Sang wanita berhasil keluar gerbang desa, dia sama sekali tidak memikirkan nasib kelima rekan yang ditinggalkannya. Dia pun melihat Demang Yasa dan Jalada masih bertarung sengit di luar gerbang desa, dia lantas menghampirinya.
Cukup dekat wanita itu berada, dia melakukan beberapa sentakan tangan. Dua buah pisau melayang kearah Demang Yasa.
Sang demang yang tidak melihat kedatangan si wanita merasa ada yang tidak beres, intuisinya mengatakan kalau dia sedang berada dalam bahaya. Dengan reflek yang cukup cepat sang demang melompat mundur beberapa langkah.
Benar saja, dua buah pisau melayang tepat melewati tempat Demang Yasa berdiri sebelumnya. Pisau itu terus melaju sampai akhirnya menancap di pohon.
Sejenak setelah melancarkan serangannya, si wanita berlari mendekati Jalada. Dia memperlihatkan sebuah bungkusan besar kepada Jalada, mulutnya tersenyum lebar. Jalada yang melihat bungkusan itu pun lantas tertawa keras. Dihampirinya wanita itu dan dipeluknya.
"Bagus Kupita, kau berhasil mendapatkannya! Hahaha... Sebagai hadiah, nanti saat pulang akan kuberikan kau sesuatu yang spesial." Sambil tertawa dia memeluk wanita itu.
"Sekarang saatnya kita mundur! Kembali kalian semua, kita pulang ke markas!"
Dengan suara yang keras dan menggema, lelaki kekar itu menyuruh seluruh anak buahnya yang tersisa untuk mundur. Tanpa melihat kearah Demang Yasa, dia berjalan kearah pepohonan. Disana kudanya dan beberapa kuda lain sudah tertambat, menunggu untuk ditunggangi.
Mendengar perintah dari sang pimpinan, para perampok lain pun segera melarikan diri dari lokasi pertempuran. Satu per satu mereka berlari menggapai kuda masing masing. Yang tidak mendapat kuda berlari ke balik pepohonan. Mereka pun akhirnya menghilang dari balik kegelapan.
Disini tidak ada yang mengejar rombongan tersebut. Hingga perampok terakhir menghilang dibalik gelapnya malam, para penjaga hanya bisa terdiam mengatur nafas. Bukan karena mereka takut dengan serangan balik dan sergapan perampok, namun tenaga para prajurit dan warga Janti sudah terkuras habis dalam pertempuran itu.
Banyak warga dan prajurit yang gugur mempertahankan desa, sisanya sudah sangat kelelahan. Tak ada satupun dari mereka yang kulit dan pakaiannya bersih, semua terluka dan kotor. Dari para sesepuh dan pejabat kademangan yang bertarung, hanya terlihat Ki Nambi, Dawis, dan beberapa saja yang selamat. Joko Seno, Lam, dan yang lain sudah terkapar gugur meninggalkan mereka.
Demang Yasa sengaja membiarkan para perampok kabur dari sana. Dia tidak mau bersusah payah mengejar mereka. Tenaga dan mentalnya sudah cukup terkuras, kalau saja pertarungan itu diteruskan pasti pihaknya akan kalah. Dia juga tidak menyangka kalau sang pemimpin perampok bisa sekuat itu. Kalau tidak karena Demang Yasa punya ilmu dan pengalaman yang mumpuni, pasti dia sudah kalah dari tadi.
Pertarungan itu berlangsung sepanjang malam. Saat pertarungan usai, tak terasa hari sudah menuju pagi. Walau matahari masih agak lama untuk menampakkan diri, namun kokok ayam sudah terdengar dimana mana.
Dengan menghela nafas Demang Yasa kembali menyarungkan pedangnya. Dia menoleh ke sekeliling, hatinya sakit saat dan sedih saat melihat banyak warga yang tewas. Matanya sayu, hampir saja sang demang menangis melihat warga yang dicintainya banyak yang gugur di medan tempur. Dengan wajah murung Demang Yasa memberi beberapa perintah kepada para prajurit yang tersisa.
Selepas memberikan perintah dan arahan, sang demang ditemani Ki Nambi bergegas menuju ke sebuah rumah paling besar. Disana dia agak terkejut melihat empat mayat tergeletak di pendopo rumah. Tanpa melihat kearah mayat tersebut sang demang masuk ke dalam rumah, hatinya mendadak tegang.
Benar saja kecemasan sang demang, beberapa harta desa yang tersimpan di ruang rahasia telah lenyap. Berbagai perhiasan, uang, dan emas telah raib, termasuk di dalamnya gulungan kitab meditasi yang diberikan oleh Rantini. Dia pun teringat akan wanita yang menyerangnya, wanita itu membawa sebuah bungkusan besar. Kemungkinan besar bungkusan itu adalah harta yang dicuri dari ruang rahasia.
Dalam hati Demang Yasa semakin pilu mengetahui hal tersebut. Ki Nambi yang berada di sebelahnya pun juga menampakkan ekspresi muram.
Tak berselang lama, mereka berdua pun keluar rumah. Disana sudah menunggu seorang wanita remaja yang tampak cemas. Dia merasa takut melihat ada empat mayat tergeletak bersimbah darah di pendopo. Sang demang pun menghampirinya, diajaknya remaja itu keluar dari rumah itu.
Para pendekar sakti mandraguna bertempur dengan si raksasa Kurupa. Mereka melakukan pertempuran dengan berbagai serangan yang luar biasa kuat dan dalam jangkauan yang luas. Beberapa hari mereka bertempur, menyebabkan wilayah itu menjadi hancur. Badai angin, gempa bumi, gunung meletus, bahkan sungai pun meluap menyebabkan banjir bandang ke segala penjuru. Tanah di hutan Trangil sudah tidak berbentuk, rusak dan gersang, tidak ada tanda kehidupan di atasnya.Selama lima hari bertempur, Kurupa mulai terdesak. Dia yang hanya seorang diri akhirnya tidak mampu mengimbangi kekuatan para pendekar yang bersatu. Kurupa kemudian melarikan diri dengan menghilang dibalik udara hampa. Para pendekar tidak mampu melacak keberadaannya, aura dan jejaknya semua hilang seketika."Aaarrgghh! Kurang ajar si Kurupa itu! Kita tidak boleh membiarkannya lolos begitu saja, kuta harus mencarinya sampai ketemu!" Ki Ekadanta marah mengetahui Kurupa hilang di depan mata."Kalian semua tidak us
"Hei, babi dari Pinus Angin! Hadapi aku kalau kau sanggup!" Tantang si wanita penghadang."Huh! Nyi Kupita, suamimu sudah mati di tangan kami! Kini saatnya giliranmu ikut suamimu ke alam kematian!""Heh! Kejar aku kalau kau sanggup!"Nyi Kupita bergerak bagai angin, dia berlalu menghindari keramaian, diikuti oleh Suli yang mengejarnya. Mereka berdua bergerak menembus kobaran api, menuju ke suatu tempat yang lain.Di sebuah bukit sang wanita berhenti, punggungnya membelakangi Suli."Kena kau sekarang! Beraninya kau mengacaukan rencanaku yang sudah aku buat selama bertahun tahun." Ucap wanita itu.Suli berhenti, dia waspada. Apa maksud dari ucapan Nyi Kupita itu."Apa kau tahu siapa aku?" Tanya Nyi Kupita. Suaranya perlahan mulai berubah agak berat."Apa kau tahu? Ha?!""Aku adalah Gendri Kupita! Penguasa gunung dan lembah! Kau tak akan sanggup melawanku! Hahaha..." Wanita itu berteriak dan tertawa terbahak bahak. Dia kemu
Beberapa waktu para panglima Mataram dan pendekar dari berbagai perguruan melanjutkan pembicaraan. Mereka membahas teknis pergerakan mereka. Suli dan para murid Perguruan Pinus Angin bergerak dari arah barat. Mereka mengepung ke timur dan langsung menuju ke sumber ritual berlangsung.Selesai pembahasan, mereka pun segera bertindak. Selesai persiapan, Suli menuju ke bagian barat hutan Trangil, lantas bersembunyi di balik pepohonan.Tidak lama, sebuah asap hitam membubung tinggi dari berbagai arah. Api menggelora tinggi melebihi pohon, membakar sisi sisi hutan. Api itu menjalar dari satu pohon ke pohon yang lain, menutup bagian luar hutan, terus merasuk semakin jauh ke dalam.Para prajurit dan pendekar yang bersembunyi di luar hutan juga mulai merangsek masuk dari celah kobaran api. Mereka bergerak sesuai rencana, menutup seluruh pergerakan para penganut ilmu hitam.Melihat api yang berkobar sangat besar dari segala arah, para penganut ilmu hitam tetap tena
Beberapa hari setelah penyerangan ke sarang perampok Tanduk Api, Janu dan kawan kawan berpisah dengan Suli. Mereka kembali ke Perguruan Pinus Angin, sementara Suli masih melanjutkan tugasnya. Sebelumnya, para tawanan sudah dikembalikan ke desa masing masing oleh para prajurit Lasem."Kalau kalian mendapat tugas semacam ini lagi, butuh dua kali lagi agar nilainya bisa ditukar dengan ramuan mantra ilusi. Aku jamin ramuan itu akan sangat berguna bagi kalian." Saran Suli saat mereka hendak balik ke perguruan."Ramuan mantra ilusi? Apa itu kak?" Tanya Malya penasaran."Itu adalah semacam ramuan mujarab untuk melancarkan kemampuan berpikir kita. Ramuan itu sangat penting apabila kalian menginginkan sebuah pencerahan. Tapi ingat! Ramuan itu hanya boleh diminum sekali saja.""Hmm, baik kak! Sekarang kami balik dulu, selamat tinggal kak Suli! Sampia jumpa nanti di perguruan."Tujuh orang lelaki dan dua perempuan berjalan kembali menuju ke perguruan. Mereka
"Kak Suli! Semua kawanan perampok sudah kami tumbangkan. Jalada, Andaka, dan Kijan sudah tewas semua, sisa Nyi Kupita yang berhasil melarikan diri ke hutan." Lapor Wulung."Coba kalian periksa sekali lagi, siapa tahu masih ada yang bersembunyi di dalam pondok tau di pinggir bukit.""Baik kak!"Wulung lantas mengajak beberapa murid lain untuk berkeliling. Sementara itu Malya berdiri terpaku menatap Janu yang tengah bermeditasi menyembuhkan diri."Kak, apa dia baik baik saja?" Tanya Malya kepada Suli."Dia baik baik saja, serangan tadi hanya melukai bagian dalam sedikit saja, tidak berpengaruh besar. Dengan ramuan buatanku ini, semua luka dalam akan sembuh seketika, bahkan mungkin bisa memicu peningkatan kekebalan tubuh menjadi lebih baik lagi." Jawab Suli santai."Ramuan macam apa itu kak?" Gumam Malya."Hehehe, kau tidak perlu tahu. Ini rahasia!" Suli tersenyum tipis."Aish! Dasar kakak gendut!" Umpat Malya sedikit kecewa. Dia
Jalada menyerang dengan membabi buta, tidak sadar bahwa senjatanya rusak parah melawan pisau Dwitungga Baruna. Sampai akhirnya goloknya patah, barulah dia mampu dibekuk oleh Janu. Dengan mengorbankan dada kanannya, Janu berhasil menghujamkan pisaunya ke perut Jalada. Ditambah dengan luka yang cukup lebar di leher, membuat lelaki itu pun terjatuh kehilangan nyawa.Para pengikut Jalada kaget melihat pimpinan mereka tewas di tangan Janu. Mereka serasa tidak percaya melihat junjungannya yang selama ini dianggap paling kuat dan brutal bisa sampai meregang nyawa dikalahkan oleh Janu.Kijan, Andaka, dan para wakil perampok yang lain pun juga ikut kaget. Keringat dingin mengucur deras, kini tidak ada lagi yang mampu menahan serangan para murid Perguruan Pinus Angin. Beberapa langsung berlari melarikan diri, sebagian besar masih terdiam di tempat.Melihat Jalada tewas, Nyi Kupita langsung ambil langkah seribu. Dia pergi begitu saja dari hadapan Suli yang tadi sempat mela