Share

Bab 11

Author: Nikki
Ekspresi tenang Adeline membuat Kaivan merasa sangat hambar dan membosankan. Dia mencibir dan berbalik untuk masuk ke dapur. Dia merasa Adeline hanya berpura-pura murah hati untuk menikahinya. Ketika mereka berdua benar-benar menikah, masih belum diketahui apa yang akan Adeline lakukan.

Setelah kembali ke kamar, Adeline menyalakan komputer dan menenangkan diri sebelum melanjutkan bekerja.

Dalam beberapa hari berikutnya, Adeline sibuk dengan pekerjaannya dan pulang larut malam setiap hari. Saat dia kembali ke rumah, Kaivan biasanya sedang membaca dokumen di ruang tamu atau belum kembali.

Kedua orang ini tinggal di bawah atap yang sama, tetapi percakapan mereka tidak lebih dari lima kalimat dalam beberapa hari ini.

Dulu, Adeline pasti tidak tahan dan akan berinisiatif mencari Kaivan untuk berdamai. Sekarang, dia merasa biasa-biasa saja dan sama sekali tidak sedih.

Kaivan tentu menyadari bahwa setelah kepulangannya kali ini, sikap Adeline terhadapnya menjadi jauh lebih dingin. Adeline hanya memasak untuk dirinya sendiri, tidak menyalakan lampu untuknya di malam hari, tidak memasak sup pereda mabuk untuknya setelah dia minum-minum dengan klien, juga tidak bertanya kenapa dia tidak pulang semalaman.

Mereka lebih seperti teman sekamar yang mau tak mau berbagi rumah karena tidak punya uang. Mereka tidak saling ikut campur dalam urusan pihak lain, juga hampir tidak berinteraksi.

Namun, Kaivan tetap bersikap santai. Bagaimanapun juga, dia sudah tidak mencintai Adeline dan malas mencari cara untuk menyenangkannya.

Dalam sekejap, akhir pekan tiba lagi dan Prisa datang untuk membawa mereka pergi mengambil foto pranikah. Setelah mengambil foto set pakaian pertama, Adeline duduk di depan cermin untuk berganti riasan, sedangkan Kaivan duduk di sofa di belakangnya dan memainkan ponsel.

Tepat ketika Adeline selesai dirias, raut wajah Kaivan tiba-tiba berubah. Dia segera bangkit dan berkata, "Kita lanjutkan lagi pemotretan ini di lain hari. Aku ada urusan mendesak."

Sebelum Adeline sempat bicara, Prisa merampas ponselnya dan berseru marah, "Apa yang lebih penting dari ambil foto pranikah! Perusahaanmu bangkrut?"

Ketika duduk di sebelah Kaivan tadi, Prisa sudah menyadari ada seorang gadis bernama Lesya yang terus-menerus mengirim pesan kepada Kaivan. Meskipun Kaivan tidak membalas, raut wajahnya terlihat cemas.

"Ibu, kembalikan ponselku! Lesya mengancam akan melompat dari gedung. Apa nyawa manusia nggak lebih penting dari foto pranikah!"

Prisa mencibir, "Lompat dari gedung? Kalau begitu, biarkan saja dia melompat! Kalau pelakor nggak tahu malu yang hancurkan hubungan orang lain sepertinya lanjut hidup, itu justru akan buat orang lain merasa jijik!"

"Ibu, sudah cukup kamu bicaranya? Kalau kamu nggak izinkanku aku pergi hari ini, aku nggak akan nikah!"

Wajah Kaivan terlihat sangat suram. Aura intimidasi yang menyelimutinya membuatnya terlihat menakutkan.

"Kaivan, coba ulangi lagi ucapanmu!"

Prisa memelototi Kaivan. Matanya penuh dengan kekecewaan dan amarah. Suasananya juga menjadi tegang. Ibu dan anak itu saling berpandangan dan tak seorang pun berbicara untuk beberapa saat.

Suasana di ruang ganti begitu sunyi. Para staf di sekitar bahkan secara refleks menahan napas. Setiap detik terasa sangat panjang. Tiba-tiba, terdengar suara sepatu hak tinggi.

Adeline berjalan ke sisi Prisa, lalu mengambil ponsel itu.

"Adeline ... kamu ...." Prisa menatapnya dengan heran karena tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

Adeline tidak menatap Prisa. Dia menyerahkan ponsel itu kepada Kaivan. "Pergilah."

Raut wajahnya terlihat tenang. Dia tidak histeris, juga tidak kecewa maupun sedih. Dia hanya menatap Kaivan dengan tatapan kosong, seperti menatap orang asing.

Napas Kaivan pun tercekat. Akan tetapi, pada detik berikutnya, dia mengambil ponselnya dari tangan Adeline dan berbalik untuk pergi tanpa ragu.

Melihat punggungnya, Adeline samar-samar teringat hari dia diusir oleh Keluarga Thomas. Udaranya sangat dingin, tetapi Kaivan menuntunnya keluar dengan tangannya yang kering dan hangat. Saat itu, dia juga menatap punggung Kaivan seperti ini.

Pada saat itu, yang ada di benaknya adalah, Kaivan akan menjadi satu-satunya penopangnya di masa depan. Sekarang, dia hanya bisa memandang Kaivan pergi mencari wanita lain. Adeline tidak bisa menghentikannya, juga tidak ingin menghentikannya.

Prisa menatap Adeline dengan raut wajah dipenuhi rasa bersalah dan sedih. "Adeline ...."

Adeline tersenyum tipis dan menghiburnya, "Bibi, aku tahu apa yang mau kamu katakan. Kamu nggak perlu mengatakannya. Nggak apa-apa kok. Lagian, kami sudah ambil beberapa foto pranikah, itu sudah cukup."

"Aku hanya merasa kamu terlalu dirugikan."

"Nggak kok."

Adeline tidak lagi menaruh harapan pada Kaivan. Jadi, dia tidak merasa dirugikan.

Prisa menghela napas dan mau tak mau meragukan keputusannya. Apakah dia seharusnya menggunakan jasanya menyelamatkan nyawa Adeline untuk memaksa Adeline memberi Kaivan kesempatan? Namun, masalahnya telah mencapai titik ini. Meskipun menyesalinya, semuanya juga sudah terlambat.

Setelah mengantar Prisa pergi, Adeline menatap staf di sampingnya dan bertanya, "Masih ada berapa set foto pranikah yang tersisa?"

"Bu Adeline, sebelumnya kalian pesan empat set pakaian dan kami kasih bonus satu set. Jadi, masih ada empat set pakaian yang harus diambil fotonya. Apa pengambilan gambarnya mau diundur dulu atau bagaimana?"

"Nggak perlu undur lagi, selesaikan saja hari ini."

Staf itu merasa serbasalah ketika mendengar jawaban Adeline. "Bu Adeline mau ambil fotonya sendirian?"

"Emm, tolong bantu aku hapus dia dari foto-foto yang diambil sebelumnya, lalu edit fotonya jadi foto artistik pribadiku."

"Hah? Oh .... Oke .... Kalau begitu, apa beberapa set foto berikutnya juga mau dijadikan foto artistik pribadi?"

Adeline mengangguk. "Emm."

Sebelumnya, dia sudah membandingkan banyak studio sebelum memilih studio ini. Jadi, dia tidak berencana untuk menyia-nyiakannya.

Waktu sudah lewat pukul enam sore ketika Adeline selesai mengambil foto. Dia pergi ke restoran di dekat studio dan makan malam sebelum pulang. Sesuai dugaan, ruangannya masih gelap ketika dia membuka pintu.

Setelah melakukan sesi pemotretan seharian, Adeline sangat lelah. Dia kembali ke kamar, lalu mandi dan langsung tidur.

Keesokan paginya, saat Adeline hendak keluar rumah, Kaivan tiba-tiba menghentikannya. "Adeline, ayo kita bicara."

Adeline menghentikan langkahnya dan melirik jam sebelum menatapnya. "Aku cuma punya waktu lima menit. Apa yang mau kamu bicarakan?"

"Aku bisa menikahimu dengan syarat, kamu nggak boleh ikut campur lagi dalam hubunganku dengan Lesya."

Melihat ekspresi Kaivan yang seolah-olah sudah banyak mengalah, Adeline merasa sedikit konyol. Sebelumnya, dia benar-benar terlalu merendahkan dirinya. Mungkin saking dia merendahkan diri, Kaivan sampai berpikiran bahwa dia tidak akan meninggalkan Kaivan tidak peduli bagaimana pun Kaivan menyakitinya. Oleh karena itu, Kaivan baru bisa mengucapkan kata-kata seperti ini, 'kan?

"Kaivan, sehari setelah kita makan di rumah Bibi, Bibi datang ke firma hukum untuk menemuiku. Dia minta aku untuk kasih kamu satu kesempatan lagi sebagai balasan atas jasanya menyelamatkan nyawaku."

Raut wajah Kaivan seketika berubah, tetapi Adeline mengabaikannya dan melanjutkan, "Waktu itu, aku bilang kalau kamu bisa putus dengan Lesya dalam waktu sebulan, aku akan memaafkanmu."

"Aku tahu kamu nggak mau menikah denganku. Aku juga nggak mau jadi orang jahat yang membuatmu putus dengan Lesya. Sekarang, masih ada 20 hari lagi sebelum waktu sebulan itu. Kamu cuma perlu lanjut bersama Lesya. Setelah batas waktu satu bulan, kita akan putus," ujar Adeline.

Begitu mendengarnya, Kaivan pun mencibir, "Adeline, bisa nggak kamu berhenti timbulkan drama? Kamu ngomong begini bukannya karena mau paksa aku untuk putus sama Lesya? Aku sudah setuju untuk menikah denganmu, apa lagi yang buat kamu nggak puas? Apa memberimu status sebagai istriku masih nggak cukup?"

Kaivan tidak memercayai sepatah kata pun ucapan Adeline. Mereka akan segera menikah, bagaimana mungkin Adeline setuju untuk putus? Itu hanyalah alasan Adeline untuk memaksanya putus dengan Lesya.

Melihat ekspresi Kaivan yang tidak sabar, hati Adeline terasa getir. "Kaivan, aku nggak pernah menginginkan status sebagai istrimu."

Yang diinginkannya selalu adalah ketulusan Kaivan saat mereka masih berkuliah. Sayangnya, Kaivan yang sekarang tidak akan pernah mengerti. Meskipun mengerti, dia tidak akan peduli.

Kaivan menatapnya dengan ekspresi mengejek. "Kamu nggak mau status sebagai istriku, tapi kamu malah mencoba segala cara untuk memaksaku menikah denganmu?"

"Sudah kubilang, setelah batas waktu satu bulan habis, kita akan putus."
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Lilies
Kaivan terlalu percaya diri, dia pasti akan hancur setelah adel pergi
goodnovel comment avatar
Visra Delvia
apa yng akan dilakukan kaivan setelah Adel pergi,dasar kaivan ngak peka
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 376

    Adeline menoleh sambil menjawab, "Bi Winda, aku ada sidang hari ini dan sudah hampir terlambat. Kuserahkan Nenek padamu, ya."Seusai berbicara, dia berbalik dan bergegas pergi.Winda membiarkan Adeline membawa pergi sarapan yang disiapkannya. Alhasil, baru saja dia mengambil sarapan dan hendak mengejar Adeline, sosok Adeline sudah menghilang di belokan."Haih ...."Winda menghela napas dan meletakkan kembali sarapannya.Setelah menempuh perjalanan yang begitu terburu-buru, Adeline akhirnya tiba di gedung pengadilan lima menit sebelum sidang dimulai.Henry sudah menyiapkan dokumen dan menunggunya di depan pintu. Begitu melihat Adeline, dia langsung menghela napas lega."Kak Adeline, akhirnya kamu sampai juga. Cepat masuk!""Emm."Adeline mengambil dokumen kasus itu, lalu membuka pintu dan berjalan masuk. Untungnya, persidangan berjalan lancar dan berakhir dalam waktu kurang dari dua jam.Setelah membereskan dokumen, Adeline dan Henry meninggalkan gedung pengadilan bersama."Oh iya, Henr

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 375

    Suara Petra sangat rendah dan terkesan seperti membujuk. Saat mendengarnya, jantung Adeline juga mulai berdegup kencang. Dia balas memeluk Petra dan berbisik, "Oke, tapi besok saja. Aku masih harus jagain Nenek malam ini."Petra menghela napas pelan dan menyahut, "Baiklah."Setelah Petra pergi, Adeline berjalan ke samping tempat tidur, lalu duduk dan menggenggam tangan Anita."Nenek, aku sudah tahu siapa yang ganti obat Nenek. Aku yakin kita akan segera temukan siapa dalang di balik hal ini. Yang terpenting bagi Nenek sekarang adalah istirahat yang cukup dan jangan terlalu banyak berpikir. Apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sisi Nenek. Aku nggak akan biarkan siapa pun sakiti Nenek lagi!" Air mata mengalir dari sudut mata Anita. Hatinya diliputi emosi. "Wu ... wu ...."Adeline menyadari Anita sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia pun mencondongkan tubuh lebih dekat. "Nenek, apa yang mau Nenek katakan?""Wu ... pergi ... ke ... perusahaan ...."Adeline menurunkan pandangan

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 374

    Berhubung merasa tidak senang karena Anita menyerahkan perusahaan kepada Delon, Deddy telah tinggal di luar negeri selama beberapa tahun terakhir dan tidak pernah kembali. Dia pada dasarnya adalah orang yang malas dan hanya tahu bersenang-senang. Jika bukan berkat tunjangan hidup bulanan dari Anita, mereka sekeluarga pasti sudah mati kelaparan di luar negeri.Setelah Anita terkena strok dan mengalami kelumpuhan serta kehilangan kemampuan untuk berbicara, Deddy sekeluarga baru kembali. Namun, tujuannya kembali bukan untuk menjenguk Anita, melainkan untuk merebut warisan keluarga.Memikirkan hal ini, wajah Adeline perlahan-lahan menjadi dingin. Dia sangat merasa sedih untuk Anita. Salah satu dari dua putra Anita memanfaatkan kelumpuhannya untuk memaksanya membubuhkan cap jari dokumen pembagian harta, sedangkan yang satu lagi pulang untuk mengambil alih perusahaan. Tak satu pun dari mereka yang bertanya tentang kondisi Anita.Deddy mengerutkan kening sambil menatap Delon, lalu berkata, "

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 373

    "Ibu, maaf aku datang terlambat! Keluarga kami pergi berlibur beberapa waktu yang lalu. Kami baru tahu Ibu dirawat di rumah sakit waktu kami kembali. Jadi, kami langsung bergegas datang," ujar Deddy.Delon menatap Deddy dengan dingin. "Bukannya aku sempat kirim pesan ke kamu tepat setelah operasi Ibu? Kenapa kamu baru tahu soal Ibu setelah kembali? Memangnya kalian sekeluarga pergi berlibur ke bulan, makanya nggak ada sinyal?"Ekspresi Deddy seketika membeku. Sebelum dia sempat mengatakan apa-apa, istrinya yang bernama Lenny berbicara terlebih dahulu, "Kak, jangan ngomong begitu. Bukankah wajar kalau sinyal kami agak buruk waktu kami liburan?""Lagian, kamu jangan lupa. Dulu, Ibu cuma suruh kamu untuk kelola Grup Thomas. Deddy bahkan nggak pernah ikut campur sedikit pun. Ibu sudah wariskan perusahaan kepadamu. Itu setara dengan sebagian besar kekayaan Ibu. Bukannya kamu seharusnya lebih berbakti?"Delon mengerutkan kening dan menyahut, "Aku nggak izinkan Deddy bekerja di perusahaan kar

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 372

    "Kamu!"Shinta langsung murka dan menatap Petra dengan geram. Setelah beberapa saat, dia mengalihkan pandangannya ke Adeline. "Adeline, kamu mau biarkan orang luar ejek ibumu seperti ini? Seburuk apa pun aku bersikap, orang luar tetap nggak berhak untuk kritik aku!"Adeline menatapnya. "Bagi kalian bertiga, bukannya aku juga orang luar?"Kapan Shinta pernah menganggap Adeline sebagai putrinya?Shinta mendengus. "Kalau saja kamu nggak begitu membangkang, aku nggak akan begitu membencimu.""Aku juga nggak butuh kamu menyukaiku. Kalian datang ke sini hari ini juga bukan untuk berdebat denganku, 'kan?"Sebelum Shinta sempat mengatakan apa-apa, Amanda tersenyum dan berkata, "Kak, kami datang untuk jenguk Nenek."Meskipun sedang berbicara dengan Adeline, mata Amanda terus tertuju pada Petra. Dia akhirnya ingat di mana dia pernah melihat Petra sebelumnya.Di sebuah pesta beberapa tahun yang lalu, dari kejauhan di lantai satu, Amanda pernah melihat Petra yang sedang mengobrol dengan seorang te

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 371

    Setelah menelepon polisi, Winda menelepon Adeline. "Nona, orang yang diam-diam ganti obat Nyonya sudah ditemukan.""Pelakunya Endah?"Winda tercengang. "Emm, kok Nona tahu?""Sehari setelah Nenek kena strok, aku sudah suruh orang untuk selidiki orang-orang yang punya akses ke obatnya. Asistenku baru saja kirimkan hasil penyelidikannya. Putranya Endah kalah miliaran karena judi. Aku rasa itu sebabnya dia bisa disuap orang untuk ganti obat Nenek," jelas Adeline.Apabila Anita tidak lupa minum obat satu hari di bulan ini, hal ini mungkin akan dianggap sebagai kecelakaan. Untungnya ....Winda menyahut dengan marah, "Emm, aku sudah lapor polisi. Mereka akan segera datang untuk tangkap dia. Nanti mereka pasti akan tahu siapa dalang di balik semua ini!""Oke."Setelah menutup telepon, raut wajah Adeline menjadi muram. Sebenarnya, sudah ada orang yang dicurigainya. Kali ini, dalangnya berkemungkinan besar adalah Amanda atau Shinta. Bagaimanapun juga, Anita telah mengusir Amanda dari Grup Thoma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status