Share

Janji Setia

Bagian 2

Janji Setia

Fu Khai bangun di pagi yang masih sangat buta dan dingin. Sudah menjadi kebiasaannya sejak masih berusia tujuh tahun. Lelaki muslim keturunan Suku Mui di Xin Hua itu berlatih bela diri wing chun. Pertama kali yang Kai lakukan ialahn membasuh mukanya. Dengan air yang berasal dari gentong, sangat dingin dan mampu mengembalikan nyawanya yang masih setengah berada di atas ranjang.

Sebuah kayu dengan susunan tangan-tangan lurus menjadi tempatnya latihan. Bela diri wing chun ia latih setiap hari demi ketangkasan dan kecepatan tubuhnya. Sebab tinggal di negara yang mendiskrimanasi umat muslim perlu kekuatan lebih. Bukan untuk memberontak. Suku Mui tidak punya kekuatan untuk melakukan itu. Melainkan untuk melindungi diri sendiri dan keluarga. Tentara Xin Hua yang bengis sering melakukan sidak dadakan dan semena-mena.

Detik yang berubah menjadi menit Kai memukul dan menendang boneka kayu, membuat peluhnya mengucur. Lumayan sebagai pemanasan sebeluam memulai aktifitas untuk penyambung hidup. Kai menarik napas sejenak. Ia atur ulang lalu melakukan pukulan lagi. Namun, untuk beberapa saat kemudian lelaki dengna rambut sangat pendek itu terdiam. Kai tahu ada yang mengawasi dan menatapnya dari belakang.

Kai menghindar dari boneka kayu. Seorang perempuan cantik dengan rambut disanggul konde kayu menendangnya dari belakang. Lalu ia pun memasang sikap siaga bertarung. Keduanya sama-sama menatap dengan sangat dalam dan penuh arti. Wanita cantik itu tersenyum. Titik air di wajahnya menandakan ia baru saja mencuci muka dan belum dibasuh.

“Takut?” tanya wanita tersebut.

“Bukan takut, tapi sayang,” jawab Kai pada lawan di depannya.

“Wing chun, Wei Nuwa.” Wanita berambut panjang itu menyebut namanya. Artinay ia menantang lelaki di depannya.

“Wing chun, Fu Kai.” Dengan senang hati Kai menerima tantangan dari istrinya.

Setelah keduanya memasang sikap siap tarung dengan kesiagaan tangan yang berbeda—Kai lebih kepada kekuatan, sedangkan Nuwa lebih kepada kecepatan. Lalu keduanya hanya diam dan saling memandang saja.

“Sampai kapan kit—”

Nuwa menyerang Kai terlebih dahulu walau suaminya belum selesai berkata-kata. Pukulan dan tendangan Nuwa yang cepat, cukup membuat Kai kepayahan. Namun, siapa yang melatih Nuwa dari kecil. Tentu dirinya sendiri. Ya, Kai sebelumnya adalah guru Nuwa lalu ketertarikan timbul karena terlalu sering bertemu hingga akhirnya berakhir dalam sebuah akad nikah kecil di desa tempat Suku Mui tinggal.

“Kecepatan gerakanmu masih terbaca, Nuwa.” Kai menahan tangan kanan istrinya yang nyaris menyambar telinganya. Tak lama kemudian, leher Kai dari sisi kiri terkena pukulan Nuwa.

“Kekuatanmu semakin melemah, Kai. Kenapa? Lelah karena tadi malam, ha?” Nuwa tersenyum penuh arti.

Bibir wantia itu meski tidak menggunakan lipstick seperti wanita pada umumnya, Nuwa tetap cantik alami. Tidak ada satu pun orang yang membantah bahwa wanita muslim kelahiran Suku Mui tidak ada yang tidak cantik. Karena itu mereka sering disasar oleh tentara Xin Hua.

Kai mendorong Nuwa perlahan. Wanita itu terkejut lalu tubuhnya terpaku di dinding kayu rumah mereka berdua. Ia ingin bergerak tetapi Kai sudah menahan raganya terlebih dahulu. Hingga hanya menyisakan tatapan yang berbeda.

“Sudah kukatakan kecepatan gerakanmu masih terbaca. Lain kali berlatih lebih keras,” ujar Kai sambil tersenyum.

“Lihat.” Nuwa menunjuk ke langit. Kai terkecoh, kemudian beberapa detik setelahnya, kancing baju sanghai miliknya terlepas semua. Ulah siapa lagi kalau bukan Nuwa.

“Sudah kukatakan kau tidak akan bisa menghindar dari kebohonganku.” Nuwa memenangkan pertarungan pagi ini lagi. Sebenarnya Kai tahu kalau ia ditipu. Namun, ya demi cinta pula, ia mau saja ditipu.

“Sudah-sudah, ayo kita siap-siap. Kuda-kuda Tuan Wong harus diajak berlari pagi ini. Kau mandi duluan, aku akan buatkan sup supaya hangat.” Nuwa mengajak suaminya masuk ke dalam rumah.

Rumah yang dibangun semi permanen. Setengahnya batu bata, setengahnya lagi batang bambu ala kadarnya. Dalam keterbatasan dan penindasan keduanya hidup berbahagia. Nuwa mencintai Kai begitu juga sebaliknya.

Nasib Suku Mui tidak baik sejak hampir ribuan tahun lalu. Mereka terus berkembang dalam keterbatasan walau jumlahnya akhir-akhir ini kian berkurang sedikit demi sedikit. Lelaki Suku Mui masih diberi kebebasan untuk belajar walau pendidikan mereka hanya sampai level menengah pertama.

Tidak dengan perempuan, setelah selesai pendidikan dasar tidak diperbolehkan mengenyam pendidikan oleh pemerintah Xin Hua. Negara itu tidak mau perempuan muslimnya cerdas. Sebab dari perempuan cerdas akan lahir generasi pejuang muslim yang sangat tangguh. Kai merupakan salah satu pejuang yang kecolongan lahir karena kehamilan ibunya tidak ketahuan.

Kai merupakan pengajar Wing Chun sejak beberapa tahun lalu. Sekarang tidak diperbolehkan mengajar lagi oleh pemerintah. Semua akses untuk umat muslim ditutup. Mereka hidup super keterbelakangan.

Nuwa merupakan murid terakhir Kai. Dilatih sejak usia delapan tahun. Keduanya menikah sangat muda. Waktu itu Nuwa berusia 15 tahun, karena tidak boleh lagi bersekolah, jadilah dipinang oleh Kai sendiri. Sisa ilmu yang belum dilatih di perguruan diajarkan oleh Kai di dalam rumah. Karena ia beranggapan wanita muslim harus kuat, andaikata suami mereka tidak ada lagi di sisinya, bisa jadi berpisah atau dipanggil lebih dulu oleh takdir.

Kini usia Nuwa sudah 20 tahun dan Kai sendiri 29 tahun. Usia pernikahan sudah memasuki angka kelima. Keduaya belum dikaruniai anak sama sekali. Bukan karena mandul, tetapi karena memang ada larangan dari pemerintah untuk punya anak. Daripada anak-anak diculik sejak bayi lalu dijadikan tentara kafirun. Nuwa dan Kai sepakat tidak memiliki anak. Memang sepi, tapi harus bagaimana pula, bukan?

Nuwa dan Kai menikmat semangkuk sup dengan isian mi kuning dan taburan daun bawang yang sangat banyak. Tidak ada daging atau pun ayam. Bisa makan saja keduanya sangat bersyukur. Nuwa beranjak mengambil sisa roti pao tadi malam.

Satu bulat besar ia bagi dua dengan suaminya. Cukup untuk mengganjal perut menjelang dapat bayaran dari Tuan Wong usai membawa kuda-kudanya lari dari pagi sampai siang. Tuan Wong dari Suku Mui terpandang, tidak ada yang berani mengusiknya, untuk sementara waktu.

“Kai Sayang. Kenapa akhir-akhir ini aku merasa kesepian, ya. Sudah lama sekali aku tidak mendengar suara tangis bayi. Iya, sudah lama tidak ada kelahiran di sini.” Nuwa meletakkan sumpitnya. Sup mi itu sudah selesai ia makan, kuahnya masih bersisa banyak.

“Aku tahu apa yang kau maksud, istriku. Tapi apa kau siap kalau kita punya anak? Selain kita akan dibur oleh pemerintah, anggap saja anak kita berhasil lahir. Lalu aku tidak mampu melindungi kalian berdua. Kau dibunuh dan anak kita diambil. Dia pun akan kehilangan jati dirinya sebagai muslim. Katakan padaku kalau kau siap, Nuwa?” Kai meletakkan mangkuk supnya, kauh sudah selesai ia minum sampai kering dan lelaki tegap itu menatap mata istrinya.

“Tidak siap!” Nuwa menyodorkan mangkuk supnya yang berisikan kuah. Seperti biasa Kai akan menghabiskannya.

“Kalau begitu bersabarlah. Siapa tahu nanti di masa yang tepat kau akan puny anak yang lucu-lucu, Nuwa.”

“Kau juga, Kai, aku punya anak hanya denganmu. Kau sudah berjanji padaku, sejak pertama kali menikah.”

Nuwa menyodorkan jari kelingkingnya. Kai menyambut dan dua jemari tersebut saling bertaut. Kata Nuwa hal demikain adalah janji setia untuk saling menjaga satu sama lain seumur hidup. Ya, seumur hidup tidak mesti bermakna selama-lamanya. Hidup dan mati diatur oleh Allah, bukan seperti jodoh dan pekerjaan yang masih bisa dipilih oleh manusia.

“Ayo, matahari sudah mau terbit.” Kai berdiri dan memakai sepatu kain yang bagian depannya sudah mulai robek. Kemarin ia punya uang, tetapi lebih membelikan untuk Nuwa terlebih dahulu. Tubuh Kai yang jauh lebih keras dan kuat masih bisa menahan dingin angin daripada Nuwa yang lebih lemah dan lembut.

Keduanya berjalan kaki sambil bergandengan tangan selama setengah jam lamanya. Tidak ada kendaraan yang digunakan karena keterbatasan penghasilan. Sekali lagi dalam kemiskinan keduanya hidup saling melindungi satu sama lain.

Kai dan Nuwa sudah sampai di kandang kuda milik Tuan Wong. Ada puluhan kuda gemuk-gemuk yang harus dibawa belari di dekat pegunungan dengan rumput yang sangat rimbun. Kai mahir mengatur kuda, kemampuan yang ia ajarkan juga pada Nuwa.

“Kai, susul aku kalau memang kau mampu.” Nuwa menarik tali kekang kuda putih yang paling besar. Binatang berkaki empat itu berlari.

Tidak mau kalah, Kai menaiki kuda berwarna hitam. Lelaki itu menarik tali kekangnya dan kuda yang ia jaga berlari tak kalah kencang dibandingkan yang dibawa oleh Nuwa. Sepasang suami istri itu saling kejar-kejaran di atas kuda bersamaan dengan puluhan yang lain. sampai di sebuah batu besar, Nuwa menarik tali kekang kudanya. Dua kaki depan binatang itu terangkat dan berhenti sesuai perintah pengendalinya.

“Kau semakin hebat menunggang kuda,” ujar Kai yang teringgal beberapa langkah di belakang. Guru wing chun itu turun dari kudanya dan membawa binatang tersebut makan rumput. Nuwa mengikuti dari belakang.

Keduanya memandang hamparan rerumputan tempat para kuda diberi makan. Tidak terasa hari sudah mulai siang saja. Kai serta Nuwa harus segera mengembalikan peliharaan Tuang Wong ke kandang.

“Kita jalan kaki saja, kalau naik kuda aku akan cepat lapar,” ujar Kai. Membawa kuda ke padang rumput memakan banyak tenaga.

“Iya, lebih baik begitu. Eh, tunggu sebentar.” Nuwa meraba kantung celananya yang longgar. Di sana ada sebatang wortel mentah. Wortel merupakan sarapan para kuda. Nuwa dan Kai diperbolehkan memakannya juga oleh Tuan Wong.

“Bagi dua.” Nuwa mematahkan wortel, setengah untuk Kai, setengah untuk dirinya. Wortel mentah lumayan untuk mengganjal perut selagi menunggu gaji mereka berdua turun.

“Manis,” ujar Kai setelah menelan sayuran berwarna orange itu.

“Memang, aku suka sekali wortel mentah dari dulu,” jawab Nuwa.

“Bukan wortelnya, tapi senyumanmu,” sanggah Kai. Tanpa sadar senyuman Nuwa terkembang sempurna. Anak rambutnya beterbangan dan mengenai wajah Nuwa. Suku Mui tidak diperbolehkan menggunakan tutup kepala oleh pemerintah.

Dor!

Terdengar suara tembakan dari dekat hamparan padang rumput. Kuda-kuda mulai panik dan berlari ke sembarang arah. Kai dan Nuwa tentu berdebar jantungnya.

“Apakah sekarang waktunya pemerintah sidak, Kai?” Nuwa menahan kuda putih yang hampir menendang kuda lainnya.

“Tidak tahu, seharusnya di wilaya Tuan Wong mereka tidak berani gegabah.” Kai kesulitan menahan amarah kuda hitam.

Dor!

Sekali lagi terdengar suara letusan peluru. Kuda-kuda itu berlari ke sembarang arah. Kai dan Nuwa juga ikut berlari. Jika ada sidak dari pemerintah, lari adalah jalan terbaik. Sehebata apa pun ilmu bela diri mereka, akan percuma melawan lesatan timah panas.

“Nuwa cepat, berlindung di antara kuda.” Kai mendorong tubuh istrinya.

“Tidak, aku ikut denganmu.” Nuwa memegang tangan Kai erat-erat. Janji setia yang ia tanam di dalam hati sejak pernikahan diikrarkan.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status