Ucapan itu dilontarkan untuk Tiara yang mengaku peduli pada Carmen, tetapi mereka juga merasa itu untuk mereka. Seketika mereka ingat waktu itu, di mana mereka semua memarahi Carmen yang mengamuk karena Clarissa merebut pacarnya. Mereka semua membela Clarissa dan menyalahkan Carmen. Saat Carmen dipaksa ayahnya untuk menikah dengan Tuan muda lumpuh dari keluarga Abarham, tak ada dari mereka yang khawatir-- entah pada pendidikan Carmen ataupun masa depan Carmen yang saat itu masih sangat muda. Malah, mereka ikut mendesak Carmen agar menerima pernikahan itu, tanpa peduli Carmen terlalu muda untuk sebuah pernikahan, hanya supaya mereka selamat dari amukan keluarga Abraham yang mengerikan. Dulu, mereka tidak memperdulikan itu karena bagi mereka Carmen adalah orang jahat dan sampah keluarga Wijaya. Namun, sekarang … ucapan Raymond tadi, menusuk hati! "Karena … karena … saat itu Carmen melakukan kenakalan dan menikahkan Carmen dengan anda akan menjadi hukuman sekaligus pelajaran untuk C
"Mas, terimakasih yah, sudah membelaku di hadapan mereka-mereka tadi," ucap Carmen tiba-tiba, saat setelah mereka sampai di rumah–lebih tepatnya dalam kamarnya dan Raymond. Wanita cantik dengan mata bulat itu, menatap suaminya dengan teduh. Seulas senyuman lembut mengukir di bibirnya, memancarkan perasaan bahagia, senang, dan haru. Sepanjang perjalanan pulang, Carmen sudah ingin mengatakan ini pada suaminya–berterimakasih. Namun, rasanya momentnya tidak pas sehingga Carmen memilih menahan diri hingga akhirnya mereka pulang. "Kau tak perlu berterimakasih, Sweethert. Sudah kewajiban ku untuk melindungimu," ucap Raymond, tersenyum tipis pada istrinya. Carmen mendekati Raymond, tanpa disuruh ataupun diminta oleh pria itu, dia duduk di pangkuan Raymond. Hal tersebut membuat Raymond terkejut, karena biasanya harus dialah yang meminta barulah istrinya bersedia duduk di pangkuannya. Itupun-- kerap kali Carmen menolak serta protes. Namun, kali ini Carmen sendiri yang datang padanya. "Aku
"Bukan." "Jadi apa, Mas?" Carmen menatap ragu pada suaminya. "Cinta tak memiliki masa, Sweetheart. Contohnya, cinta ibumu padamu atau cintamu pada ibumu. Bukankah sampai detik ini kau masih mencintai ibu?" Carmen menganggukkan kepala, sampai kapanpun dia tetap akan mencintai mamanya–sosok malaikat yang mengajarkan banyak kebaikan padanya. Meskipun ibunya sudah beda dunia dengannya, akan tetapi cintanya pada sang ibu tak akan pernah pudar. Raymond benar! Cinta ibu pada anaknya sepanjang masa, dan bagi Carmen cintanya pada ibunya juga setiap saat. Hanya saja, kenapa ayahnya tidak? "Tapi, Ayahku … dia seperti melupakanku setelah dia memiliki kehidupan baru. Itu yang disebut cinta yang memiliki masa. Masa dia dengan ibuku, dia mencintaiku, dan masanya dia dengan istri barunya, dia mencintai putri dari istri barunya. Aku dilupakan begitu saja," jelas Carmen. "Aku jadi takut … semisal aku pulang lebih dulu dari Mas Kaizer, dan Mas Kaizer menikah lagi--" Carmen menjeda sejenak, m
"Bukan karena cinta ada masanya, tetapi mereka yang tak ingin kau merusak cinta baru dalam kehidupan mereka." Carmen menatap intens pada suaminya, terkesima sekaligus merasa perkataan suaminya ada benarnya. Benar sepertinya, ayahnya takut Carmen merusak kebahagiaan barunya sehingga dia mengurangi cintanya pada Carmen, bahkan tak tersisa sedikitpun. Raymond menangkup pipi istrinya kemudian mendaratkan ciuman singkat di atas bibir ranum Carmen. "Kau mau sesuatu, Sweetheart?" Carmen menggelengkan kepala, akan tetapi detik berikutnya dia menganggukkan kepala. "Aku ingin tidur tetapi aku mau Mas Kaizer mengusap kepalaku sampai aku tertidur." "Humm." "Tidak apa-apa kan, Mas?" tanya Carmen ragu-ragu, "atau … aku merepotkan?" "Tidak sama sekali. Aku suka menyentuh rambutmu, ini sama sekali tidak merepotkan," jawab Raymond, tersenyum lembut agar Carmen berhenti merasa tak enak. Semenjak istrinya hamil, Carmen menjadi lebih perasa, sensitif, dan mudah tersentuh. Oleh sebab itu Ca
"Kau juga harus angkat kaki, Bitch! Rumah ini milik istriku, bukan milikmu, Jalang rendahan!" Suara bariton yang terdengar dingin dan mengintimidasi, mengalun di ruangan tersebut. Clarissa dan orang-orang di sana langsung menoleh ke arah suara tersebut. Clarissa melebarkan mata, menatap terkejut ke arah Raymond dan Carmen. Kedua orang itu tiba-tiba sudah ada di rumah ini, tak hanya berdua akan tetapi membawa banyak bodyguard. "Kalian." Raymond yang tengah merangkul mesra pinggang istrinya, menoleh ke arah kepala bodyguard. Dia ingin menurunkan sebuah perintah penting dan menyenangkan, "usir orang-orang tidak berguna ini.""Baik, Tuan." Kepala bodyguard menganggukkan kepala dengan patuh. Di sisi lain, Clarissa dan Tiara terlihat panik. "Tu-tuan Raymond, to-tolong jangan mengusir kami dari rumah ini." Clarissa mendorong seorang bodyguard yang berniat menyeretnya keluar. Dia segera berlari ke arah Raymond, berhenti tepat di depan pria itu kemudian langsung berlutut, "a-aku dan Mamaku
"Mas Kaizer!" pekik Carmen, sudah gemetaran karena tak sanggup melihat kekerasan di depan matanya. "Cukup!"Raymond langsung menoleh ke arah istrinya, seketika berdecak karena kesenangannya diganggu oleh Carmen. "Kita sudah sepakat. Jangan menghentikanku, Ura!" peringat Raymond pada istrinya. "Mas Kaizer menyayangiku kan?" cicit Carmen, berkata pelan dan lirih sambil menatap sayu pada Raymond. Raymond berdehem. "Humm. Jadi kau mau apa?" ucap Raymond datar. Dia tak suka Carmen menghentikan kesenangannya akan tetapi dia tak berdaya oleh perkataan dan tatapan Carmen."Cukup usir mereka dari rumah ini, dan … memastikan mereka tidak akan bertemu denganku lagi. Itu saja, Mas," pinta Carmen, tersenyum tipis supaya Raymond luluh dan mendengarkan permintaannya. Carmen sangat ingin Tiara dan Clarissa dikirim ke desa terpencil yang dipenuhi orang-orang budi pekerti dan sederhana. Kehidupan Tiara dan Clarissa selalu bergelimang harta, dengan mengirim mereka ke desa tersebut, keduanya akan ters
"Nona muda," pekik para pelayan di rumah itu, berlari berhambur pada Carmen--setelah suasana jauh lebih baik dari yang sebelumnya. Carmen tak tahu apa yang akan Raymond lakukan pada Clarissa, Tiara dan keluarganya yang lain. Dia hanya berharap suaminya tak terlalu kejam. Yah, Tiara, Clarissa telah dibawa oleh para bodyguard–disuruh oleh Raymond. Begitu juga dengan keluarga Wijaya lainnya. Sekarang Carmen lebih tenang, lega karena rumah ini akhirnya menjadi miliknya. Jika bukan karena rumah ini milik mamanya, Carmen tak akan bersikeras memilikinya! "Ibuuu …." Carmen memekik senang, berpelukan pada para maid. Tadi, saat Raymond di sini, Carmen sudah melihat mereka–pelayan di rumahnya. Akan tetapi, mereka terlihat mengintip dari balik tembok, sepertinya takut menghampiri Raymond. Lalu setelah Raymond pergi, mereka langsung berlari ke arah Carmen. "Kami sangat merindukan Nona," ucap kepala maid dengan nada bergetar, terharu karena akhrinya kembali bertemu dengan nonanya. "Aku juga me
Namun, tiba-tiba saja Talita berlari ke arah Raymond. Anak kecil itu memeluk kaki Raymond secara erat. "Tuan Lemon, Tata ingin di sini," cicit anak kecil itu, mendongak ke arah Raymond–memandang kakaknya dengan tatapan penuh permohonan. Matanya yang berkaca-kaca membuat hati tersentuh sehingga merasa simpati. "Jangan mengganggu putraku!" Lennon menarik kasar lengan Talita, membuat anak kecil itu tersentak–melepas paksa pelukannya pada kaki kakaknya. Tubuhnya yang kecil begitu mudah ditarik, terhuyung ke belakang dan hampir terjatuh kalau saja Lennon tak menahan tubuhnya. Mendengar nada bentakan itu, Talita menundukkan kepala. Bibirnya melengkung ke bawah dengan manik yang sudah diselimuti kristal bening. Talita ingin menangis tetapi dia tak berani. 'Tuan Lennon hanya menyayangi Raymond, tidak menerima siapapun sebagai anaknya. Bahkan Tuan Lennon lebih menyayangi Carmen dibandingkan Talita yang notabene-nya adalah putri kandungnya. Hanya karena Carmen istri dari putra kesayangan
Bagaimanapun Olive putri dari pengasuhnya, rasanya tak pantas dijadikan istri untuk Damian yang seorang tuan muda. Namun, Diego kurang enak mengatakan hal itu. Jadi lebih baik Raymond dan Lennon yang mengambil keputusan. "Nanti malam, datanglah ke rumah. Ajak putri mengasuh mu," ucap Lennon tiba-tiba, "tidak penting dari kalangan apa perempuan itu, yang terpenting cucuku terlihat normal," lanjutnya. Raymond tak menanggapi, tetapi dia memijat kepala–tanda semakin pusing dan tertekan. *** "Ayah ingin menjodohkan mu dengan putri Paman Diego loh, Nak," ucap Carmen, di mana saat ini dia sedang memasak dan dia dibantu oleh putranya. Di depannya dan suaminya, Damian adalah anak yang baik, penyayang, dan penurut. Namun, kata orang putranya jahat dan sebelas dua belas dengan Raymond--ayah putranya. Tapi lihatlah! Putranya saja mau membantunya memasak, jadi mana mungkin yang orang-orang katakan tentang putranya itu benar. Sebelas dua belas dengan suaminya yang kadang seperti set
Tita seketika berhenti minum kopi tersebut, segera mengembalikan cangkir ke tempat semula. "I-iya kah? Tapi orangnya tidak ada." "Kak Damian ke toilet," jawab Sbastian, mendengus sambil menatap tak habis pikir pada adiknya, "ganti sana kopinya. Cepat!" "Ah, Kak, suruh maid saja. Aku malas," ucap Tita, bersamaan dengan Damian yang kembali ke ruangan itu. Damian masih malas pulang ke rumahnya, dan dia memilih bertahan di rumah Sbastian. Damian menoleh sejenak pada Tita. Perempuan ini sudah mengganti pakaian dan … apa dia tidak istirahat? Tidakkah dia kelelahan setelah mengikuti acara wisuda yang panjang? Damian meraih cangkir kopinya lalu berniat meminumnya. "Jangan, Damian. Tita sudah meminumnya," ucap Sbastian cepat, sedikit panik saat Damian akan menyeruput kopi dari bekas cangkir Tita. Bukan apa-apa. Hanya saja Damian sangat anti perempuan, sedangkan gelas itu telah dinodai oleh bibir adiknya yang bandel. Sedangkan Tita, dia segera bangkit dari sofa lalu berlari cepat d
Kak Sbastian. Tolongin aku …," pinta Tita, setengah berteriak karena panik Damian mendekat ke arahnya dan malu karena dia lagi-lagi terjatuh. Untungnya tak lama kakaknya datang, di mana Sbastian langsung berlari ke arahnya dan membantunya bangun. "Astaga, Dek, kau kenapa?" ucap Sbastian, sejujurnya syok melihat adiknya berbaring di lantai. Sbastian menoleh ke arah Damian. Meski rasanya Damian tak mungkin macam-macam pada adiknya tetap saja Sbastian menatap curiga pada bos sekaligus sahabatnya tersebut. "Damian, kau tidak macam-macam kan?" Sbastian bertanya sambil memicingkan mata. "Menurutmu, ada kemungkinan aku macam-macam pada anak ingusan itu?" ucap Damian balik, menatap datar ke arah Tita. Perempuan itu terlihat malu, tampang mukanya seperti hamster! Jelek! "Ah, benar juga." Sbastian menganggukkan kepala pelan, kemudian menoleh pada adiknya, "jadi kau kenapa?" "Jatuh," jawab Tita, sudah berhenti menangis. "Aku ingin melepas heels ku, Kak," lanjutnya. Sbastia
"Aku berjuang sampai di titik ini, itu atas nama Mama. Tapi kenapa namanya yang disebut sebagai ibuku? Aku cape, Kak, skripsian, hampir gila untuk mendapatkan tandatangan dosen. Pontang panting bimbingan, ke sana kemari demi ketemu dosen. Aku beberapa kali pengen mundur, tapi mengingat Mama berjuang untuk kehidupanku, aku memilih tetap bertahan. Aku sudah membayangkan bagaimana rasa senangnya saat nama Mama disebut ketika acara wisuda tadi. Tapi kenapa malah namanya yang disebut, Kak? Aku tidak isi namanya saat pendaftaran wisudah padahal, aku isinya nama Mama. Pasti Ayah yang menukar kan?! Kalau tahu gini, mending kalian nggak usah ingat aku sekalian. Soalnya sekalinya ingat, nyakitin tahu nggak!" marahnya sambil menangis, tak peduli lagi dengan teman kakaknya. "Tak boleh seperti itu. Bagaimanapun dia yang mengasuh kita, dia sudah seperti ibu kita." Sbastian berusaha membujuk. "Ya kalau dia baik padaku. Ini enggak kan? Dia baiknya saat di depan Ayah dan Kakak doang. Kalau padaku
"Dia yang wisuda?" tanya Damian sambil melirik ke arah Olive. Saat ini mereka sudah berada di kampus tempat adik Sbastian kuliah. Tempat ini sangat ramai dan sebenarnya Damian kurang nyaman. Namun, tempat ini jauh lebih baik dari pada rumahnya. Di rumahnya ada kakek dan ayahnya yang terus-terusan memaksa dia menikah. Memangnya kenapa jika dia tidak menikah? Usianya baru 32 tahun dan di jaman sekarang usia tersebut masih tergolong muda. "Bukan, Damien." Sbastian hampir tertawa karena salah mengira. Bukan Olive yang wisuda, melainkan adik kandungnya. "Hahaha … kau ini. Tidak mungkin dia bersama kita jika dia yang wisuda." Damian menganggukkan kepala pelan, kembali melirik ke arah Olive yang terlihat berpenampilan cantik. Maksud Damian, seperti wanita ini yang wisuda. Wanita ini cukup heboh, mengenakan kebaya, make up yang cukup tebal dan aksesoris untuk melengkapi. Karena penampilannya yang begitu, Damian mengira kalau Olive yang wisuda. "Ayah dan Ibu pengasuh sudah di atas
(✿--Musim baru--✿) "Sekarang usiamu sudah 32 dua tahun, Nak, dan Kakek belum pernah melihatmu dekat dengan wanita. Kakek khawatir kau menyimpang, dan … harus dengan tegas Kakek memaksamu untuk secepatnya menikah," ucap Lennon dengan suara pelan dan lembut, akan tetapi menatap penuh peringatan pada sosok pria tampan yang duduk di hadapannya. Pria itu adalah Damian Asher Abraham, putra kesayangan Raymond Kaizer Abraham dan Carmen Gaura Abraham. Damian memiliki rupa yang sangat tampan, tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Dia sangat mempesona dan berkarisma. Semua perempuan yang pernah melihatnya, tergila-gila padanya. Hanya saja, Damian tak demikian. Bisa dikatakan Damian kehilangan rasa ketertarikan pada lawan jenis, anti romantis, anti hubungan asmara dan percintaan juga. Dia juga tidak memiliki gairah pada perempuan, dia bermasalah! Sebelumya, Damian pernah berpacaran. Dia sangat mencintai kekasihnya. Mereka berpacaran sejak hight school, hubungan mereka damai dan jarang ada
"Tidak akan! Carmen milikku dan suatu saat aku akan menikahinya, Ayah!" ucap Harlen tak terima. Plak' Untuk kedua kalinya, Frans memukul wajah putranya. "Carmen itu istri Raymond. Lihat?! Berapa kali Raymond memukulimu karena Carmen, Hah? Apa kau menunggu Raymond membunuhmu, baru kau berhenti mengincar Carmen? Ada banyak wanita yang jauh lebih cantik dari istrinya Raymond, kenapa harus dia yang kau mau?!" "Aku jatuh cinta padanya," jawab Harlen singkat, lemah dan dengan kepala menunduk. "Tapi dia tidak mencintaimu. Dia hanya mencintai Raymond!" Harlen berkata tegas, menyadarkan putranya jika Carmen tak akan bisa dimiliki oleh putranya. "Secepatnya Ayah akan menikahkanmu dengan perempuan lain. Ayah akan menjodohkanmu, dan kau tidak boleh membantah!" "Jika bukan Carmen, aku tidak mau menikah." Harlen membantah. "Kau tidak punya pilihan! Atau-- Raymond bisa membunuhmu," peringat Frans. "Untuk sekarang lebih baik mundur dari ahli waris. Kau tidak akan bisa merebutnya. Yang
"Dulu kau sangat menyayangi Harlen, bahkan berniat menyerahkan harta warisan ayah pada Harlen. Tapi kenapa sekarang kau tidak peduli padanya?" Lennon seketika menyunggingkan smirk tipis, menoleh ke arah Raymond yang juga menatap ke arahnya. Sepertinya Raymond juga penasaran. Lennon menoleh kembali pada Frans. "Tentu saja agar ada yang iri dan cemburu," jawabnya santai, kembali memperlihatkan senyuman tipis di bibir. Mengdengar itu, Raymond mendengus lalu segera beranjak dari sana. Ck, jadi itu alasannya? Dia kira karena ayahnya sudah tak menginginkannya dan berniat mengangkat Harlen sebagai putranya. "Kau mempermainkanku dan putraku!" marah Frans. Lennon berdecih sinis. "Dalam hal apa aku mempermainkanmu dan purtramu?" "Kau memberikan kasih sayang palsu pada putraku!" "Tidak. Aku memberikan kasih sayang seorang paman pada keponakannya. Kau yang terlalu berharap kalau aku menyayangi putramu lebih dari Raymond," jawab Lennon tenang, menatap datar ke arah adiknya, "seka
"Cih." Raymond berdecis geli, pertahanannya runtuh seketika. Padahal dia masih ingin menakut-nakuti istrinya dengan ekspresi wajah serius. Sedangkan Carmen, melihat suaminya tertawa dia segera sadar dengan apa yang dia ucapkan tadi. Matanya melotot lalu setelahnya dia buru-buru memalingkan wajah. Bibirnya cemberut tetapi pipinya merah merona. Sedangkan tangannya masih menyilang di depan dada. 'Aku menakut-nakuti Mas Kaizer dengan Mas Kaizer sendiri. Ya--ya mana takut?! Orang Raymond Kaizer itu Mas Kaizer sendiri. Lagian kenapa sih aku?! Ck, sepertinya ini gara-gara aku keseringan mengunakan nama Mas Kaizer untuk menakut-nakuti orang. Hais! Aku malu!' batin Carmen, masih memalingkan wajah karena malu bersitatap dengan pemilik nama 'Raymond Kaizer Abraham yang ada di depannya sekarang. Tuk' Raymond menyentil kening Carmen, perempuan itu meringis sambil mengusap kening lalu langsung menatap sebal pada Raymond. Raymond duduk di sebelah Carmen, membawa perempuan itu ke atas pangkua