Share

Lupa

Bagian 3

Lupa

“Kenapa kalian lari. Kami kemari hanya jalan-jalan saja.” Salah seorang tentara Xin Hua datang berserta lima pasukannya. Tersusul juga larinya Kai dan Nuwa karena terganggun dengan derap langkah kuda yang asal-asalan.

“Maafkan kami, Tuan. Istriku takut mendengar suara ledakan.” Kai memegang erat tangan Nuwa. Ia tahu wanita bermata hitam kelam tersebut tak suka dengan kedatangan para tentara kafirun.

“Ini istrimu, ckckck, cantik sekali,” ucap salah satu tentara dengan pangkat paling tinggi. Kai menggeser Nuwa di belakang tubuhnya agar tidak ada mata jalang pria lain yang berniat memangsanya.

“Sekali lagi maafkan kami jika ada berbuat salah, Tuan. Kami hanya sedang memberi makan kuda milik Tuan Wong.” Kai masih berusaha menahan situasi agar tidak tegang. Jujur saja ia sanggup dengan tangan kosong melawan tentara itu. Tangan kosong, bukan melawan senjata api.

“Ah, Tuan Wong, iya, iya. Orang kaya satu itu. Katakan padanya agar membayar pajak dua kali lipat lebih banyak bulan ini. Kami sedang butuh banyak uang. Atau kalau dia tidak memberikannya. Gadis dan perempuan di desa kalian akan kami angkut sebagai penghangat ranjang, terutama …” Telunjuk tentara itu ingin menyentuh pinggang Nuwa. Namun, ditahan oleh Kai terlebih dahulu.

Dua mata tersebut saling menatap. Terasa sakit genggaman tangan Fu Kai di tangan tentara Xin Hua karena dia telah berlatih bela diri sejak kecil.

“Baiklah, aku hanya bercanda saja. Jangan lupa pesanku disampaikan. Ayo kita pergi dari sini. Kita minum arak sampai puas.” Tentara itu menarik telunjuknya dari genggaman tangan Kai dan pergi bersama lima bawahannya.

“Mereka kuat hanya karena senjata saja. Kalau berani ayo lawan tangan kosong denganku. Aku buat tulang rusukmu patah sekalian.” Nuwa menatap para tentara itu dengan penuh kebencian.

“Sudah, ayo kita bawa kuda kembali dan sampaikan pesan dari mereka pada Tuan Wong. Aku merasa tidak enak dengan situasi kali ini. Aku akan cari cara untuk pergi dari desa.” Kai mengejar satu demi satu kuda yang harus dikembalikan ke kandang begitu juga dengan Nuwa. Sepasang suami istri itu menaiki kuda hitam dan putih dan menggiring yang lain untuk kembali.

“Kai, sampai di tempat yang baru nanti kalau kita selamat. Kau harus janji tidak boleh menunda punya anak lagi. Kau tahu, kan, keberadaan Suku Mui semakin lama semakin sedikit saja. Kalau tidak ada penerus lama-lama suku kita akan punah,” ujar Nuwa. Padahal Suku Mui dulunya sangat makmur walau tertindas. Sekarang sudahlah tertindas tidak makmur pula.

“Insya Allah, aku janji kalau kita sudah aman, Sayang, sekarang kita banyak-banyak bersabar saja.” Kai menarik tali kekang kuda begitu juga dengan istrinya. Keduanya kembali ke kandang tepat ketika waktu dzuhur sudah masuk.

Di mana mereka sholat? Di dekat tempat sempit yang bersih tak jauh dari kandang kuda. Sembunyi-sembunyi tentu saja. Tidak ada masjid di desa itu, urusan ibadah wajib saja dipersulit. Selama lima tahun makmum Kai benar hanya Nuwa seorang.

Kejamnya pemerintah Xin Hua melunak di bulan Ramadhan. Bukan karena mereka menghormati bulan suci itu. Melainkan di siang hari para tentara kadang datang membawakan makanan lezat.

Seringnya di bulan Ramadhan penduduk desa pergi menjauh. Berpura-pura bekerja sampai ke dalam hutan agar tidak dipaksa makan. Walau ada juga yang satu dua orang tertangkap dan diperintahkan makan di depan para tentara.

Usai sholat Dzuhur tak lama setelah itu, pelayan Tuan Wong akan datang mengantarkan makanan sisa untuk sepasang suami istri tersebut. Walau di pagi dan malam hari mereka makan seadanya, tetapi di siang hari Kai dan Nuwa dapat makanan yang tersisa dari meja makan para tuan. Lumayan untuk mengganjal perut yang keroncongan usai menjaga para kuda.

“Bibi, tolong katakan pada Tuan Wong, kami tadi bertemu dengan tentara Xin Hua. Mereka mengatakan agar tuan membayar pajak dua kali lipat bulan ini,” ujar Kai. Bibi pelayan hanya mengangguk saja dan kembali ke depan rumah besar.

“Ini, ada sisa daging ayam untukmu.” Guru wing chun itu memberikan daging yang masih layak makan pada muridnya. Nuwa pun membagi dua seperti biasa. Beras yang dimasak oleh pelayan Tuan Wong kualitasnya berbeda. Sebab itu Kai dan Nuwa tidak pernah menyisakan walau sebutir pun.

“Guru Kai, kau dan istrimu dipanggil oleh Tuan Wong, sekarang juga!” Pelayan yang tadi mengantarkan makanan kembali.

“Iya, baiklah, kami akan segera ke sana.” Kai mencuci piring setelah makan dan meletakkannya di nampan kayu.

“Ada apa Tuan Wong sampai memanggil kita. Biasanya juga upah diberikan oleh Bibi?” Nuwa bertanya-tanya.

“Tidak tahu, ayo kita pergi sama-sama. Siapa tahu penting.” Kai menarik tangan istrinya.

“Kalau kita diberhentikan bagaimana, Kai?”

“Kita cari pekerjaan lain, tidak aku saja, kau diam di rumah.”

“Tidak mau. Seharian di rumah aku over thinking selalu. Kalau ada anak ya tidak masalah juga.” Nuwa melirik gurunya yang tak pernah bosan mendengar celotehan dirinya tentang kehadiran seorang buah hati di tengah kegersangan selama lima tahun lamanya.

“Assalamamualaikum, Tuang Wong,” ucap Kai, dijawab oleh lelaki pemilik puluhan kuda itu.

“Aku dengar dari pelayan katanya tentara Xin Hua memintaku membayar pajak dua kali lipat. Benar mereka mengatakan itu padamu, Guru Kai?” Tuan Wong tidak mau memanggil lelaki itu dengan nama saja. Sebab dulunya Kai mempunyai perguruan sendiri.

“Benar, Tuan Wong. Aku hanya diperintahkan menyampaikan hal itu saja.”

“Guru Kai, soal pajak aku bisa saja membayarnya dan jelas mereka akan senang. Aku tidak punya pilihan selain membayarnya, jika tidak rumahku dan desa kalian bisa hangus dibakar. Betul begitu, Guru Kai?” tanya lelaki itu sambil menghisap cerutu mahalnya.

“Benar, Tuan Wong. Kalau kau tidak membayar pajak maka desa kami yang akan jadi sasarannya.”

“Aku ingin bertanya, apakah tentara tadi melihat wajah istrimu?” Tuang Wong melihat Nuwa yang tidak memandangnya. Andai wanita itu masih sendiri, tentu sudah ia persunting untuk menggenapi jumlah istrinya sampai empat.

“Iya, Tuan Wong.”

“Kalau begitu, istrimu tidak baik-baik saja. Percayalah, hal seperti ini tidak bisa diatasi dengan uang, Guru Kai. Pesanku, jagalah istrimu baik-baik. Aku tidak bisa bayangkan kalau perempuan Suku Mui terus saja musnah, dan akhirnya suku kita lama-lama hilang dari muka bumi ini.”

“Terima kasih nasehatnya, Tuan Wong. Apa ada yang lain lagi? Sebab kami harus mencari sayuran di hutan.” Kai tahu makna tatapan lelaki kaya itu pada istrinya. Agak susah memang menjaga Nuwa karena pesona yang tanpa sadar istrinya pancarkan.

“Tidak ada, kalian boleh pergi. Oh, iya, tunggu sebentar. Ini upah mingguan kalian, aku lebihkan beberapa lembar. Gunakanlah untuk membeli pakaian yang pantas.” Tuang Wong memberikan amplop cokelat itu pada Nuwa, tetapi diambil oleh Kai. Lelaki kaya raya itu memperhatikan baju Nuwa yang banyak jahitan di sana sini.

“Kami pergi dulu, Tuan Wong.” Kai meninggalkan ruangan sambil menarik tangan murid sekaligus istrinya.

“Ingin kuhantam mulutnya sampai semua giginya rontok,” bisik Nuwa sambil menggenggam jemarinya sendiri.

“Tahan saja. Tuan Wong masih tahu tata krama. Kalau dia berani lagi kita berhenti dari sini.”

Guru wing chun dengan postur tubuh lebih gagah daripada tentara itu membuka amplop cokelat upah mingguan mereke berdua. Nuwa tersenyum, jumlah yang lebih banyak daripada biasanya.

“Kita beli baju, Nuwa?” Kai menawarkan.

“Tak mau, nanti aku terkesan menuruti keinginan lelaki tua itu lagi. Lebih baik kita ke toko di simpang jalan saja. Kita beli isi dapur, cukupkan satu minggu dan kita tidak perlu menahan lapar kalau kehabisan bahan lagi.”

Nuwa berdiri dan meraih tangan suaminya. Jam kerja mereka berdua telah usai dan lekas saja mereka meninggalkan kediaman Tuan Wong. Lelaki kaya yang memperhatikan keduanya dari lantai atas.

“Sayang sekali aku terlambat tahu kalau Nuwa akan jadi perempuan yang sangat cantik. Saat usianya 15 tahun dia masih ingusan sekali. Ah, menyesal rasanya, andai kau hidup menjadi istri mudaku, Nuwa. Kau tidak akan pernah kena teror pasukan Xin Hua lagi.” Tuang Wong mengembuskan asap cerutu, sembari matanya memperhatikan pergerakan bahu dan pinggul Nuwa. Lelaki yang tidak ada puasnya walau sudah punya lebih dari satu istri.

***

Di toko kelontong itu Nuwa memesan banyak bahan makanan untuk seminggu. Mulai dari beras, tepung, kecap, minyak goreng, telur, dan lain sebagainya. Lalu pandangan matanya beralih pada kue bulan yang isiannya sayuran. Entah mengapa tiba-tiba saja dia sangat ingin memakannya. Padahal dulu Nuwa tak pernah tertarik untuk mencoba.

“Kue bulan? Tumben sekali?” tanya Kai ketika Nuwa langsung membuka bungkusan dan makan di tempat.

“Tak tahu, aku hanya ingin saja.” Nuwa membayar sejumlah uang sesuai barang yang mereka beli. Masih ada beberapa lembar yang tersisa. Lalu Kai menarik baju Nuwa dan berbisik di telinga istrinya.

“Jangan lupa beli pil pencegah kehamilan. Jangan sampai terjadi hal yang sangat kau inginkan.”

Seketika perkataan Kai membuat Nuwa terperanjat. Rasanya sudah cukup lama wanita dengan bola mata hitam kelam itu tak meminumnya. Benar-benar lupa.

“Ah, iya, aku hampir saja lupa.” Nuwa meminta satu strip pil pencegah kehamilan pada penjaga toko. Ia masukkan dalam kantung celana.

Sepasang suami istri itu berjalan kaki dengan menenteng belanjaan yang memenuhi dua tangan mereka. Kai memperhatikan pemandangan di desanya yang sangat hijau, sambil bercerita pada Nuwa. Sayangnya, murid sekaligus istrinya itu sepertinya sedang melamun.

“Kau kenapa?” tanya Kai.

“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin segera sampai di rumah. Aku ingin buat sup mi daging. Sesekali kita makan enak.” Nuwa tersenyum menyembunyikan kegundahan hatinya.

“Iya, terserah kau saja.” Kai tidak terlalu perasan dengan perubahan yang dialami oleh Nuwa.

Lalu ketika sudah sampai di rumah, wanita Suku Mui itu lekas saja membersihkan meja makan dan membuat adonan mi dari tepung telur dan mentega. Sedangkan Kai mencari kayu bakar dan menghidupkan perapian untuk merebus tulang sapi yang mereka beli.

Menjelang Ashar sup mi daging itu matang. Lalu keduanya melihat ke arah jam. Tanpa adzan mereka perkirakan waktu sudah masuk. Bersamaan lagi mereka jama’ah di rumah. Tidak ada pilihan lain daripada ditangkap dan dipenjara karena dianggap melaksanakan ritual sesat.

Usai makan sup daging, Kai akan meninggalkan rumah. Lelaki itu pergi ke tempat seorang guru yang mahir beberapa ilmu. Nuwa akan mengunci pintu rapat-rapat sampai suaminya kembali.

“Aku takut kalau aku benar-benar hamil.” Wanita Suku Mui itu memandang pil lama yang butirannya hanay berkurang tujuh butir saja. Sisa dua puluh tiga lagi masih utuh.

Sudah lama tidak ada euforia kehamilan di desa tersebut. Sudah lama tidak ada silaturahmi menjenguk tetangga yang baru saja melahirkan. Lalu bagaimana kalau Nuwa sampai benar mengandung. Apakah hidup mereka akan selamat, atau justru salah satunya harus berkorban nyawa?

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status