Semoga Suka dengan bab ini, MyRe. Terus dukung novel kita dengan cara Vote gems, beri hadiah dan komentar manis. I-G:@deasta18
"Ha-hadir!" seru Carmen gugup. "Kemari," dingin Raymond dari tempatnya. Carmen buru-buru menghampiri Raymond, di mana setelah di depan pria itu, Raymond mencekal tangannya lalu menarik Carmen pergi dari sana. "Mas Raymond ingin membawaku ke mana?" tanya Carmen, menatap suaminya bingung. Ah, dia sempat mengira Raymond akan bergabung di dapur lalu menghajarnya habis-habisan seperti waktu itu. Ternyata, Raymond membawanya pergi dari sana. "Sebentar lagi, Talita akan bersekolah. Aku ingin kau menemaniku membeli peralatan sekolah Talita," jawab Raymond enteng–Carmen hanya menganggukkan kepala, memilih menuruti suaminya. Hingga setelah di parkiran, perasaan Carmen berubah tak enak–gelisah dan sedikit sakit ketika melihat Siran dan Talita ada di mobil Raymond. Bahkan keduanya sudah duduk di depan, di mana saat Siran melihat mereka, perempuan itu langsung menunjukkan senyuman anggun. Carmen yakin, itu sebuah senyuman mengejek. Raut muka Carmen berubah tak bersemangat. Tahapan
Kebetulan dia sangat suka menulis dan meluapkan hal-hal kecil dalam sebuah kertas. Menulis kalimat singkat sebagai ungkapan perasaan yang dialami telah menjadi kebiasaan Carmen setelah mamanya meninggal. Carmen tak punya sandaran untuk menceritakan rasa sakit yang dia alami setiap hari akibat ayahnya yang sudah tak peduli padanya, jadi Carmen selalu menceritakannya dalam sebuah kalimat pendek yang ia tulis pada note. Dia punya Teresia untuk berbagi, akan tetapi Carmen cukup malu menceritakan keburukan ayahnya pada sahabatnya. Citra ayahnya sangat bagus di hadapan teman-teman Carmen, dia tak ingin merusaknya. Sejujurnya ayahnya baik. Namun, Carmen bukan … bagian dari hidupnya lagi. Setiap kali Carmen menulis sesuatu dalam note, dia akan langsung membakarnya. Carmen hanya butuh pelampiasan. "Aku mau itu," pinta Talita tiba-tiba, menunjuk ke arah sebuah buku mewarnai dan rak color pensil. "Humm, ambillah," ucap Raymond, menurunkan Talita dari gendongannya agar Talita bisa m
Carmen menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri karena insiden tadi. "Coba saja sejak awal aku menganggapnya orang asing, aku pasti nggak akan sakit hati," gumam Carmen, tengah duduk melamun. Saat ini Carmen berada di sebuah cafe dan dia hanya sendiri. Carmen kembali menghela napas, mengaduk cappucino secara acak. Dia menunduk, terlihat menatap cappucino di cangkir kopi tetapi percaya lah tatapannya kosong. Sekeras apapun Carmen menyuruh dirinya untuk tak sakit hati, dia tetap sakit hati. Sebesar apapun usahanya untuk berusaha menyingkirkan perasaan tidak nyaman dalam hati, tetap saja Carmen tidak bisa. Mengingat telapak tangannya yang terluka, Carmen segera menatap luka kecil di sana. Yah, hanya setitik luka! Tetapi sungguh Carmen tak bohong, rasanya sangat sakit dan sakitnya seperti merambat hingga ke jemari dan kepala. Karena setitik luka itu, Carmen cukup takut untuk membulatkan tangan atau mengepalkan tangan secara kuat. "Ngapain juga yah tadi aku bantu Talita?" gum
Setelah mengatakan hal itu, Carmen meraih cangkir kopi–dia meneguk habis cappucino yang masih hangat, membuat dadanya yang terasa panas akibat sesak bertambah panas. Carmen mengambil ponsel yang ia letakkan di atas meja kemudian segera beranjak dari sana, melangkah buru-buru agar cepat keluar dari cafe ini. "Carmen," panggil Nicolas, berniat menyusul Carmen. Namun, sebelum pergi, dia membungkuk hormat pada Raymond dan istri pria itu. Carmen bilang perempuan itu istri Raymond, jadi dia merasa harus menghormatinya juga. "Carmen, tunggu aku …," teriak Nicolas di luar, suaranya yang kencang terdengar hingga ke dalam cafe. Sayangnya, Nicolas tidak bisa mengejar Carmen. Perempuan itu naik taksi dan pergi begitu saja. Raymond mengatupkan rahang, tangannya mengepal kuat dan matanya memancarkan kemarahan yang sangat besar. Carmen dan pria itu-- mereka berpegangan tangan, berdua dan … Carmen tidak mengakuinya sebagai suami di hadapan pria itu. "Raymond, sepertinya Carmen semaki
"10 Miliar bukan?" Mendengar nama cinta sejatinya disebut oleh Lennon, mata Carmen langsung melebar. Senyuman indah seketika terbit di bibir. "Iya. Iya, Ayah mertua," ucap Carmen sembari menganggukan kepala dengan kuat. Melihat Lennon mengeluarkan cek, binar-binar terang seketika menghiasi manik perempuan cantik tersebut. Wow! Sebentar lagi Carmen dan cinta sejatinya akan bersatu. Akhirnya!! Lennon menyerahkan cek tersebut pada Carmen, dengan riang Carmen langsung menerima. Seperti sebelumnya, perempuan itu menghitung jumlah nol yang tertulis di sana lalu setelahnya mencium cek tersebut dengan penuh perasaan gembira. Namun, perasaan gembira tersebut berubah menjadi bencana ketika dia melihat sosok pria kejam yang ia hindari muncul di sini. Pria dengan tubuh tinggi dan gagah tersebut terlihat berjalan ke arah Carmen. Wajahnya begitu galak dan masih ada sisa kemarahan. Tatapan mata pria itu tajam, menghunus tepat ke arah Carmen. "Tidak tidak tidak!" gumam Carmen panik da
Carmen buru-buru berlari ke arah pintu, berniat untuk kabur dari kamar. Namun sayangnya, pintu terkunci. Raymond yang menyadari Carmen telah lepas, segera menghampiri Carmen dengan langkah panjang dan cepat. Dia memeluk pinggang Carmen lalu menariknya secara paksa–membawa Carmen ke arah ranjang. "Kau tidak bisa kabur dariku, Carmen Gaura Abraham!" dingin Raymond, mengigit daun telinga Carmen cukup kuat. "Ahck!" Carmen menjerit sakit, meronta-ronta supaya pria ini melepaskannya. "Lepaskan aku! Lepas!" Bug' Alih-alih melepasnya, Raymond melempar Carmen ke atas ranjang kemudian dia menindihnya–langsung mendaratkan ciuman kasar dan penuh kemurkaan pada perempuan itu. *** "Andai kau menurut, pasti kau tidak akan merasakan ini, Sweetheart," ucap Raymond, membelai pinggiran wajah Carmen secara lembut. Carmen menepis kasar tangan Raymond dari wajahnya, mengusap air m
Carmen ketiduran di sofa, dalam posisi duduk. Karena terkurung di kamar ini, Carmen memilih membaca buku memasak favoritnya. Namun, Carmen berakhir ketiduran. Derttttt' Deringan handphone terdengar dan cukup mengusik Carmen yang sedang tidur. Awalnya dia mencoba mengabaikan, tetapi deringan tersebut mulai menggangu dan membuat tidurnya tak nyaman. Carmen membuka kelopak mata, menoleh malas ke arah handphone yang berdering. Ketika dia ingin meraih handphone tersebut, Carmen baru menyadari sesuatu–pahanya terasa berat dan seseorang memegang tangan kirinya. Carmen sontak menunduk ke bawah, cukup terkejut mendapati Raymond tengah tidur dengan berbantalkan pahanya. Kekagetannya bertambah ketika melihat tangannya yang terluka telah dibalut dengan kain kasa. 'Apa Mas Kaizer yang mengobati? Ta-tapi … kenapa dia tahu tanganku terluka?' batin Carmen, memperhatikan telapak tangan yang sudah diobati–kini dibalut kain kasa. Derrrt' Handphone di sebelahnya kembali berdering. Perha
"Tolong, maafkan kelalaianku hari ini, Sweetheart," pinta Raymond serak, berkata dengan nada berat dan rendah. Pelukannya semakin erat pada tubuh mungil istrinya yang sedang rapuh. "U'uhm." Carmen mengagukkan kepala, membalas pelukan Raymond secara tidak sadar karena dia merasa lebih baik dalam dekapan ini. Dia tidak percaya Raymond mencintainya dan menjadikannya prioritas. Tetapi, kalimat tak meyakinkan ini berhasil membuat Carmen entah kenapa merasa lega dan tenang. "Talita-- maaf jika keberadaannya membuatmu terganggu. Tolong berikan aku waktu untuk bisa memberitahumu." Lagi-lagi Carmen menganggukan kepala, efek mengantuk sehingga dia mengangguk-angguk saja. Tak lama, dia tertidur dalam dekapan Raymond. Selain makan, dia juga suka mengantuk jika sedang sedih. Jika level sedihnya hanya biasa, Carmen akan lapar. Namun, jika sangat sakit dan menyiksa, emosionalnya meluap lebih banyak, energinya jauh lebih cepat habis dan dia akan berakhir lelah–berujung mengantuk. "Ka
"Aku berjuang sampai di titik ini, itu atas nama Mama. Tapi kenapa namanya yang disebut sebagai ibuku? Aku cape, Kak, skripsian, hampir gila untuk mendapatkan tandatangan dosen. Pontang panting bimbingan, ke sana kemari demi ketemu dosen. Aku beberapa kali pengen mundur, tapi mengingat Mama berjuang untuk kehidupanku, aku memilih tetap bertahan. Aku sudah membayangkan bagaimana rasa senangnya saat nama Mama disebut ketika acara wisuda tadi. Tapi kenapa malah namanya yang disebut, Kak? Aku tidak isi namanya saat pendaftaran wisudah padahal, aku isinya nama Mama. Pasti Ayah yang menukar kan?! Kalau tahu gini, mending kalian nggak usah ingat aku sekalian. Soalnya sekalinya ingat, nyakitin tahu nggak!" marahnya sambil menangis, tak peduli lagi dengan teman kakaknya. "Tak boleh seperti itu. Bagaimanapun dia yang mengasuh kita, dia sudah seperti ibu kita." Sbastian berusaha membujuk. "Ya kalau dia baik padaku. Ini enggak kan? Dia baiknya saat di depan Ayah dan Kakak doang. Kalau padaku
"Dia yang wisuda?" tanya Damian sambil melirik ke arah Olive. Saat ini mereka sudah berada di kampus tempat adik Sbastian kuliah. Tempat ini sangat ramai dan sebenarnya Damian kurang nyaman. Namun, tempat ini jauh lebih baik dari pada rumahnya. Di rumahnya ada kakek dan ayahnya yang terus-terusan memaksa dia menikah. Memangnya kenapa jika dia tidak menikah? Usianya baru 32 tahun dan di jaman sekarang usia tersebut masih tergolong muda. "Bukan, Damien." Sbastian hampir tertawa karena salah mengira. Bukan Olive yang wisuda, melainkan adik kandungnya. "Hahaha … kau ini. Tidak mungkin dia bersama kita jika dia yang wisuda." Damian menganggukkan kepala pelan, kembali melirik ke arah Olive yang terlihat berpenampilan cantik. Maksud Damian, seperti wanita ini yang wisuda. Wanita ini cukup heboh, mengenakan kebaya, make up yang cukup tebal dan aksesoris untuk melengkapi. Karena penampilannya yang begitu, Damian mengira kalau Olive yang wisuda. "Ayah dan Ibu pengasuh sudah di atas
(✿--Musim baru--✿) "Sekarang usiamu sudah 32 dua tahun, Nak, dan Kakek belum pernah melihatmu dekat dengan wanita. Kakek khawatir kau menyimpang, dan … harus dengan tegas Kakek memaksamu untuk secepatnya menikah," ucap Lennon dengan suara pelan dan lembut, akan tetapi menatap penuh peringatan pada sosok pria tampan yang duduk di hadapannya. Pria itu adalah Damian Asher Abraham, putra kesayangan Raymond Kaizer Abraham dan Carmen Gaura Abraham. Damian memiliki rupa yang sangat tampan, tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Dia sangat mempesona dan berkarisma. Semua perempuan yang pernah melihatnya, tergila-gila padanya. Hanya saja, Damian tak demikian. Bisa dikatakan Damian kehilangan rasa ketertarikan pada lawan jenis, anti romantis, anti hubungan asmara dan percintaan juga. Dia juga tidak memiliki gairah pada perempuan, dia bermasalah! Sebelumya, Damian pernah berpacaran. Dia sangat mencintai kekasihnya. Mereka berpacaran sejak hight school, hubungan mereka damai dan jarang ada
"Tidak akan! Carmen milikku dan suatu saat aku akan menikahinya, Ayah!" ucap Harlen tak terima. Plak' Untuk kedua kalinya, Frans memukul wajah putranya. "Carmen itu istri Raymond. Lihat?! Berapa kali Raymond memukulimu karena Carmen, Hah? Apa kau menunggu Raymond membunuhmu, baru kau berhenti mengincar Carmen? Ada banyak wanita yang jauh lebih cantik dari istrinya Raymond, kenapa harus dia yang kau mau?!" "Aku jatuh cinta padanya," jawab Harlen singkat, lemah dan dengan kepala menunduk. "Tapi dia tidak mencintaimu. Dia hanya mencintai Raymond!" Harlen berkata tegas, menyadarkan putranya jika Carmen tak akan bisa dimiliki oleh putranya. "Secepatnya Ayah akan menikahkanmu dengan perempuan lain. Ayah akan menjodohkanmu, dan kau tidak boleh membantah!" "Jika bukan Carmen, aku tidak mau menikah." Harlen membantah. "Kau tidak punya pilihan! Atau-- Raymond bisa membunuhmu," peringat Frans. "Untuk sekarang lebih baik mundur dari ahli waris. Kau tidak akan bisa merebutnya. Yang
"Dulu kau sangat menyayangi Harlen, bahkan berniat menyerahkan harta warisan ayah pada Harlen. Tapi kenapa sekarang kau tidak peduli padanya?" Lennon seketika menyunggingkan smirk tipis, menoleh ke arah Raymond yang juga menatap ke arahnya. Sepertinya Raymond juga penasaran. Lennon menoleh kembali pada Frans. "Tentu saja agar ada yang iri dan cemburu," jawabnya santai, kembali memperlihatkan senyuman tipis di bibir. Mengdengar itu, Raymond mendengus lalu segera beranjak dari sana. Ck, jadi itu alasannya? Dia kira karena ayahnya sudah tak menginginkannya dan berniat mengangkat Harlen sebagai putranya. "Kau mempermainkanku dan putraku!" marah Frans. Lennon berdecih sinis. "Dalam hal apa aku mempermainkanmu dan purtramu?" "Kau memberikan kasih sayang palsu pada putraku!" "Tidak. Aku memberikan kasih sayang seorang paman pada keponakannya. Kau yang terlalu berharap kalau aku menyayangi putramu lebih dari Raymond," jawab Lennon tenang, menatap datar ke arah adiknya, "seka
"Cih." Raymond berdecis geli, pertahanannya runtuh seketika. Padahal dia masih ingin menakut-nakuti istrinya dengan ekspresi wajah serius. Sedangkan Carmen, melihat suaminya tertawa dia segera sadar dengan apa yang dia ucapkan tadi. Matanya melotot lalu setelahnya dia buru-buru memalingkan wajah. Bibirnya cemberut tetapi pipinya merah merona. Sedangkan tangannya masih menyilang di depan dada. 'Aku menakut-nakuti Mas Kaizer dengan Mas Kaizer sendiri. Ya--ya mana takut?! Orang Raymond Kaizer itu Mas Kaizer sendiri. Lagian kenapa sih aku?! Ck, sepertinya ini gara-gara aku keseringan mengunakan nama Mas Kaizer untuk menakut-nakuti orang. Hais! Aku malu!' batin Carmen, masih memalingkan wajah karena malu bersitatap dengan pemilik nama 'Raymond Kaizer Abraham yang ada di depannya sekarang. Tuk' Raymond menyentil kening Carmen, perempuan itu meringis sambil mengusap kening lalu langsung menatap sebal pada Raymond. Raymond duduk di sebelah Carmen, membawa perempuan itu ke atas pangkua
"Apa itu sejenis panggilan kesayangan?" Carmen mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan suaminya. Dia tak habis pikir bagaimana bisa Raymond menganggap Jamal sebagai panggilan sayang?! Dari segi manapun Jamal terdengar seperti nama pria! "Jamal itu nama pria, Mas," jawab Carmen, masih dengan menatap bingung pada suaminya. Namun, anehnya setelah mengatakan itu, tatapan Raymond tiba-tiba berubah tajam padanya. "Pria." Raymond mengulangi, berkata dingin dengan gigi yang saling bergemelutuk. Carmen kembali mengerjap, menggaruk pipi sambil menatap berang bercampur cemas pada suaminya. 'A-apa aku melakukan kesalahan?' batin Carmen. "I-iya, Mas. Nama Jamal itu nama …-" Carmen ingin menjelaskan ulang, akan tetapi menyadari kesalahan fatal yang dia perbuat, dia segera berhenti berbicara. Mata Carmen melebar, kepala seketika menggeleng ke kanan dan ke kiri. Carmen menunjukkan air muka panik. "Jangan salah paham, Mas. Jamal memang nama laki-laki tapi aku tidak mengenal siapa yang nam
Namun, sebelum kakinya menyentuh pria itu, seseorang menariknya cukup kuat. "Mas Kaizer!" pekik Carmen, menarik lengan Raymond supaya menjauh dari Harlen. Setelah sedikit jauh dari Harlen, Carmen berdiri di depan Raymon. Dia menangkup pipi pria itu, lalu mendongak untuk menatap suaminya. Tatapan Carmen begitu lembut, sengaja untuk menundukkan iblis berupa kemarahan yang menguasai suaminya, "Mas Kaizer jangan terpancing sama ucapan dia. Nggak perlu marah, Mas, kan dia miskin," ucap Carmen lembut, akan tetapi menusuk bagi Harlen yang masih sadar. Carmen menoleh pada Harlen, menatap datar pada pria itu. "Yang kaya orang tuanya. Dan dia makan saja masih ditanggung orangtua, ngapain aku milih pria seperti itu?!" Perjalan tatapan Raymond teduh, emosinya reda dan berganti dengan perasaan hangat. Ah, dia rasa dia semakin mencintai Carmen. Dari segi manapun istrinya … sempurna! "Mas Kaizer jangan marah lagi yah," ucap Carmen lembut, mengelus rahang suaminya dengan penuh kasih sanyang.
"Jamal, kau hamil?" Carmen dan Teresia reflek menoleh pada sumber suara tersebut. Teresia menampilkan wajah takut karena mengenali pria tersebut, sedangkan Carmen dia terlihat mengerutkan kening karena tak suka. "Apa sih? Main ikut-ikutan saja," ucap Carmen dengan nada setengah kesal, "bapak tuh nggak diajak," lanjutnya. Sret' Harlen menarik kursi kosong lalu duduk di sebelah Carmen. Hal tersebut membuat Carmen berdiri, begitu juga dengan Teresia. "Kau sungguh hamil, Carmen?" tanya ulang Harlen, menatap tak percaya sekaligus tak senang pada Carmen. Carmen menatap julid pada Harlen, "memangnya kenapa jika aku hamil? Aku punya suami, apa salahnya?" "Kau tak memikirkan perasaanku?" Harlen menatap marah pada Carmen, tak suka dan merasa tersakiti. Dia telah mengklaim Carmen sebagai istrinya, tinggal menunggu warisan kekayaan Abraham menjadi miliknya. Setelah itu, dia pastikan Carmen menjadi miliknya. Ah, dia telah menyiapkan sesuatu untuk membuat Carmen menjadi miliknya! Hanya