"Aaargh!"
Anin berteriak kaget saat membuka mata. Wajah suaminya, Rey, begitu dekat sampai ia bisa merasakan napasnya. Teriakan Anin membuat Rey terlonjak. "Berisik banget, sih! Pagi-pagi udah ganggu tidur aja," gerutu Rey sambil menutup telinganya. "Kak Rey modus, ya!" tuduh Anin, mendorong wajah Rey menjauh. "Yang modus itu kamu!" balas Rey sambil menahan senyum. "Kamu yang meluk-meluk aku." Anin melirik ke bawah dan langsung sadar kalau Rey benar. Kaki Anin menempel di kaki Rey dan tangannya memeluk erat tubuh suaminya. Merasa malu, Anin segera melepaskan pelukannya, lalu bergegas ke kamar mandi. Rey hanya terdiam, menahan tawa. "Lucu," bisiknya tanpa sadar. Beberapa detik kemudian, ia tersentak. "Apa yang aku pikirin? Istri songong, jorok, dan nyebelin gitu, apanya yang lucu?" Beberapa menit kemudian, Anin keluar dari kamar mandi. Ia sudah mengenakan kaus putih dan celana jeans pendek. Kakinya yang mulus dan jenjang terekspos, membuat Rey tak berkedip melihatnya. "Kenapa, Kak? Terpesona, ya? Baru sadar kalau punya istri secantik bidadari?" Anin memutar tubuhnya seperti model di depan Rey. "Cih, dasar kepedean," ejek Rey, lalu cepat-cepat masuk ke kamar mandi, menyembunyikan rasa malunya karena ketahuan terpesona. Tidak lama kemudian, Rey keluar dengan kaus putih polos dan celana abu-abu selutut. Rambutnya yang sedikit basah membuat ia terlihat sangat tampan. Anin terdiam, terpukau melihat suaminya. "Kenapa, liat-liat? Baru liat orang ganteng?" tanya Rey penuh percaya diri sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan jari. "Maaf, ya, Kak Rey bukan tipe aku," sanggah Anin. "Aku lebih suka pria berbrewok tipis kayak aktor Turki, gantengnya maskulin abis." Anin langsung keluar kamar, meninggalkan Rey. Rey segera menyusulnya. "Aku jamin, kamu bakal tergila-gila sama aku!" Rey berjalan mendahului Anin. "Enggak ada yang bisa menolak pesona Rayhan Pradipta Putra." "Justru kamu yang bakal tergila-gila pada si seksi Anindira Putri!" Anin menyusul dan berjalan lenggak-lenggok di depan Rey. "Enggak akan!" balas Rey. "Kita buktikan! Siapa yang bakal tergila-gila dan mengemis cinta duluan?" Anin duduk di samping Rey di meja makan. "Mami dukung kamu, Sayang," bisik Mami Riyanti sambil mengedipkan mata pada Anin. Rey cemberut. "Mi, anakmu tuh aku, bukan Anin," gerutunya, lalu meletakkan sendok dan garpu, dan pergi ke taman belakang tanpa menghabiskan sarapannya. "Cih, baperan," cibir Anin. Setelah sarapan, Mami Riyanti meminta bantuan Anin. "Sayang, tolong buatin teh hijau buat Rey, ya. Sekalian anterin ke dia," pinta Mami Riyanti sambil mengusap lembut rambut Anin. "Siap, Mi," jawab Anin, lalu bergegas ke dapur. "Kak, ini tehnya. Diminum ya," kata Anin lembut sambil menyerahkan teh hijau pada Rey di taman belakang. "Aku bikinnya pakai cinta, loh." Dalam hati, Anin menggerutu, "Kalau bukan karena Mami, ogah banget ngerayu cowok nyebelin kayak gini. Baperan banget, sih! Dosa apa aku di masa lalu sampai punya suami manja kayak dia?" Anin melirik Rey dan pura-pura tersenyum. "Jangan ganggu. Sana, pergi!" bentak Rey, menunjuk ke arah pintu belakang. "Ya udah, aku pergi. Lagian siapa juga yang mau ngobrol sama cowok baperan kayak Kak Rey. Bukan tipe aku banget," sahut Anin, lalu pergi sambil bersenandung riang. Rey melamun, meratapi nasibnya. Ia tidak menyangka gadis yang dinikahinya jauh dari bayangan istri idamannya. Rey menginginkan istri yang penurut, salehah, dan manis, bukan Anin yang bar-bar dan konyol. "Mi, aku mau ke pasar, ya. Mau beli ikan buat masak," ucap Anin, duduk di samping mertuanya. "Kamu mau ke pasar tradisional?" Mami Riyanti terkejut, tak menyangka menantunya mau berbelanja di tempat seperti itu. "Iya, Mi. Ikannya lebih segar," jawab Anin tersenyum. "Mami ikut, ya," kata Mami Riyanti, lalu menggandeng tangan Anin. "Tunggu, Mi. Aku ganti baju dulu!" Anin bergegas ke kamarnya. Mami Riyanti menunggu di ruang tamu. "Ayo, Mi!" Anin keluar dengan pakaian yang lebih tertutup, namun tubuhnya yang berisi masih terlihat seksi. "Sudah pamit sama suamimu?" tanya Mami Riyanti, menghentikan langkah Anin. "Belum, Mi," cengengesan Anin. "Ya udah, pamit dulu sana." Anin menurut. "Kak Rey, aku sama Mami ke pasar dulu, ya." Rey tidak menanggapi. Anin kesal. "Kak Rey!" teriaknya. "Terserah! Walaupun enggak aku kasih izin, kamu bakal pergi juga, kan?" Rey bangkit dan meninggalkan Anin. "Iya juga, sih," gumam Anin sambil tertawa. Anin dan Mami Riyanti pun pergi ke pasar. Mereka berbelanja selama dua jam. Mami Riyanti sangat senang memiliki menantu seperti Anin yang pandai menawar. Meski manja pada kakaknya, Anin sebenarnya gadis mandiri. Ia sering mengurus restoran kakaknya di luar kota, menjadikannya sosok yang berani dan cakap. Setelah membeli semua bahan, mereka segera pulang. Anin tidak sabar memasak menu baru untuk kakaknya. Sebagian menu di restoran kakaknya adalah hasil kreasinya. Sampai di rumah, Anin langsung mengeksekusi menu barunya. Ia melumuri ikan dengan bumbu rahasia lalu mendiamkannya selama lima belas menit. Setelah bumbu meresap, Anin memanggang ikan. Aroma ikan bakar yang menggugah selera langsung tercium hingga sampai ke penciuman Rey yang baru keluar dari kamarnya. Aroma ikan bakar yang semerbak menusuk hidung membuat Rey melangkah cepat menuju meja makan. "Wanginya enak banget nih," gumamnya sambil menghirup dalam-dalam. "Kamu udah laper, Sayang?" tanya Mami Riyanti sambil tersenyum melihat Rey datang tanpa dipanggil. "Iya, Mi. Rey jadi laper nyium wangi ikan bakar," jawab Rey sambil memegangi perutnya. "Baunya aja udah enak, apalagi rasanya, pasti lebih enak lagi." Mami Riyanti hanya tersenyum. Ia tak sabar melihat reaksi anaknya saat tahu masakan itu adalah buatan Anin, istrinya sendiri. "Ya sudah, ayo kita makan," ajak Mami Riyanti sambil duduk di depan Rey. "Nin, ayo makan dulu." Anin yang sedang mengemas ikan bakar itu untuk kakaknya, menggeleng pelan. "Aku mau makan siang bareng Kakak aja," jawabnya. "Ya sudah, enggak apa-apa. Sampaikan salam ya untuk kakak kamu," kata Mami Riyanti maklum. Ia tahu Anin pasti merindukan kakaknya, Mahendra. "Iya, Mi," jawab Anin, tersenyum sambil merapikan bungkusan makanan. Rey yang sedari tadi mencari-cari, akhirnya bertanya, "Mi, ikan bakarnya mana? Tadi aku nyium wangi ikan bakar." "Oh, itu buat kakak iparmu. Anin yang masak. Bukannya kamu enggak mau makan masakan istrimu?" Mami Riyanti menahan senyumnya melihat raut wajah Rey yang langsung berubah masam. "Kak Rey mau ikan bakar buatanku?" Anin menggoda. "Ini enak banget loh, Kak." "Aku enggak mau makan masakanmu. Nanti keracunan," bantah Rey sambil melahap ayam goreng. "Aku ragu kamu bisa masak." "Yakin nggak mau?" Anin kembali membuka bungkusan itu dan mendekatkan ikan bakar ke hidung Rey. "Wangi banget, kan?" "Dasar istri songong!" hardik Rey kesal.“Tama,” gumam Rey. Ia melihat Tama, Rani, Anin, dan laki-laki yang kemarin mengantar Anin pulang sedang mengobrol dan sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, entah apa yang mereka bicarakan.Hati Rey sakit melihat itu semua, hatinya sakit melihat istrinya tertawa bahagia dengan laki-laki lain, dan juga sahabatnya sejak kecil yang tega tidak mau membantunya membuntuti Anin, padahal dia tahu tempat nongkrong Anin selama ini.Rey tidak menemui Anin, dia hanya memperhatikan Anin dari kejauhan. Niatnya menyusul Anin memang hanya ingin melihat kalau istrinya baik-baik saja.Rey tidak tahu harus berbuat apa kalau dia menghampiri istri dan sahabatnya. Rey sadar kenapa Tama tidak membantunya, karena selama ini, dia sudah keterlaluan pada Anin.Tyas menghampiri Anin. “Nin, suami lo ada di kafe ini,” bisik Tyas. Anin dan Tyas saling pandang.“Kak, Mbak, aku masuk dulu ya, ada kerjaan sebentar.” Anin pamit pada Tama dan Rani. Tama dan Rani tersenyum menganggukkan kepalanya.Anin melirik Bang Rizk
“Pagi, istriku,” sapa Rey pada Anin saat berpapasan dengannya yang baru selesai mandi. Tapi Anin tidak menanggapi, ia masuk ke kamar mandi begitu saja dan bersikap dingin pada Rey. Tidak seperti biasanya yang selalu menggoda Rey.“Dia masih marah, aku harus sabar. Aku sendiri yang menyalakan api kemarahan itu, aku juga yang harus memadamkannya.” Rey tersenyum menyemangati dirinya sendiri, ia tidak akan patah semangat untuk memperbaiki hubungannya dengan Anin.Rey duduk di sofa kamarnya, menunggu Anin untuk turun dan sarapan bersama.Anin keluar dari kamar mandi dengan pakaian lengkap: celana jeans yang robek sedikit di bagian paha atasnya dan blus hitam yang memperlihatkan belahan dadanya.Anin duduk di sofa, berhadapan dengan suaminya. Rey susah payah menelan ludah saat Anin membungkuk untuk memakai sepatunya. Gunung kembarnya terlihat menyembul keluar.“Nin, kamu mau ke mana?” tanya Rey pelan, dia takut Anin marah padanya.“Bukan urusanmu, urus saja dirimu sendiri,” jawabnya ketus.
“Nin, gue pulang duluan ya, gue ada perlu mendadak.” Tyas mengambil tasnya. “Bang Rizky, Mbak Rani, aku pulang duluan ya,” pamit Tyas pada semuanya.“Ah gue tahu, lo pasti mau ketemu si bucin Farel. Apalagi besok mau ditinggalin ke Bandung,” seru Anin tersenyum meledek Tyas.“Sok tahu lo.” Tyas mencubit pipi Anin dan lari keluar kafe.“Bangke lo!” hardik Anin sambil mengusap-usap pipinya.Tama masuk ke kafe, dia mencari-cari keberadaan istrinya. Bibirnya tersenyum saat orang yang dicarinya sedang asyik bercanda dengan Anin.“Hai semuanya,” sapa Tama pada istri dan teman-temannya.“Maaf ya, Nin. Mbak ngundang suami mbak ke sini, soalnya tadi mbak naik taksi. Jadi, mbak minta dijemput sama Mas Tama.”“Enggak apa-apa, malah bagus, Kak Tama bisa merekomendasikan kafeku pada karyawan Kak Tama, iya ’kan, Kak?” Anin tersenyum dan menaikkan alisnya sebelah. Tama terlihat bingung.“Kafe ini milik Anin dan temannya yang bernama Tyas.” Rani menjawab kebingungan suaminya.Tama membelalakkan matan
“Tam, kok lo tega sama gue?” Rey pindah duduk di depan meja kerja Tama.“Kalau urusan Anin, lo urus aja sendiri.” Tama masih memeriksa berkasnya tanpa menoleh pada Rey.“Kok lo lebih membela si Anin daripada gue?” sergah Rey tak terima sahabatnya lebih memilih orang yang baru dikenal daripada sahabatnya sejak kecil.“Gue enggak membela siapa pun, gue cuma enggak mau lo nyakitin hati Anin. Melihat dia, gue jadi ingat Alana, dia persis seperti Alana.” Tama tersenyum membayangkan adik perempuannya yang absurd seperti Anin. Tak terasa, air mata jatuh di pipinya, mengenang kembali kenangan bersama adik kesayangannya yang telah meninggalkannya lima tahun lalu.Rey yang melihat Tama bersedih karena ulahnya, merasa tidak enak hati. “Baiklah, gue enggak akan minta bantuan lo. Gue janji akan berusaha menerima Anin sebagai istri gue, tapi kasih gue waktu untuk bisa membuka hati gue untuknya.” Rey menepuk bahu Tama dan keluar dari ruangan.“Enggak sia-sia air mata gue.” Tama tersenyum sambil meny
"Bang Rizky," gumam Tyas. Ia heran melihat Rizky sudah berada di kafe sepagi ini, bahkan sebelum kafe dibuka."Ada apa, As?" Anin melihat ke arah pandang Tyas, ia menyunggingkan senyum. "Itu artinya dia mau kerja di sini?" Anin menarik tangan Tyas untuk menghampiri Rizky."Pagi, Bang Rizky," sapa Anin ramah."Pagi, Nin." Rizky melirik Tyas. "Pagi, Yu." Rizky tersenyum manis pada Tyas. Rizky memang selalu memanggil Tyas dengan sebutan Ayu, karena nama lengkapnya Ayuningtyas.Anin memperhatikan tatapan Rizky pada Tyas yang terlihat berbeda. Ia merasa Rizky menyukai Tyas."Udah lama, Bang?" Anin dan Tyas duduk berdampingan di hadapan Rizky."Baru aja," jawab Rizky sambil tersenyum ramah. Sesekali ia menatap Tyas, dan Anin yang melihatnya semakin yakin bahwa Rizky menyukai Tyas.Tyas hanya menundukkan kepalanya, malu saat Rizky menatapnya. Entah apa yang ia rasakan, tetapi setiap kali pandangan mereka bertemu, ada desiran hangat di dalam tubuhnya."Ada apa, Nin? Kamu minta Abang datang ke
Anin tidak bertanya lagi pada mertuanya soal adonan. Meskipun penasaran, ia hanya diam sambil mengiris bawang.Setelah masakan selesai, Mami Riyanti memanggil suaminya untuk makan malam, begitu juga Anin yang memanggil Rey.Mereka pun makan malam sambil mengobrol. Rey dan Anin terlihat salah tingkah, keduanya sama-sama malu dengan kejadian di kamar mandi. Tak ada yang mau membahas siapa yang benar dan salah, karena terlalu malu untuk berdebat soal hal yang bisa membuat jantung mereka melompat-lompat seperti bermain trampolin."Rey, lain kali kalau bikin adonan jangan di sembarang tempat. Kasihan Anin kesakitan kalau harus bikin adonan di lantai," celetuk Mami Riyanti."Uhuk... uhuk..." Rey dan Anin terbatuk-batuk mendengar ucapan Mami Riyanti.Mami Riyanti memberikan air minum pada menantunya, sementara Papi Bagus memberikan air minum pada Rey."Makannya pelan-pelan saja, memangnya kalian mau ke mana?" ujar Papi Bagus."Mau ngelanjutin bikin adonan, Pi," jawab Mami Riyanti.Anin dan R