เข้าสู่ระบบSaat Leo hendak melangkah keluar dari kamar itu, tangannya tiba-tiba ditahan.Leo terhenti.Sindi berdiri sangat dekat, jarak mereka hanya beberapa sentimeter. Jemari Sindi menggenggam pergelangan tangan Leo, tidak kuat, tapi cukup untuk membuat jantung Leo berdetak lebih cepat. Lampu tidur yang redup membuat wajah Sindi terlihat samar, namun justru itu yang membuat suasananya terasa semakin menegangkan."Mas Leo…" suara Sindi rendah, hampir berbisik. Nada suaranya berbeda dari sebelumnya. Lebih pelan. Lebih lembut. Dan entah kenapa, terdengar menggoda."Kalau Mas butuh apa-apa… bilang aja ke aku. Aku pasti bantuin."Leo menelan ludah.Sindi melanjutkan, senyumnya tipis namun bermakna."Aku cuma mau balas budi. Mas Leo kan sudah baik, udah ngizinin aku tinggal di sini."Kata-kata itu sederhana, tapi cara Sindi mengucapkannya membuat maknanya terasa lain. Leo paham. Terlalu paham. Dan justru itu yang membuat dadanya semakin sesak.Ia menatap wajah Sindi beberapa detik. Ada rasa terkeju
"kamu ini meledek terus," ucap Leo."Hehe... Lagian kelihatan ada yang nyembul sih," balas Sindi terkekeh."Hmm. Ya wajar kan aku normal, kalau cuaca dingin gini ya biasa," ucap Leo tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sindi."Owh gitu yah? Hehe.. Oya, Mas. Makasih ya," ucapnya. "Kalau nggak dijemput, aku bisa sakit.""Iya," jawab Leo. "Lain kali bawa payung."Sindi mengangguk. "Iya, Mbak Dinda juga sering ngomel soal itu."Nama Dinda disebut, dan entah kenapa itu membuat Leo sedikit lebih tenang. Mobil melaju menuju rumah. Di sepanjang jalan, percakapan mereka ringan, tentang kuliah, tentang rencana Sindi kembali ke kos setelah urusannya selesai, tentang Dinda yang sejak kecil memang selalu perhatian pada keluarganya."Mbak Dinda baik banget ya," ucap Sindi tiba-tiba. "Aku nginep beberapa hari, dia nggak keberatan sama sekali."Leo mengangguk. "Dia memang begitu.""Mas beruntung," lanjut Sindi tulus. "Punya istri kayak Mbak Dinda."Leo terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Iya. Aku t
Nada suaranya datar, tapi rahangnya mengeras. Ia menahan sesuatu di dalam dada, emosi yang belum ia izinkan keluar.Dinda terkekeh kecil. "Ya cewek lah, Mas. Temen SMA aku dulu."Ia mengatakannya dengan lancar. Terlalu lancar. Matanya menatap lurus ke mata Leo, tak menghindar, tak berkedip berlebihan. Ekspresinya tenang, bahkan terlihat sedikit heran kenapa Leo bertanya sejauh itu.Leo terdiam beberapa detik."Ohh," ucapnya singkat.Dinda menyentuh lengan Leo. "Kok nanya gitu? Mas lagi sensitif ya?"Leo menggeleng. "Nggak. Cuma nanya."Dinda tersenyum, lalu bersandar lagi seperti biasa. "Mas jangan kebanyakan pikiran. Nggak baik buat kesehatan."Leo mengiyakan. "Iya...."Ia tidak bertanya lagi. Tidak menggali lebih dalam. Tidak meminta bukti. Tidak bertanya nama.Namun di dalam kepalanya, suara lain berbicara jauh lebih keras."Itu orang yang sama. Aku yakin."Nada suara Dinda di telepon tadi siang kembali terngiang. Cara ia berkata, “Jangan ke sini, Mas.” Cara suaranya terdengar pani
Leo tersenyum lagi, senyum yang kali ini terasa lebih berat. "Sedikit."Dinda meraih tangan Leo, menggenggamnya. Sentuhan itu biasanya menenangkan. Tapi kali ini, justru membuat hati Leo bergejolak.“Kamu kenapa, Mas?” tanya Dinda lagi, jelas merasakan ada yang berbeda.Leo menatap tangan mereka yang saling menggenggam. Ada dorongan kuat untuk bertanya. Kalimat itu sudah hampir keluar dari bibirnya. "Siapa yang kamu telepon? Kenapa kamu bilang begitu? Apa maksudnya?"Namun ia menahannya.Leo mengangkat kepala dan menatap Dinda. "Nggak apa-apa, Sayang" ucapnnya.Dinda mengangguk, meski raut wajahnya masih menyiratkan kebingungan. "Kamu mau minum, Mas? Aku ambilin.""Nanti aja," jawab Leo.Dinda menghela nafas.Mereka duduk berdampingan dalam diam. Dinda menyandarkan kepalanya ke bahu Leo, seperti kebiasaannya. Leo membiarkan, meski pikirannya tak berhenti bekerja.Di satu sisi, ia merasa bersalah, karena tadi pagi pikirannya sendiri sempat menyimpang. Di sisi lain, rasa curiga itu kini
Leo menegang. "Jangan ganti baju di sini," ucapnya cepat, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari yang ia maksudkan.Sindi menoleh, alisnya terangkat. "Kenapa?" ucapnya ringan. "Kan di dalam mobil. Nggak ada yang lihat. Cuma Mas Leo doang.""Iya itu, aku lihat.. aku ini normal tahu," sahut Leo spontan. Begitu kata itu keluar, ia langsung menyesalinya. Ada perasaan campur aduk, antara refleks jujur dan kesadaran bahwa kalimat itu membuka celah yang tak seharusnya.Sindi terkekeh pelan. "Tenang aja. Aku cuma lepas jaket," ucapnya sambil menarik resleting hingga terbuka. Jaket itu melorot dari bahunya, memperlihatkan kaos tipis yang melekat rapi di tubuhnya. "Lagipula Alaku masih pakai kaos, kok."Leo menelan ludah. Ia tak berkata apa-apa. Tangannya mencengkeram setir sedikit lebih kuat. Hatinya berkecamuk, bayangan Dinda terlintas cepat, senyum istrinya saat melepas kepergiannya tadi pagi, pesan singkat agar ia tak lama-lama. Leo memejamkan mata sepersekian detik, lalu membukanya lagi,
"Maaf ganggu… aku cuma mau izin. Aku boleh pakai sabun cuci muka yang di kamar mandi itu nggak? Yang warna hijau. Itu punya Mbak, kan? Sabun aku habis."Dinda menghela napas kecil. Ada rasa sebal, tapi ia menahannya. Ia melirik Leo sekilas, lalu melangkah ke pintu dan membukanya."Oh, iya. Pakai aja," jawab Dinda datar. Sindi tersenyum lebar, senyum yang terlalu manis untuk situasi sederhana. Pandangannya sempat melirik ke arah Leo yang berdiri agak ke belakang. Mata mereka bertemu sepersekian detik, cukup singkat, tapi cukup untuk membuat jantung Leo berdetak lebih cepat dari seharusnya."Makasi ya, Mbak," ucap Sindi, lalu berbalik menuju kamar mandi.Pintu kamar ditutup kembali.Begitu sunyi menyelimuti ruangan, Leo menghembuskan napas panjang. Ada rasa kesal yang tak bisa ia sembunyikan. Bukan pada Dinda, bukan juga sepenuhnya pada Sindi, tapi pada situasi yang memotong sesuatu yang sedang ia nikmati."Ganggu banget tuh anak," gumam Leo tanpa sadar.Dinda menoleh. "Kamu kenapa, M







