Share

Bab 10

Author: Nikki
Melihat cinta Kaivan terhadap Lesya, Adeline tak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Perasaannya terhadap Kaivan telah terkikis oleh drama yang berulang kali terjadi selama beberapa tahun terakhir. Kini, itu tidak cukup lagi menjadi alasannya untuk lanjut bertahan.

"Nggak kok!" Prisa berkata dengan tegas, "Beri dia sebuah kesempatan lagi. Kalau kali ini dia masih mengecewakanmu seperti sebelumnya, aku juga nggak akan membujukmu lagi. Kali ini, anggap saja aku pakai jasaku menyelamatkanmu dulu untuk gantikan Kai memohon padamu. Oke?"

Adeline menghela napas dalam hati. Sebenarnya, yang dilakukan Prisa hanyalah menunda waktunya putus dengan Kaivan, tetapi hasilnya akan tetap sama. Bagaimana mungkin dua orang yang tidak saling mencintai mampu melanjutkan perjalanan hidup bersama?

Di bawah tatapan memohon Prisa, Adeline akhirnya mengangguk. "Baiklah. Bibi, aku janji, kalau Kaivan bisa putus sama Lesya dalam waktu sebulan, aku akan memaafkannya."

Adeline memang berkata begitu, tetapi dia tahu jelas bahwa Kaivan tidak akan pernah menyerah soal Lesya demi dirinya.

Melihat Adeline setuju, Prisa akhirnya menghela napas lega dan segera mengeluarkan gelang yang dibawanya dari dalam tas.

"Ini peninggalan nenek Kai untukku. Aku nggak punya barang berharga. Ini hadiah pernikahanku untukmu. Kamu jangan keberatan, ya."

Gelang giok itu terlihat mengilap di bawah cahaya dan terlihat sangat mahal.

Adeline mendorong gelang giok itu kembali ke hadapan Prisa dan berujar, "Bibi, ini terlalu mahal. Aku nggak bisa menerimanya."

"Ini nggak mahal kok, cuma sebuah gelang."

Adeline menggeleng dan bersikeras tidak menerimanya. Jadi, Prisa terpaksa menyerah. Setelah mengantar Prisa masuk ke taksi, Adeline pun pulang.

Entah apa yang Prisa lakukan, Kaivan pulang ke rumah selama beberapa hari berturut-turut. Namun, saat menghadapi Adeline, dia pada dasarnya hanya memasang wajah dingin dan tidak berinisiatif untuk berbicara dengan Adeline. Lesya sepertinya tidak berhenti meneleponnya, tetapi Kaivan tidak menjawab satu pun telepon itu untuk yang pertama kalinya.

Adeline tidak tahu kenapa Kaivan tiba-tiba berubah, tetapi juga tidak peduli. Setiap harinya, dia mengabaikan keberadaan Kaivan. Setelah melewati bulan ini, dia termasuk sudah membalas budi atas pertolongan Prisa dulu dan akan bebas.

Adeline tidak pernah menyangka bahwa di hari dirinya siap meninggalkan Kaivan, dia akan merasa seperti sudah terlepas dari beban. Tanpa berpikir panjang, dia menenangkan diri dan lanjut membaca dokumen-dokumennya.

Di akhir pekan, Prisa datang untuk membahas masalah pernikahan mereka. Setelah mengetahui bahwa Kaivan dan Adeline sudah kehilangan minat untuk mengurusnya, dia pun mengambil alih untuk menanganinya.

Adeline dan Kaivan duduk di ujung kedua sisi sofa. Yang satu di sisi kiri, sedangkan yang satu lagi di sisi kanan. Mereka terpisah oleh jarak yang sangat jelas. Dibandingkan dengan pasangan pengantin baru yang akan menikah, mereka lebih mirip seperti pasangan yang akan bercerai karena hubungan yang sudah retak.

Prisa duduk di hadapan mereka dan menunjukkan beberapa sampel undangan yang telah dipilihnya. Kaivan langsung menunjuk undangan yang paling kampungan dengan ekspresi acuh tak acuh.

"Yang di pojok kiri atas saja."

Adeline melirik undangan itu. Model undangannya sudah ketinggalan zaman dan hanya ada sebuah kata "undangan" tanpa hiasan apa pun. Undangan itu pada dasarnya lebih disukai oleh orang dari generasi yang lebih tua. Semua undangan lainnya lebih cantik daripada yang dipilih Kaivan itu.

Prisa memelototi Kaivan dan menatap Adeline. "Adeline, kamu suka yang mana? Kita pilih saja yang kamu sukai."

Melihat tampang Prisa yang antusias, Adeline benar-benar ingin menyuruhnya untuk tidak perlu bersikap begitu. Bagaimana mungkin dia dan Kaivan menikah seolah-olah tidak terjadi apa-apa?

Setelah ragu sejenak, dia akhirnya mengurungkan niatnya. Bagaimanapun juga, dia telah berjanji pada Prisa untuk memberi sebuah kesempatan lagi kepada satu sama lain. Pada saat ini, dia akhirnya mengerti bagaimana rasanya dipaksa melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya.

"Bibi, kita pilih yang dia pilih saja."

Prisa tersenyum dan mengangguk. "Oke. Kalau begitu, yang ini ya."

Setelah membahas tentang kotak suvenir dengan mereka berdua, Prisa baru merasa puas dan pulang. Begitu dia pergi, ruang tamu langsung hening kembali.

Adeline melirik jam. Waktunya sudah lebih dari pukul sepuluh malam. Ada kasus yang harus disidangkan besok pagi. Meskipun sudah menyiapkan segala sesuatu, dia memiliki kebiasaan untuk memeriksa sekali lagi untuk merasa tenang.

Saat Adeline bangkit dan hendak berjalan menuju kamar, suara dingin Kaivan tiba-tiba terdengar dari ruang tamu.

"Adeline, menikah dengan pria yang nggak mencintaimu sama seperti menjanda seumur hidup. Apa kamu yakin ini hidup yang kamu inginkan?"

Adeline menghentikan langkahnya dan menatap Kaivan. "Kaivan, kalau kamu nggak mau nikah, silakan kasih tahu Bibi Prisa secara langsung."

Kaivan pun murka dan menatap Adeline lekat-lekat. Dia menyahut sambil tersenyum sinis, "Oke. Jangan nyesal kamu!"

Adeline tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia langsung masuk ke kamar, lalu mengunci pintu. Meskipun Kaivan tinggal di rumah selama beberapa hari terakhir, mereka selalu tidur terpisah. Adeline tidur di kamar, sedangkan Kaivan tidur di sofa ruang tamu.

Setelah memeriksa materi sidang dan memastikan tidak ada masalah, Adeline membereskan semua dokumen itu dan memasukkannya ke dalam tas kerja. Kemudian, dia mengambil piama dan pergi mandi sebelum tidur.

Keesokan paginya, setelah menyikat gigi dan mencuci wajah, Adeline keluar dari kamar dengan membawa tas kerjanya. Sosok Kaivan sudah tidak terlihat di sofa ruang tamu.

Sidang pagi ini berjalan lancar. Materi dan bukti yang diajukan Adeline relatif lengkap sehingga sidang pertama berakhir dengan cepat. Masih ada waktu sebelum putusan diumumkan. Jika semuanya berjalan lancar, Adeline seharusnya bisa memenangkan sidang ini.

Baru saja Adeline keluar dari ruang sidang dan hendak pergi, seseorang tiba-tiba menghampirinya. Dia pun terkejut dan mundur dua langkah sebelum menyadari bahwa itu adalah Lesya.

Mata Lesya terlihat merah dan bengkak, sedangkan wajahnya agak lesu. Dia menatap Adeline dengan marah.

"Adeline, apa yang sudah kamu lakukan? Kenapa Pak Kaivan nggak menjawab teleponku akhir-akhir ini dan bersikap dingin padaku di kantor?"

Nada bertanya Lesya membuat Adeline kesal. Dia pun menjawab dengan dingin, "Kamu seharusnya tanya pada Kaivan, bukan aku."

"Pasti kamu dalangnya! Sekarang, Pak Kaivan mencintaiku. Meski kamu pakai tipu daya untuk membuatnya mengabaikanku sementara, dia nggak akan bisa jatuh cinta padamu lagi!"

Adeline mengencangkan genggamannya pada tas kerja dan mengangguk dengan tenang. "Kalau begitu, berusahalah untuk membuatnya kembali padamu sesegera mungkin."

Lesya terlihat kesal dan merasa Adeline sedang mengejeknya.

"Kesombonganmu ini nggak akan bertahan lama!" Seusai berbicara, Lesya pun pergi dengan marah.

Adeline menatap punggung Lesya tanpa ekspresi. Sangat jelas bahwa Kaivan sangat memanjakannya. Jika tidak, Lesya tidak akan berani menemuinya dan memprovokasinya.

Adeline mengalihkan pandangannya dan berbalik menuju tempat parkir.

Malam harinya, Kaivan pulang dengan tubuh penuh bau alkohol. Adeline sedang menulis dokumen di ruang tamu. Saat mencium bau alkohol dari tubuh Kaivan, dia pun mengernyit, lalu menutup laptop dan bersiap kembali ke kamar.

Kaivan menghentikannya. "Lesya pergi mencarimu hari ini?"

Begitu Kaivan membuka mulut, bau alkohol di tubuhnya langsung menyelimuti Adeline. Adeline mundur beberapa langkah untuk menjauhkan diri dari Kaivan dan bertanya, "Emm, kenapa?"

Kaivan mengamati wajah Adeline yang berekspresi datar dan tiba-tiba tertawa. Matanya penuh dengan ejekan.

"Belakangan ini, kamu jadi makin murah hati saja. Kalau kamu juga seperti ini sebelumnya, kita nggak mungkin bertengkar sesering itu."

Jika Adeline bisa lanjut bermurah hati dan tidak peduli pada hubungannya dengan Lesya, Kaivan bukannya tidak bisa menikahinya. Meskipun sudah tidak mencintai Adeline, dia tetap akan merasa bangga ketika membawa wanita secantik Adeline keluar sebagai pendampingnya.

Setelah bertemu pandang dengan mata Kaivan yang acuh tak acuh selama beberapa detik, Adeline mengalihkan pandangannya dengan tenang. Dia bukannya murah hati, melainkan tidak peduli lagi pada Kaivan.

"Jangan khawatir, aku nggak akan melakukannya lagi."
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 156

    Melihat Anita bangkit dan hendak pergi, Shinta segera berdiri dan ingin berdiskusi lagi dengannya. Namun, dia malah dihentikan oleh Winda."Nyonya Shinta, sebaiknya kalian pulang saja. Nyonya Anita perlu istirahat."Ekspresi Shinta langsung muram, tetapi dia tidak berani mengatakan apa pun kepada Winda. Bagaimanapun juga, Winda telah bekerja untuk Anita selama 30-40 tahun. Ucapannya sangat berpengaruh bagi Anita. Menyinggung Winda tidak ada gunanya bagi Shinta.Shinta menoleh ke arah Amanda dan berkata, "Amanda, ayo kita pulang!"Amanda mengangguk dan mengikuti Shinta keluar.Setelah masuk ke mobil, Shinta berseru marah, "Itu cuma Vila Harmoni kok! Apa hebatnya! Setiap kali datang menemuinya, aku harus menunduk padanya! Aku sudah muak dengan semua ini!"Mata Amanda bergetar sejenak. Kemudian, dia menunduk dan berujar, "Ibu, maaf. Kalau bukan karena aku, hari ini kamu juga nggak perlu datang ke rumah tua dan dibuat kesal sama Nenek."Melihat rasa bersalah dan sedih di wajah Amanda, Shin

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 155

    "Bu Shinta, selama kamu nggak cari masalah denganku, aku nggak punya keluhan atau pendapat tentangmu."Shinta mencibir. Ekspresinya dipenuhi rasa benci dan kesal."Keluhanmu terhadapku seharusnya nggak akan ada habisnya meski diceritakan selama tiga hari tiga malam, 'kan? Lagian, Amanda juga nggak salah. Meninggalkan Keluarga Thomas itu pilihanmu sendiri. Jangan bersikap seolah-olah orang lain yang bersalah padamu!"Adeline menatap mata Shinta dan merasa agak geli. Shinta masih sama persis seperti beberapa tahun yang lalu, selalu menuduhnya dengan tuduhan palsu tanpa peduli pada kebenarannya."Bu Shinta, aku nggak pernah nyesal karena meninggalkan Keluarga Thomas. Aku juga nggak merasa ada yang bersalah padaku. Kuharap kamu jangan asal berasumsi tentang pemikiranku."Sebagian alasan Adeline memutuskan hubungan dengan Keluarga Thomas memang karena Kaivan. Namun, sebagiannya lagi karena dia benar-benar sudah kecewa dengan anggota Keluarga Thomas."Oke! Aku mau tahu kamu bisa keras kepala

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 154

    Keesokan paginya, Adeline bangun dan mandi. Setelah berjalan ke ruang tamu, dia melihat Amanda dan Shinta yang duduk di sofa dan sedang mengobrol dengan Anita.Adeline belum pernah bertemu dengan Amanda sejak meninggalkan Keluarga Thomas. Setelah beberapa tahun tidak bertemu, Amanda terlihat jauh lebih dewasa. Dia mengenakan setelan bergaya Chanel, merias wajah dengan cantik, dan tersenyum dengan sempurna. Dia terlihat anggun dan cantik.Menyadari tatapan Adeline, Amanda berbalik dan menatapnya."Kak, sudah bangun? Nenek baru saja mau suruh pembantu untuk bangunin kamu."Amanda tersenyum dan berbicara dengan nada akrab. Orang yang tidak mengenal mereka mungkin akan mengira bahwa mereka masih berhubungan selama beberapa tahun terakhir. Adeline memasang tampang dingin dan tidak menjawab. Sebaliknya, dia menatap Anita dan berujar, "Nek, aku ada urusan pagi ini. Aku nggak sarapan di rumah, ya."Anita mengangguk. Ketika dia hendak berbicara, Shinta sudah terlebih dahulu berbicara dengan ek

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 153

    Adeline tertegun sejenak. Setelah tersadar kembali, dia menjawab sambil tersenyum, "Aku akan sibuk selama seminggu ke depan. Setelah aku pindah ke Graha Makmur, kita baru buat janji saja.""Oke. Hati-hati di jalan pulang."Setelah berpamitan dengan Petra, Adeline pun melaju pergi. Ketika tiba di rumah tua Keluarga Thomas dan baru saja Adeline masuk ke ruang tamu, dia melihat Anita sedang duduk di sofa. Rasa keterkejutan pun melintasi mata Adeline."Nenek, kenapa masih belum tidur?"Begitu melihat Adeline, Anita menepuk kursi di sebelahnya dan berujar, "Adel, ayo duduk. Ada yang mau kubicarakan denganmu.""Ada apa?"Setelah duduk di sebelah Anita, Adeline menatapnya dengan ekspresi bingung. "Adel, apa kamu punya tema favorit untuk pesta hari Minggu? Aku akan minta Bi Winda untuk mengaturkannya sesuai tema favoritmu."Adeline menggeleng dan menyahut, "Nek, aturkan saja sesuai keinginan Nenek. Aku nggak punya preferensi khusus."Kilatan kekecewaan melintasi mata Anita. "Adel, di Kediama

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 152

    Sikap Adeline yang acuh tak acuh membuat Kaivan merasa sedih. Setelah hening sejenak, dia memaksakan seulas senyum."Adel, dengar-dengar, Keluarga Thomas lagi rencanakan pesta untuk mengakuimu kembali."Setelah Adeline kembali ke Keluarga Thomas, Kaivan akan mencari cara untuk pergi ke Kediaman Keluarga Thomas dan menetapkan pernikahan mereka, lalu perlahan-lahan membujuk Adeline untuk rujuk. Selama dia terus mendesak, Adeline pasti akan mengalah, sama seperti sebelumnya.Adeline merasa agak kesal. "Apa hubungannya itu denganmu?"Kaivan mengerutkan kening dan hendak berbicara. Namun, ponselnya yang ada di saku tiba-tiba berdering. Ketika panggilan tersambung, dia mendengar sesuatu dari ujung sana dan ekspresinya langsung berubah. "Oke. Aku akan segera ke sana."Setelah menutup telepon, Kaivan menatap Adeline dan berujar, "Adel, aku ada urusan mendadak di perusahaan. Setelah kamu kembali ke Keluarga Thomas, aku akan pergi mencarimu."Adeline bahkan tidak mengangkat kepalanya. Dia langsu

  • Jatuh Bangun sang Pengacara Cantik   Bab 151

    Setelah mengirim pesan itu, Petra segera membalas. Dia mengatakan bahwa dirinya sedang tidak berada di rumah dan mereka bisa bertemu di pintu masuk restoran.Adeline mengirim emoji "ok", lalu mengatakan kepada Petra bahwa dirinya akan segera pergi ke restoran dan akan tiba sekitar pukul enam.Sesampainya di pintu masuk restoran, Adeline kebetulan bertemu dengan Petra. Mereka pun masuk bersama.Pada saat ini, di pinggir jalan. Kaivan sedang mengistirahatkan matanya. Joel yang duduk di kursi penumpang depan tiba-tiba melontarkan gumaman bingung, "Eh?"Kaivan pun membuka matanya dan bertanya, "Ada apa?""Ngg ... nggak apa-apa. Aku kira aku melihat Bu Adeline barusan. Aku seharusnya salah lihat."Akhir-akhir ini, entah apa yang salah dengan Kaivan, intensitas kerjanya meningkat drastis dan dia tidak pernah menanyakan keadaan Adeline lagi. Joel tidak mengerti maksud Kaivan, juga tidak berani mengungkit tentang Adeline di depannya.Namun, yang mengejutkan adalah, Kaivan memecat Lesya. Lesya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status