kamar mandi. Setelah Anin mencuci muka dan menggosok gigi, Rey menyentuh kancing-kancing blus istrinya, membukanya satu per satu. Ia kembali menggendong Anin yang kini hanya dibalut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status