Share

Jatuh Cinta Jalur Karma
Jatuh Cinta Jalur Karma
Author: Quillie Qie

Alam Walker KW

"Pokonya Leha nggak mau, Mak!" tolak Juleha, gadis berpenampilan kumal.

"Eh, lu itu anak gadis, ngapa kagak mau rawat diri, sih, jaman sekarang kudu gudluking, glowing, dan melting. Nah, lu, kek gombal kompor. Buruan mandi! Atau emak panggilin tukang pemandi jenazah!" ancam Maemunah. Dia sudah sangat sabar menghadapi kelakuan anak gadis satu-satunya itu.

Mau tak mau Leha, menuju ke kamar mandi dan segera mengguyur seluruh tubuhnya. Asal terkena air saja, bagi gadis itu sudah cukup. Baru saja dia membuka pintu, terlihat Maemunah berdiri di sana dengan sapu di tangan. Sepertinya sang ibu merasa tidak puas dengan hasil mandi yang Juleha lakukan.

"Balik, masuk lagi. Mandi! Apaan, itu daki masih nemplok. Ya Allah, Leha, ngidam apa gue pas hamil lu! Ya Allah, bisa nggak, sih, gue masukin lu lagi ke rahim!"

Malas mendengar ocehan sang emak, Leha memilih kembali masuk ke kamar mandi. Kali ini, dia benar-benar menggosok tubuhnya dengan sabun, bahkan membersihkan kaki dengan sikat cucian. Meski sakit, tetapi hasilnya cukup efektif. Noda hitam bekas main di jalanan hilang seketika.

Sudah tiga hari, Leha tak pulang ke rumah. Dia memilih berkeliling kota Bekasi dengan geng motor vespanya. Meski Maemunah berulang kali menegur agar tak melakukan touring ala-ala tersebut, tetapi Leha tak peduli. Baginya lepas tanpa batas, bebas bernapas.

Leha keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuh, rambut pun basah karena keramas, harum wangi sabun tercium di hidung Maemunah. Dia tersenyum melihat anak gadisnya kini sudah kembali terlihat seperti manusia.

Hanya melirik, Leha memilih berlalu menuju kamar. Tak peduli dengan dua jempol tanda bangga yang Maemunah berikan. Leha membuka lemari, tangannya segera mencari baju kesayangan, kaos oblong buluk dan juga celana jeans pendek sedwngkul. Namun, nihil. Dia tak menemukan apa yang dicari.

Tak hanya itu, celana jeans belel dan kemeja kotak-kotak kebanggaan raib semua. Menyisakan baju mode feminim yang Maemunah belikan. Ini pasti ulah sang ibu. Buru-buru Leha memakai baju yang ada di sana. Setelan kaos yang dipadukan dengan rok selutut. Meski risi, dia tetap memakainya.

"Mak, umpetin di mana baju Leha?" tanya Leha, sambil menghampiri emaknya yang tengah berada di dapur.

"Emak bakar, noh, di halaman belakang."

"Ya Allah, Mak, tega banget sama anak." Buru-buru Leha menuju halaman belakang setelah mengatakan hal tersebut. Benar saja, asap hitam mengepul dari tong pembakaran. Meski terbatuk-batuk, dia tetap menghadapi harapan masih ada yang bisa menghadapi hasilnya nihil.

Leha duduk di tanah, menangis, meratapi baju-bajunya yang telah habis dimakan si jago merah. Maemunah tak menyisakan satu pun celana atau kaos oblong di lemarinya.

Lemas, Leha Kembali Masuk Ke Dapur, mengambil segelas air dingin di kulkas dan menenggaknya hingga tandas. Sengaja, dia meletakkan gelas dengan keras di atas meja hingga menimbulkan suara yang membuat Maemunah terlonjak saking kagetnya.

"Bener-bener lu, nih!" caci maemunah, kesal.

"Emak nyebelin, tega sama Leha. Benci sama Emak!" teriak Juleha sambil berlari ke kamarnya.

Maemunah mengusap dadanya sambil menarik napas dalam-dalam. Sejak sang suami meninggal, praktis dirinya yang mengasuh Leha sendiri. Menjadi Ayah dan Ibu sekaligus nyatanya sering membuat kewalahan. Menyerah dan ingin mengakhiri hidup entah sudah berapa kali dia ingin melakukan. Namun, dirinya berubah menjadi kuat tatkala memandang wajah anak semata wayangnya. Meski kadang, perangai anaknya jauh dari yang diharapkan.

Leha membanting pintu kamar. Lantas menjatuhkan tubuh di atas kasur. Air matanya mengalir, touring yang dilakukannya kemarin sejujurnya bukan hal yang aneh-aneh. Di sana, Leha seolah menemukan keluarga baru. Meski dipandang sebelah mata sebenarnya tidak sebobrok yang dilihat orang-orang. Namun, percuma saja dijelaskan, sudah pasti Maemunah tetap tak percaya.

Paginya, Leha sudah siap dengan seragam sekolahnya. Tak lupa dia menguncir rambut dengan gaya ekor kuda. Liburan kenaikan kelas telah berakhir. Saatnya kembali ke sekolah.

"Nggak sarapan dulu, Neng?" tanya Maemunah ketika melihat sang anak hendak pergi ke sekolah tanpa mencicipi nasi goreng yang dibuatnya.

"Diet," balas Juleha, sekenanya sambil meraih tangan kanan sang emak untuk bersalaman. Sejujurnya dia masih marah dengan apa yang dilakukan sang Ibu kemarin.

Bibir maju dan alis yang berkerut adalah ciri khas sang anak ketika marah, Maemunah paham betul watak anak gadisnya. Segera dia mengambil dua lembar uang sepuluh ribuan dari kantong. Meski, Juleha sudah mendapatkan jatah jajan bulanan, kadang kala dia memberikannya sebagai sogokan.

"Buat jajan seblak sama minuman dingin!" ujar Maemunah, memasukkan uang tersebut ke kantong seragam Juleha.

Mata Juleha berkaca-kaca, dia menatap sang emak dengan haru. Lantas meraih tubuh wanita berusia 40 tahun itu ke dalam pelukannya.

"Maaf, ya, Mak, Leha udah marah-marah. Maaf, tiga hari Leha pergi nggak kasih kabar."

Maemunah tersenyum, dua lembar cebannan yang dia berikan nyatanya mampu membuat gadis sembrono ini luluh begitu saja.

"Iya, emak tau. Berangkat, gih, udah siang!" titah Maemunah.

Juleha sampai di halte, lantas menunggu bis yang akan membawanya ke sekolah. Dia tak sendiri ada beberapa siswa berseragam sama dengan dirinya berada di sana. Ada yang sibuk bermain ponsel atau bergosip tentang Dita Karang--personil girlband Screet Number yang berasal dari Indonesia.

Pandangan Juleha mengarah ke sosok misterius yang berdiri di depannya. Menggunakan hoodie dan masker untuk menutupi wajah, pemuda itu hanya diam bak Alan Walker kesiangan. Hal tersebut membuat Juleha penasaran, karena sebelumnya tak pernah melihat sosok seperti itu berada di lingkungan ini.

Juleha mulai mendekati dengan langkah kaki yang tak bersuara. Kini, dia tepat berada di samping pemuda itu. Namun, masih saja kesulitan untuk melihat wajah yang tertutup masker. Dia kemudian memiringkan tubuh hingga melewati tubuh pemuda tersebut. Kedua alis tebal pemuda bermasker itu berkerut, mungkin heran dengan tingkah sang gadis.

Menggunakan jari telunjuknya, pemuda itu mendorong kepala Juleha agar kembali ke posisi semula. Setelahnya, dia membuka masker dan memperlihatkan wajahnya.

"Puas-puasin liat kegantengan gue, ini, kan, yang lu mau," ucapnya sambil tersenyum sinis.

"Mana ada? Gue pikir lu copet, makanya gue samperin. Apa lu bilang? Ganteng? Sama Nasar KDI aja lebih ganteng daripada lu!" balas juleha sambil berlalu mendahului masuk ke bis yang baru saja datang sambil mengibaskan rambut ekor kuda miliknya.

Pemuda bernama Khairaf itu segera menyusul Juleha ke dalam bis dan duduk di belakang bangku gadis itu. Terdengar bisik-bisik dari beberapa siswa. Bahkan ada yang terang-terangan memuji ketampanan Khairaf.

"Ck, tampang gundulmu," gumam Juleha.

"Lu bilang apa? Gue denger, loh," bisik Khai tepat di telinga Juleha, hal tersebut membuat gadis itu kegelian. Reflek, dia memukul Khai hingga terjatuh.

“Sorry, lu, sih,” ujar Juleha sambil membantu berdiri tetapi ditepis oleh Khai.

“Gue tandain lu!” ketus Khai sambil berpindah tempat duduk berada jauh di depan Juleha. Dalam hati Juleha tak takut dengan ancaman Khai. "Paling cuma gertak doang," gumam Juleha.

Juleha semakin mempercepat langkah kaki. Dia bingung sekaligus takut, mengapa pemuda itu terus saja mengikuti sejak di halte hingga di tempatnya berekolah? Apakah dendam atau ada niat tersembunyi. Geram dia segera memutar tubuhnya, hampir saja sosok menyebalkan itu menabrak dirinya.

"Berani banget lu ikutin gue! Lu nggak tau ini wilayah gue!" ujar Juleha sambil menatap tajam Khai.

"Ngikutin lu? Ini juga sekolah gue. Dasar tulul!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status