Greta menggigit bibirnya dengan keras, dengan putus asa mencoba untuk mencegah air mata agar tidak jatuh. "Jangan coba-cona menangis, aku tidak akan melembut hanya karena kau seorang wanita, air mata itu tidak akan berguna!" Ryan berteriak dengan lengan terlipat di depan dada. Greta menelan ludah, matanya menatap Ryan dengan tajam, dia bersumpah dalam hatinya bahwa dia tidak akan pernah menumpahkan air mata di depan pria yang arogan itu. Meskipun Greta tidak memalingkan wajahnya ke arah Liam, ia tahu Liam sedang tersenyum puas mengejeknya. “Liam, kau bertanggung jawab atas semua ini, kau tahu itu bukan?” desis Ryan, menatap dingin ke arah Liam. “Ya Chef, saya akan mengambil tanggung jawab penuh atas kejadian hari ini!” sahut Liam, menegakkan punggungnya. Greta merasakan perutnya seperti di pelintir, tiba-tiba ia merasa aneh dengan situasi yang sedang ia hadapi itu, apakah seseorang sengaja melakukan hal itu kepadanya? "Dan kau," Ryan memandang kembali ke arah Greta, "Jika aku menda
“Di mana Liam?” Ryan tiba-tiba muncul di ujung Pastry Section, dia sudah mengenakan jaket Chefnya dan terlihat tampan seperti biasanya. Greta bangkit berdiri, "Dia baru saja mengirim pesan bahwa dia demam dan tidak bisa datang bekerja hari ini," jawab Greta muram.“Apakah kau sudah menyiapkan kue untuk brunch hari ini?” tanya Ryan sambil berjalan mendekat ke arah Greta."Yeah, sedang aku siapkan," jawab Greta sambil membungkuk untuk mengeluarkan tepung dari dalam lemari. Tepat saat itu dari tempatnya berdiri Ryan tidak sengaja melihat deretan Crème Brule berbaris di dalam sana. Dia mengerutkan keningnya, "Apa itu?" tanyanya, menunjuk ke sepuluh Crème Brule yang telah menjadi penyebab masalah tadi malam.“Sepuluh Crème Brule yang hilang tadi malam,” jawab Greta dengan tenang.“Aku tidak mengerti apa yang kau maksud?” Ryan bertanya dengan tidak sadar. “Mengapa kau meletakkan dessert itu di sana? Ah aku mengerti sekarang! Jadi kau meletakkan semua dessert itu di sana lalu kau lupa, iya k
Satu jam kemudian,Greta sedang sibuk mengatur kue di piring pajangan ketika Amy masuk ke dapur dengan wajah muram yang sama sekali berbeda dari yang dia tunjukkan tadi pagi. Tidak ada lagi senyum lebar di wajahnya. Greta bisa saja pura-pura bertanya, tapi dia memilih untuk tidak melakukannya dan menyibukkan diri dengan apa yang sedang dia lakukan.Tidak lama kemudian, dia melihat Amy melepas celemeknya, ia juga mengeluarkan ponselnya dari laci lalu berjalan menuju loker tanpa mengatakan apapun kepada siapapun. "Amy! Kau mau kemana?!" Greta mendengar Terry berteriak pada Amy, tetapi Amy terus berjalan pergi tanpa menjawabnya.Greta menghela nafas panjang, dia tahu Ryan tidak akan memberi kesempatan pada Amy, apa yang dilakukan Amy adalah sesuatu yang sangat kekanak-kanakan dan merupakan kesalahan yang disengaja.“Alex, bisakah kau membawa ini ke meja prasmanan? Aku harus ke toilet sebentar,” kata Greta kepada seorang pelayan yang kebetulan memasuki area dapur. "Oke tidak masalah!" kat
Greta sedang mengaduk kopi hitamnya ketika ponselnya berdering keras, panggilan video dari kakak iparnya, Rachel. Ia menekan tombol hijau lalu menempelkan ponselnya ke pintu kulkas agar ia bisa berbicara sambil membuat roti panggang."Hei, kau belum berangkat kerja?" Rachel bertanya dengan riang."Aku mendapat shift sore, apa yang kau lakukan? Apakah kau sedang bersama Noah?" tanya Greta, Noah adalah kakak Greta, suami Rachel."Tidak, dia ada di kantor, aku sedang istirahat untuk pemotretan, ada sesuatu yang ingin kuberitahukan padamu!" Suara Rachel terdengar begitu bersemangat hingga membuat Greta menghentikan tangannya yang sedang mengoleskan selai kacang di atas roti panggangnya. Ia menatap ke arah kamera dengan wajah ingin tahu, "Ada apa?"Rachel tampak mengeluarkan sesuatu dari tas tangannya lalu menunjukkannya kepada Greta."Apa itu?" tanya Greta dengan kening berkerut."Kau benar-benar tidak tahu apa ini ?!" Rachel menggeleng tak percaya. Greta hanya meringis sambil menggaruk k
Greta mendongak, langit tampak mendung tapi belum turun hujan. Ia menarik merapatkan mantelnya dan berjalan menyusuri trotoar dengan santai. Belakangan ini, ia lebih suka jalan kaki dari pada naik kendaraan. Dengan berjalan kaki lebih banyak hal yang bisa ia lihat dan itu bisa membuatnya merasa lebih tenang.Beberapa menit kemudian ketika dia baru berjalan beberapa meter jauhnya, hujan mulai turun dengan derasnya. Ia mendongak terkejut lalu bergegas ke halte bus terdekat dan berdiri agak ke belakang agar tidak terciprat air hujan. Normalnya ia akan merasa kesal, tapi ia tidak tahu mengapa ia merasakan kedamaian di hatinya saat melihat air hujan itu. Ia melangkah ke depan halte bus lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh air yang sejuk dengan jari-jarinya yang sedikit pucat karena dingin yang menerpa.Ada rasa sesak di dadanya, sesak yang muncul di saat-saat yang seringkali tak terduga. Entah kenapa, Greta selalu merasa kesepian, mungkin karena alam bawah sadarnya masih dilanda peng
"Kau sudah mendengar tentang Liam?" tanya Terry saat menemui Greta di depan ruang ganti. "Ya, seberapa buruk kondisinya?" tanya Greta, menghentikan langkahnya."Cukup buruk, pergelangan kaki kanannya patah, ia mungkin akan menganggur untuk sementara waktu, tapi aku yakin Ryan pasti sedang mencari penggantinya."Greta mengangguk, "Oke, aku ganti baju dulu," katanya lalu masuk ke ruang ganti. Ia menghela nafas panjang, ketidakhadiran Liam membuatnya harus bekerja sendiri sampai mereka mendapatkan Pastry Chef baru. Ia merasa ragu saat melangkah ke dapur, terlebih dengan kehadiran Ryan yang tiba-tiba berada di dekat section kerjanya."Selamat pagi, Chef," sapa Greta tanpa memandang mata Ryan.Ryan mendongak, "Selamat pagi, aku akan membantumu untuk melakukan persiapan, setelah itu kita akan menghabiskan dua jam sebelum makan siang dengan melakukan latihan untuk pengambilan gambar nanti," ucapnya dengan cepat seolah tidak ingin disela oleh Greta."Ya, Chef!" Jawab Greta, dengan cepat melih
"Um, tidak, terima kasih Chef, aku baik-baik saja," putus Greta akhirnya. Ryan mengangkat bahu lalu berbalik, meninggalkan Greta yang berdiri di depan jendela kaca besar dalam diam. "Aku telah membuat keputusan yang tepat! Yeah, aku bisa mengalahkan perasaanku sendiri, aku tidak akan jatuh cinta secepat itu lagi! Tidak akan pernah!" gumam Greta pada dirinya sendiri. Setelah mengatur napas sejenak, ia berjalan tergesa-gesa ke loker untuk berganti baju.Tapi Ryan benar, hujan tidak berhenti mengguyur bahkan setelah Greta sampai di lantai dasar. Ia membuka ponselnya, mencoba memesan beberapa taksi online tetapi tidak satupun yang menerima pesanannya. Saat hujan semakin deras dan angin bertiup semakin kencang, Greta menjadi sangat ketakutan. Ia melihat sekeliling lobby pintu masuk, tidak ada siapa-siapa karena mall sudah tutup sejak pukul 6.00 sore. Dari kejauhan ia bisa melihat beberapa penjaga keamanan di ruangan mereka, mungkin mereka sedang menyeruput kopi panas dengan asik dan tidak
Greta sedang melahap burgernya dengan lahap ketika tiba-tiba seseorang duduk di hadapannya. Dia mendongak dan menjadi terkejut seketika."Tidak ada meja kosong," gumam Ryan saat Greta menatapnya dengan alis berkerut. Dia melihat sekeliling ruangan dan apa yang dikatakan Ryan benar, semua meja sepertinya penuh dengan orang yang sedang menikmati makan siang mereka."Aku tidak tahu Chef Michelin Star akan makan burger seperti ini juga," gumam Greta setengah bercanda. Dia membuka mulutnya lebar-lebar, melahap burgernya dalam satu gigitan besar."Chef Michelin Star juga manusia," jawab Ryan dengan nada datar seperti biasa. Greta mencibir tapi dia setuju dengan kata-katanya. Ia menatap Ryan sambil mengunyah burgernya, bertanya tentang apa yang terjadi antara dia dan Kate di dalam kepalanya. Tapi tentunya ia akan terdengar seperti orang yang suka mencampuri urusan orang lain jika ia coba-coba menanyakan hal itu kepada Ryan."Permisi, apakah kau Chef Ryan Lewis?" tiba-tiba dua gadis muda mend