Share

Janji Setia
Janji Setia
Author: Rosa Rasyidin

Hilang

Bagian 1

Hilang

Maira sedang sibuk bekerja. Kasus penculikan akhir-akhir ini semakin banyak saja. Dia bersama suaminya—Fahmi, hampir tidak ada istirahatnya memecahkan satu kasus ke kasus lainnya. Jika mereka terlambat maka anak-anak yang diculik akan mati digantung.

Ini bukan karena penjagaan di Syam semakin melemah. Tidak seperti itu. Memang Syam sempat memenangkan peperangan melawan Balrus. Namun, Balrus tidak tinggal diam begitu saja. Negara kafirun itu akhirnya bekerja sama dengan negara super power sekelas Xin Hua. Negara yang umat islamnya semakin lama semakin berkurang karena ditindas dan mati disiksa.

“Maira, kau pulang saja duluan. Kasihan anak-anak kita tidak ada yang menunggu,” ucap Fahmi ketika hari sudah Ashar.

“Kau tidak apa-apa aku tinggalkan?” tanya wanita yang telah sepuluh tahun menjadi istri Fahmi. Kini usianya sudah 35 tahun, dan Fahmi 30 tahun. Sudah banyak lika-liku kehidupan yang mereka jalani. Ditambah dengan tiga orang anak lelaki semuanya. Amanah yang harus dijaga.

“Tidak apa-apa. Mungkin aku akan pulang larut malam. Kau makan saja duluan dengan anak-anak, ya.” Fahmi mengizinkan istrinya pulang, supaya ada yang menjaga tiga buah hati mereka.

Meski anak pertama mereka sudah berusia sembilan tahun, tetap saja ada rasa takut. Penculik yang kini berkeliaran tidak punya hati sama sekali. Jaringan yang bergerak luar biasa rahasia. Ditambah dengan urusan perang yang tidak selesai-selesai bahkan sejak Maira belum lahir ke dunia ini.

Maira pulang dengan rasa cemas luar biasa. Hari ini hatinya tidak keruan sama sekali. Sungguh wanita bermata biru itu takut terjadi sesuatu dengan Fahmi. Ingin kembali, tapi nanti siapa yang akan menjaga tiga buah hatinya. Yang paling kecil saja baru berusia lima tahun dan ia tinggalkan dari pagi bersama Gu—ibunya.

“Assalammualaikum, Bu,” ucap Maira ketika baru pulang. Wanita itu langsung memeluk anak lelakinya yang paling kecil. Dua lagi yang sudah besar sedang menunggu di rumah.

“Wa’alaikumussalam, Nak. Kau pasti lelah, kan? Ayo, makan dulu. Ibu sudah masak.”

“Aku bawa pulang saja, Bu. Kasihan dua anakku menunggu.”

“Apa kasus penculikan semakin ramai?”

“Belum ada solusi, tepatnya!”

“Andai ayahmu masih hidup, Nak.” Gulaisha Amira, wanita yang sudah memasuki usia setengah abad lebih telah menjadi janda sejak lima tahun yang lalu. Kesedihan melanda ketika ia kehilangan teman hidupnya. Maira juga sedih, hanya saja ia sembunyikan serapi mungkin.

“Ibu. Ayah sudah tenang, Insya Allah. Aku pulang dulu. Atau Ibu ingin menginap bersamaku?”

“Tidak, Maira. Ibu akan mati di dalam rumah ini. Ibu akan menetap di sini sampai ajal menjemput.” Jawaban seorang wanita yang kesepian luar biasa. Zahra sudah berusia 16 tahun. Sedang menempuh pendidikan menengah terakhir. Mungkin gadis itu akan menikah atau kuliah, terserah padanya.

“Ibu, Dayyan akan kemari, bukan? Ibu jangan sedih. Kalau Ibu sedih aku tidak tenang.” Maira memegang tangan ibunya. Gu yang rajin perawatan dari dulu tidak terlalu mengalami keriput di kulitnya.

“Iya, Nak, maafkan Ibu. Dayyan akan datang, kau pulanglah. Jaga amanah suamimu baik-baik, ya.” Gu menghela napas panjang.

Sejak ditinggal Ali tidak pernah terlintas satu kali pun keinginan Gu untuk menikah lagi. Walau ada saja beberapa orang yang melamarnya. Tidak dipungkiri wajah yang sudah berusia 50 tahun lebih itu masih tetap cantik walau tersembunyi di balik cadar.

Maira membawa anak ketiganya keluar dari rumah Gu. Ia berpapasan dengan Dayyan. Anak pertama lelaki dari Gu dan Ali. Lelaki yang juga bermata abu-abu. Raut wajahnya lebih mirip Gu daripada ayahnya. Dayyan sendiri mewarisi kemampuan Ali sebagai seorang tentara hebat. Sedangkan kembarannya—Bahira—meneruskan cita-cita Gu sebagai dokter bedah perempuan.

Dayyan sudah menikah sejak umur 20 tahun. Sekarang usianya sudah 29 tahun. Anak pertamanya sudah berusia delapan tahun. Untuk sementara waktu Dayyan baru memiliki dua anak. Adik kandung Maira itu sedang sibuk-sibuknya mengurus perbatasan. Tidak ada bedanya dengan Fahmi dan Maira yang sibuk mengurus kasus penculikan.

“Jaga Ibu baik-baik, ya. Sepertinya hari ini Ibu sedang terbawa perasaan,” ucap Maira ketika akan masuk ke mobilnya.

“Kak, hati-hati di rumah. Perasaanku tidak enak. Maafkan, karena aku kadang lemah menjaga perbatasan,” jawab Dayyan. Anak lelaki Ali yang meniru gaya ayahnya. Rambutnya dia potong sangat pendek, nyaris plontos. Tidak seperti Sultan yang betah dengan rambut panjang.

“Tidak apa-apa, kau sudah bekerja keras. Sudah, Kakak pulang dulu.” Maira masuk ke mobil dan menitipkan ibunya pada Dayyan.

Anak lelaki pertama Ali dan Gu itu masuk ke dalam rumah. Ia tersenyum lebar demi menutupi kewaswasannya atas situasi perbatasan yang mulai tidak baik.

Dayyan menunggu beberapa saat sampai Zahra pulang dari sekolah. Gadis berusia 16 tahun itu diawasi dengan baik oleh tiga kakak lelakinya. Maklum saja ayahnya sudah tiada. Tidak boleh ada lelaki yang mendekati Zahra jika tidak berniat menikahinya. Bahkan hanya sekadar mengucapkan salam saja bisa dipandang oleh Dayyan yang gaya bengisnya mirip dengan Ali dulu.

“Dayyan. Bawalah makanan ini untuk istri dan dua anakmu. Ibu buat banyak sekali, nanti tidak ada yang makan. Sayang kalau mubazzir.” Gu membungkus kudapan buatannya.

Sejak tidak lagi ada Ali dan anak-anak sudah besar. Ia tetap enggan balik ke dunia medis. Anggap saja Gu sudah nyaman berada di rumah.

“Terima kasih, Bu.” Dayyan kembali pulang.

Sebenarnya Gu tidaklah sendirian. Ada Zahra dan satu anak lelakinya yang belum menikah. Hanya saja itu sebuah bentuk tanggung jawab Dayyan pada ibunya. Anak lelaki Ali itu tahu bagaimana sepinya hidup Gu setelah ditinggal kekasih tercinta. Kekasih yang dulu tidak Dayyan ketahui bagaimana masa muda yang sangat kelam. Gu dan Ali memutuskan menutup lembaran masa lalu bahkan dari anak-anak mereka.

***

“Sayang, kenapa? Kau terlihat lelah sekali.” Istri Dayyan—Feme, menyambut suaminya pulang. Wanita yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Caninya—sahabat lama Gu. Keduanya menikah karena dijodohkan.

“Tidak apa-apa. Ini kue pemberian Ibu, kita makan sama-sama. Dia sudah membuatnya bersusah payah.” Dayyan memberikan bungkusan itu pada istrinya.

Malam ini seharusnya anak lelaki pertama Ali pergi ke perbatasan setelah Isya. Namun, ia tertidur sejenak karena letih sekali terasa di sekujur tubuh. Feme sudah berusaha membangunkan tetapi Dayyan seperti orang mati rasa saat tidur. Feme akhirnya ikut tidur di sebelah suaminya.

Tengah malam ponsel lelaki bermata abu-abu itu berbunyi. Dayyan terkejut ketika lampu kamarnya gelap. Lekas ia raih ponsel yang berdering dan mengangkat panggilan dari Maira—kakak perempuannya. Panggilan yang membuat mata Dayyan langsung hilang rasa ngantuknya. Ia matikan ponsel dan hidupkan lampu. Feme akhirnya bangun juga.

“Kenapa aku tidak dibangunkan, Fem?” Dayyan meraih seragam dan lekas menggunakannya. Feme langsung bangkit kesadaran dan membantu suaminya berkemas.

“Sudah, tapi kau tidak bergerak sama sekali. Aku pikir kau kelelahan.” Feme memberikan ikat pinggang tentara pada Dayyan.

“Apa ada masalah?” tanya Feme.

“Kak Maira ada yang hilang darinya. Nanti aku jelaskan, aku pergi dulu.” Lelaki bermata abu-abu itu pergi begitu saja. Ia hidupkan mobil dan putar arah lalu ngebut untuk sampai di TKP yang disebutkan oleh Maira.

“Kak, apa benar apa yang aku dengar di telepon?” tanya Dayyan tergesa-gesa.

“Apa aku terlihat bercanda bagimu?” Air mata Maira menetes. Dia memeluk anak ketiganya. Dua yang lain ia tinggalkan di dalam rumah.

“Bagaimana mungkin? Maaf, ini karena aku ketiduran tadi.” Dayyan tidak kuasa melihat kakak yang ia tahu dari dulu kuat sekarang terlihat lemah.

“Dayyan, tolong, temukan suamiku. Aku yakin dia masih hidup. Tadi sore kami masih bersama-sama. Dia tidak mungkin jauh dari sini. Kau tahu? Setelah Ayah meninggal, hanya Fahmi tempatku berkeluh kesah. Kalau bisa, tolong jangan buat kakakmu ini jadi janda yang kedua kalinya. Tolong, Dayyan, kau yang paham wilayah perbatasan. Kakak mohon,” ucap Maira di depan para tentara yang lain juga.

“Iya, baik, Kak, akan aku lakukan semua usaha untuk menemukan Kak Fahmi. Kakak pulang dulu. Bawa anak Kakak pulang. Mereka hanya punya kau saja sekarang ini.” Dayyan sedang berusaha membujuk Maira yang sedang memandang perbukitan di depannya. Bukit yang dulu pernah menjadi tempat petulangan dia dan Fahmi sepuluh tahun lalu.

“Aku merasa Fahmi memanggilku dari bukit-bukit itu. Jika tidak ada anak. Malam ini juga akan telusuri perbukitan itu.” Maira menahan sesak di dadanya.

“Kak, istighfar, situasi sekarang memang serba sulit. Tenang dan pulanglah, bantu kami dengan doa.”

“Iya, Kakak tahu, Kakak hanya merasa …” Maira menahan ucapannya.

Kemudian dia masuk lagi ke mobil dan pulang ke rumah. Berusaha menyetir dalam keadaan tetap waras, walau hati Maira sudah bergemuruh luar biasa.

Dayyan tidak pulang malam itu dari perbatasan. Tentara tersebut menelusuri jejak mana saja yang ditempuh oleh Fahmi. Sampai di dekat batu ia temukan sebuah gigi yang tanggal, satu buah pistol laras pendek, darah yang membasahi batu dan seragam dengan nama Fahmi dilepas begitu saja.

“Jangan beritahu hal ini dulu pada Kak Maira. Sampai kita temukan mayat Kak Fahmi baru kita beritahu.” Perintah Dayyan pada tentara lain di bawah pangkatnya. Mereka semua berkata siap.

Hari demi hari penelusuran terhadap hilangnya Fahmi terus dilakukan. Sultan—penjinak bom senior berusia hampir 40 tahun itu turun tangan. Bukan karena ingin ikut mencari, tetapi ada beberapa bom aktif yang dipasang. Situasi semakin mendebarkan.

Dalam sehari Sultan dan timnya menemukan tiga buah bom yang dipasang di dekat perbukitan, di dekat padang pasir bahkan nyaris di markas Dayyan. Seperti sore ini ada sebuah kotak dari kayu cukup besar datang. Dayyan dan Sultan sama-sama mengenakan baju anti api demi keselamatan. Kotak yang dipaku sekeliling itu dibuka oleh beberapa petugas yang sudah menggunakan pelindung.

“Buka kotaknya!” perintah Dayyan.

Sultan sudah membawa peralatan penjinak bomnya. Kotak itu dikeluarkan dan isinya ternyata baju-baju bekas masih layak pakai.

“Aneh,” ucap Sultan.

Beberapa detik kemudian dari dalam kotak kayu itu muncul seorang makhluk hidup. Dia seorang perempuan, menggunakan seragam tentara. Wajahnya kotor dan kusam. Rambutnya dipotong asal-asalan. Dia melihat ke sekeliling. Mengapa banyak sekali padang pasir juga bukit?

“Mata-mata?” ucap Dayyan. Wanita itu melihat ke arahnya. Sudah empat belas hari dia bertahan hidup di dalam kotak kayu. Dia lapar dan haus, lalu jatuh pingsan begitu saja.

Siapakah dia? Perempuan dengan kulit putih dan mata besar serta terlihat sangat ketakutan. Benarkan dia mata-mata seperti kata Dayyan? Anak lelaki pertama Ali memiliki satu kekurangan, yaitu terlalu gegabah mengambil keputusan.

“Bawa dia ke rumah sakit. Setelah itu interogasi.” Dayyan memandang wajah yang tak sadarkan diri. Nama yang tertera di seragam itu tidak bisa dibaca. Jenis hurufnya berbeda.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status