Semoga suka, MyRe. I-G:@deasta18
"Iya, Mama," jawab Tita dengan cukup kikuk, senyum pebsodent pada mama mertuanya. "Ini--" Carmen menyerahkan sebuah buku catatan yang Carmen tulis sendiri. Buku tersebut berisi resep memasak makanan favorit putranya. Sudah lama Carmen mengerjakan ini, saat Damian masih dengan pacarnya yang pertama. Waktu itu, Carmen ingin menyerahkan buku ini pada Catrina–setelah Damian menikah dengannya. Namun, perempuan itu mengkhianati putranya dan Carmen berakhir memilih menyimpan buku ini. Hingga sekarang putranya menikah dengan perempuan cantik dan ceria, dan Carmen merasa harus memberikan buku ini pada menantunya. "Buku ini berisi resep memasak," ucap Carmen setelah buku tersebut ia serahkan pada Tita, "Damian cukup sulit menerima rasa baru dan lidahnya sulit beradaptasi. Buku ini Mama tulis sendiri, supaya kamu tidak kesusahan menghadapi perut Damian."Tita tersenyum manis, menganggukkan kepala dengan lembut. Dia menatap hangat pada Carmen, merasa senang dan tersentuh secara bersamaan. Cin
"Memangnya kenapa jika lebih dari mandi?" Damian menaikan sebelah alis, mendekat dan mengikis jarak pada Tita yang meringsut. "Ya-ya … nanti pilek," jawab Tita asalan, buru-buru berputar saat Damian sudah berada di dekatnya. Damian berdecih geli melihat ekspresi Tita. Perempuan ini takut tetapi tetep terlihat lucu. Terlebih saat dia bergegas memutar tubuh supaya menghindari Damian. Namun, meski Tita menunjukan sikap anti pada Damian, tetapi Damian masa bodo. Dia tetap menggoda istrinya sampai dia benar-benar mendapatkan apa yang dia mau. Dalam hati, Tita merutuki Damian yang sangat menyebalkan. Pria ini sangat licik dan suka sekali menjebak Tita, membuat Tita tidak bisa berkutik. Setelah selesai mandi, Tita buru-buru berpakaian. Saat Damian masuk ke dalam walk in closet, tita cepat-cepat keluar dari sana. Namun, Damian mencegah, menatap Tita supaya perempuan itu tidak keluar dari sana. "Apalagi sih, Kak?" ucap Tita cukup ketus, menyilangkan tangan di dada sambil menatap kesal pa
"Ah, sakit sekali," ringis Catrina, setelah menjatuhkan dirinya. Orang-orang langsung membicarakan Tita, menganggap Tita gadis kasar dan tak punya sopan santun. Hal tersebut membuat Catrina tersenyum tipis, merasa senang karena orang-orang mengira jika Tita perempuan jahat. Saat pria nan tampan itu semakin dekat, Catrina kembali meringis manja, dia mengusap sikut sambil menahan perih. Tita memilih acuh tak acuh, bahkan berniat pergi begitu saja karena tak ingin berurusan dengan perempuan problematik tersebut. Akan tetapi, seseorang mendekat lalu menahan Tita supaya tidak kabur. "Heh, gadis angkuh, jangan main kabur saja. Cepat minta maaf pada Mbak-nya yang kamu dorong," galak laki-laki tersebut–orang yang kebetulan lari sore dan melihat kejadian tersebut dari kejauhan. Dia mampir untuk melihat lebih dekat dan langsung mencegah Tita pergi. "Teman saya nggak bersalah yah!" kesal Lisa, mencoba melepas tangan laki-laki tersebut dari pergelangan tangan Tita. "Heh, saya punya mata! Dan
Apa yang istimewa dengan anak baru itu sampai-sampai Sbastian memperlihatkan sisi lembutnya pada Tita?! *** "Kak, aku mau berhenti bekerja," ucap Tita, di mana saat ini dia berada di ruangan Damian. Ada Sbastian juga di sana–kedua pria itu terlihat bekerja dengan sangat serius. Tita di sini untuk makan siang bersama kedua pria itu. Namun, karena keduanya masih sibuk, mereka belum makan siang. "Kenapa?" Damian dan Sbastian sama-sama menjawab, bahkan serentak menoleh pada Tita. "Karena tidak ada unsur pertaniannya, dan aku cukup bosan," jawab Tita. "Dek, kau tidak boleh begitu. Setiap pekerjaan pasti akan membosankan, dan itu bagian dari rintangan ingin kita," nasehat Sbastian, geleng-geleng kepala mendengar jawaban adiknya. "Tapi ini bukan duniaku, Kak. Aku sama seperti cacing." Damian dan Sbastian saling bertatapan karena merasa aneh dengan jawaban Tita. Apalagi ini? Cacing? Ada apa dengan otak Tita? Perempuan diluaran sana ingin disamakan dengan hewan yang lucu seperti k
"Jaga baik-baik istrimu yah, Dami Sayang," nasehat Carmen, di mana saat ini Tita dan Damian akan berangkat bekerja. Libur untuk pengantin baru telah selesai dan mereka kembali ke dunia kerja. Sebetulnya, Damian rak pernah benar-benar libur. Dia masih bekerja di rumah. "Tentu, Mah," ucap Damian. Setelah pamit, dia dan Tita langsung berangkat. Tiba di kantor, Damian langsung ke ruangannya. Begitu juga dengan Tita yang bekerja dibawah pengawasan kakaknya sendiri. "Kau paham?" tanya Sbastian, setelah sebelumnya dia menjelaskan apa yang harus Tita kerjakan. Tita menganggukkan kepala, "aku paham, Kak.""Humm. Nanti kalau sudah selesai, antar pekerjaanmu pada Kakak." "Baik, Kak," jawab Tita dengan nada bersemangat. Sebelum pergi, Sbastian menyempatkan diri untuk mengusap pucuk kepala adiknya. Hal tersebut tak luput dari perhatian staf lain. Banyak dari mereka yang bertanya-tanya siapa Tita sehingga dia dekat dengan Sbastian, dan ada beberapa perempuan yang suka pada Sbastian merasa ta
"Dalam rangka apa kau memberiku kado?" tanya Damian, di mana dia mengikuti Tita ke kamar–sambil membawa buket bunga dan kado. Tita yang baru saja duduk di sofa langsung menoleh pada Damian. Dia sejujurnya masih dilanda rasa gugup, akan tetapi Tita berusaha untuk terlihat biasa saja. "Hari ini hari kasih sayang. Semua orang menunjukan kasih sayang pada pasangannya," jawab Tita, mencoba santai walau sebenarnya jantungnya tambah terguncang ketika melihat Damian membuka kado darinya. Dia deg degkan, takut Damian tidak suka pada kado pemberiannya. Damian berhenti membuka kado, menoleh pada Tita dengan ekspresi datar tetapi dengan senyuman tipis yang lembut. "Itu berarti kau menyayangi pasanganmu." "Ouh, tentu," jawab Tita lantang, terlalu bersemangat. Namun, saat menyadari sesuatu, air muka Tita berubah muram bercampur malu, "jangan salah paham. Maksudku semua manusia itu sudah seharunya saling mengasihi dan menyayangi." "Humm." Damian berdehem singkat, kembali melanjutkan
"Tita," jawab Damian cukup cuek, efek kesal karena tak menemukan istrinya. Carmen dan Raymond sama-sama saling bersitatap, merasa sedikit bingung karena sebelumya Damian bilang istrinya ada di kamar. "Coba ditelpon, Sayang," ucap Carmen. Damian menganggukkan kepala, segera mengeluarkan ponsel kemudian menelpon istrinya. Dertttt' Sebuah handphone berdering, membuat semua orang menoleh pada benda tersebut. Itu telpon Tita, berada di atas meja bar. Handphone perempuan itu ada di sini, tetapi di mana orangnya? "Handphone Tita ada di sini," ucap Carmen pelan, "tapi kemana orangnya?" Damian tak menjawab perkataan mamanya, dia menghela napas sejenak karena tak tahu harus mengatakan apa. Hingga pada akhirnya, matanya tak sengaja memandang ke arah petugas pemotong kayu. Ada dua petugas kayu di bawah, tengah memegang tangga besar. Merasa heran kenapa petugas ada di bawah, Damian langsung menatap ke atas. Seketika matanya melebar, cukup shock melihat istrinya sedang memotong dah
Tita masih bersama Lisa, kali ini mereka di sebuah toko gelang untuk membeli hadiah pada pacar Lisa. Hari ini adalah hari kasih sayang, dan Lisa ingin memberikan gelang sebagai hadiah pada kekasihnya. "Aku sudah sering ngode dia supaya beli gelang persaaman denganku, tapi sampai sekarang dia enggak mau. Jadi aku ngasih hadiah gelang persamaan saja," ucap Lisa pada Tita sambil menggoyangkan paper bag berisi gelang yang telah ia beli, "aku juga sekalian ngasih coklat ke dia. Hehehe …." "Idih." Tita menatap julid pada Lisa, "masih bucin ajah yah kamu sama cowok kere itu. Aku yakin banget nih, kamu ngasih kado ke dia tapi dia nggak akan ngasih apa-apa sama kamu." "Kemarin dia ngasih aku bunga kok," jawab Lisa, sedikit cemberut karena ucapan Tita sebelumya. Namun mau bagaimana lagi, Tita memang tak suka pada pacarnya. Tita terkesan membenci pemuda yang saat ini menjadi pacarnya. "Tumben." Tita mengerutkan kening, heran karena tak biasanya pacar Lisa memberikan sesuatu pada Lisa.
Hingga pada akhirnya Tita memutuskan keluar dari kamar lalu diam-diam pergi dari rumah mewah tersebut. Dia memilih diam-diam karena dia tahu Damian tak akan membiarkannya keluar dari rumah. Sebagai orang yang benci dikekang, Tita memilih kabur. *** "Itu sepertinya Tita," gumam Sbastian, di mana saat ini dia sedang di jalan, menuju rumah Damian untuk sebuah pekerjaan. Damian sama seperti ayahnya, pengila kerja dan tak mengenal waktu. Meski Damian baru menikah dan dia sedang libur kerja, akan tetapi Damian tetap bekerja di rumah. "Ah tidak mungkin. Pasti aku salah lihat," gumam Sbastian lagi, menghela napas dan memilih fokus pada jalanan. Tadi, sekilas dia melihat adiknya sedang menyeberang. Akan tetapi sepertinya dia salah melihat. Tak mungkin adiknya di sini, dia baru menikah. Setelah tiba di rumah Damian, Sbastian masuk menemui Damian. Tanpa basa-basi, dia langsung menghidupkan laptop dan bekerja dengan Damian. Hingga setelah berlangsung 3 jam, Sbastian mendadak