Share

Damage Siswa Pindahan

Juleha menyipitkan mata, merasa heran. Bagaimana mungkin pemuda itu bisa bebas berkeliaran tanpa seragam di area sekolah. Tiba-tiba saja ada yang merangkul bahunya. Dia tersenyum ketika melihat sang sahabat berada di sampingnya.

Nacita Putri, bercita-cita sebagai idol seperti Dita Karang. Salah satu member dari Screet Number, girlband asal negeri ginseng. Selain giat berlatih dance dirinya juga kerap mengikuti les bernyanyi. Meski sejujurnya, kemampuannya di bidang tarik suara sungguh sangat memprihatinkan.

"Leha ... Leha, apa kabar. Tubuhmu terlihat lebih glowing. Sepertinya lulur merk Abu jendes andalan emak lu mulai menampakan hasilnya," cerocos Cita sambil terbahak. Juleha tak menjawab dia membalas dengan mendorong kepala sahabatnya itu dengan jari telunjuk.

Sudah menjadi kebiasaan bahasa yang Cita gunakan memang seperti itu, membuatnya terlihat norak dan gelay. 

"Hayyy ... hay ... kalian nungguin aku, nggak." Suara cempreng Cita membuat suasana kelas yang awalnya ramai hening seketika. Semua mata tertuju pada gadis itu. Dengan percaya diri, Cita justru melambaikan tangan bak miss universe.

Bimo segera mengambil mawar merah plastik yang berada di dalam vas meja guru. Dia berlari ke arah Cita lantas segera berlutut di hadapan gadis itu.

"Gue kangen, Beb," ujar Bimo sambil menyerahkan bunga mawar tersebut pada Cita.

"Ihh ... aku nggak mau, nggak suka! Gelay!" tolak Cita sambil manampakan raut wajah jijik pada Bimo. Dia berlalu begitu saja tanpa peduli pada pemuda itu.

Juleha menepuk bahu Bimo memberi kekuatan. Dia paham betul, ini bukan kali pertama teman sekelasnya ditolak oleh Cita. Namun sepertinya pemuda berkacamata itu tak pernah kapok.

Bimo menggaruk kepalanya yang tak gatal. Usahanya kali ini gagal lagi, dengan lemas dia mengembalikan bunga mawar itu ke tempat semula.

"Gagal maning ... gagal maning," ledek Arif, yang dibalas tonjokan oleh Bimo. Namun Arif segara berlari hingga terjadilah kejar-kejaran di dalam kelas.

Sampai akhirnya, Pak Alam, guru Biologi yang akan menjadi wali kelas Juleha datang. Sialnya, dia tak sendiri, ada sosok yang Juleha kenal berada di belakangnya. Ya Tuhan! Alan Walker KW! Pemuda itu, kini sudah mengenakan seragam lengkap sama seperti siswa yang lain.

"Amazing, ini baru calon pacar gue," gumam Cita sambil terus menatap sosok yang kini berdiri di depan dengan kagum. Ingin sekali Juleha memukul kepala Cita. Sahabatnya itu tak tahu saja, jika pagi ini dia sudah berurusan dengan pemuda yang menjengkelkan itu.

Namanya Rasya Al Khairaf, biasa disapa Khai, dia pindahan dari SMA Taruna. Pemuda dengan alis tebal dan tatapan tajam. Wajahnya tampan kulitnya bersih, bahkan lebih bersih dari Juleha. Tubuhnya tinggi tegap, meski hanya siswa baru nyatanya pemuda itu menarik perhatian sekitar, terlebih siswi-siswi yang berada di kelas tersebut, damage-nya tak ada obat. Sampai akhirnya, Pak Alam menyuruh Khai untuk duduk di bangku kosong yang berada tepat di belakang Juleha.

Khai menangkap Juleha yang tengah melihatnya sambil mengerucutkan bibir. Baginya, ini adalah hiburan menemukan cewek yang tak suka terhadapnya adalah barang langka. Dia segera menuju bangku miliknya lantas duduk di samping Bimo. Sengaja dirinya menarik kursi hingga ke depan kemudian mencondongkan tubuh dan berbisik tepat di telinga Juleha. "kayaknya, gue bakal betah di sini karena ada lu."

Juleha yang risi segera menggosok telinga dengan tangannya. Sementara itu masih dapat didengar oleh gadis itu jika Khai tertawa melihat ulahnya. Dia tak pernah tahu jika bertemu dengan Khai adalah awal dari semua masalah yang akan dihadapinya.

"Lu kenal dia?" bisik Cita pada Juleha.

"Mana mungkin gue kenal Alien kayak dia yang nggak-nggak aja, deh, lu!" ketus juleha.

Rutinitas belajar mengajar belum dimulai. Setelah mencatat jadwal pelajaran selama satu semester ke depan semua siswa diperbolehkan pulang. Juleha buru-buru pergi setelah mencatat semuanya. Meski Cita berulang kali memanggil, tetapi gadis itu seolah tak mendengar dan tetap melangkah dengan cepat ke luar ruangan.

Bis yang juleha tumpangi tak kunjung datang. Dia memang ingin buru-buru sampai di rumah, rasa lelah dan letih dari tour yang menyenangkan selama tiga hari membuat tubuhnya pegal-pegal. Biasanya, sang Mama akan memanggil Mak Ijah untuk memijatnya.

Juleha melirik pemuda di sebelahnya. Sial sekali rasanya, bagaimana mungkin dia terus saja terlibat dengan spesies langka seperti Khai. .

"Sial banget, ya, dari sekian luas kota Bekasi gimana mungkin gue kudu kejebak sama lu. Ngeselin, sok iya, ganteng cuma pas-pasan aja songongnya naudzibilah!" ujar Juleha.

Khai cuma tersenyum, melihat Juleha uring-uringan seperti itu justru membuat gadis itu terlihat menggemaskan, lucu, dan sangat menghibur. Selama ini, kebanyakan cewek yang dikenal rata-rata hanya melihatnya secara fisik, itu yang membuat Juleha berbeda dengan yang lain di mata Khai sehingga menempatkan gadis berkulit sawo matang tersebut sebagai target utama aksi jahilnya.

Khai mendekat ke arah Juleha sehingga mundur satu langkah ... dua langkah ... hampir terjatuh ke tempat pembuangan air yang tak tertutup. Beruntung pemuda itu segera menarik tubuhnya hingga kembali seimbang meski nyaris terjatuh.

"Segitunya lu takut sama gue," ujar Khai, sambil mencubit kedua pipi Juleha gemas.

"Woy! Itu Khai!" teriak seseorang dengan seragam sekolah kotak-kotak berwarna biru dari atas motornya. Tanpa pikir panjang Khai segera menarik tangan Juleha dan membawanya berlari, meski bingung gadis itu hanya bisa menurut.

Dua motor yang berisi masing-masing dua orang terus mengejar mereka. Khai bingung ketika sampai di gang sempit yang ternyata jalan buntu. Khai menyuruh Juleha berlindung di balik tubuhnya dengan tangan masih saling menggenggam.

Empat orang itu turun dari motor, menghampiri keduanya.

"Apa kabar, Bray," sapa si gendut kepala plontos.

"Biarin cewek ini pergi. Lu cuma urusan sama gue," kata Khai bernegosiasi.

"Kenapa jadi lu yang ngatur. Hajar, Bray!" perintah si plontos.

Ketiga pemuda tersebut mulai menyerang. Khai mau tak mau harus melepaskan tangan Juleha dan berkelahi dengan mereka. Beberapa kali Juleha melihat Khai mampu menangkis serangan, bahkan membalas pukulan mereka. Namun, selain kalah jumlah, Khai juga mulai kehabisan tenaga sehingga terkena pukulan di pelipis kirinya hingga berdarah.

Si botak mendekati Juleha, Khai hendak mencegah, tetapi serangan dari si kriting dan si kurus harus membuatnya harus menghadapi mereka terlebih dahulu.

"Juleha N Jingga," ujar si botak sambil membaca name tag yang terpasang di seragam Juleha.

"Kenapa, Botak," balas Juleha santai.

"Lu bilang apa?!"

"Udah botak, budek lagi. Amit-amit," sinis Juleha.

"Tadinya gue mau baik sama lu, tapi lu nyolot." Si botak meraih kuncir Juleha hingga membuat gadis itu meringis kesakitan.

Namun, pemuda berseragam SMA Taruna itu tak pernah tahu jika Juleha menyiapkan semprotan bubuk cabe di tangan kanannya, dengan cepat dia mengarahkan botol tersebut ke mata si botak.

"Argh ... perih!" Si botak memegangi matanya sambil berteriak. Tak hanya sampai di situ, Juleha lantas menendang perutnya dan beberapa kali melayangkan pukulan di badan gempal itu. Dia terus berteriak menahan perih di matanya.

Juleha menghampiri Khai yang mulai terpojok. Dia kembali mengarahkan botol kecil tersebut ke arah musuh hingga ketiganya ragu untuk kembali menyerang.

"Berani maju, gue bikin lu nangis sampai mata lu benjol segede jengkol!" ancam juleha.

Ketiganya tak ada yang berani maju. Kali ini, giliran Juleha yang meraih tangan Khai. Setelah yakin semua aman, tak ada yang berani mendekat dia mengajak Khai meninggalkan tempat itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status