Share

Chapter 2

“Andhira sayang,” panggil seorang pria paruh baya. Andhira menoleh, dan tersenyum manis saat mendapati papihnya yang datang dengan pakaian masih lengkap, Ginantara Alaindra.

“Papih baru balik kerja?” tanya Andhira menatap Papih yang sudah duduk di sisi kanannya pada kursi panjang yang ada di balkon kamarnya. Papih mengangguk, ia memeluk anak perempuan satu-satunya yang dirawat dan dijaga sampai saat ini.

Papih mengecup puncak kepala Andhira, dan menatap kedua bola mata anak semata wayangnya tersebut, “Kamu lagi mikir apa sihh? Sampai gak sadar kalau ada Papih.”

Andhira hanya menggeleng dan tersenyum tipis, “Hari ini bu Kartika udah fix pensiun jadi Dosen PA aku, Pih. Besok Dosen PA aku udah ganti,” ucapnya menatap papihnya yang sedang menaikkan sebelah alisnya.

“Kamu galau karena gak bisa rusuh lagi sama bu Kartika?” tanya Papih lembut, anak perempuannya tersebut mengangguk meng-iyakan pertanyaan Ginantara.

“Dosen PA aku yang baru itu cowo tau, Pih. Udah gitu ganteng lagi. Kalau misalkann aku yang oleng, gimana ya?” tanya Andhira diakhiri dengan terkekeh dan membayangkan jika dirinya harus jatuh hati kepada seorang guru muda.

Papih tertawa, “Ganteng banget emangnya? Kamu udah ketemu?” tanyannya, diangguki antusia oleh Andhira. Gadis itu menegakkan tubuhnya, dan menatap Papih yang tersenyum menggoda.

“Tadi kan aku gak sengaja nabrak cowo kann, ganteng sih emang, aku kira dia itu senior aku, Pih. Mana aku ngatain dia jadi mahasiswa abadi lagi, ternyata eh ternyata, dia itu Dosen PA aku yang baru, ngegantiin bu Kartika,” oceh Andhira dengan menggebu-gebu.

“Terus?”

“Pas  aku lagi di kelas, cuma sama  Darwis kan ya, Pih. Sih Darwis ini kirim chat, isinya aku harus  keruangan Dosen PA aku yang baru, pas aku sadar satu hal, dosenn PA yang disebutin sama Darwis itu, cowo yang aku tabrak tadi pagi, mana aku ngatain itu cowo lagi," oceh Andhira dengan bersidekap dada dan mengerucutkan bibir.

Papih hanya bergeming dengan menaikkan sebelah alisnya, “Abis itu dihukum gak sama Dosen PA yang baru?  Karena kamu ngatain dia mahasiwa abadi,” tanyanya. Andhira mengangguk.

“Dia bikin kesepakatan sama aku, Pih. Kalau dalam satu bulan aku gak ada cabut dari kelas, selalu hadir setiap pertemuan, dan gak rusuh, dia mau bayarin tiket libur. Tapi … kalau aku gagal, aku harus jadi asisten rumah tangga dia satu hari.”

“Oh iyaa? Nama dosennya siapa?” tanya lembuat Papih kepada Andhira, anak semata wayangnya itu mengangguk dengan cepat. “Siapa?”

“Kalau aku gak salah ingat ya, Pih. Dareen Arsenio,” jawab Andhira. Papih bergeming, dirinya seperti tidak asing dengan nama tersebut.

Saat teringat sesuatu, pria setengah paruh baya itu merogoh saku celana. Andhira hanya bergeming menatap papihnya yang sedang mengotak-ngatik ponsel. Ginantara memberikannya kepada anak tunggalnya.

Andhira menerima ponsel Papih, dan menyipitkan mata saat melihat satu foto di layar ponsel milik papihnya. Seperti tidak percaya, dirinya memperbesar foto tersebut, hingga terlihat cukup jelas wajah pada foto tersebut.

“Itu kan orangnya?” tanya Papih menatap Andhira yang sedang menatapnya dan mengangguk.

“Kok Papih punya fotonyaa? Jangan-jangan ini rencana Papih? Kasih duit ke Bu Kartika buat libur dulu, terus digantiin sama pak Arsen Arsen ini?”

Papih menyentil kening Andhira gemas, sehingga membuat gadis itu meringis. “Enak ajaa. Papih gak ada ya komunikasi sama Bu Kartika, terus Papih sibuk. Mana sempat Papih mikirin rencana kaya gitu. Kalaupun misalkan Papih yang ngerencanain apa yang ada  di fikiran kamu, tujuannya apa?”

Andhira mengendikkan kedua bahunya, “Kali aja kaya di nopel nopel, Papih mau ngejodohin aku sama pak Arsen itu.”

Papih menaikkan sebelah alisnya, “Boleh. Kamu mau? Papih kerjasama soalnya sama pak Dareen.”

Andhira berdecak, dirinya menggeleng menolak, “Gakk, Pih. Awas aja yaa kalau beneran ada niatan gak jelas kaya gitu.”

Papih terkekeh, “Kamu tidur,  Andhira. Besok kan kamu ada kelas. Besok Papih yang nganterin kamu ke kampus.”

Andhira memicingkan matanya tidak percaya, papihnya  itu akan mengantarkan dirinya untuk ke kampus? Biasanya sang papih itu sibuknya sudah seperti presiden, tidak ada waktu. Saat Papih pulang malam Andhira sudah tertidur, begitu juga pada saat pagi hari. Papih pergi pada  saat Andhira masih tertidur.

“Papihh kenapa jadi mau nganterin aku ke sekolah?” tanya Andhira penuh curiga. “Papih mau ketemu sama pak Arsenn? Buat ngobrolin perjodohan aku sama pak Arsen?” 

Papih mengangguk santai, dirinya hanya asal mengangguk saja, atau dengan kata lainnya, hanya iseng memancing. Kapan lagi kan dirinya bisa berbincang dan bercanda dengan anak semata wayangnya seperti saat ini? Papih menyadari dan mengakui, tidak mempunyai cukup banyak waktu untuk me time dengan Andhira.

“Papihh.”

Papih terkekeh, “Bercanda. Lagian emangnya gak boleh yaa kalau Papih nganterin kamu ke kampus? Gapapa dong harusnya, sekalian Papih mau ketemu sama Dosen PA kamu yang baru. Mau ngasih beberapa tips buat ngadepin kamu.”

Andhira mendelik, “Papihhhhh.”

Tawa dari sang Papih masih belum reda, membuat Andhira kesal. Papih tersenyum kepada Andhira, “Kamu itu jangan kesel-kesel terus dongg, nanti cepet tua loh.”

Andhira bergumam, “Iya dah yang masih muda.”

Papih dari Andhira itu terkekeh, membelai puncak kepala anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang, benar-benar memanfaat waktu bersama. Wajah saja, dirinya terlalu sibuk kerja, jadi minim waktu untuk bersama dengan Andhira.

“Maafin Papih yaa yang belum bisa jadi Papih yang sesungguhnya, maafin Papih yang belum punya banyak waktu buat kamu.”

Andhira mendongak, menatap Papih yang tersenyum tipis, “Kenapa ngomong kaya gitu? Menurut aku, Papih itu udah menjadi Papih yang sesungguhnya buat aku kok. Ada apa? Jangan bilang Papih sama Mamih ribut?”

Papih hanya bergeming, hal ini membuat Andhira berdecak, tidak habis fikir dengan mamihnya itu yang tidak ada kontribusinya sama sekali dalam hidupnya. Andhira sudah muak dengan mamihnya yang terus memojokan papihnya.

“Bukan, Papih sama Mamih baik-baik aja kok, Sayang.”

Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Papih bisa bohong sama orang lain, tapi Papih gak bisa bohong sama aku, karena kita sedarah, dan aku bisa ngerasain apa yang Papih rasain. Jadi, jangan coba-coba bohong sama aku.”

---

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status